Arsy terdiam, ia menghela napas yang terasa sedikit berat. Ia kembali memejamkan matanya, mencoba untuk tidur saja. Namun sayangnya, kata-kata Pak Maman malah semakin bergema di kepalanya. Berputar-putar membuat kepalanya terasa lebih pening.Ia paham, sekuat apa pun ia mencoba mengabaikannya, kenyataannya tetap seperti itu adanya. Ia akan tetap menjadi istri dari Agra, karena Agra telah menitipkan benihnya di dalam perutnya.Ia kembali membuka matanya dan menatap ke arah depan."Tapi, Pak, jika saya boleh jujur ... sebenernya, sekarang saya juga sedikit ragu untuk menikah dengannya," ujar Arsy pelan, suaranya nyaris tenggelam.Pak Maman melirik melalui kaca spion. Wajah Arsy terlihat lelah, namun matanya menyiratkan kebimbangan yang mendalam. "Apa karena masalah dengan Den Arkan? Apa, Non, sudah tau masalah mereka berdua?" tanya Pak Maman hati-hati.Arsy hanya mengangguk pelan, sementara Pak Maman nampak menghembuskan napasnya berat."Saya paham. Mungkin, gak mudah buat Non nerima s
Malam mulai menyapa, Andri dan Arkan tampak betah berada di rumah itu. Rumah yang penuh kenangan baginya, sehingga membuat mereka seolah kembali ke masa lalu, mengingat momen-momen sederhana yang pernah ia lalui.Sekitar pukul 20.00 WIB, saat sedang asyik bercengkrama di ruang keluarga sambil menonton Tv, Yudha dan kekasihnya pulang entah dari mana dan membawa banyak tentengan."Yuhuuu, Tante, Oom, ayok kita barbaque-an," ujar Naima--Kekasih Yudha saat keduanya tiba."Eh, ada Mas Arkan dan Mbak Andri juga tah? Udah lama disini, Mas, Mbak?" tanya Yudha ramah seraya menyalami mereka berempat."Lumayan, dari tadi sore. Cie, adek gua sekarang udah gede, udah ngerti pacaran nih yee," goda Arkan kepada sang adik.Yudha hanya tertawa pelan mendengar ledekan itu, sementara Naima nampak salah tingkah dibuatnya."Ah iya, tadi kamu bilang apa? Barbeque-an? Ayo, gas, dimana?" tanya Arkan mengalihkan pembicaraannya dengan nada yang penuh semangat."Iya, Mas. Mama tadi WeA katanya pingin barbeque-
"Tante, boleh ya?" rajuk Naima lagi, kali ini suaranya terdengar lebih memelas dari sebelumnya.Tante Adel menghela napas panjang. Wajahnya memancarkan keraguan, sementara matanya diam-diam melirik ke arah Oom Wisnu, seolah meminta jawaban tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.Oom Wisnu balas menatapnya, memahami kegelisahan yang tersirat. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Akhirnya, Oom Wisnu mengangguk perlahan, memberi tanda persetujuan."Kasih aja, Ma, udah malem juga.Tapi, harus kamu yang ijin sama orang tuanya Naima jangan Yudha," ujar Oom Wisnu pada akhirnya.Tante Adel tersenyum tipis, meski rasa ragu belum sepenuhnya hilang."Ya udah, karena udah dapet ijin dari Papanya Yuda, kamu boleh nginep disini. Tapi ... inget, kamu tidur sama Tante di kamar utama, dan gak boleh ada di kamar Yudha, paham?" tanyanya Tante Adel akhirnya.Mendengar ucapan itu, raut wajah Naima yang tadi sempat sayu pun kembali berbinar."Makasih, Tante. Tante emang pengertian banget," jawab Naim
Yudha kembali menghisap rokoknya dan menawarkan kepada Arkan di sana."Mas nggak ngerokok, Yud. Lah, tadi kamu kenapa pindah ngerokoknya?" tanya Arkan penasaran."Tadi ada Mama di sini. Kasian dede bayi kalau misalnya ada asep rokok," jawab Yudha.Arkan hanya mengangguk lalu kembali memanggang beberapa potong daging di atas sana. Suara bara yang terkena lelehan minyak kembali terdengar membuat malam itu kembali hangat.Keheningan pun akhirnya pecah karena getaran ponsel Yudha yang sedikit mengganggu. Yudha melihat siapa yang menelponnya dan langsung berdecak kesal.Tak ingin terlalu lama bergetar,ia pun segera mengangkat panggilan telpon itu."Jangan hubungin aku sekarang. Naima nginep di rumah," bisik Yudha setengah berbisik.[ ... ]"Gak usah ngadi-ngadi deh!" gerutu Yudha seraya menutup telponnya dan melemparnya ke sembarang arah.Yudha menghisap rokoknya kuat-kuat berusaha meredakan amarah yang sepertinya bergejolak di dadanya."Punya cewek lagi, Yud?" tanya Arkan sedikit penasar
Andri menggelengkan kepalanya pelan, lalu menatap lurus ke depan.Sekelebat bayangan masa lalu kembali berputar, bagai proyektor yang mereply film itu.Andri menghembuskan napasnya lalu menggeleng pelan."Kita tidur aja, yuk. Udah malem," ajak Andri mengalihkan pembicaraannya.Naima menggeleng pelan, bibirnya nampak mengerucut karena Andri tak jadi cerita."Mbak mah, ih, bikin aku kepo aja," gerutu Naima kembali.Andri hanya terkekeh pelan lalu mengacak rambut sang adik dan memilih untuk merebahkan dirinya saja."Mbakk," rajuk Naima sambil menggoyangkan lengan Andri Namun, Andri tetap menggeleng, dan memilih untuk memejamkan matanya saja.Melihat itu, Naima kembali cemberut, rasanya ia belum ngantuk, tapi mau bagaimana lagi, Andri dan juga Tante Adel sudah terlelap lebih dahulu.***Keesokan paginya, Andri terpaksa bangun karena guncangan yang cukup keras di tubuhnya."Andri, bangun, Ndri," ujar Tante Adel dengan nada panik.Dengan kepala yang sedikit terasa berdenyut, akhirnya Andri
Andri dan Naima berteriak sambil mundur dua langkah. Dan saat keduanya berbalik dan hendak lari, tiba-tiba tangan Andri terasa ada yang mencengkram dengan kuat."Aaa, Naima tolong!" ujar Andri panik dan tak lama ...Bugh!"Berisik banget sih, Dek! Kamu ngapain sih?!" seru seseorang yang tak lain adalah Arkan sambil memukul kepala Andri menggunakan sejadah kecil."Ma -- Mas Arkan?" tanya Andri, suaranya sedikit bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.Andri dan Naima perlahan berbalik, memastikan suara itu benar-benar milik Arkan atau bukan.Dan benar, Arkan berdiri dengan alis terangkat dan ekspresi bingung campur kesal. Sementara di belakangnya, nampak Oom Wisnu yang berdiri sambil menahan tawa. Wajah pria paruh baya itu tampak terkekeh geli melihat situasi yang entah kenapa terlihat sedikit lucu baginya."Mas Arkan dari mana?" tanya Naima kali ini dan mendapat anggukan dari Andri.Kedua wanita itu masih sedikit syok sambil berpegangan tangan seolah masih takut denga
Sekitar pukul 10.00 WIB, Andri dan Arkan telah bersiap untuk pergi ke rumah Oom Wisnu, tinggal menunggu kapan Oom Wisnu akan berangkat saja."Mas, ini gak masalah kalau misalnya kita langsung pergi? Aku gak enak sama Tante Adel, soalnya di rumah gak ngapa-ngapain. Dari tadi subuh, aku langsung masuk kamar, terus baru keluar tadi jam 9an," ucap Andri tak enak hati.Arkan menggeleng pelan lalu membelai lembut rambut sang istri, "nggak apa, Dek. Namanya juga tamu, pasti dia maklumin kalau misalnya kamu nggak ngapa-ngapain," ujarnya berusaha menenangkan gemuruh di hati Andri.Andri mendengus pelan, perasaannya masih tetap sama, ia tak enak karena dia tidak melakukan apapun di rumah itu.Tak ingin berdebat dengan Arkan, ia pun memilih untuk keluar dari kamar itu duluan, meninggalkan Arkan yang masih sibuk untuk berkemas.Begitu keluar kamar, suasana disana nampak sepi, hanya terdengar suara televisi yang menampilkan animasi si botak dari negri sebrang saja.Andri celingukan mencari siapa y
Saking asyiknya mereka bercengkrama, hingga tanpa sadar mereka pun sudah tiba di daerah tempat tinggal Oom Wisnu."Oom, ini kavling-nya yang mana ya? Arkan lupa," ujar Arkan sambil tersenyum samar.Oom Wisnu tertawa pelan, ternyata, keponakannya itu sudah lupa jalan kerumahnya."Masih di depan, Kan. Nanti perempatan belok kiri, gak jauh dari situ," ujar Oom Wisnu memberi petunjuk.Arkan hanya manggut-manggut sambil memelankan laju mobilnya. Kawasan ini sedikit sempit, hanya cukup untuk dua mobil saja, mana di beberapa ruas jalan nampak mobil terparkir sembarangan juga."Ck, kalau gak mampu beli garasi, setidaknya mbok gak usah beli mobil kek. Emang, ini jalanan mbahmu yang bisa di jadiin parkiran," gerutu Arkan sedikit sebal.Oom Wisnu tak menanggapi gerutuan itu, hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya pelan. Memang benar, kesadaran disini masih sedikit tipis, jika malam tiba, maka sisi jalan sebelah kiri akan berisi banyak mobil, membuat jalanan yang sempit semakin sempit saja.
Keesokan paginya, Andri sudah bangun lebih dulu karena rasa mual yang begitu mendera. Tubuhnya mulai sedikit limbung, namun ia memaksakan diri untuk berdiri dan melangkah ke kamar mandi.Sementara Arkan, masih terlelap di kasurnya. Tangannya mulai meraba, antara sadar dan setengah sadar, ia mencari sang istri di sana. Namun sayangnya, kosong."Adek!" seru Arkan refleks langsung bangun.Ia melihat ke samping. Andri tak ada di sampingnya. Kemanakah perginya wanita itu? Apa ke kamar mandi?Buru-buru ia pun bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju dapur. Dan benar saja, Andri berada di sana tengah memuntahkan apa yang ada diperutnya.Dengan telaten, ia pun memijat tengkuk sang istri agar merasa lebih baik."Masih mual, Dek?" tanya Arkan begitu Andri menyelesaikan muntahnya.Andri menggeleng pelan, lalu mencuci mukanya. Sementara Arkan dengan sigap segera mengambil handuk dan membantu sang istri untuk membersihkan wajahnya."Adek mau bikin teh? Atau mau susu? Biar Mas bikinin," tawar Arka
USG pun akhirnya telah selesai dilakukan."Sekali lagi, selamat ya Bu Andri atas kehamilannya, jaga kandungannya baik-baik dan jangan sampai stress atau terlalu lelah. Kehamilan dengan janin kembar, biasanya menguras lebih banyak emosi," ucap Dokter Agung mengingatkan.Setelah itu, ia pun mengalihkan pandangannya kepada Arkan."Nah untuk Pak Arkan, tolong di jaga ya istrinya. Istri yang lagi hamil itu biasanya suka moody-an. Jadi, sabarnya harus dipertebal lagi. Emosinya harus dijaga lagi biar istrinya nggak merasa stress ataupun terabaikan," nasihat sang dokter.Arkan mengangguk mantap. "Insyaallah, Dok. Ah iya ada pantangan atau apa yang perlu dihindari, Dok?" tanya Arkan."Hindari makan daging yang masih setengah matang, dan kurangi makanan junk food. Jika setiap makan mual, bisa di coba dengan mengemil roti ataupun minum jus," jawab sang dokter.Arkan mengangguk mantap. Sesi konsultasi pun akhirnya selesai. Satu bulan lagi, Andri pun diminta untuk kembali ke rumah sakit, selain un
"Ma--maksudnya, Dok?" tanya Andri sedikit bingung.Sang dokter tak langsung menjawab. Ia masih memeriksa data yang ada di komputernya setelah beberapa saat, ia menghela napas berat, dan menatap keduanya dengan ekspresi yang cukup serius."Saya tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu kepada Anda, tapi berdasarkan hasil pemeriksaan lima tahun lalu, rahim Anda dalam kondisi sehat. Tidak ada indikasi masalah yang bisa menyebabkan kesulitan hamil."Mata Andri membesar. "Tapi… waktu itu saya diberi tahu kalau saya kemungkinan besar tidak bisa hamil, Dok. Saya…" Suaranya bergetar.Arkan langsung menenangkan istrinya, tapi di dalam hatinya, kemarahan mulai muncul. Jika benar tidak ada masalah di rahim Andri, lalu siapa yang dulu memberi informasi yang salah? Dan untuk apa?Dokter menatap mereka dengan lembut. "Saya paham ini membingungkan. Tapi sekarang, yang terpenting adalah kabar baiknya. Hasil tespek anda menunjukkan bahwa anda tengah hamil. Bagaimana jika kita cek melalui USG untuk lebi
"Sans, Ar, gua ke sini cuma mau nanya kabar lu doang, kok," ucap lelaki itu sambil tersenyum smirk.Andri yang memang tak mengetahui permasalahan apa yang dihadapi kedua lelaki itu memilih untuk kembali fokus ke abang telur gulung tadi."Jadi, berapa semuanya, Bang?" tanya Andri dengan senyum riang."Dua puluh ribu, Mbak," jawab si penjual.Andri lalu menyerahkan selembar uang berwarna hijau kepada penjual itu, dan melangkah santai menuju gerobak lumpia basah.Arkan yang melihat Andri pergi, hanya berdecak kesal melihat kelakuannya itu."Ada apa? Gua tau lu bukan tipe orang yang suka basa basi, Vin," ucap Arkan ketus.Ya, lelaki itu adalah Kevin sahabat serta musuhnya lima tahun lalu. Setelah melepaskan Dirgantara kepada Kevin, Arkan memilih kembali fokus mengurus Amira Corp sendiri. Lalu, bagaimana dengan Oom Wisnu?Sejak kejadian itu, Oom Wisnu memutuskan untuk membuka perusahaan sendiri. Tidak, lebih tepatnya usaha sendiri. Ia membuat beberapa ruko dan juga kontrakan dari uang hasi
Andri dan Arkan nampak saling pandang, sementara Agra segera menepuk pelan lengan sang istri.Ya, wanita itu adalah Arsy, adik dari Andri.Arsy yang sadar mendapat teguran halus seperti itu langsung menundukkan kepalanya."Ma--maaf, Mba," ucap Arsy sedikit menyesal.Andri hanya tersenyum, lalu segera memeluk tubuh adiknya."Doain ya, Dek. Bismilah semoga beneran," ucapnya lirih."Amin ya Allah," ucap Arsy dengan lantang."Kalau misalnya Mbak beneran hamil, Arsy mau nunda kehamilan, biar bisa ngerawat anaknya Mbak dulu, kek dulu Mbak ngerawat Humai," ucapnya kembali namun langsung mendapat cubitan dari Andri."Nggak boleh, gitu! Mbak nggak suka cara ngomong kamu! Anak itu rejeki, kalau dikasih jangan di tolak. Kamu nggak liat perjuangan Mbak mu ini, sampe lima tahun belum di kasih juga," ucap Andri sambil berdecak kesal.Arsy memanyunkan bibirnya, "salah lagi aja aku," gerutunya dan langsung mendapat tawaan dari mereka semua.Setelah berbasa-basi sebentar, Andri dan Arkan pun pamit pul
Tiga buat tespek bergaris dua.Yang menandakan bahwa saat itu Andri sedang hamil.Arkan masih terdiam, berusaha mencerna semua itu. Ia mengambil salah satu tespek itu dan memberikannya kepada Andri "I -- ini, beneran, Dek?" tanya Arkan dengan raut wajah yang tak percaya.Andri mengangguk lemah, lalu segera membelai perutnya."Cuma, aku nggak tau dia udah berapa lama. Catatan haidku udah hilang," lirih Andri dengan sendu.Ia kemudian mengambil ponselnya dan menyerahkannya kepada Arkan."Hari ini, aku udah daftar ke rumah sakit tempat aku sama Mas Agra dulu ngelakuin tes kesuburan. Beruntung, dokter yang dulu nanganin aku juga masih ada," ucap Andri memberitahu."Jadi ... kamu ke sini mau ngajak aku buat periksa dede gitu?" tanya Arkan seraya membelai lembut perut sang istri.Andri hanya mengangguk seolah membenarkan ucapan Arkan.Arkan menelan ludah. Lengannya masih bertumpu pada perut sang istri. Seolah tengah menyapa kehidupan baru di sana."Terus ... jadwalnya kapan, Dek?" tanya Ar
Andri membuka pintu ruangan Arkan dengan kasar, membuat suara dentuman keras yang menggema di dalam. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun, sementara matanya menyapu tajam ke sekeliling ruangan."Mas Arkan! Kamu sama siapa di dalam?!" teriaknya lantang, suaranya penuh tuduhan.Arkan yang saat itu tengah asyik mainan mobilan di dekat mejanya, sontak langsung terkesiap. Ia segera melepas mainannya dan berdiri. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bingung dengan kehadiran sang istri yang tiba-tiba dan penuh emosi."Mas Arkan!" seru Andri sekali lagi, kali ini dengan lebih keras.Arkan menghela napas pelan. "Ada apa, Dek? Kok kamu ke sini nggak bilang-bilang?" tanyanya, suaranya tetap tenang.Andri melangkah maju, mendekatinya dengan sorot mata tajam. "Kalau aku bilang-bilang, aku nggak akan tahu kalau kamu selingkuh! Hayo, ngaku, kamu pasti lagi selingkuh kan di dalam?!" cecarnya penuh amarah.Arkan mengernyitkan dahi, berusaha memahami maksud istrinya. Ia bermaksud mengambil lengan
Dua bulan berlalu setelah pertemuan tak sengaja antara Agra dan Arsy di rumah Andri, ternyata membawa sebuah kebahagiaan tersendiri bagi keluarga mereka.Agra dan Arsy pun akhirnya menyelenggarakan pernikahan mewah mereka yang kemarin sempat tertunda karena Arsy yang menghilang.Semua keluarga, sahabat dan juga kolega bisnis mereka, turut hadir, menyaksikan pernikahan yang telah lama dinantikan itu.Gosip-gosip yang bilang bahwa Agra menganut "kaum pelangi" pun seketika menguap begitu saja, saat mengetahui bahwa Agra menikah dengan seorang wanita bahkan telah memiliki anak yang wajahnya begitu mirip dirinya.Kini, saat semuanya tengah berkumpul di ruang keluarga kediaman Kakek Gala, Agra pun segera membicarakan rencananya untuk berbulan madu."Humai, lu ajak, Mas?" tanya Arkan yang saat itu tengah menggendong Humai sambil memainkan salah satu mobilan miliknya."Ajak, lah! Masa iya gua tinggal dia sendirian di sini," ucap Agra sambil tersenyum."Elah, kalian bulan madu berdua aja. Biar
Arkan membelai lembut punggung Humai, berusaha menenangkan sang anak yang ketakutan."Humai, itu Papa, Nak," ucap Arsy pada akhirnya.Humai mendongak, menatap wajah Arsy dan Agra bergantian."Papa?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.Arsy mengangguk mantap, lalu segera mengambil Humai dari gendongan Arkan."Iya, Oom ini adalah Papa kamu. Papa kandung kamu," ucap Arsy kembali.Humai sedikit terkejut. Ia menatap Agra ragu-ragu, seolah mencari kebenaran dalam sorot mata pria itu. Agra sendiri tampak membeku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Arkan dan Andri saling pandang sebentar, dan keduanya seolah menahan napas bersama. Situasi ini sedikit sulit, namun cepat atau lambat, semua pasti akan terjadi."Papa?" ulang Humai dengan suara lebih lirih. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena takut—melainkan kebingungan.Agra, yang sejak tadi diam, akhirnya berlutut di depan Humai, berusaha menyamakan tinggi mereka. "Iya, Nak," ucapnya, suaranya bergetar. "Papa di sini."Humai menggigit bibir