1 Maret 2024Audrey menaiki bus menuju bandara. Dia hanya berbekal sebuah tas ransel yang berada di punggungnya. Tumbler, sepasang baju ganti, alat pemantik apa, senter serta sebuah pisau lipat kecil yang ia sembunyikan di saku celana jeansnya. Beberapa lembar uang ia sertakan di dompet.“Aku tidak akan lama Nathan. Mereka tidak ingin aku memberitahumu, ini demi keselamatan putriku dan juga Yanti, yang sudah aku anggap seperti adikku sendiri," gumam Audrey pilu. Ponsel telah ia lempar ke dalam sungai setelah simcardnya dia letakkan di lipatan dompet kecil kulit di saku tasnya.Mobilnya juga ia tinggalkan di parkir kedai minum yang ia singgahi tadi.Bus telah sampai di bandara. Lamunan Audrey buyar. Saatnya dia harus turun.“Mama datang, Nak,” gumam Audrey pilu.Wanita itu menunggu lama untuk mempersiapkan keberangkatannya. Dengan banyaknya waktu untuk merenung, Audrey didera luka yang tak dapat dihibur dengan pemandangan lalu lalang orang-orang disekitarnya.Sudah selama seminggu waktu
3 Maret 2024Mansion Turner, Palo Alto, California“Alicia, apa benar itu kau?!” jerit seorang wanita yang penampakannnya identik dengan Alicia. Dia berlari menghambur menuruni tangga dan langsung memeluk Alicia. Frederick Dylan, kawan Alicia telah mengatakan kalau dia mendapatkan informasi dari seseorang yang terpercaya, kalau saudari kembarnya ini sakit. Dan ternyata Frederick telah salah. Britney Turner terlihat bugar. Setelah nyaris tiga tahun Alicia pergi dari rumahnya.“Oh, Shia. Shia. Kau sudah pulang.” Alicia tersedak isakan karena mendengar nama panggilannya. Mereka berpelukan di bawah tangga, bergelayut satu sama lain dalam banjir air mata. Suka cita, kelegaan dan duka karena sudah lama berpisah membuat tubuh Alicia bergetar. Mereka berpelukan lama.“Oh, Tuhan. Kukira kau...” Alicia terdian ketika Britney menoleh kepadanya.“Kau kira aku kenapa?” tanya Britney yang tersedak tangis.“Kukira kau tidak dirumah,” jawab Alicia mengarang ucapannya.Napas Britney dengan isakannya.
Wanita itu pulang ke rumahnya.Jonash berjalan menuju mobilnya terparkir. Setelah setahun dia bertahan tanpa minuman keras, dia ingin---atau lebih tepatnya, dia butuh---minum alkohol. Dia membutuhkan itu dalam jumlah yang cukup banyak untuk menyingkirkan sosok jelita Alicia dari benaknya. Dan di rumahnya sudah tidak ada setetespun alkohol. Tapi, bisa saja ia menemukan minuman keras itu jika tekadnya goyah. Dengan tegas Jonash menepis keinginan itu. Dia sudah berhasil sejauh ini, dengan usaha yang begitu kerasTapi kenapa ia bertemu Alicia? Apakah ia sudah menikah?Jonash mendengus kesal.Alicia luar biasa cantik.Meski diluar kehendaknya, penilaian itu sama sekali bukan pujian terhadap Alicia, dia sedang berbicara fakta.Oh, Tuhan. Betapa dirinya berharap selama waktu tiga tahun ini, dia bisa mengendalikan diri dan tidak memberikan hatinya lagi pada wanita itu.Ditepisnya sekali lagi pikiran itu, kepalanya menggeleng kuat, agar wajah Alicia pergi dari kepalanya. Tugas beratnya di kep
Jonash sekarang berbeda dengan pria lembut yang dikenal Alicia dahulu.“Benar, mirip ayahnya. Sayangnya sang ayah sudah tidak lagi bersama kami.”Itu dia. Alicia sudah mengatakan kebohongan pertama, benih dari rentetan kebohongan lainnya.Jonash masih menatapnya mata tanpe emosi dan ekspresi datar. “Jadi kau sudah menikah?” Seberkas perubahan dalam nada bicara Jonash menandakan bahwa kalimat itu adalah pertanyaan. Dan sama sekali tidak terasa pertanda bahwa pertanyaan tersebut membuat hati Jonash merasakan kepedihan yang sama seperti yang ia rasakan. Pria itu terdengar bertanya dengan sopan, tanpa terlihat penasaran.Tapi untuk mengucapkan kebohongan satu ini dengan keras kepada Jonash ternyata lebih sulit daripada yang ditanggung hati dan nurani Alicia. Kebohongan yang tanpa batas.Alicia mengangguk, tanpa berani menatap mata Jonash.Tapi jika dia berpikir Jonash akan menentangnya; dengan cara membongkar kebohongannya dari klue kecil yang nyata dari tatapan mata Alicia yang berpaling
"Kau tidak memahami Benni. Kiamat itu akan terjadi seandainya Jonash menikah dengan seorang wanita dari hubungan tidak syah. Ini akan menjadi skandal di korpsnya yang elit, melebihi kabar buruk tentang kehadiran mereka ke dunia ini yang berasal dari seorang ibu yang bahkan tidak diketahui keberadaannya. Profesi Jonash akan ternoda. Semua akan menderita karenanya. Ditambah lagi keberadaan Peter,” tutur Alicia tentu saja dalam hati. Pandangan matanya berpaling menatap taman dari jendela ruang itu.Kemudian diraihnya jemari saudarinya itu. “Benni, sayang,” Alicia memohon. “Untuk sementara jangan bertanya-tanya tentang itu. Aku mohon.”“Maafkan aku. Kupikir aku ini saudarimu, kembaranmu. Kau akan lebih terbuka kepadaku.”“Nanti aku akan menjelaskan semuanya.” Jemari Benni diremas lembut kembali. “Tapi kumohon, jangan paksa aku sekarang.”Rasa tidak sabar dan kekesalan terlihat di wajah Britney, pertanda wanita ini pasti akan terus mendesaknya.“Lalu, apa kau pulang untuk selamanya?”Desah
Akibat kepedihan dan rasa bersalah yang membuncah di hati Alicia, wanita itu tidak dapat melihat keindahan taman yang dipenuhi dengan kuncup dan mekarnya aster, mawar serta violet yang terbentang di jendela dimana matanya mengalihkan tatapan saudarinya. Tapi sungguh sebuah keajaiban--Jonash belum menikah.“Jadi begitu.” Alicia terdiam beberapa waktu. “Ya, aku mendoakan kebahagiaannya."Alicia betul-betul mendoakan kebahagiaan Jonash.Akan sangat egois jika ia tidak mengizinkan Jonash hidup bahagia. Dan dia bukanlah orang yang egois. Kepergiannya dari Jonash membuktikan hal itu. Justru pernikahan mereka akan menghancurkan karier hebat Jonash di kepolisian. Alicia mengetahui masa lalu yang pria itu pernah ceritakan kepadanya. Betapa ingin ia mencari tahu keberadaan kakak yng sangat ia cintai, sekaligus membalas sakit hati lelaki itu kepada musuh besarnya yang memiliki kekuasaaan serta harta yang berlimpah, yang membuat aksi kejahatannya tidak dapat dengan mudah diberantas. Membuat musuh
Baju dalam Alicia tidak dilepas melainkan ditarik lepas perlahan dari tubuhnya yang gemetar. Dirinya berbaring telentang dengan membuka kaki layaknya wanita nakal dan tangannya membelai otot dan tubuh yang lembab dan kencang.Jemari Jonash menjajaki puncak gunung kembarnya dengan penuh konsentrasi yang begitu lamban dan nikmat. Punggung Alicia melengkung sewaktu jemarinya semakin dalam mencengkeram bahu Jonash. Panas menggelegak dari gunung kembarnya, menyebar turun ke perutnya. Kemudian membakar lekuk diatara pahanya. Hasrat yang dirasakannya menggila dan menyiksa. Alicia tahu dia bisa mati jika Jonash berhenti.“Apakah rasanya nikmat? Apa kau menyukainya?” tanya Jonash. Suaramya parau karena gairah, mata kelabunya menggelap karena hasrat.Napas Jonash menggelitik tengkuk Alicia, dan jemari Jonash melanjutkan tarian erotis di puncak gunung kembarnya, membuat Alicia hanya bisa mengerang dan terkesiap tak menentu.Alicia begitu mendamba. Tubuhnya menggelinjang. Begitu ingin menghentikan
Bagaimana mungkin Jonash bisa tahu dengan kepastian yang tak tergoyahkan seperti itu? padahal sudah dikatakannya bahwa usia Peter baru dua tahun, hingga tidak mungkin dia adalah ayah Peter.Setelah matanya beradaptasi dengan lampu pojok tempat tidurnya, Alicia dapat melihat wajah kecoklatan Jonash. Alicia menelan ludahnya, bagaimana dia harus merespons? Bagaimana dia dapat merespons?“Anak itu---“Sepertinya Jonash sudah menduga bahwa Alicia pasti akan menyangkal, karna saat itu juga pria yang berdiri menjulang di hadapannya sedang menatap dengan pandangan mengerikan. Menghunjam, murka. Bibirnya terkatup rapat.“Jangan berani-beraninya kau berdusta padaku. Tidak lagi. Jangan pernah lagi,” geram Jonash, dalam suara yang dalam dan kelam.Nada pria itu membuat Alicia ketakutan. Seolah sumur kemurkaan yang tak berdasar milik lelaki itu kini hanya ditahan oleh seutas benang.“Jonash.” Nama itu meluncur dengan nada memohon yang lirih. Nada menenangkan untuk memberi penjelasan.Jonash mundur