Share

3. Secercah Asa

Sepulangnya Audrey dari kantor polisi, dia kembali ke Grand Mercure Hospital menuju bangsal rumah sakit yang dia pesan, sementara Ventria dirawat diruang Neonatal Intensive Care Unit, yang adalah ruang perawatan yang dikhususkan untuk bayi dan anak-anak dengan gangguan kesehatan serius, Audrey tidak boleh berada diruang itu berlama-lama. Kondisi kesehatan Ventria terpantau selalu pada layar monitor yang terletak disitu. Tenaga medis dengan sigap melakukan pekeerjaannya. Audrey mempercayakan anaknya tanpa ragu.

Di bangsal? Iya dia menunggu disana, kondisi keuangannya tidak memungkinkan dia menyewa kamar yang lebih baik. Menatap anaknya yang tertidur lemah tidak berdaya tadi, memikirkan adiknya yang menyatakan penyesalannya dan meminta bantuannya untuk terhindar dari jerat hukum, mengusahakan terlaksananya tindakan operasi ayah tirinya, membuat kepalanya pening.

Ketika pulang sejenak, Audrey merasa kesedihan itu semakin menikam relung hatinya. Kondisi terjepit yang mengharuskannya  mempersiapkan dana tidak sedikit. Suaminya jarang pulang karena sedang berjuang merintis usaha yang belum jua menampakkan titik terang.

Semua perhiasan serta tas berharga mahal miliknya yang dulu ia beli kala usahanya berjaya, sudah ia lelang. Beberapa kawan arisannya mau membeli karena Andrea melepasnya dengan harga murah.

Mobil miliknyapun sudah dia jual kepada Lily, sahabat Audrey yang selalu memberikan dukungan moril dan sesekali menemani menunggui Ventria  di rumah sakit. Cuma mobil Prabu yang belum dijual, kerena mereka masih membutuhkan untuk mempermudah pekerjaan.

Ditengah keputusasannya, saat ini Audrey tiba-tiba ingin mengakhiri saja hidupnya. Rasanya mau gila, Audrey merasa cobaan ini bertubi-tubi. Sudah tidak memiliki harapan untuk bisa terlepas dari derita kesedihan yang menderanya.

“Mas Prabu, kamu dimana?” tangisnya menyayat hati. “Aku butuh dirimu.” Audrey beranjak keluar dari kamarnya, tekadnya sudah tak terbendung lagi. Baginya akan lebih mudah bila semua yang ia hadapi ini sirna, untuk saat ini.

Dia berlari menuruni tangga, dicarinya cairan membasmi serangga yang sama Bibik suka diletakkan dipojok dekat indoor taman belakang.

Audrey berlari kedapur mengambil cawan, lamat-lamat dia mendengar namanya dipanggil. “Bik Andar,” pikirnya.

Tapi panggilan itu tidak dia pedulikan. Cairan itu dituang kedalam cawan kecil. Masih terdapat keraguan menyelinap di hatinya. Beberapa saat terdiam. Dia merasa tak sanggup melihat anaknya tergolek lemah di rumah sakit, tanpa bisa menolong untuk mendapatkan tindakan medis selanjutnya. Hatinya pedih. Ayahnya adalah lelaki yang sangat berjasa, dan dalam keadaan tidak berdaya dia juga belum mendapatkan solusi untuk membebaskannya dari koma yang sekarang Abellard derita.

Jonash, adalah satu-satunya saudara yang ia miliki. Adik yang ia cintai, sedang membutuhkan pertolongan juga.

Ah, sudahlah, dia tidak akan berubah pikiran. Saat cairan beracun itu hampir masuk tenggorokannya, sebuah tangan berkulit keriput menepis kuat dan…

Pranggg…

“Mbak Audreeey, hentikan!” jerit wanita berusia senja itu.

Bik Andar meraih tubuh Audrey dan langsung memeluk erat wanita muda, majikannya yang sangat dia sayangi. Hatinya sangat sedih. Dia bisa mengerti permasalahan yang dihadapi pasti sungguh berat. Tapi bunuh diri adalah cara yang salah. Dengan berurai air mata dipapahnya Audrey masuk ke dalam kamarnya.

“Dek Ventria sangat membutuhkan embak. Bagaimana adek harus menjalani rasa sakitnya  apabila mbak Audrey pergi? Mbak harus semangat ya. Pasti Tuhan akan memberi jalan.”

Kalimat bibik menghunjam sanubarinya begitu dalam.

“Bik Andar tidak mengerti beban yang aku hadapi. Tidak mungkin aku jelaskan semua karena itu hanya akan menambah beban pikirannya. Aku tidak mau, karena dia sudah menjadi pengganti ibuku. Dan nasib anak yang kukandung ini? Dia bukan darah daging  mas Prabu. Bagaimana kalau perutku semakin membesar? Tapi tindakan bunuh diri adalah salah, anak yang kukandung tetaplah suci dia berhak hidup,” ujarnya dalam hati.

Setelah beberapa menit berlalu dan hatinya mulai tenang, Audrey bertanya, “Tadi bibik memanggil-manggil saya. Ada apa?”

“Tadi hape mbak Audrey yang diletakkan diruang tengah berbunyi lama, bibik pikir ada hal penting, barangkali berita tentang adek. Tapi tadi ini terus mati mbak.”

Diperiksanya gawai yang disodorkan bik Andar. Bukan nomor telephon Prabu Wisesa, tapi Benigno tertera mengubunginya.

Ini kali yang keseratus tiga dia menghubungi setelah seratus dua sebelumnya selalu ditolak.

Sejenak akal sehat Audrey memainkan perannya. “Mungkin ini yang dimaksud “pertolongan Tuhan”. Mungkin “setan” itu bisa aku manfaatkan untuk membebaskanku dari permasalahan keuangan yang menghimpit ini, baiklah. Tidak ada cara lain,” lirihnya dalam hati.

“Baik, Bik. Saya mau istirahat ya, saya janji tidak akan menyentuh cairan racun itu.”

Bibik menganguk lembut, wanita itu tahu bahasa isyarat yang nyonya mudanya tunjukkan agar dia pergi. Setelah menghilang dibalik pintu kamarnya, Audrey meraih kembali gawai itu. Berat sebenarnya harus memutuskan ini, tapi mungkin hanya ini satu-satunya cara yang bisa dia lakukan.

Ditekan telefon balik di layar yang tertera.

“Sayang, apa kabarmu?” jawab seseorang dari seberang sana. Suaranya begitu bersemangat seperti tidak percaya, Audrey bersedia menelephon balik.

Audrey bergidik, dia masih kesal. Kejadian malam beberapa waktu lalu melintas dipikirannya, “Dasar lelaki biadab,” pikirnya. Audrey menyadari lelaki seperti itu harus dihadapi dengan kelembutan untuk bisa dia perdaya, demi membalaskan dendamnya.

“Bagaimana, Sayang?” tanya Beni, mengulang pertanyaannya.

...

Kafe Sekopi Hitam

27 Oktober 2020, pukul Delapan Petang.

Pengunjung tidak banyak, karena hanya kalangan elit yang bisa memiliki akses ke kafe mewah itu.

Audrey hanya memoles lipstik tipis ke bibirnya agar wajah putih cantikmya tidak pucat. Mengenakan pakaian longgar untuk menutupi perutnya yang sebenarnya diusia tiga bulan belum terlihat besar. Tapi Audrey dengan gaya apapun terlihat sangat menawan. Siang ini Audrey bersedia menerima ajakan pertemuan Benigno, dia tahu maksud lelaki itu, tapi Audrey berpikir tidak dengan cuma-cuma Benigno mendapatkan dirinya begitu saja.

“Langsung ke maksud keinginanku mengajakmu kemari, Sayang. Aku sangat ingin menikahimu.”

Audrey menatap Beni tajam. Hatinya tidak suka, benci sekali terhadap lelaki yang melakukan cara keji untuk mendapatkan keinginannya. Tapi tidak ada pilihan lain, Audrey harus melanjutkan hidup carut marutnya. Ditata hatinya, kemudian berujar datar, “Aku harus menerimamu karena keadaan yang memaksa.”

Tertunduk dan matanya mulai berkaca-kaca.

Benigno Jacobson tersenyum puas. Hatinya membuncah rasa bahagia. Dia merasa jiwanya terbang kelangit ketujuh. Akhirnya wanita sombong ini bersedia dia nikahi.

“Nah, sekarang ceritakan padaku masalahmu.” Sekali lagi Benigno bersandiwara, karena dialah dalang dibalik hampir semua masalah Audrey.

“Bantu aku untuk membiayai operasi anakku dan ayahku yang tiba-tiba koma. Adikku satu-satunya terlibat perdagangan narkoba. Aku harus berurusan dengan kepolisian. Dan rumahku terancam disita Bank, karena aku sudah tidak mampu membayar. Dan masalah utamanya kamu tahu, aku bukanlah wanita lajang.”

“Kau akan menceraikannya. Itu bukan hal yang sulit. Terlebih dahulu aku akan membantu semua kesulitan keuangan yang kau hadapi. Kau tenang saja.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status