"Mas ...," panggil Andri lirih sambil menutup mulutnya seolah tak percaya.
"Dek, apa kamu yang namanya Yani?" tanya Arkan kali ini.Andri mengangguk mantap, lalu menyerahkan hpnya kepada sang suami.Wajahnya nampak bersemu merah, mengetahui kebetulan itu. Namun, hatinya terasa sedikit remuk saat mengetahui bahwa wanita yang ia nanti telah tiada, persis seperti kapan wanita itu menghilang."Andai aku tau dari dulu bahwa wanita yang Mama maksud itu adalah kamu. Udah dari dulu aku temuin," gerutu Arkan sedikit kesal.Ia mengaduk-aduk mienya dan mulai memakannya."Kamu tau, setiap Mama ngajakin ketemuan, aku bakal telpon dulu ke sini, cuma buat tanyain kamu ada atau nggak. Kalau kamu ada, aku akan cari alasan biar gak ketemu. Dan pas kamu gak ada, aku akan pura-pura ngajak Mama buat kesini," ucap Arkan sambil terkekeh pelan."Mama sering cerita tentang kamu, seakan tau semua tentang kamu, sampe aku pusing dengerin ceritanya.Teriknya mentari siang, seolah tak dipedulikan oleh kedua sejoli itu. Arkan tetap menggandeng lengan sang istri setelah turun dari mobilnya, menelusuri jalan setapak menuju pusara kedua orang tuanya.Tak lama, Arkan pun berhenti tepat di depan dua nisan yang bersisian. Kedua nisan itu nyaris sama, terlihat bersih dan juga terawat, yang membedakan, hanya bentuk nisannya yang berbeda. Sisi sebelah kanan, berbentuk layaknya nisan batu pada umumnya, sementara sisi sebelah kiri berbentuk buku terbuka dan berisi dua nama.Arkan menghela napas panjang sebelum ia berlutut di tengah pusara itu."Assalamu'alaikum, Mama, Papa, Mama Vani, maafin Arkan yang baru bisa nengokin kalian lagi. Kalian gimana kabarnya? Pasti lagi pada main dan bersantai bareng di taman, yah? Ah iya, kali ini, Arkan datengnya gak sendri loh, Arkan dateng sama seorang perempuan yang udah resmi jadi istri Arkan," ucap Arkan pelan, seolah sedang berbicara langsung dengan ketiga sosok di balik batu nisan itu.Andri ikut berlu
Mobil terus melaju, membelah jalanan ibu kota menuju perbatasan antara Jakarta dan Bogor. Jalanan pada siang itu nampak sedikit lengang, membuat perjalanan mereka terasa lebih cepat tanpa ada drama macet seperti sebelumnya.Setelah melewati jalanan Margonda hingga hampir mentok, mobil pun berbelok menuju salah satu gang dan masuk ke dalam sebuah perumahan dengan tipe minimalis modern.Tak lama, mobil pun berhenti tepat di sebuah rumah bergaya klasik minimalis berwarna putih susu, dengan halaman kecil yang di tumbuhi bunga warna warni.Arkan menepikan mobilnya di sisi jalan, karena garasinya tidak muat jika berisi dua buah mobil. Di teras depan, nampak seorang pria paruh baya sedang duduk di kursi taman sambil memainkan ponselnya.Ia mendongak begitu melihat mobil yang berhenti di depan rumahnya. Dengan sedikit memincingkan mata, akhirnya ia bisa melihat jelas siapa yang keluar dari mobil itu.Mengetahui siapa yang datang, lelaki itu pun segera beranjak dari duduknya dan segera mengha
“Enggak kok, Tan,” jawab Andri cepat sambil menggenggam lengan Arkan.Arkan sendiri sempat terkejut dengan respon mendadak yang Andri lakukan barusan. Ia pun menoleh ke arahnya, lalu memberi isyarat lewat tatapan matanya. “Kamu serius?” tanya Tante Adel kembali dengan nada yang nyaris ragu.Andri mengangguk mantap, sementara Arkan tampak masih ragu untuk mengangguk."Beneran, Tante. Kebetulan, sebelum nikah, Andri juga udah tinggal di kontrakan sendiri, nah rencananya kita mau pindah ke sana. Kontrakannya sih emang gak gede cuma dua petak doang, tapi cukup lah kalau buat kita berdua doang mah, biar bisa lebih intim dulu. Ya kan, Mas?" tanya Andri seraya tersenyum dan mengedipkan matanya beberapa kali.Arkan nampak tergagap karenanya, namun ia pun langsung mengangguk setuju dengan penjelasan yang Andri berikan tadi.Tante Adel tersenyum tipis, tapi sorot matanya menyiratkan rasa tidak nyaman.“Tapi masalahnya, rumah ini kan milik keluarga Arkan, Ndri. Jadi, sudah sewajarnya, jika sua
*Flashback tiga tahun lalu, H-1 malam sebelum kematian orang tua Arkan* "Mas, kok perasaan aku tiba-tiba gak enak ya," ucap Adel kepada sang suami, Wisnu. "Gak enak kenapa, Ma?" tanya Wisnu penasaran. Adel menggeleng pelan, entah mengapa perasaannya sedikit tidak tenang, terutama saat mengingat kakaknya. Ditengah kegundahan itu, dering ponsel Adel memecah lamunan itu "Mbak Vani, Mas! Pas banget aku mau nelpon dia," ucap Adel menoleh ke sang suami. Tanpa membuang waktu, Adel pun segera mengangkat telponnya itu. "Mbak, dimana? Mbak gak apa-apa, kan?" tanya Adel bertubi-tubi saat telpon sudah tersambung. Wisnu menggeleng pelan melihat kelakuan istrinya, lalu ia segera membelai punggung sang istri, mencoba menenangkannya ["Ada dirumah, Del. Astaga, Mbak nggak kenapa-napa, kok,"] jawab Vani santai di ujung telpon sana. "Alhamdulillah," lirih Adel pelan. Untuk sesaat, suasana diantara mereka mendadak hening, seolah keduanya merasakan sesuatu yang sedikit berat dan sul
"Hu'um, kamu gak lupa kan soal nasihat mereka selama ini? Jangan bilang kalau kamu lupa," ucap Oom Wisnu sambil mendengus pelan.Arkan masih terdiam, ia menggerakkan jari jemarinya, seolah menahan kegugupannya. Ia tertunduk, perasaanya nampak berkecamuk di dalam dadanya.Oom Wisnu kembali menyilangkan tangannya di dada, menatap Arkan dengan tatapan yang seolah mengintimidasi, membuat Arkan menjadi serba salah Jelas, Arkan ingat nasihat itu, nasihat agar selalu menjadi seorang yang pemaaf dan tak pernah dendam. 'Allah aja Maha Pemaaf bagi semua makhluk-Nya, lalu kenapa kita yang hanya orang biasa, tak mau memaafkan sesama,' kalimat nasihat itu kembali terbayang di kepala Arkan.Tak hanya nasihat yang selalu mereka ucapkan, namun juga keinginan mereka berdua sebelum pergi. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka ingin pergi ke taman berdua, tanpa mengajak dirinya karena belum waktunya.Kini, ia paham, bahwa yang di maksud taman, bukanlah 'taman' yang sebenarnya, melainkan alam lain."Ar
Tante Adel membelai lembut lengan Andri, memberi sedikit ruang agar Andri mau menceritakan sedikit masalahnya yang mungkin 'sedikit menyesakkan dada'."Tante, apa mungkin aku bisa dapat keajaiban seperti yang Tante alami?" tanya Andri lirih."Apa ada sesuatu yang ngeganjal hati kamu, Ndri? Mau cerita? Tante siap mendengarkan kok," lirih Tante Adel dengan senyum yang begitu lembut.Andri menghela napas pelan, berusaha menetralkan deru napasnya yang merasa sedikit sesak."Sebelum nikah kemarin Andri pernah melakukan tes kesuburan, dan hasilnya Andri gak subur. Itu berarti Andri mandul kan?" tanya Andri lirih.Tante Adel menatap Andri dengan raut wajah yang sedikit syok dan kaget. Namun, dalam sepersekian detik, akhirnya ia bisa mengendalikan keterkejutan itu."Mas Arkan adalah anak tunggal, jika aku gak bisa ngasih dia anak, itu berarti dia gak akan punya keturunan kan, Tan?" tanya Andri, matanya sudah mulai berkaca-kaca saat mengucapkan kalimat itu.Tante Adel menghela napas panjang, l
Oom Nathan menatap Arsy dengan sorot mata yang tegas namun lembut. "Arsy, hidup ini memang gak pernah mudah. Kadang, kita harus berhadapan dengan kenyataan yang pahit, tapi bukan berarti kita gak boleh mencoba. Oom tahu berat buat kamu nerima semua ini, tapi Agra ... dia layak diberi kesempatan."Arsy menggeleng lemah, air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya.Suara roda koper yang berbenturan dengan lantai terdengar sedikit menggema hingga ke ruang tamu. Oom Nathan melirik sejenak ke arah tangga dan nampak kedua orang tua Arsy tengah menuruni anak tangga disana.Oom Nathan menghela napas panjang dan tertunduk sebentar."Arsy, Oom harap kamu akan lebih bijak dalam mengambil keputusan ini. Pikirkan semuanya baik-baik. Jangan ambil keputusan saat kamu sedang marah atau kecewa, karena takut hasilnya tak sesuai ekspektasi," nasihat Oom Nathan kembali.Arsy hanya mengangguk lemah, entahlah, untuk saat ini pikirannya nampak kacau dan berkecamuk, ia sama sekali tak bisa berpikir deng
Arsy terdiam, ia menghela napas yang terasa sedikit berat. Ia kembali memejamkan matanya, mencoba untuk tidur saja. Namun sayangnya, kata-kata Pak Maman malah semakin bergema di kepalanya. Berputar-putar membuat kepalanya terasa lebih pening.Ia paham, sekuat apa pun ia mencoba mengabaikannya, kenyataannya tetap seperti itu adanya. Ia akan tetap menjadi istri dari Agra, karena Agra telah menitipkan benihnya di dalam perutnya.Ia kembali membuka matanya dan menatap ke arah depan."Tapi, Pak, jika saya boleh jujur ... sebenernya, sekarang saya juga sedikit ragu untuk menikah dengannya," ujar Arsy pelan, suaranya nyaris tenggelam.Pak Maman melirik melalui kaca spion. Wajah Arsy terlihat lelah, namun matanya menyiratkan kebimbangan yang mendalam. "Apa karena masalah dengan Den Arkan? Apa, Non, sudah tau masalah mereka berdua?" tanya Pak Maman hati-hati.Arsy hanya mengangguk pelan, sementara Pak Maman nampak menghembuskan napasnya berat."Saya paham. Mungkin, gak mudah buat Non nerima s
Setelah menuntaskan hasratnya, Andri kembali tertidur. Mungkin ia sedikit kelelahan karena permainan mereka kali ini terasa lebih panas dan juga bergairah.Sepertinya, benar kata orang, apapun masalah yang terjadi dalam rumah tangga, ranjang adalah tempat mereka kembali menemukan suatu kedamaian.Melihat sang istri yang nampak begitu terlelap, Arkan pun ikut tertidur sebentar. Siapa tau, setelah beristirahat pikirannya bisa lebih fress dan juga lebih tenang.Namun, tidur Arkan tidak lah lama, hanya sekitar tiga puluh menit saja, karena ponselnya terus berdering menandakan panggilan.Arkan terpaksa bangun untuk mengambil ponselnya. Di layar sana, nama 'Sinta' tertera dengan jelas.Arkan segera mengangkat telponnya dan tak lama Sinta nampak marah-marah dari sebrang sana.["Bapak tuh kenapa sih? Kenapa harus nggak masuk? Bapak nggak tahu apa kalau ada banyak laporan yang perlu di tandatangani dan di cek?"] omel Sinta panjang lebar."Ck! Saya jadi heran, sebenernya disini yang bosnya kamu
"Kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan itu, Dek?" tanya Arkan masih belum percaya sepenuhnya kepada sang istri.Andri tersenyum lembut, ia tahu, tak mudah bagi Arkan untuk kehilangan semuanya. Ia pernah kehilangan kedua orangtuanya, kehilangan sedikit ingatan dan juga mentalnya, dan kali ini ia kembali di hadapkan dengan sesuatu yang mungkin sedikit sulit ia terima, dan Andri paham akan semua itu.Andri kembali membelai lengan sang suami, dan tersenyum lembut. Ia mengecup pelan pipi Arkan sebentar lalu kembali masuk ke dalam pelikan lelakinya."Mas, jangan pernah merasa sendiri lagi sekarang. Kamu punya aku sekarang, Mas," lirih Andri pelan seraya keluar dari pelukan suaminya."Aku memang hanya orang baru yang kebetulan datang di dalam hidupmu. Tapi aku, aku nggak akan membiarkanmu menghadapi semuanya sendiri kembali, Mas. Aku akan selalu ada di sampingmu dalam suka maupun duka mu," ujar Andri kembali.Arkan menarik napas dalam, lalu mencium pucuk kepala istrinya. "Terimakasih suda
Sekan terdiam dan terpaku mendengar jawaban yang terlontar dari mulut istrinya itu. Andri melangkah lebih dahulu ke gazebo halaman belakang, lalu menepuk pinggiran yang masih kosong.Arkan mengerti apa yang dimaksud istrinya. Ia pun segera melangkah dan duduk bersama wanitanya itu."Apa yang sebenernya terjadi, Mas? Dari semalam kamu selalu bertanya seperti itu? Apa yang kamu sembunyikan sebenernya, Mas?" tanya Andri bertubi-tubi.Arkan menunduk sebentar, memainkan jari jemarinya, seolah menguatkan hatinya dahulu sebelum akhirnya ia bercerita kepada sang istri.Andri menunggunya dengan sabar, membelai lembut lengan sang suami seolah memberinya sedikit ketenangan.Arkan mengangkat wajahnya, menatap wajah wanita didepannya yang terlihat begitu kuat dan juga tegar."Aku ... Kevin kemarin ngancem aku, Dek," ucap Arkan pada akhirnya."Kevin? Apa ancaman Kevin ke kamu, Mas?" tanya Andri penasaran.Arkan pun lalu menceritakan tentang telpon Kevin kemarin di kantor. Tentang ancamannya dan jug
"Mas, gua mau nanya sesuatu sama lu. Tapi, janji ya jangan diketawain," ucap Arkan tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka berdua.Agra mengernyitkan dahinya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Ada apa?" tanyanya datar."Gimana kalau misalnya lu di suruh milih antara dua hal sesuatu yang sulit?" tanya Arkan kembali."Apa dulu sesuatunya itu?" tanya Agra balik, suaranya terdengar santai dan juga datar.Arkan kembali menatap langit malam yang begitu terang. Ia menghembuskan napasnya pelan sebelum akhirnya ia kembali berbicara."Kalau misalnya lu disuruh milih antara wanita yang lu cintai sama perusahan yang udah dibangun susah payah sama ortu lu, lu bakal milih mana?" tanya Arkan ambigu.Agra memiringkan kepalanya untuk melihat raut wajah Arkan. Wajahnya terlihat menyimpan suatu beban yang begitu berat sepertinya."Siapa saingan gua yang mau ngerebut Andri dari lu? Emang ada? Wah, nggak bisa dibiarin ini. Harusnya, saingan lu dalam merebut Andri cuma gua aja," ujar Agra sambil terke
"Nggak apa-apa kok, Dek. Mas cuma mau nanya doang," ucap Arkan sambil tersenyum masam.Andri menghembuskan napas panjang, lalu mengecup pelan pipi sang suami."Yakin cuma nanya doang? Nggak ada yang lain?" tanya Andri mulai curiga.Arkan kembali menggelengkan kepalanya pelan. Namun sepertinya Andri mulai cukup peka terhadap apa yang terjadi dengan suaminya.Dengan lembut ia mulai mengambil lengan Arkan dan membelainya dengan mesra."Apapun yang terjadi, aku akan mencintaimu, Mas. Aku akan selalu bersama denganmu dalam suka dan duka. Aku tak masalah hidup susah ataupun jatuh miskin," ucap Andri pelan."Mas, asal kamu tahu, aku sudah terbiasa hidup susah. Jadi, kamu nggak perlu khawatirkan aku. Justru, aku yang harus khawatirin kamu, sanggup atau nggak? Asal kamu tau, Mas, bahkan dulu sehari cuma makan sekali saja aku pernah merasakannya. Kamu tenang saja, Mas, jika hanya harta dunia, kita bisa cari bersama-sama. Kita akan kerja sama-sama untuk kembali mengembalikan keadaan," ucapnya pe
Arkan masih terdiam di mejanya. Kepalanya ia tangkupkan ke atas meja, seolah ia tiduran disana. Kepalanya sedikit pening sekarang. Keputusan apa yang harus ia ambil kini, semuanya terasa begitu berat.Dalam lamunannya, tiba-tiba belaian lembut hinggap di punggungnya. Arkan mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum tenang, meskipun sorot matanya masih menyimpan badai.Nampak Andri disana dengan wajah teduhnya."Mas, ada apa? Siapa yang telpon?" tanya Andri lembut, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran."Nggak ada apa-apa, Dek. Hanya telpon iseng yang mencoba menguji kesabaranku," ucap Arkan dengan tenang.Andri mengernyitkan dahinya. Tentu saja ia tak percaya begitu saja. Tak mungkin ada apa-apa, wajah Arkan tidak bisa bohong jika ia memendam suatu masalah yang besar.Andri menghela napas pelan, lalu kembali membelai lembut pundak sang suami, "Kalau Mas sudah siap cerita, cerita aja, ya. Adek akan selalu siap untuk denger semua keluh kesah Mas," ucap Andri sambil tersenyum.Arkan mengangg
Arkan meremas ponselnya begitu kuat hingga terasa seolah benda itu bisa hancur di tangannya. Suara Kevin masih terdengar di seberang, santai namun penuh ancaman."Apa yang sebenernya kamu mau, Kevin? Apakah apa yang selama ini aku lakukan untuk kamu kurang?" tanya Arkan penuh penekanan.Tawa Kevin nampak menggema dari ujung telpon sana.["Tentu saja aku menginginkan wanitamu, Arkan. Apa kau bodoh? Atau pura-pura bodoh?"] tanya Kevin penuh ancaman.Arkan terdiam sejenak, menarik napasnya dalam-dalam berusaha menenangkan dirinya. Jangan sampai, ucapannya membangunkan Andri yang nampak terlelap di atas sofa sana."Aku tak akan pernah membiarkan kamu merebut Andri dari aku. Apa kurang kemarin Lili untuk kamu? Kamu sendiri yang menyia-nyiakan Lili begitu saja," ucap Arkan tak mau kalah.["Kamu salah, Arkan! Lili tak pernah bersyukur dengan apa yang selama ini aku berikan padanya. Dia selalu merasa kurang dengan nafkah yang aku berikan,"] ucap Kevin dari sana.Arkan kembali memijat pelan pe
Andri masih terdiam dipangkuan Arkan. Rasanya, akan ada badai besar kembali yang menghadang rumah tangga mereka."Mas, sebenernya, itu surat dari siapa?" tanya Andri penasaran sambil membelai lembut kemeja sang suami.Arkan hanya tersenyum lalu membelai lembut pucuk kepala sang istri."Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang iri sama hubungan kita aja, Dek," ujar Arkan pelan.Namun, Andri masih tak percaya. Ia segera melerai pelukannya. Lalu bangkit dari pangkuan sang suami.Ia duduk di atas mejanya, sehingga posisi duduknya kini berhadapan dengan Arkan."Mas ...," panggil Andri lirih.Arkan hanya menyunggingkan sedikit senyumnya lalu menarik wajah sang istri. Ia mengecup pelan bibir istrinya yang menggoda itu.Awalnya, hanya kecupan pelan, namun makin lama, ia makin tergoda. Apalagi, Andri begitu seksi meskipun memakai celana panjang dan kaos yang sedikit kebesaran."Mas, nggak ada pintu merah tah di sini?" tanya Andri yang hampir terbakar birahi.Arkan menggeleng. Ia tak tahu, kare
Andri menyesap cola yang tinggal separuh, sambil memakan kripik kentang yang rasanya terasa sedikit hambar. Padahal, biasanya, ia sangat suka kripik kentang ini. Tapi entah mengapa, kali ini rasanya begitu hambar, mungkin karena memang perasaannya juga sedang tak enak.Sesekali, ia mencuri pandang ke arah sang suami yang masih fokus dengan layar laptopnya. Diagram dan deretan angka di layar itu, sepertinya lebih menarik perhatian Arkan dibanding dengan kehadiran istrinya saat itu.Tak lama, pintu ruangan Arkan pun di ketuk oleh seseorang. Setelah mempersilahkan masuk, Sinta datang membawa beberapa berkas di tangannya."Apa lagi ini?" tanya Arkan sambil memijat pelan pelipisnya begitu tumpakan kertas itu di taruh Sinta."Laporan bulanan. Waktunya tanda tangan. Bapak nggak lupa kan sekarang tanggal 20?" tanya Sinta balik.Arkan mendengus kesal, ia melirik sekilas ke arah sang istri yang tengah anteng menonton serial Desa Konoha itu di layar televisinya."Nggak bisa besok, kah?" tanya Ar