Setelah beberapa jam mengendarai motor sambil kerapkali berhenti karena Runa merasa kelelahan, akhirnya ia sampai di rumah Ayu, Sang Ibu. Cuaca hari itu panas dan mereka tiba ketika siang hari. Terlihat pintu rumah Ayu masih tertutup, dan halamannya nampak kotor, seperti tidak dibersihkan selama berhari-hari.
“Assalamualaikum bu, ini Arka,” ucap Arka sambil mengetok pintu dengan keras-keras berharap ibunya mendengar teriakannya. “Iya… sebentar,” Ayu berteriak sambil berjalan, kemudian memutar kunci untuk membuka pintu. “Masuk nak, kenapa kamu bawa anak ini juga?” Tanya Ayu yang terlihat seperti tidak suka melihat kehadiran Aruna. “Iya bu, anakku sepertinya bosan di rumah terus jadi dia ingin ikut,” jawabnya dengan lemas, lelah karena perjalanan itu cukup menguras tenaganya. Arka menyuruh anaknya untuk segera ke kamar mandi untuk mandi dan berganti pakaian. Mendengar titah ayahnya, anak itu segera beranjak. Sambil memandangi neneknya dengan tatapan tidak suka. Hatinya tidak bisa dibohongi bahwa ia tahu jika sang nenek tak pernah menyukai dia dan ibunya. Di ruang tamu, Arka mulai perbincangan dengan ibunya. Ia nampak lelah setelah perjalanan dengan motor bututnya itu. Namun rasa lelah itu nampaknya tidak mengurungkan niatnya untuk bercerita peristiwa yang dialaminya beberapa hari yang lalu. Dengan ekspresi kecewa, ia mulai memulai obrolan itu. “Aku sudah dipecat dari pekerjaanku, bahkan sudah seminggu aku tidak bekerja, sementara ini mengandalkan pesangon yang tidak seberapa,” ucap arka dengan nada lemas seolah dialah makhluk paling menderita sedunia. Padahal pasca dipecat, dia belum mencoba melamar kemana-mana karena sibuk dengan kegalauannya selama ini. “Seharusnya kamu nggak usah nikah sama Anna, kalian itu nggak cocok. Meski mertuamu itu kaya tapi mereka sombong,” tegas Ayu penuh penekanan, ia seolah melihat umpan untuk menjatuhkan Anna. Dalam hatinya ia kasihan dengan nasib buruk yang menimpa anaknya, tapi ia justru menyalahkan menantunya atas kesialan itu. “Entahlah bu, sampai sekarang orang tua Anna sama sekali nggak peduli sama aku, masih aja acuh seolah-olah aku ini bukan siapa-siapa,” curhat Arka pada ibunya dengan wajah penuh kekesalan. Ia merasa, andai saja mertunya mau membantunya mungkin ia tidak perlu mendapatkan kesulitan hidup saat ini. “Sudahlah nak, tidak perlu membahas si perempuan bawa sial itu, nanti sore ibu akan mengenalkan kamu dengan keluarga juragan material di desa ini, dia punya sawah yang lebih luas daripada sawah ibu, lebih baik kamu berkenalan dengan dia, siapa tahu jodoh,” ucap Ayu dengan semangat berapi-api, seperti sedang mendapat undian berhadiah, dia nampak senang bercerita tentang perempuan yang akan dikenalkan pada Arka. Percakapan kedua orang tua itu ternyata sedari tadi didengar oleh Aruna. Batinnya tergoncang saat ia mendengar neneknya malah ingin menjodohkan ayahnya dengan perempuan lain. ia sebenarnya bukan anak biasa, sekilas dia terlihat seperti anak kecil yang akan masuk Sekolah Dasar, padahal dia sangat cerdas bahkan hasil kecerdasannya bisa setara dengan Anak SMP namun karena ia pendiam atau tak terlau menonjol, tak ada yang menyadari kelebihan Aruna termasuk ibunya sendiri, Anna. Aruna sebenarnya mulai menyadari gelagat buruk ayahnya saat ia tak sengaja mendengar pertengkaran orang tuanya hari itu. Ia mulai menyadari bahwa ayahnya mulai tidak tulus atau mengabaikan bundanya. Dia juga memiliki firasat buruk ketika ayahnya memilih untuk mudik. Berbekal rengekannya ia berhasil mempengaruhi ayah dan bundanya untuk mengijikannya ikut demi membuktikan firasat itu yang ternyata benar. Sore itu nampak, seorang laki-laki dan perempuan muda sudah duduk di ruang tamu milik Ayu. Disana juga terdapat sepasang ibu dan anak yang terlihat sumringah menyambut kedua tamu istimewa itu. “Ohh… jadi ini anak bungsu ibu Ayu yang dari kota itu,” tanya lelaki tua bernama Warsa itu. Warsa terkenal sebagai juragan material terkaya di desanya. Namun ia memiliki anak perempuan yang belum juga menikah. Si anak selama ini hidup dan bekerja di kota. Lelah dan khawatir dengan kondisi anaknya yang tak kunjung mendapatkan jodoh, ia memutuskan untuk mencarikan jodoh untuk anaknya. “Iya pak, ini anak saya yang paling kecil, dia sudah dipecat dari pekerjaanya dan istrinya juga galak, pokoknya perempuan nggak baik, kasihan dia sampai kurus begini gara-gara disuruh kerja terus,” ucap Ayu dengan terus mendramatisir, ia juga membuat anaknya seperti korban kesialan rumah tangganya. “Mas, kamu masih ingat aku? Aku Ningsih, adik kelas kamu saat SMP, dulu kamu sering banget godain aku karena aku cantik, apa benar mas Arka sedang proses cerai?” tanya perempuan muda berkulit sawo matang bernama Ningsih itu. Mendengar pertanyaan itu Arka mengernyitkan dahinya sambil melirik pada ibunya seolah-olah minta penjelasan, dia masih berusaha mencerna keadaan ini. Ia tidak menyangka bahwa ibunya telah mengarang cerita terkait proses cerainya dengan Anna. “Iya Ningsih, aku masih ingat kamu, dulu kamu sangat cantik, kita bahkan sempat dekat saat ibumu meninggal, kamu selalu cerita sambil nangis-nangis ke aku tapi kita semakin jauh saat kita lulus dann kamu bersekolah di kota tapi kalau tentang proses cerai-” Arka mulai menjelaskan perihal status pernikahannya, tiba-tiba ibunya memotong perkataannya. “Nak Ningsih, Arka ini baru tadi siang sampai disini, dia pasti kelelahan jadi nanti saja ngobrol berdua agar lebih akrab sambil nostalgia,” jawab Ayu penuh dengan senyum kepalsuan, ia mencoba mengambil alih obrolan agar Arka tidak merusak rencananya. “Jadi gimana pak? kita sepakat dengan harga kemarin ya, beri diskon lagilah, apalagi kita sebentar lagi jadi besan,” titah Ayu dengan wajah yang ia buat seramah mungkin guna mempengaruhi Warsa. Hubungan Ayu dan Warsa cukup dekat sebab lelaki itu adalah sahabat Ayah Arka. Mereka bahkan sempat menjodohkan Arka dan Ningsih, namun batal karena Arka lebih memilih Anna yang dikira merupakan putri orang kaya karena berasal dari kota. Runa yang bersembunyi dibalik tirai pembatas antara ruang tamu itu mulai geram dengan kelakuan neneknya. Ia tidak menyangka bahwa neneknya akan bertindak sejauh itu, hanya karena sang ibu tak kunjung memiliki anak laki-laki, ia tega menjodohkan anaknya dengan perempuan lain. “aku nggak akan biarkan Ayah bercerai dengan Bunda” gumam ia perlahan. Disisi lain, Anna dan Arini mulai bersiap untuk berangkat ke dokter kandungan. Berbekal info dari teman sesama gurunya, ia mulai memantapkan diri untuk berangkat meski tanpa Arka. Dengan mengendarai motor matic, ia mulai berjalan menuju klinik itu dan berhenti beberapa kali untuk mengisi bensin atau membelikan Rini jajan agar tidak mengantuk. Ia menggunakan gamis bewarna merah dan tak lupa menggunakan masker. Jalanan di kota itu sudah mulai kering karena sudah tiga hari tak turun hujan, cuaca panas tak mengurungkan niatnya untuk bertemu dokter itu. 30 menit kemudian mereka sampai di klinik itu, terlihat antrian masih sepi, Anna memang memilih antrian pagi, sesampainya di klinik, ia melihat nama di papan itu dr. Adrian M, SpOG. Adrian? Batin Anna, ia merasa tidak asing dengan nama itu, nama itu terus tergiang-ngiang bahkan ketika ia mulai dipanggil oleh suster yang berjaga. “Nyonya Anna Khairunnisa, silahkan masuk.” Ucap suster tersebut dengan ramah. Anna berjalan perlahan sambil menggandeng Rini yang tengah sibuk melahap permen lollipop kesukaannya. “Nyonya Anna,” ucap lelaki itu dengan ragu-ragu. Ia nampak terkejut melihat Anna, sudah lama mereka tidak bertemu, mungkin sekitar 20 tahun yang lalu saat mereka masih anak-anak. “iya pak dokter,” jawab Anna dengan ragu-ragu sambil menatap mata dokter itu, pikirannya mulai berkecamuk, ia seperti tidak merasa asing dengan lelaki di hadapannya. “Apakah kamu Anna putri dari Ibu Asih dan Bapak Iwan?” tanya lelaki itu. Lelaki itu nampak memperhatikannya dengan seksama, ekspresinya seolah-olah ragu dengan apa yang diucapkan. “Iya pak, bagaimana bapak mengenal orang tua saya?” Anna bertanya sambil terheran-heran, ia tidak merasa punya teman seorang dokter. Namun batinnya bergetar, ia merasa tidak asing dengan lelaki dihadapannya, apalagi ia menyebut nama orang tuanya. “Ini aku Adrian, Ann, teman masa kecil kamu, dulu kamu sering mengikutiku saat bermain, bahkan teman-teman sering mengejekmu karena kamu tidak punya teman. Setelah lulus Sekolah Dasar, aku pindah rumah karena orang tuaku pindah dinas kerja di rumah sakit yang terletak di kota lain, akhirnya kita terpisah dan lost contact,” papar Adrian dengan senyum ramahnya, matanya berkaca-kaca seolah dia menyimpan rasa haru yang dalam. “Subhanallah, ini mas Adrian, putra dari dokter Aini dan Agung yang dulu buka praktek di rumah?” tanya Anna dengan hati-hati seolah-olah ia khawatir pikirannya keliru. Dalam hati kecilnya, Anna sangat bahagia. Bagaimana tidak? Lelaki ini sudah seperti kakak baginya, selalu bersamanya saat kecil bahkan melindungi dia dari pembullyan, saat kecil Anna sangat pemalu, temannya tidak banyak dan dia sering dirundung teman-temannya. Setelah dirasa cukup bernostalgia, akhirnya mereka mulai membahas tujuan utama Anna menuju klinik dokter Adrian tersebut. Anna mulai bercerita terkait keinginannya untuk program hamil anak laki-laki, apa saja yang telah ia lakukan, kemudian mengapa suaminya tak turut serta membersamainya. Mendengar ceritanya, Adrian hanya menganggukkan kepala dan mulai memutuskan untuk melakukan usg transv dengan tujuan melihat kualitas sel telur dan meminta Anna untuk melakukan tes-tes yang mendukung promilnya. Anna memperhatikan dengan seksama dan antusias atas seluruh saran dari dokter yang ternyata teman masa kecilnya itu.Hari itu Arka berpamitan pada ibunya terkait kepulangannya ke kota. Ia tidak mungkin berlama-lama di kota kelahirannya itu. Hal ini dikarenakan 3 hari lagi sikembar akan masuk sekolah. Selain itu, ia juga mendapat kabar bahwa ada toko bunga yang baru buka di lokasi kerja dia yang dulu, ia mendapat kabar dari teman setongkrongan di warkop tempat ia biasa bermain game. Besar harapannya untuk dapat bekerja di bidang yang menurutnya sesuai dengan kemampuannya tersebut.Perjalanan tidak memakan waktu lama karena ia berangkat setelah shubuh. Perjalanan di tempuh tanpa hambatan, mesti ia nampak ogah-ogahan karena perasaannya pada Anna mulai berubah. Ia merasa Anna akhir-akhir ini terlalu mengaturnya, apalagi untuk program hamil anak laki-laki. Ia malas harus bertemu dokter yang pasti memintanya untuk gaya hidup sehat dan tidak boleh begadang, hal itu cukup menyiksa baginya yang kecanduan game online dan perokok aktif. Sepanjang jalan ia terus diberondong dengan pikiran-pikiran melelahkan ter
Semalaman Anna tak bisa tidur nyenyak. Ia kerapkali terbangun dirundung kegelisahan. Siapakah Clara? Mengapa dia chat malam-malam? Sejak kapan gawai suaminya di kunci? Pertanyaan itu terus menerus menghantuinya hingga pagi menjelang. Mulai terdengar suara adzan shubuh tanda panggilan sholat telah tiba. Anna menghentikan lamunannya, ia bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu kemudian mendirikan sholat. Dalam sholatpun, dia nampak tak khusyuk karena kegelisahan terus menghantam pikiran dan hatinya. Seusai sholat, Anna bergegas ke dapur menyiapkan sarapan untuk anak dan suami tercintanya. Ia mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak dan mencoba untuk mengabaikan segala pikiran yang membuatnya semakin curiga, siapakah Clara? Apakah Mas Arka selingkuh? Tak terasa waktunya membangunkan anak-anak untuk bersiap ke sekolah. Anna dengan cekatan dan lembut mulai membangunkan si kembar yang terlihat masih mengantuk. Sesekali mereka menguap dan kesulitan membuka matanya. Anna hanya bi
“Gimana Na, sudah isi apa belum?” ujar Ayu dengan tatapan tajamnya pada menantu perempuannya.Ia seringkali menanyakan pertanyaan itu dan berharap mendapat jawaban yang memuaskan ambisinya, memperolah cucu laki-laki dari anak lelaki kesayangannya.“Belum bu, doakanlah kami, lagipula saya masih ingin fokus mengasuh Arini dan Aruna, mereka sebentar lagi masuk Sekolan Dasar dan pasti semakin banyak keperluannya,” jawab Anna dengan helaan nafas panjang.Sebenarnya pertanyaan itu cukup mengganggunya, ia sudah berusaha semaksimal mungkin namun jika takdir tak berpihak padanya, dia bisa apa?Ibu Mertua mengernyitkan dahinya yang sudah penuh dengan goresan-goresan kehidupan dan berucap dengan penuh penekanan, “Apa? kamu gimana sih Na? Justru karena anakmu sudah besar, sudah saatnya mereka punya adik, dan adiknya harus laki-laki! Kasian Arka tidak punya anak laki-laki, apa kata orang nanti? Aura saja sudah punya anak laki-laki dan perempuan. Kamu jangan mau kalah sama dia!”“Bu, kami pasti aka
Hari itu langit tampak cerah, jalanan masih tampak basah karena semalam hujan mengguyur kota metropolitan itu. Terlihat orang-orang mulai berbondong-bondong untuk memulai aktivitasnya. Tidak terkecuali Arka. Ia menuju tempat kerjanya mengendarai motor butut warisan orang tuanya. Hari itu jalanan nampak padat merayap, terlihat kendaraan mulai perlahan berjalan pasca lampu merah di pertigaan itu. Jarak tempuh dari kontrakan menuju toko florist tidaklah jauh, sekitar 15 menit saja.Sesampainya di toko, Arka memarkirkan motornya. Hari itu sama sekali tak ada firasat buruk dalam benaknya, dengan langkah penuh semangat, ia berjalan menuju tokonya tanpa melihat tulisan dipintu tertera “close”. Toko terlihat sepi padahal sudah pkl 08.00 wib, biasanya sudah mulai ada aktivitas namun tidak di hari itu. Terlihat bos toko dengan wajah sayu tanpa semangat bahkan ia tak menyadari kalau Arka telah tiba.“Pagi bos, tumben pagi-pagi sudah di toko, biasanya siang baru nongol,” tanya Arka dengan senyum
Pagi itu cuaca cerah, matahari menyinari bumi memberikan kehangatan bagi siapapun yang sedang berjuang di bumi manusia, tidak terkecuali Anna. Ia telah menyempatkan waktunya untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan saran dari temannya. Sebenarnya jauh sebelum pilihannya tertuju pada promil ala dokter, ia telah mencoba cara-cara lain seperti berdiet, sering berolahraga seperti jogging, senam dan renang. Ia juga menambahkan konsumsi jamu tradisional dan vitamin seperti asam folat dan vitamin D. Namun seperti takdir tak berpihak padanya karena usahanya belum juga membuahkan hasil.“Bund, kenapa ayah sering di rumah ya, apa ayah tidak bekerja?” Celoteh Runa, meski ia baru berusia 7 tahun dan akan segera masuk SD, ia termasuk anak yang aktif karena seringkali bertanya perihal yang mengganggu pikirannya.“Iya nak, ayah libur, nanti kalau sudah masuk pasti akan bekerja lagi.” Jawab Anna dengan senyum. Dielus-elus rambut putri kesayangannya itu. Tak mengherankan jika Runa bertanya-tanya k
Semalaman Anna tak bisa tidur nyenyak. Ia kerapkali terbangun dirundung kegelisahan. Siapakah Clara? Mengapa dia chat malam-malam? Sejak kapan gawai suaminya di kunci? Pertanyaan itu terus menerus menghantuinya hingga pagi menjelang. Mulai terdengar suara adzan shubuh tanda panggilan sholat telah tiba. Anna menghentikan lamunannya, ia bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu kemudian mendirikan sholat. Dalam sholatpun, dia nampak tak khusyuk karena kegelisahan terus menghantam pikiran dan hatinya. Seusai sholat, Anna bergegas ke dapur menyiapkan sarapan untuk anak dan suami tercintanya. Ia mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak dan mencoba untuk mengabaikan segala pikiran yang membuatnya semakin curiga, siapakah Clara? Apakah Mas Arka selingkuh? Tak terasa waktunya membangunkan anak-anak untuk bersiap ke sekolah. Anna dengan cekatan dan lembut mulai membangunkan si kembar yang terlihat masih mengantuk. Sesekali mereka menguap dan kesulitan membuka matanya. Anna hanya bi
Hari itu Arka berpamitan pada ibunya terkait kepulangannya ke kota. Ia tidak mungkin berlama-lama di kota kelahirannya itu. Hal ini dikarenakan 3 hari lagi sikembar akan masuk sekolah. Selain itu, ia juga mendapat kabar bahwa ada toko bunga yang baru buka di lokasi kerja dia yang dulu, ia mendapat kabar dari teman setongkrongan di warkop tempat ia biasa bermain game. Besar harapannya untuk dapat bekerja di bidang yang menurutnya sesuai dengan kemampuannya tersebut.Perjalanan tidak memakan waktu lama karena ia berangkat setelah shubuh. Perjalanan di tempuh tanpa hambatan, mesti ia nampak ogah-ogahan karena perasaannya pada Anna mulai berubah. Ia merasa Anna akhir-akhir ini terlalu mengaturnya, apalagi untuk program hamil anak laki-laki. Ia malas harus bertemu dokter yang pasti memintanya untuk gaya hidup sehat dan tidak boleh begadang, hal itu cukup menyiksa baginya yang kecanduan game online dan perokok aktif. Sepanjang jalan ia terus diberondong dengan pikiran-pikiran melelahkan ter
Setelah beberapa jam mengendarai motor sambil kerapkali berhenti karena Runa merasa kelelahan, akhirnya ia sampai di rumah Ayu, Sang Ibu. Cuaca hari itu panas dan mereka tiba ketika siang hari. Terlihat pintu rumah Ayu masih tertutup, dan halamannya nampak kotor, seperti tidak dibersihkan selama berhari-hari.“Assalamualaikum bu, ini Arka,” ucap Arka sambil mengetok pintu dengan keras-keras berharap ibunya mendengar teriakannya.“Iya… sebentar,” Ayu berteriak sambil berjalan, kemudian memutar kunci untuk membuka pintu.“Masuk nak, kenapa kamu bawa anak ini juga?” Tanya Ayu yang terlihat seperti tidak suka melihat kehadiran Aruna.“Iya bu, anakku sepertinya bosan di rumah terus jadi dia ingin ikut,” jawabnya dengan lemas, lelah karena perjalanan itu cukup menguras tenaganya. Arka menyuruh anaknya untuk segera ke kamar mandi untuk mandi dan berganti pakaian. Mendengar titah ayahnya, anak itu segera beranjak. Sambil memandangi neneknya dengan tatapan tidak suka. Hatinya tidak bisa diboh
Pagi itu cuaca cerah, matahari menyinari bumi memberikan kehangatan bagi siapapun yang sedang berjuang di bumi manusia, tidak terkecuali Anna. Ia telah menyempatkan waktunya untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan saran dari temannya. Sebenarnya jauh sebelum pilihannya tertuju pada promil ala dokter, ia telah mencoba cara-cara lain seperti berdiet, sering berolahraga seperti jogging, senam dan renang. Ia juga menambahkan konsumsi jamu tradisional dan vitamin seperti asam folat dan vitamin D. Namun seperti takdir tak berpihak padanya karena usahanya belum juga membuahkan hasil.“Bund, kenapa ayah sering di rumah ya, apa ayah tidak bekerja?” Celoteh Runa, meski ia baru berusia 7 tahun dan akan segera masuk SD, ia termasuk anak yang aktif karena seringkali bertanya perihal yang mengganggu pikirannya.“Iya nak, ayah libur, nanti kalau sudah masuk pasti akan bekerja lagi.” Jawab Anna dengan senyum. Dielus-elus rambut putri kesayangannya itu. Tak mengherankan jika Runa bertanya-tanya k
Hari itu langit tampak cerah, jalanan masih tampak basah karena semalam hujan mengguyur kota metropolitan itu. Terlihat orang-orang mulai berbondong-bondong untuk memulai aktivitasnya. Tidak terkecuali Arka. Ia menuju tempat kerjanya mengendarai motor butut warisan orang tuanya. Hari itu jalanan nampak padat merayap, terlihat kendaraan mulai perlahan berjalan pasca lampu merah di pertigaan itu. Jarak tempuh dari kontrakan menuju toko florist tidaklah jauh, sekitar 15 menit saja.Sesampainya di toko, Arka memarkirkan motornya. Hari itu sama sekali tak ada firasat buruk dalam benaknya, dengan langkah penuh semangat, ia berjalan menuju tokonya tanpa melihat tulisan dipintu tertera “close”. Toko terlihat sepi padahal sudah pkl 08.00 wib, biasanya sudah mulai ada aktivitas namun tidak di hari itu. Terlihat bos toko dengan wajah sayu tanpa semangat bahkan ia tak menyadari kalau Arka telah tiba.“Pagi bos, tumben pagi-pagi sudah di toko, biasanya siang baru nongol,” tanya Arka dengan senyum
“Gimana Na, sudah isi apa belum?” ujar Ayu dengan tatapan tajamnya pada menantu perempuannya.Ia seringkali menanyakan pertanyaan itu dan berharap mendapat jawaban yang memuaskan ambisinya, memperolah cucu laki-laki dari anak lelaki kesayangannya.“Belum bu, doakanlah kami, lagipula saya masih ingin fokus mengasuh Arini dan Aruna, mereka sebentar lagi masuk Sekolan Dasar dan pasti semakin banyak keperluannya,” jawab Anna dengan helaan nafas panjang.Sebenarnya pertanyaan itu cukup mengganggunya, ia sudah berusaha semaksimal mungkin namun jika takdir tak berpihak padanya, dia bisa apa?Ibu Mertua mengernyitkan dahinya yang sudah penuh dengan goresan-goresan kehidupan dan berucap dengan penuh penekanan, “Apa? kamu gimana sih Na? Justru karena anakmu sudah besar, sudah saatnya mereka punya adik, dan adiknya harus laki-laki! Kasian Arka tidak punya anak laki-laki, apa kata orang nanti? Aura saja sudah punya anak laki-laki dan perempuan. Kamu jangan mau kalah sama dia!”“Bu, kami pasti aka