Agra bangkit, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya dan tertawa pelan.
"Haha, bocah idiot sepertimu mana bisa melindungi dia? Melindungi diri sendiri saja sepertinya tak akan mampu," ledek Agra.Arkan berdiri tegak, otaknya berpikir cepat, apa iya begitu? Tapi melihat darah yang keluar dari sudut bibir Agra, nalurinya seakan mengatakan bahwa itu tidak benar.“Tak peduli aku bisa melindungi diriku sendiri atau tidak. Yang pasti, jika kau menyentuh apa yang telah menjadi milikku, aku tak akan tinggal diam!" sentak Arkan."Aku pernah kehilangan orangtuaku dan juga kewarasanku karena kelakuan kamu. Dan saat ini, aku tak akan lagi mentolerir kelakuanmu, Mas!" ucap Arkan kembali.Tanpa membuang waktu, mereka kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Suara pukulan dan desahan napas berat memenuhi ruangan.Andri berdiri ketakutan di depan pintu kamarnya. Namun, pandangannya tertuju pada Arkan yang tak menyerah, meskipun Agra menAndri segera menghampiri Arkan dan langsung memeluknya."Mas, ada apa?" tanya Andri lembut.Arkan hanya menunjuk ke arah tangga, darah pun nampak menetes dari telapak tangannya."Ya Allah, tangan kamu berdarah, Mas. Kita ke kamar dulu yuk, bersihin lukamu," ucap Andri kembali.Arkan hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia masih tetap saja duduk terpaku sambil menatap pilu ke arah tangga."Mas Agra jatuh, dia kek bola, gelinding ke bawah tangga. Terus, Om Nathan teriak manggil namanya dan lari," ucap Arkan dengan suara yang sedikit serak seperti anak kecil yang nampak syok.Mata Andri membola, sepertinya ia sadar apa yang terjadi. Ia pun lalu merangkul tubuh suaminya, dan memintanya untuk berdiri."Kita ke kamar ya, Mas," bujuk Andri kembali.Kali ini, Arkan nampak mengangguk dan menurut pada sang istri."Pelan-pelan jalannya, Mas. Banyak pecahan kaca, takut kaki kamu kena," ucap Andri memberi peringatan.Arkan hanya mengangguk patuh, seperti layaknya anak kecil yang ketakutan karena t
Setelah beberapa saat, akhirnya Arkan pun bisa lebih tenang. Andri pun membelai lembut rambut sang suami, sambil tetap memeluknya erat tanpa sedikitpun berniat untuk melepasnya.Perlahan, Arkan menurunkan lengannya yang tadi menutupi telinga, lalu balas memeluk tubuh istrinya dengan erat."Andri, aku takut," ucap Arkan dengan suara yang bergetar."Jangan takut, Mas. Ada adek di sini," balas Andri lembut.Ini adalah pertama kalinya Arkan memanggil dirinya dengan nama kembali. Setelah membuat surat perjanjian itu, keduanya sudah sepakat menggunakan panggilan 'Mas dan Adek' untuk saling menyapa.Arkan masih saja tergugu, bahkan Andri dapat merasakan ada kehangatan yang merembes di belakang punggungnya. Ternyata, itu adalah air mata Arkan yang tak bisa lagi ia tahan.Andri akhirnya melonggarkan pelukan mereka. Benar saja, mata Arkan tampak basah oleh tangis. Dengan lembut, Andri menghapus air mata itu dan mengecup kedua pipinya perlahan. Wajah Arkan langsung merona merah. Perlakuan mani
Permainan keduanya berakhir bersamaan dengan keluarnya cairan kenikmatan dan lenguhan panjang yang keluar dari mulut mereka berdua.Setelah itu, tubuh Arkan pun langsung ambruk di atas tubuh sang istri.Andri sudah memejamkan matanya duluan karena kelelahan setelah meneguk kenikmatan surga dunia bersama sang suami. Sementara Arkan, sekuat tenaga menarik tubuhnya agar tak menimpa tubuh sang istri."Makasih ya, Dek. Enak banget," lirih Arkan dengan suara yang lemah."Sama-sama, Mas. Sekarang kita bobok yuk," ajak Andri dan mendapat anggukan dari Arkan.***Lantunan ayat suci Alquran sayup-sayup terdengar dari masjid dekat rumah Kakek Gala, menandakan bahwa hari sudah mulai mendekati fajar.Andri mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha agar segera bangun dari tidurnya. Dan saat, matanya terbuka sempurna ia sedikit kaget melihat sebuah tangan kekar melingkar di area perutnya.Tak hanya itu, ia pun baru tersadar bahwa dirinya tak mengenakan apapun malam itu. Hanya tubuh polos yang tert
Setelah selesai mandi, Arkan pun kembali menggendong Andri hingga tempat tidurnya. Ia masih tak tega untuk membiarkan istrinya itu berjalan karena takut masih sakit."Mas, biar Adek yang siapin bajunya aja," ucap Andri lembut."Emang kamu udah gak sakit lagi, Dek?" tanya Arkan ragu.Andri tersenyum lalu mengangguk pelan."Insyallah udah gak terlalu sakit kok, Mas. Lagi pula, perbanmu basah, harus segera di ganti. Takutnya kalau gak buru-buru di ganti malah bikin infeksi," ucap Andri kembali.Arkan pun mengangguk, membiarkan sang istri untuk melakukan tugasnya.Andri segera menuju tasnya dan mengambil baju ganti untuknya. Tak hanya itu, ia pun lalu beralih ke lemari untuk mengambil baju ganti untuk Arkan."Ini, Mas, baju gantinya. Bisa pake sendiri, kan?" tanya Andri.Arkan menggeleng pelan, lalu berkata, "perbannya basah, nanti malah bikin bajunya basah lagi," jawabnya dengan wajah yang sendu.Andri mengembuskan napasnya kasar, baru saja ia hendak melepaskan handuk yang melilit tubuhn
Mbok Puji langsung tertawa geli melihat perubahan wajah majikannya yang nampak pucat pasi itu."Wajar kok, Non. Yang namanya abis malam pertama pasti begitu emang. Nanti, Mbok bikinin jamu deh, biar tambah kuat dan segera ada dedek kecil yang lari-larian disini," ucap Mbok Puji sambil tersenyum senang."Duh, jadi gak sabar untuk nunggu kehadirannya, pasti rumah ini bakalan lebih rame, dan Kakek Gala pasti akan bahagia banget," ucap Mbok Puji kembali.Andri hanya tersenyum samar, ah harapan Mbok Puji terlalu tinggi. Andai saja dia tau bahwa dirinya tak bisa memiliki anak, mungkin ia akan meralat kata-kata itu."Mbok, biar Andri yang bereskan aja ya, Takutnya, nanti malah bikin tangan Mbok luka. Mbok biar bebenah yang lain aja," ucap Andri kemudian.Mbok Puji menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum tipis."Gak usah, Non. Non mendingan istirahat aja, kan capek abis nikahan dan malam pertama juga. Di tambah, semalam juga ada drama kan? Duh, baru tau kalau Den Arkan ternyata bisa ma
Arkan menahan tawa sambil mengulurkan tangannya pada Andri, yang masih sibuk menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Udah, nggak usah malu gitu, Dek, Mbok Puji juga pasti paham kok, namanya juga pengantin baru," ucap Arkan santai seolah tak terjadi apa-apa. "Ya, tapi gak gitu juga, Mas. Gak bisa kah, Mas sopan dikit kalau ngomong? Jujur yah, aku tuh malu tau digituin," gerutu Andri sedikit kesa seraya membuka sela-sela jarinya. Arkan hanya tersenyum, rasanya gemas sekali melihat Andri yang terus menutupi wajahnya itu. "Loh, namanya juga nikah sama orang idiot, ya harus terima konsekuensinya kalau aku kadang sopan, kadang nggak. Lagian ya, kalau aku terlalu sopan sama kamu, nanti malah gak seru, soalnya gak bisa liat mukamu yang kek tomat itu haha," kata Arkan seraya mencubit pipi Andri dengan gemas. "Ih, Mas sakit tau," ucap Andri seraya menggembungkan pipinya seperti anak kecil. "Udah, yuk, k
Tak lama, keduanya pun tiba di lantai bawah, dan langsung menuju ruang makan. Disana, hanya ada Kakek Gala dan juga kedua orangtua Andri saja. Entah kemana keluarga Om Nathan dan Arsy mereka tak tahu."Pagi, Kek. Pagi, Ayah, Bunda," salam Arkan dan Andri serempak."Pagi," jawab mereka bersamaan.Setelah itu, Arkan segera mengambil tempat duduk untuk istrinya dahulu, baru setelah itu untuknya. Setelah keduanya duduk, Andri pun segera menyiapkan piring untuknya dan juga sang suami."Mas, mau sarapan apa?" tanya Andri ramah.Arkan menatap sebentar menu yang terhidang didepannya itu. Ada roti dan teman-temannya, nasi goreng, telur mata sapi dan juga segelas susu yang baru saja di hidangkan oleh Mbok Puji."Nasi goreng pake telor mata sapi aja, Dek," ucap Arkan dan mendapat anggukan dari Andri.Andri pun segera menyendokkan satu centong nasi ke dalam piring Arkan, dan juga sepotong telur untuknya."Tambah lagi, Dek," ucap Arkan kembali.Andri mengernyitkan dahinya, apa suaminya selalu maka
"Tenang saja, kakek tak melihat permainan kalian berdua kok," ucap Kakek Gala santai.Namun, Andri dan Arkan terlanjur malu dibuatnya. Apalagi, saat Andri mengingat kejadian semalam. Itu artinya, Kakek Gala pun berhasil melihat tubuhnya.Andri menundukkan pandangannya. Perasaannya berkecamuk, antara malu dan marah kepada sang kakek."Andri, Kakek hanya ingin tau apa yang semalam terjadi di lantai atas. Kamu tenang saja, kakek tak melihat apa yang kamu dan Arkan lalukan semalam," ucap Kakek Gala mencoba menenangkan Andri.Namun, Andri seolah kecewa, Arkan hanya bisa diam sambil membelai punggung sang istri. Sementara, Ayah Revan nampak memijat pelan pelipisnya."Saya tidak melihat tubuh kamu, Andri. Saya hanya memutar rekaman saat Arkan marah saja, mulai dari Arkan yang mengetuk pintu kamar, dan perkelahian antara Agra dan Arkan saja," ucap Kakek Gala kembali."Hm, iya, Kek," jawab Andri sedikit lemah.Andri nampak mengaduk-aduk sarapannya tanpa berniat untuk memakannya lagi. Begitupun
Arsy terdiam sambil menatap layar monitor yang menampilkan bagian dalam perutnya."Selamat ya, Bu Arsy. Ibu benar-benar hamil. Ini sudah terlihat kantung janinnya dan usia janin diperkirakan sudah masuk minggu ke 7," ujar sang dokter dengan ramah.Tak lama, layar monitor pun berubah menampilkan detak jantung."Nah, ini detak jantungnya si dedek, kedengaran kan, Bu?" tanya dokter sambil tersenyum.Arsy hanya mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada layar monitor itu yang menampilkan garis tak beraturan itu.Setelah proses pemeriksaan USG selesai, Arsy pun kini sudah boleh kembali duduk di kursinya."Apa ada yang ingin ditanyakan, Bu Arsy?" tanya sang dokter kembali sebelum mengakhiri sesi konsultasi mereka berdua."Sepertinya tidak ada, Dok, terimakasih banyak ya," jawab Arsy lirih."Baik, kalau begitu, ini resep obat dan vitamin untuk ibu. Jangan lupa diminum, dan jangan sampai stress ya, Bu. Usia kehamilan trisemester awal sangat rentan stress. Jika mual, dan tak bisa makan, maka
Arkan merasa gamang, saat harus mengambil keputusan saat ini.Sebenernya, ia tidak terlalu suka disini, meskipun memang suasananya sejuk dan dekat dengan kantor, baik kantornya maupun kantor Kakek Gala, tapi disini banyak anak-anak yang mungkin bisa berisik dan mengganggu mereka, apalagi jika Arkan membawa lemari kacanya yang berisi mainan koleksinya. Berbagai pikiran buruk pun langsung berkecamuk disana.Tapi, begitu melihat Andri yang begitu antusias, ia pun sedikit bingung harus bagaimana.Arkan menghembuskan napasnya kasar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Oom Wisnu."Ya udah, Oom, karena Andri suka sama rumahnya, jadi aku ambil rumah ini aja, ya. Oom bisa urus surat-suratnya, kan? Aku gak mau jika suatu saat ada permasalahan antara aku dan Yudha, terus ungkit-ungkit rumah ini," ujar Arkan kemudian.""Kamu yakin, Kan, ambil rumah ini? Kalau soal surat-surat gampang nanti Oom urus. Tapi, kalau gak salah harga rumah ini lebih rendah dibanding rumahmu, itu gimana? Berarti Oom ha
Saking asyiknya mereka bercengkrama, hingga tanpa sadar mereka pun sudah tiba di daerah tempat tinggal Oom Wisnu."Oom, ini kavling-nya yang mana ya? Arkan lupa," ujar Arkan sambil tersenyum samar.Oom Wisnu tertawa pelan, ternyata, keponakannya itu sudah lupa jalan kerumahnya."Masih di depan, Kan. Nanti perempatan belok kiri, gak jauh dari situ," ujar Oom Wisnu memberi petunjuk.Arkan hanya manggut-manggut sambil memelankan laju mobilnya. Kawasan ini sedikit sempit, hanya cukup untuk dua mobil saja, mana di beberapa ruas jalan nampak mobil terparkir sembarangan juga."Ck, kalau gak mampu beli garasi, setidaknya mbok gak usah beli mobil kek. Emang, ini jalanan mbahmu yang bisa di jadiin parkiran," gerutu Arkan sedikit sebal.Oom Wisnu tak menanggapi gerutuan itu, hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya pelan. Memang benar, kesadaran disini masih sedikit tipis, jika malam tiba, maka sisi jalan sebelah kiri akan berisi banyak mobil, membuat jalanan yang sempit semakin sempit saja.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Andri dan Arkan telah bersiap untuk pergi ke rumah Oom Wisnu, tinggal menunggu kapan Oom Wisnu akan berangkat saja."Mas, ini gak masalah kalau misalnya kita langsung pergi? Aku gak enak sama Tante Adel, soalnya di rumah gak ngapa-ngapain. Dari tadi subuh, aku langsung masuk kamar, terus baru keluar tadi jam 9an," ucap Andri tak enak hati.Arkan menggeleng pelan lalu membelai lembut rambut sang istri, "nggak apa, Dek. Namanya juga tamu, pasti dia maklumin kalau misalnya kamu nggak ngapa-ngapain," ujarnya berusaha menenangkan gemuruh di hati Andri.Andri mendengus pelan, perasaannya masih tetap sama, ia tak enak karena dia tidak melakukan apapun di rumah itu.Tak ingin berdebat dengan Arkan, ia pun memilih untuk keluar dari kamar itu duluan, meninggalkan Arkan yang masih sibuk untuk berkemas.Begitu keluar kamar, suasana disana nampak sepi, hanya terdengar suara televisi yang menampilkan animasi si botak dari negri sebrang saja.Andri celingukan mencari siapa y
Andri dan Naima berteriak sambil mundur dua langkah. Dan saat keduanya berbalik dan hendak lari, tiba-tiba tangan Andri terasa ada yang mencengkram dengan kuat."Aaa, Naima tolong!" ujar Andri panik dan tak lama ...Bugh!"Berisik banget sih, Dek! Kamu ngapain sih?!" seru seseorang yang tak lain adalah Arkan sambil memukul kepala Andri menggunakan sejadah kecil."Ma -- Mas Arkan?" tanya Andri, suaranya sedikit bergetar, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.Andri dan Naima perlahan berbalik, memastikan suara itu benar-benar milik Arkan atau bukan.Dan benar, Arkan berdiri dengan alis terangkat dan ekspresi bingung campur kesal. Sementara di belakangnya, nampak Oom Wisnu yang berdiri sambil menahan tawa. Wajah pria paruh baya itu tampak terkekeh geli melihat situasi yang entah kenapa terlihat sedikit lucu baginya."Mas Arkan dari mana?" tanya Naima kali ini dan mendapat anggukan dari Andri.Kedua wanita itu masih sedikit syok sambil berpegangan tangan seolah masih takut denga
Andri menggelengkan kepalanya pelan, lalu menatap lurus ke depan.Sekelebat bayangan masa lalu kembali berputar, bagai proyektor yang mereply film itu.Andri menghembuskan napasnya lalu menggeleng pelan."Kita tidur aja, yuk. Udah malem," ajak Andri mengalihkan pembicaraannya.Naima menggeleng pelan, bibirnya nampak mengerucut karena Andri tak jadi cerita."Mbak mah, ih, bikin aku kepo aja," gerutu Naima kembali.Andri hanya terkekeh pelan lalu mengacak rambut sang adik dan memilih untuk merebahkan dirinya saja."Mbakk," rajuk Naima sambil menggoyangkan lengan Andri Namun, Andri tetap menggeleng, dan memilih untuk memejamkan matanya saja.Melihat itu, Naima kembali cemberut, rasanya ia belum ngantuk, tapi mau bagaimana lagi, Andri dan juga Tante Adel sudah terlelap lebih dahulu.***Keesokan paginya, Andri terpaksa bangun karena guncangan yang cukup keras di tubuhnya."Andri, bangun, Ndri," ujar Tante Adel dengan nada panik.Dengan kepala yang sedikit terasa berdenyut, akhirnya Andri
Yudha kembali menghisap rokoknya dan menawarkan kepada Arkan di sana."Mas nggak ngerokok, Yud. Lah, tadi kamu kenapa pindah ngerokoknya?" tanya Arkan penasaran."Tadi ada Mama di sini. Kasian dede bayi kalau misalnya ada asep rokok," jawab Yudha.Arkan hanya mengangguk lalu kembali memanggang beberapa potong daging di atas sana. Suara bara yang terkena lelehan minyak kembali terdengar membuat malam itu kembali hangat.Keheningan pun akhirnya pecah karena getaran ponsel Yudha yang sedikit mengganggu. Yudha melihat siapa yang menelponnya dan langsung berdecak kesal.Tak ingin terlalu lama bergetar,ia pun segera mengangkat panggilan telpon itu."Jangan hubungin aku sekarang. Naima nginep di rumah," bisik Yudha setengah berbisik.[ ... ]"Gak usah ngadi-ngadi deh!" gerutu Yudha seraya menutup telponnya dan melemparnya ke sembarang arah.Yudha menghisap rokoknya kuat-kuat berusaha meredakan amarah yang sepertinya bergejolak di dadanya."Punya cewek lagi, Yud?" tanya Arkan sedikit penasar
"Tante, boleh ya?" rajuk Naima lagi, kali ini suaranya terdengar lebih memelas dari sebelumnya.Tante Adel menghela napas panjang. Wajahnya memancarkan keraguan, sementara matanya diam-diam melirik ke arah Oom Wisnu, seolah meminta jawaban tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.Oom Wisnu balas menatapnya, memahami kegelisahan yang tersirat. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Akhirnya, Oom Wisnu mengangguk perlahan, memberi tanda persetujuan."Kasih aja, Ma, udah malem juga.Tapi, harus kamu yang ijin sama orang tuanya Naima jangan Yudha," ujar Oom Wisnu pada akhirnya.Tante Adel tersenyum tipis, meski rasa ragu belum sepenuhnya hilang."Ya udah, karena udah dapet ijin dari Papanya Yuda, kamu boleh nginep disini. Tapi ... inget, kamu tidur sama Tante di kamar utama, dan gak boleh ada di kamar Yudha, paham?" tanyanya Tante Adel akhirnya.Mendengar ucapan itu, raut wajah Naima yang tadi sempat sayu pun kembali berbinar."Makasih, Tante. Tante emang pengertian banget," jawab Naim
Malam mulai menyapa, Andri dan Arkan tampak betah berada di rumah itu. Rumah yang penuh kenangan baginya, sehingga membuat mereka seolah kembali ke masa lalu, mengingat momen-momen sederhana yang pernah ia lalui.Sekitar pukul 20.00 WIB, saat sedang asyik bercengkrama di ruang keluarga sambil menonton Tv, Yudha dan kekasihnya pulang entah dari mana dan membawa banyak tentengan."Yuhuuu, Tante, Oom, ayok kita barbaque-an," ujar Naima--Kekasih Yudha saat keduanya tiba."Eh, ada Mas Arkan dan Mbak Andri juga tah? Udah lama disini, Mas, Mbak?" tanya Yudha ramah seraya menyalami mereka berempat."Lumayan, dari tadi sore. Cie, adek gua sekarang udah gede, udah ngerti pacaran nih yee," goda Arkan kepada sang adik.Yudha hanya tertawa pelan mendengar ledekan itu, sementara Naima nampak salah tingkah dibuatnya."Ah iya, tadi kamu bilang apa? Barbeque-an? Ayo, gas, dimana?" tanya Arkan mengalihkan pembicaraannya dengan nada yang penuh semangat."Iya, Mas. Mama tadi WeA katanya pingin barbeque-