Setelah kepergian keluarga Agra, Tante Adel pun memeluk tubuh Arkan dengan erat."Arkan, dengerin Tante. Tante tau ini itu berat banget. Gak cuma untuk kamu, tapi juga untuk tante. Jujur, tante juga syok waktu tau siapa yang datang. Tapi, Tante harap, kamu mau belajar memaafkan kesalahan mereka. Tante tau kalau ini gak mudah, tapi kamu harus berusaha. Tante yakin, Papa sama Mama gak mau kamu jadi orang pendendam," bujuk Tante Adel lembut.Namun, Arkan tetap menggeleng, rasa sakit itu masih terlalu nyata bahkan terlalu dalam. Dalam hati kecilnya, ia masih butuh waktu yang sepertinya akan sedikit lama untuk melupakan semuanya.Beberapa hari setelah kejadian itu, Tante Adel menerima panggilan lagi dari keluarga Agra. Mereka meminta kesempatan untuk bertemu lagi, kali ini dengan penawaran yang lebih serius. Tante Adel tak bisa memutuskannya sendiri, ia pun harus berkonsultasi dahulu dengan Arkan dan juga suaminya.Pagi itu, semua nampak berkumpul di ruang keluarga, ada Arkan, Yudha, Oom W
"Hoalah, jadi begitu toh ceritanya. Terus, gimana sama dendammu sekarang, Mas?" tanya Andri penasaran.Arkan mendesah pelan, lalu menyenderkan tubuhnya pada sandaran ranjang."Udah terbalas sih, hanya aja, entah kenapa aku masih belum rela kalau misalnya dia belum merasakan apa yang aku rasakan dulu," ucap Arkan pelan"Jadi, maksudnya, Mas masih pengin dia lebih menderita lagi?" tanya Andri sambil mengernyitkan dahinya penasaran.Arkan terdiam sebentar lalu menatap wajah istrinya dan langsung mengambil tubuhnya masuk ke dalam pelukannya.Beberapa kali ia nampak mencium pucuk kepalanya takut jika wanitanya ini akan pergi."Kalau menurut kamu, kira-kira Mas harus gimana?" tanya Arkan mencoba mencari saran.Andri menghela napas panjang, lalu membelai lembut lengan suaminya itu."Mas, apa yang ngebuat Mas masih gak rela begitu? Bukannya Kakek udah penuhin janji ke Mas, bikin satu lantai full dengan banyaknya lemari kaca? Dan, Oom Nathan dan Tante Nathalie udah buktiin kalau misalnya merek
Perlahan, tubuh Tante Nathalie mundur, lalu kembali duduk di sofa disamping sang suami. Oom Nathan memijat pelipisnya, berusaha menenangkan dirinya yang sedikit terguncang.Arkan menoleh kepada Andri yang ada dibelakangnya, seolah meminta saran apa yang akan ia lakukannya kini.Andri segera mengambil lengan sang suami, dan membelainya dengan lembut. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya menuntun agar Arkan pun duduk tak jauh dari Kakek Gala.Perlahan, suasana yang semula canggung berubah menjadi tegang dan penuh ketidakpastian. Semua yang berada disana nampak terdiam, tak ada yang berani membuka suara."Kamu ... Kamu tidak punya bukti, Arkan!" Tante Nathalie kembali bersuara, meskipun dengan nada bergetar."Kamu, adalah anak yang tidak tahu terimakasih! Harusnya kamu bersyukur sudah di rawat disini, tapi apa balasan kamu, hah?!" sentak Tante Nathalie dengan nada yang tinggi.Arkan tertawa kecil namun tatapannya nampak tajam, seperti pisau yang siap melukai siapapun yang berad
Sementara itu, suasana canggung diruang tamu belum juga hilang meski Arkan dan Andri sudah tak berada disana. Bunda Seira nampak menyenggol lengan Ayah Revan, seolah meminta kejelasan atas ucapan Arkan barusan. Keduanya nampak bersitatap sebentar seolah memberi kode lewat matanya. Ayah Revan menghela napas lalu berdehem pelan untuk memecah keheningan yang ada. "Anu, maaf sebelumnya, Kek, maksud Arkan tadi apa ya? Apa benar Agra seorang 'pembunuh' dan siapa yang dibunuhnya?" tanya Ayah Revan dengan sedikit hati-hati. Wajah Oom Nathan dan Tante Nathalie pun kembali pucat karena mendengar pertanyaan itu. Mereka lupa jika disana ada keluarga lain yang tak lain adalah keluarga Andri, sekaligus calon besannya dari Agra. Oom Nathan menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya pelan, lalu mengangguk lemah. "Iya, kejadian itu udah tiga tahun silam sebenernya. Saya pikir, Arkan sudah lupa dan tak akan memperkarakannya kembali, tapi ternyata ...," Oom Nathan tak lagi melanjutkan u
Oom Nathan kembali menghembuskan napasnya panjang lalu tatapannya pun kini beralih kepada Ayah Revan dan Bunda Seira. ia menatap kedua besannya itu, untuk melihat respon apa yang mereka berikan.Namun, kedua besannya tetap bungkam, seolah meminta agar ia melanjutkan ceritanya sampai akhirnya. "Nah, ketika Agra akhirnya sadar, ia pun sempat mengalami kelumpuhan sementara di bagian kakinya, mungkin karena terhimpit itu. Tapi hanya dalam satu bulan dia sudah bisa kembali berjalan. Tapi, ternyata masalah belum selesai sampe situ aja, meskipun kita udah nanggung semua biaya rumah sakit Arkan. Waktu itu, Oomnya Arkan, yang namanya Wisnu itu,yang tadi di telpon Arkan, ngelaporin Agra ke polisi dan menuntut ganti rugi kepada kami," lanjut Oom Nathan."Berarti, kalau gitu Agra pernah di penjara juga dong?" tanya Bunda Seira yang mulutnya sedikit gatal ingin bersuara.Tante Nathalie dan Oom Nathan pun mengangguk bersamaan. Lalu, Oom Nathan kembali melanjutkan ceritanya."Pernah. Tapi, hanya s
Mobil yang dikendarai Arkan mulai melaju meninggalkan garasi rumah Kakek Gala dan perlahan menghilang di kelokan jalan."Dek, mau mampir beli jajan dulu gak? Buat ganjel perut," tawar Arkan begitu mobil mulai keluar dari kompleks dan melewati jalanan raya yang masih sedikit kecil."Emang, kita mau makan dimana?" tanya Andri balik."Senayan City, Dek. Aku pingin kesana," jawab Arkan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya.Andri mengusap dagunya pelan. Perutnya sedikit melilit karena belum makan dari pagi, sementara perjalanan ke Senayan masih membutuhkan waktu sekitar 30 menit lamanya -- itu pun jika tidak macet."Hm, boleh, Mas. Tapi, kenapa harus jauh-jauh kesana, sih? Kayak nggak ada tempat makan yang deket aja," gerutu Andri sedikit kesal.Arkan hanya tertawa kecil, menahan tawa karena gerutuan itu."Karena di sana, ada tempat special, Dek. Nanti, setelah dari sana, baru kita ziarah ke Tanah Kusir, ke makam kedua orangtuaku," ucap Arkan yang sukses membuat Andri nam
"Dek, kamu kenapa? Nggak mau yah makan disini?" tanya Arkan saat menyadari bahwa ada keraguan di wajah Andri.Andri menatap wajah suaminya sebentar yang nampak begitu bersemangat, meskipun ada sedikit penyesalan di wajahnya. Ia segera menarik napasnya pelan dan mengangguk."Adek nggak apa-apa kok, Mas. Yuk, masuk, adek udah laper juga nih. Pingin ngerasain Bebek Peking yang viral itu," ucap Andri sedikit antusias.Melihat sang istri yang kembali bersemangat, Arkan pun tersenyum lalu mengangguk dan segera masuk ke dalam restoran itu.Suasana restoran itu sedikit sepi, mungkin karena memang belum jam makan siang. Andri dan Arkan pun segera menuju sudut restoran, tempat favorit Andri dahulu.Saat hendak menuju sudut, seorang pelayan laki-laki menghampiri mereka berdua, dan sedikit terkejut saat melihat Andri disana."Kak Yani? Ini beneran Kak Yani kan," sapa pelayan itu dengan senyum yang begitu lebar.Andri membalas senyuman itu dengan sedikit canggung, lalu mengalihkan pandangannya pad
"Mas ...," panggil Andri lirih sambil menutup mulutnya seolah tak percaya."Dek, apa kamu yang namanya Yani?" tanya Arkan kali ini.Andri mengangguk mantap, lalu menyerahkan hpnya kepada sang suami.Wajahnya nampak bersemu merah, mengetahui kebetulan itu. Namun, hatinya terasa sedikit remuk saat mengetahui bahwa wanita yang ia nanti telah tiada, persis seperti kapan wanita itu menghilang."Andai aku tau dari dulu bahwa wanita yang Mama maksud itu adalah kamu. Udah dari dulu aku temuin," gerutu Arkan sedikit kesal.Ia mengaduk-aduk mienya dan mulai memakannya."Kamu tau, setiap Mama ngajakin ketemuan, aku bakal telpon dulu ke sini, cuma buat tanyain kamu ada atau nggak. Kalau kamu ada, aku akan cari alasan biar gak ketemu. Dan pas kamu gak ada, aku akan pura-pura ngajak Mama buat kesini," ucap Arkan sambil terkekeh pelan."Mama sering cerita tentang kamu, seakan tau semua tentang kamu, sampe aku pusing dengerin ceritanya.
Keesokan paginya, Andri sudah bangun lebih dulu karena rasa mual yang begitu mendera. Tubuhnya mulai sedikit limbung, namun ia memaksakan diri untuk berdiri dan melangkah ke kamar mandi.Sementara Arkan, masih terlelap di kasurnya. Tangannya mulai meraba, antara sadar dan setengah sadar, ia mencari sang istri di sana. Namun sayangnya, kosong."Adek!" seru Arkan refleks langsung bangun.Ia melihat ke samping. Andri tak ada di sampingnya. Kemanakah perginya wanita itu? Apa ke kamar mandi?Buru-buru ia pun bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju dapur. Dan benar saja, Andri berada di sana tengah memuntahkan apa yang ada diperutnya.Dengan telaten, ia pun memijat tengkuk sang istri agar merasa lebih baik."Masih mual, Dek?" tanya Arkan begitu Andri menyelesaikan muntahnya.Andri menggeleng pelan, lalu mencuci mukanya. Sementara Arkan dengan sigap segera mengambil handuk dan membantu sang istri untuk membersihkan wajahnya."Adek mau bikin teh? Atau mau susu? Biar Mas bikinin," tawar Arka
USG pun akhirnya telah selesai dilakukan."Sekali lagi, selamat ya Bu Andri atas kehamilannya, jaga kandungannya baik-baik dan jangan sampai stress atau terlalu lelah. Kehamilan dengan janin kembar, biasanya menguras lebih banyak emosi," ucap Dokter Agung mengingatkan.Setelah itu, ia pun mengalihkan pandangannya kepada Arkan."Nah untuk Pak Arkan, tolong di jaga ya istrinya. Istri yang lagi hamil itu biasanya suka moody-an. Jadi, sabarnya harus dipertebal lagi. Emosinya harus dijaga lagi biar istrinya nggak merasa stress ataupun terabaikan," nasihat sang dokter.Arkan mengangguk mantap. "Insyaallah, Dok. Ah iya ada pantangan atau apa yang perlu dihindari, Dok?" tanya Arkan."Hindari makan daging yang masih setengah matang, dan kurangi makanan junk food. Jika setiap makan mual, bisa di coba dengan mengemil roti ataupun minum jus," jawab sang dokter.Arkan mengangguk mantap. Sesi konsultasi pun akhirnya selesai. Satu bulan lagi, Andri pun diminta untuk kembali ke rumah sakit, selain un
"Ma--maksudnya, Dok?" tanya Andri sedikit bingung.Sang dokter tak langsung menjawab. Ia masih memeriksa data yang ada di komputernya setelah beberapa saat, ia menghela napas berat, dan menatap keduanya dengan ekspresi yang cukup serius."Saya tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu kepada Anda, tapi berdasarkan hasil pemeriksaan lima tahun lalu, rahim Anda dalam kondisi sehat. Tidak ada indikasi masalah yang bisa menyebabkan kesulitan hamil."Mata Andri membesar. "Tapi… waktu itu saya diberi tahu kalau saya kemungkinan besar tidak bisa hamil, Dok. Saya…" Suaranya bergetar.Arkan langsung menenangkan istrinya, tapi di dalam hatinya, kemarahan mulai muncul. Jika benar tidak ada masalah di rahim Andri, lalu siapa yang dulu memberi informasi yang salah? Dan untuk apa?Dokter menatap mereka dengan lembut. "Saya paham ini membingungkan. Tapi sekarang, yang terpenting adalah kabar baiknya. Hasil tespek anda menunjukkan bahwa anda tengah hamil. Bagaimana jika kita cek melalui USG untuk lebi
"Sans, Ar, gua ke sini cuma mau nanya kabar lu doang, kok," ucap lelaki itu sambil tersenyum smirk.Andri yang memang tak mengetahui permasalahan apa yang dihadapi kedua lelaki itu memilih untuk kembali fokus ke abang telur gulung tadi."Jadi, berapa semuanya, Bang?" tanya Andri dengan senyum riang."Dua puluh ribu, Mbak," jawab si penjual.Andri lalu menyerahkan selembar uang berwarna hijau kepada penjual itu, dan melangkah santai menuju gerobak lumpia basah.Arkan yang melihat Andri pergi, hanya berdecak kesal melihat kelakuannya itu."Ada apa? Gua tau lu bukan tipe orang yang suka basa basi, Vin," ucap Arkan ketus.Ya, lelaki itu adalah Kevin sahabat serta musuhnya lima tahun lalu. Setelah melepaskan Dirgantara kepada Kevin, Arkan memilih kembali fokus mengurus Amira Corp sendiri. Lalu, bagaimana dengan Oom Wisnu?Sejak kejadian itu, Oom Wisnu memutuskan untuk membuka perusahaan sendiri. Tidak, lebih tepatnya usaha sendiri. Ia membuat beberapa ruko dan juga kontrakan dari uang hasi
Andri dan Arkan nampak saling pandang, sementara Agra segera menepuk pelan lengan sang istri.Ya, wanita itu adalah Arsy, adik dari Andri.Arsy yang sadar mendapat teguran halus seperti itu langsung menundukkan kepalanya."Ma--maaf, Mba," ucap Arsy sedikit menyesal.Andri hanya tersenyum, lalu segera memeluk tubuh adiknya."Doain ya, Dek. Bismilah semoga beneran," ucapnya lirih."Amin ya Allah," ucap Arsy dengan lantang."Kalau misalnya Mbak beneran hamil, Arsy mau nunda kehamilan, biar bisa ngerawat anaknya Mbak dulu, kek dulu Mbak ngerawat Humai," ucapnya kembali namun langsung mendapat cubitan dari Andri."Nggak boleh, gitu! Mbak nggak suka cara ngomong kamu! Anak itu rejeki, kalau dikasih jangan di tolak. Kamu nggak liat perjuangan Mbak mu ini, sampe lima tahun belum di kasih juga," ucap Andri sambil berdecak kesal.Arsy memanyunkan bibirnya, "salah lagi aja aku," gerutunya dan langsung mendapat tawaan dari mereka semua.Setelah berbasa-basi sebentar, Andri dan Arkan pun pamit pul
Tiga buat tespek bergaris dua.Yang menandakan bahwa saat itu Andri sedang hamil.Arkan masih terdiam, berusaha mencerna semua itu. Ia mengambil salah satu tespek itu dan memberikannya kepada Andri "I -- ini, beneran, Dek?" tanya Arkan dengan raut wajah yang tak percaya.Andri mengangguk lemah, lalu segera membelai perutnya."Cuma, aku nggak tau dia udah berapa lama. Catatan haidku udah hilang," lirih Andri dengan sendu.Ia kemudian mengambil ponselnya dan menyerahkannya kepada Arkan."Hari ini, aku udah daftar ke rumah sakit tempat aku sama Mas Agra dulu ngelakuin tes kesuburan. Beruntung, dokter yang dulu nanganin aku juga masih ada," ucap Andri memberitahu."Jadi ... kamu ke sini mau ngajak aku buat periksa dede gitu?" tanya Arkan seraya membelai lembut perut sang istri.Andri hanya mengangguk seolah membenarkan ucapan Arkan.Arkan menelan ludah. Lengannya masih bertumpu pada perut sang istri. Seolah tengah menyapa kehidupan baru di sana."Terus ... jadwalnya kapan, Dek?" tanya Ar
Andri membuka pintu ruangan Arkan dengan kasar, membuat suara dentuman keras yang menggema di dalam. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun, sementara matanya menyapu tajam ke sekeliling ruangan."Mas Arkan! Kamu sama siapa di dalam?!" teriaknya lantang, suaranya penuh tuduhan.Arkan yang saat itu tengah asyik mainan mobilan di dekat mejanya, sontak langsung terkesiap. Ia segera melepas mainannya dan berdiri. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bingung dengan kehadiran sang istri yang tiba-tiba dan penuh emosi."Mas Arkan!" seru Andri sekali lagi, kali ini dengan lebih keras.Arkan menghela napas pelan. "Ada apa, Dek? Kok kamu ke sini nggak bilang-bilang?" tanyanya, suaranya tetap tenang.Andri melangkah maju, mendekatinya dengan sorot mata tajam. "Kalau aku bilang-bilang, aku nggak akan tahu kalau kamu selingkuh! Hayo, ngaku, kamu pasti lagi selingkuh kan di dalam?!" cecarnya penuh amarah.Arkan mengernyitkan dahi, berusaha memahami maksud istrinya. Ia bermaksud mengambil lengan
Dua bulan berlalu setelah pertemuan tak sengaja antara Agra dan Arsy di rumah Andri, ternyata membawa sebuah kebahagiaan tersendiri bagi keluarga mereka.Agra dan Arsy pun akhirnya menyelenggarakan pernikahan mewah mereka yang kemarin sempat tertunda karena Arsy yang menghilang.Semua keluarga, sahabat dan juga kolega bisnis mereka, turut hadir, menyaksikan pernikahan yang telah lama dinantikan itu.Gosip-gosip yang bilang bahwa Agra menganut "kaum pelangi" pun seketika menguap begitu saja, saat mengetahui bahwa Agra menikah dengan seorang wanita bahkan telah memiliki anak yang wajahnya begitu mirip dirinya.Kini, saat semuanya tengah berkumpul di ruang keluarga kediaman Kakek Gala, Agra pun segera membicarakan rencananya untuk berbulan madu."Humai, lu ajak, Mas?" tanya Arkan yang saat itu tengah menggendong Humai sambil memainkan salah satu mobilan miliknya."Ajak, lah! Masa iya gua tinggal dia sendirian di sini," ucap Agra sambil tersenyum."Elah, kalian bulan madu berdua aja. Biar
Arkan membelai lembut punggung Humai, berusaha menenangkan sang anak yang ketakutan."Humai, itu Papa, Nak," ucap Arsy pada akhirnya.Humai mendongak, menatap wajah Arsy dan Agra bergantian."Papa?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.Arsy mengangguk mantap, lalu segera mengambil Humai dari gendongan Arkan."Iya, Oom ini adalah Papa kamu. Papa kandung kamu," ucap Arsy kembali.Humai sedikit terkejut. Ia menatap Agra ragu-ragu, seolah mencari kebenaran dalam sorot mata pria itu. Agra sendiri tampak membeku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Arkan dan Andri saling pandang sebentar, dan keduanya seolah menahan napas bersama. Situasi ini sedikit sulit, namun cepat atau lambat, semua pasti akan terjadi."Papa?" ulang Humai dengan suara lebih lirih. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena takut—melainkan kebingungan.Agra, yang sejak tadi diam, akhirnya berlutut di depan Humai, berusaha menyamakan tinggi mereka. "Iya, Nak," ucapnya, suaranya bergetar. "Papa di sini."Humai menggigit bibir