Sepulangnya Audrey dari kantor polisi, dia kembali ke Grand Mercure Hospital menuju bangsal rumah sakit yang dia pesan, sementara Ventria dirawat diruang Neonatal Intensive Care Unit, yang adalah ruang perawatan yang dikhususkan untuk bayi dan anak-anak dengan gangguan kesehatan serius, Audrey tidak boleh berada diruang itu berlama-lama. Kondisi kesehatan Ventria terpantau selalu pada layar monitor yang terletak disitu. Tenaga medis dengan sigap melakukan pekeerjaannya. Audrey mempercayakan anaknya tanpa ragu.
Di bangsal? Iya dia menunggu disana, kondisi keuangannya tidak memungkinkan dia menyewa kamar yang lebih baik. Menatap anaknya yang tertidur lemah tidak berdaya tadi, memikirkan adiknya yang menyatakan penyesalannya dan meminta bantuannya untuk terhindar dari jerat hukum, mengusahakan terlaksananya tindakan operasi ayah tirinya, membuat kepalanya pening.
Ketika pulang sejenak, Audrey merasa kesedihan itu semakin menikam relung hatinya. Kondisi terjepit yang mengharuskannya mempersiapkan dana tidak sedikit. Suaminya jarang pulang karena sedang berjuang merintis usaha yang belum jua menampakkan titik terang.
Semua perhiasan serta tas berharga mahal miliknya yang dulu ia beli kala usahanya berjaya, sudah ia lelang. Beberapa kawan arisannya mau membeli karena Andrea melepasnya dengan harga murah.
Mobil miliknyapun sudah dia jual kepada Lily, sahabat Audrey yang selalu memberikan dukungan moril dan sesekali menemani menunggui Ventria di rumah sakit. Cuma mobil Prabu yang belum dijual, kerena mereka masih membutuhkan untuk mempermudah pekerjaan.
Ditengah keputusasannya, saat ini Audrey tiba-tiba ingin mengakhiri saja hidupnya. Rasanya mau gila, Audrey merasa cobaan ini bertubi-tubi. Sudah tidak memiliki harapan untuk bisa terlepas dari derita kesedihan yang menderanya.
“Mas Prabu, kamu dimana?” tangisnya menyayat hati. “Aku butuh dirimu.” Audrey beranjak keluar dari kamarnya, tekadnya sudah tak terbendung lagi. Baginya akan lebih mudah bila semua yang ia hadapi ini sirna, untuk saat ini.
Dia berlari menuruni tangga, dicarinya cairan membasmi serangga yang sama Bibik suka diletakkan dipojok dekat indoor taman belakang.
Audrey berlari kedapur mengambil cawan, lamat-lamat dia mendengar namanya dipanggil. “Bik Andar,” pikirnya.
Tapi panggilan itu tidak dia pedulikan. Cairan itu dituang kedalam cawan kecil. Masih terdapat keraguan menyelinap di hatinya. Beberapa saat terdiam. Dia merasa tak sanggup melihat anaknya tergolek lemah di rumah sakit, tanpa bisa menolong untuk mendapatkan tindakan medis selanjutnya. Hatinya pedih. Ayahnya adalah lelaki yang sangat berjasa, dan dalam keadaan tidak berdaya dia juga belum mendapatkan solusi untuk membebaskannya dari koma yang sekarang Abellard derita.
Jonash, adalah satu-satunya saudara yang ia miliki. Adik yang ia cintai, sedang membutuhkan pertolongan juga. Ah, sudahlah, dia tidak akan berubah pikiran. Saat cairan beracun itu hampir masuk tenggorokannya, sebuah tangan berkulit keriput menepis kuat dan…Pranggg…
“Mbak Audreeey, hentikan!” jerit wanita berusia senja itu.
Bik Andar meraih tubuh Audrey dan langsung memeluk erat wanita muda, majikannya yang sangat dia sayangi. Hatinya sangat sedih. Dia bisa mengerti permasalahan yang dihadapi pasti sungguh berat. Tapi bunuh diri adalah cara yang salah. Dengan berurai air mata dipapahnya Audrey masuk ke dalam kamarnya.
“Dek Ventria sangat membutuhkan embak. Bagaimana adek harus menjalani rasa sakitnya apabila mbak Audrey pergi? Mbak harus semangat ya. Pasti Tuhan akan memberi jalan.”
Kalimat bibik menghunjam sanubarinya begitu dalam.
“Bik Andar tidak mengerti beban yang aku hadapi. Tidak mungkin aku jelaskan semua karena itu hanya akan menambah beban pikirannya. Aku tidak mau, karena dia sudah menjadi pengganti ibuku. Dan nasib anak yang kukandung ini? Dia bukan darah daging mas Prabu. Bagaimana kalau perutku semakin membesar? Tapi tindakan bunuh diri adalah salah, anak yang kukandung tetaplah suci dia berhak hidup,” ujarnya dalam hati.
Setelah beberapa menit berlalu dan hatinya mulai tenang, Audrey bertanya, “Tadi bibik memanggil-manggil saya. Ada apa?”
“Tadi hape mbak Audrey yang diletakkan diruang tengah berbunyi lama, bibik pikir ada hal penting, barangkali berita tentang adek. Tapi tadi ini terus mati mbak.”
Diperiksanya gawai yang disodorkan bik Andar. Bukan nomor telephon Prabu Wisesa, tapi Benigno tertera mengubunginya.
Ini kali yang keseratus tiga dia menghubungi setelah seratus dua sebelumnya selalu ditolak.
Sejenak akal sehat Audrey memainkan perannya. “Mungkin ini yang dimaksud “pertolongan Tuhan”. Mungkin “setan” itu bisa aku manfaatkan untuk membebaskanku dari permasalahan keuangan yang menghimpit ini, baiklah. Tidak ada cara lain,” lirihnya dalam hati.
“Baik, Bik. Saya mau istirahat ya, saya janji tidak akan menyentuh cairan racun itu.”
Bibik menganguk lembut, wanita itu tahu bahasa isyarat yang nyonya mudanya tunjukkan agar dia pergi. Setelah menghilang dibalik pintu kamarnya, Audrey meraih kembali gawai itu. Berat sebenarnya harus memutuskan ini, tapi mungkin hanya ini satu-satunya cara yang bisa dia lakukan.
Ditekan telefon balik di layar yang tertera.
“Sayang, apa kabarmu?” jawab seseorang dari seberang sana. Suaranya begitu bersemangat seperti tidak percaya, Audrey bersedia menelephon balik.
Audrey bergidik, dia masih kesal. Kejadian malam beberapa waktu lalu melintas dipikirannya, “Dasar lelaki biadab,” pikirnya. Audrey menyadari lelaki seperti itu harus dihadapi dengan kelembutan untuk bisa dia perdaya, demi membalaskan dendamnya.
“Bagaimana, Sayang?” tanya Beni, mengulang pertanyaannya.
...
Kafe Sekopi Hitam
27 Oktober 2020, pukul Delapan Petang.
Pengunjung tidak banyak, karena hanya kalangan elit yang bisa memiliki akses ke kafe mewah itu.
Audrey hanya memoles lipstik tipis ke bibirnya agar wajah putih cantikmya tidak pucat. Mengenakan pakaian longgar untuk menutupi perutnya yang sebenarnya diusia tiga bulan belum terlihat besar. Tapi Audrey dengan gaya apapun terlihat sangat menawan. Siang ini Audrey bersedia menerima ajakan pertemuan Benigno, dia tahu maksud lelaki itu, tapi Audrey berpikir tidak dengan cuma-cuma Benigno mendapatkan dirinya begitu saja.
“Langsung ke maksud keinginanku mengajakmu kemari, Sayang. Aku sangat ingin menikahimu.”
Audrey menatap Beni tajam. Hatinya tidak suka, benci sekali terhadap lelaki yang melakukan cara keji untuk mendapatkan keinginannya. Tapi tidak ada pilihan lain, Audrey harus melanjutkan hidup carut marutnya. Ditata hatinya, kemudian berujar datar, “Aku harus menerimamu karena keadaan yang memaksa.”
Tertunduk dan matanya mulai berkaca-kaca.
Benigno Jacobson tersenyum puas. Hatinya membuncah rasa bahagia. Dia merasa jiwanya terbang kelangit ketujuh. Akhirnya wanita sombong ini bersedia dia nikahi.
“Nah, sekarang ceritakan padaku masalahmu.” Sekali lagi Benigno bersandiwara, karena dialah dalang dibalik hampir semua masalah Audrey.
“Bantu aku untuk membiayai operasi anakku dan ayahku yang tiba-tiba koma. Adikku satu-satunya terlibat perdagangan narkoba. Aku harus berurusan dengan kepolisian. Dan rumahku terancam disita Bank, karena aku sudah tidak mampu membayar. Dan masalah utamanya kamu tahu, aku bukanlah wanita lajang.”
“Kau akan menceraikannya. Itu bukan hal yang sulit. Terlebih dahulu aku akan membantu semua kesulitan keuangan yang kau hadapi. Kau tenang saja.”
Grand Mercure Hospital27 Oktober 2020Audrey dan suaminya tersenyum bahagia melihat Ventria sudah bisa tertawa setelah operasi transplantasi sumsum tulang belakang yang telah dilakukan beberapa hari lalu. Tinggal pemulihan berangsur-angsur yang akan membuat kesehatan bayi ini semakin membaik. Mereka sudah membawa Ventria pulang dari rumah sakit. Perasaan suka cita bibik Andar dan Yanti menyambut kepulangan Ventria dengan mengihias rumah itu dengan balon hias serta bunga-bunga yang mereka rawat yg tumbuh disamping rumah. Pesta kecil dipersiapkan dengan matang. Mereka mendatangkan banyak kerabat, teman juga saudara. Tak lupa, puluhan anak yang bernaung di panti asuhan yang Audrey sesekali memberikan donaturnya. Sebuah yayasan yang didirikan beberapa teman Audrey dan dirinya yang sebagai bendahara, merawat dan menyekolahkan anak-anak itu agar mendapatkan kasih sayang yang semestinya mereka dapatkan. Audrey memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sementara itu kondisi tuan Abellard juga sudah
Benigno Jacob Andriano, adalah putra dari Mathilda, seorang wanita yang dinikahi Sir Jacob karena kecantikannya. Belakangan Sir Jacob mengetahui suatu rahasia yang selama ini Mathilda sembunyikan darinya, Mathilda telah terlibat hubungan gelap dengan seorang lelaki dari masa lalunya yang bahkan telah dia lakukan sebelum bersua Sir Jacob. Mathilda sangat berhasrat menikah dengan Sir Jacob, orang teramat kaya di Italia yang memiliki usaha bernilai trilyunan dolar yang ia lakukan bersama temannya. Gruppo METRO ( Metalmeccanica Torinese) adalah perusahaan besar milik mereka yang memproduksi banyak prodak dari alat pengering rambut sampai helikopter.Benigno, yang Sir Jacob kira adalah anaknya itu ternyata buah cinta Mathilda dengan Frank Kashogie, kekasihnya, sehingga Sir Jacob memutuskan memberikan hak kepemilikan saham sebesar 90 prosen serta seluruh asetnya kepada Audrey. Kenapa Audrey? Wanita itu adalah putri Sir Jacob dengan seorang wanita Jawa Barat, yang telah dia sia-siakan. Suryan
Tujuh jam sebelumnya...Audrey menatap arloji ditangannya, pukul 19 malam. Dia berencana menjenguk ayahnya di rumah sakit. Sudah lima hari paska operasi Bypass*) jantung yang berjalan lancar. Tuan Abellard sudah siuman dari komanya.“ Aku tidak lama, Yanti. Tolong jaga Ventria baik-baik ya.” Pengasuh anaknya mengangguk.Audrey hanya mengenakan jersey dengan celana denim dan sepatu kets. Kehamilannya yang masih tiga bulan belum membuat perutnya membesar. Dia mengendarai mobil yang belum lama dibelikan Benigno, karena kendaraan yang biasa dia pergunakan telah dia iklaskan diberikan kepada Prabu.Sejak kehancuran rumah tangga mereka, Audrey yang memiliki hak asuh atas Ventria membawa serta bik Andar dan Yanti menempati sebuah apartemen yang dibelikan Benigno. Berada disebuah kota yang agak jauh dari rumahnya dahulu. Benigno tidak ingin Prabu dan orang lain yang mengenal Audrey mengetahui keberadaan adik tirinya itu.Rumah yang sebelumnya mereka tempati telah dibeli Benigno dengan harga l
Milan, 22 Oktober 2020Nathaniele Salvator Diangello tersenyum menatap langit dari kaca jendela kerjanya di lantai 17 gedung perkantoran megah Torre Diamante kota Milan. Bola mata biru lelaki dua puluh sembilan tahun itu terlihat berbinar, sesaat setelah Anthony, orang kepercayaannya baru selesai menelephon."Goodjob, Anthoni. Kau lakukan hal terbaik. Bawa wanita itu pulang ke negaranya, bawa serta putri serta bila memungkinkan orang-orang terdekat yang ia sayangi. Kerjakan dengan sempurna. Aku percaya padamu."Kabar orang suruhannya itu sangat dinanti, laksana angin segar yang membuatnya tersenyum sumringah. Mendiang Jacob Andriano, sahabat sekaligus guru terbaiknya meninggalkan surat wasiat yang membuat Nathan menghabiskan waktu hampir setahun untuk menemukan titik terang teka-tekinya selama ini, yaitu keberadaan putri Jacob di Indonesia.Saat ini wanita itu selalu dalam pengawasan anak buahnya. Anthoni juga berhasil menelusi perihal kehidupan putri temannya itu, bagaimana ia terpuru
2 Desember 2020, dini hariTubuh Audrey yang menukik kedalam sungai dibawah jurang itu bak atlet lompat indah yang sedang memperagakan gerakan forward dive*). Audrey adalah perenang yang handal dan kalau saja kepalanya tidak habis dihajar orang suruhan Kiara sebelumnya, serta lengannya tidak tertembak dan mengucurkan darah, alih-alih terlihat indah, lompatan Audrey yang saat itu menderita luka parah adalah pemandangan yang menyedihkan.Hunjaman air pertama dikepalanya membuat Audrey tidak sadarkan diri. Tubuh lemah itu mulai tenggelam. Mata yang terpejam dengan denyut jantung yang melemah. Antara hidup dan mati. Audrey tidak berdaya setelah perjuangan yang panjang malam itu.Cukup lama berada di dasar sungai yang dingin. Riaknya membenamkan tubuh Audrey semakin dalam. Tapi itu membantu Audrey untuk mengalihkan pandangan Kiara sehingga tidak tampak dari ketinggian ia berdiri.Dibibir jurang, Kiara yang tadi masih beberapa kali membidik pistolnya mencari keberadaan Audrey, terhenti ketik
Kiara dan kedua anak buahnya menghabiskan banyak waktu berjalan untuk mengingat-ingat sampai pada akhirnya dapat menemukan mobil mereka terparkir.Mobil Audrey, pemberian dari Benigno, tunangan Kiara, yang berada tidak jauh dari situ telah mereka bakar sampai tertinggal besi meleleh dengan jelaga. Kepulan asap yang mempu menarik perhatian warga yang pukul dua dini hari adalah waktu mereka terlelap dalam selimut dimalam yang dingin itu.Kejahatan yang sempurna, karena diwaktu seperti itu tak satu mahlukpun melintasi jalan yang sangat jauh dari pemukiman warga.Mereka berusaha menghilangkan jejak. Benigno maupun pihak kepolisian setempat sekalipun tidak akan mendapatkan jawaban dari mysteri hilangnya Audrey. Barang bukti tidak ada.Sementara itu Dokter Dante yang melaju mambawa tubuh lemah Audrey hanya menghabiskan waktu sekitar empatpuluh menit perjalanan saja. Sebuah pesawat jet pribafi jenis Cessna 152 yang dapat menggunakan landasan udara tak beraspal telah menunggu mereka. Pesawat
2 Desember 2020Dini hari masih pukul 2 pagi. Sesorang mengetuk pintu apartemen Audrey yang berada di lantai sepuluh, Grey Tower. Wanita berusia empat puluh lima tahun, bermata coklat, rambutnya diikat cepol rapi. Perawakannya tinggi dan langsing, ditemani dua orang lelaki dibelakangnya. Yanti yang terbangun berjalan mendekat, mengintip dari sebuah lubang kecil yang terdapat didaun pintu apartemen itu. Entah mengapa dia merasa kalau wanita yang mengetuk pintu itu sepertinya baik. Karena dari penampilannya seperti wanita kelas menengah dg setelan klasik yang berkesan mahal.Semalaman ini dia dan bik Andar gelisah sampa larut karena sejak pukul sembilan belas tadi petang sampai kini Nyonya Audrey belum juga pulang. Yanti berpikir mungkin saja wanita yang mengetuk pintu itu adalah saudara dari tuannya dan memberi kabar yang penting. Dengan berdoa dalam hatinya, Yanti perlahan membuka pintu itu.Wanita didepannya tersenyum dengan tulus dan mengangguk penuh respek. "Dia sopan dan ter
Benigno Jacob Andriano menyelesaikan sekolah Internasional Milan dengan peringkat agak menyedihkan dan melanjutkan study ke Indonesia. Disanalah dia mengenal Audrey yang saat itu belum diketahui bila wanita cantik, kembang kampus itu ternyata putri lelaki yang sudah menikahi ibunya Mrs Mathilda Andriano.Secara tidak sengaja pertemuan itu terjadi dan saling mengenal. Kenalan biasa seperti teman-teman Audrey lain yang mengenalnya.Entah mengapa dari berbagai literatur yang dia baca sebelumnya, Benigno memutuskan melanjutkan study di negara itu karena tertarik dari bentang alam serta keindahan negerinya.Alasan lebih kuat dari itu sebenarnya adalah, Benigno remaja tertarik dengan kecantikan wanita Indonesia yang memiliki kulit yang eksotis serta pembawaannya yang lemah lembut. Entah secara kebetulan apa sekedar mengisi hidupnya saja, karena alih-alih serius menimba ilmu dengan tekun, dia kuliah cuma karena menuruti kehendak ayahnya.Sir Jacob Andriano tidak berkeberatan menerima keput
Ceritakan tentang anakku.” Audrey bertanya saat mereka duduk di teras kecil itu.Audrey tiba-tiba bertanya kepada Nathan.“Beberapa kali kau mengatakan kata ‘anakku’, itu menyiratkan kalau anakku bukan anak kandungmu karena kau bilang kau suamiku.”Sungguh Nathan merasa ini episode tersulit yang harus ia dan istrinya lalui.Lelaki itu menatap ke arah cangkir kopinya yang telah kosong.Audrey tahu, sesuatu yang ia lupakan dan masih menjadi misteri itu bukan suatu kabar baik.“Kau pernah menikah dengan seseorang sebelum aku nikahi.” Akhirnya kata itu keluar dari bibirnya.“Apakah dia, Benigno yang aku cari?” Audrey menatap Nathan dengan ekspresi dalam, rasa ingin tahunya terlihat jelas.“Bukan.”“Lantas?”“Baiklah, aku akan membuka semua identitasmu.”Audrey memposisikan dirinya pada pose senyaman mungkin. Ia telah siap mendengarkan cerita Nathan.“Aku masih berkabung atas berpulangnya sahabatku, rekan kerjaku pada perusahaan yang kami berdua jalankan, ketika seminggu setelah pemakamanny
Sinar matahari menyinari kamar tidur nyaman ini. Kehangatan lembut meresap pada permukaan kulitnya.Pernahkah ia merasa lebih aman dan bahagia? Audrey sulit menjawab karena ingatannya hampir tak ada.Tapi ia tak bisa membayangkan merasa lebih aman daripada yang ia rasa sekarang ini.Kemarin, setelah singgah di sebuah desa terdapat sebuah toko bahan pangan, Ia melihat Nathan mengisi dua troli besar dengan sejumlah bahan makanan. Mereka berkendara selama berkilo-kilometer, jauh memasuki daerah pegunungan. Saat kemudian Nathan memasuki jalan berkerikil di puncak bukit, napas Audrey terasa terhenti, ia mengira dirinya telah melihat surga dalam perjalanan tadi, tapi itu hanya awalnya saja.Rumah kayu dua lantai milik Nathan terletak di puncak bukit menjulang. Terdapat teras kecil, di kedua lantai. Mereka menghadap lembah memikat dipenuhi pepohonan hijau menyejukkan. Tinggi dan masiv, pegunungan menjulang di kejauhan, menambah keindahan yang menakjubkan. Ia keluar dari mobil begitu Nathan be
"Enak saja. Jangan berani-beraninya kau menyalahkan dirimu. Ini semua salah Benigno. Sejak dulu bahkan sebelum aku mengenalmu, aku tahu siapa dia.”“Ceritakan bagaimana dia versimu.”Angin lembut menggerakkan rambut sebahu Audrey yang berwarna merah berpadu coklat yang keemasan, tampak kontras dengan pipinya yang bersih tanpa cela yang kini tidak pucat lagi, rona kemerahan telah tampak di situ.Begaimanapun saat ini adalah hari dimana ia merasa usahanya perlahan mulai menampakkan berita baik. Nathan akan menunda dulu cerita mengenai saudara tirinya itu agar tidak merusak suasana hati wanita ini.“Suatu saat aku akan menceritakan semua yang ingin kau katahui, ini hanya masalah waktu, SayangPanggilan itu sekali lagi membuat desir di hati Audrey tak tertahankan. Ia bisa menebak, lelaki di sampingnya tidak ingin suasana hatinya berubah karena mendengar sesuatu yang akan membuat ia tidak suka.Mungkin Nathan benar. Tapi ia tidak dapat mengenyahkan kenyataan bahwa jika ia tak pergi sendiri
Kau telah banyak membantu menguak tabir ini, Audrey,” ujar Patrick. “Berdasarkan informasi yang kau berikan dari sesi hipnotismu dua hari lalu, kami punya gambaran yang lebih jelas tentang keadaan fasilitas itu. Sepertinya dia punya banyak orang yang di rekrut untuk membantunya. Masalahnya, mereka itu siapa dan darimana asalnya?”“Mereka gelandangan.”“Apa?” Lima orang bertanya sekaligus.“Saat aku melatih, aku mendengar salah seorang pemuda menangis, mengatakan kalau dia ingin pulang. Pria yang memimpin latihan menghardiknya dan berkata, “Kau lupa? Kau tak punya rumah, layaknya idiot-idiot lain di sini. Kami memberi kalian para idiot gelandangan kesempatan tapi kalian bahkan tidak merasa beruntung.”“Itu masuk akal. Begitu banyak anak-anak jalanan sehingga tak ada yang kehilangan mereka saat mereka tak nampak.”Patrick berdiri, menandakan pertemuan hari ini akan usai. “Kau telah memberikan pemahaman baru bagi kami yang bahkan belum pernah kami pertimbangkan. Kerja yang bagus, Audrey.
Audrey mengedarkan pandangannya ke orang-orang dalam ruangan.“Suara lembut, jahat, melengking tapi maskulin, mengatakan padaku...” Audrey menelah ludah. “Dia akan menikmati saat menjinakkanku.”Nathan menahan perutnya yang bergolak, giginya gemeretak. Tapi ia berusaha menyembunyikan reaksi itu.Setelah menghembuskan napas panjang, Audrey berkata pelan. “Aku ingat rasa sakit...siksaan. Dia sangat menikmatinya.” Ia memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. “Aku mendengar tawa melengking...nyaris seperti memekik. Dia menertawakanku. Kurasa dia merancang siksaan berdasarkan yang menurutnya paling merendahkan dan sungguh menyakitkan.”Ketika Audrey membuka mata, Nathan yang memandangnya tidak berkedip, ingin melolong, ikut merasakan penderitaan nyata yang dipantulkan mata itu. Penderitaan dan rasa sakit tak terperi yang ia rasakan.“Aku digantung terbalik dalam kondisi telanjang...dan disirami air dingin. Kemudian dia menyuruh mereka meninggalkanku terbaring di satu tangan dan kakiku y
Troy Ferguson melangkahkan kaki ke dalam rumah utama, ia dilanda kebimbangan. Ia bertugas sebagai seorang eksekutor. Kali ini ia harus melakukan tugas itu lagi.Diketuknya pintu lab utama. Pemimpin membentak, “Masuk.”Dua pria berdiri di samping “Pemimpin”, mereka memegangi seorang wanita paruh baya, berambut gelap diantara mereka.Wanita itu telanjang. Tubuhnya lebam-lebam dan berdarah karena telah dipukuli. Penciumannya membawa aroma amis. Anak buah pemimpin sudah memakainya sebagai pelampiasan syahwat... wanita itu telah dihukum. Sungguh suatu pemandangan menyayat hati. Ia tak tahu alasannya, ia pun tak berani bertanya, karena kalau pemimpin sudah berkehendak, tiada yang boleh menghalangi. Jika pemimpin memilih untuk menghukum, itu haknya. Tidak ada yang boleh bertanya apalagi membangkang. Mata wanita itu bengkak dari pukulan bertubi-tubi yang telah ia terima. Dia mendongak, memandangnya dan sesuatu dalam dirinya tersentak, menusuk kebingungan tersebut. Wanita itu tersiksa, terluk
Wanita itu menariknya lagi. Meski pandangannya kabur, Audrey mengingat secangkir teh yang ia minum tadi sebelum tidur. Sambil mengelakkan tangaai yang mencengkeram kuat, Audrey bergerak ke samping wanita itu dan mengulurkan tangan. Jemarinya menggenggam cangkir yang akan ia pergunakan. Sebagai senjata, benda itu bukan berarti apa-apa tapi lebih baik dari pada tak ada sama sekali. Ia menunggu sampai wanita itu mendekatinya lagi. Dan ketika ia sudah mendekat, tangan itu ia ayun sekuatnya. Getaran benturan dan suara gedebug memuaskan, memberi tahu Audrey serangannya mengenai sasaran.Terdengar raungan kemarahan. “Aku akan pergi dari sini!” gumamnya. Ia lari meninggalkan kamar.Titik-titik hitam itu muncul di penglihatan Audrey, bertambah besar. Tapi ia tidak bisa membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Ia harus menghentikannya, dan tak ada orang lain yang dapat melakukan itu...kecuali dia sendiriTapi kakinya kaku tidak mau bekerja sama. Audrey tertatih, tersandung melintasi kamar dan m
"Bagaimana keadaanmu pagi ini?” tanya Nathan mengalihkan rasa canggungnya.“Baik, masih sedikit pusing.”“Ada yang kau ingat?”“Sedikit. Tidak ada yang penting.”“Seperti?”Audrey memijit keningnya dan meskipun Nathan lebih rela memakan kaca daripada memberikan lagi kepedihan pada istrinya itu, ia perlu tahu sebanyak yang ia bisa tentang apa yang Audrey ingat.“Ingatan-ingatan samar, bahkan lebih daripada saat aku tiba di sini.”Profesor Dimitri sudah memperkirakan hal itu. Pemulihan kecanduan obat-obatan membuat ingatan-ingatan itu memudar. Kita perlu mendapatkan sebanyak apapun yang bisa didapatkan sebelum ingatan itu memudar.Audrey mengangguk. “Iya, aku tahu… hanya saja sedikit sekali. Aku hanya ingat aku mengenakan pakaian putih…kurasa seragam. Aku ingat ruangan penuh matras, dan ada pertarungan. Tapi wajah-wajah di sana… semua berkabut.”Nathan memberikan sebuah bungkusan plastik kepada Audrey.“Ini apa?”“Peralatan melukis.”“Untuk apa?”“Kau pelukis yang berbakat, Audrey. Apa
"Kami akan melakukan apapun sebisa kami. Pertama kami akan coba menghipnotis. Sampai kami tahu, efek seperti apa yang terus di bawa obat itu. Aku tak suka merawatnya dengan menggunakan banyak macam obat.”Nathan menarik napas, siap dengan ancaman bila memang itu diperlukan. “Lakukan sebisamu. Jika dia tidak mengalami perkembangan, aku akan membawanya pulang bersamaku, akan kusembuhkan dengan caraku. Mungkin aku tidak akan memaksanya untuk sesuatu yang memang sudah betul-betul hilang dari ingatannya."Mata gelap Patrick menelusuri wajah Nathan, kemudian berpaling ke arah Profesor Dimitri. “Bagaimana menurutmu?”Profesor Dimitri mengangguk. “Nathan dan aku sudah membicarakan tentang ini tadi malam. Audrey merasa lebih tenang bersamanya, kurasa ini ide bagus.”Patrick menatap Nathan. “Kau tahu, Beningno sudah pasti akan mencarinya?”“Pasti aku akan menjaganya.” Nathan kembali menoleh ke arah Profesor Dimitri. “Apa yang seharusnya kuharapkan?”Ekspresi Dimitri terlihat frustasi. “Berdasar