Dua hari kemudian, pengacara datang ke rumah Vina. Ia menyerahkan dokumen pernikahan Vina dan Dylan dan akte lahir Clara dengan nama keluarga Dylan.“Aku saja yang simpan dokumennya.” Dylan berkata pada Vina. “Biar kamu tidak bisa coba-coba mendaftarkan perceraian lagi!”Vina mencebik. “Ngapain juga bercerai. Paling kalau kamu ketauan selingkuh, aku kabur aja dan kali ini untuk selamanya.”“Wah, wah sudah mulai pake ancaman nih? Berani kamu kabur lagi dariku?” Dylan menarik istrinya ke dalam dekapan.“Berani aja. Aku sudah biasa hidup mandiri.”Dylan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. “Aku janji. Tapi, jangan cemburu kalau aku dekat dengan Goldies atau teman duet di panggung, atau meeting bersama wanita-wanita pengusaha.”“Oke. Aku nggak cemburu tapi sebaiknya kamu berinteraksi dalam batas normal saja.”“Siap.”Mereka bersiap mengantar Clara ke sekolah. Dylan meminta Vina berdandan rapi seperti hendak bekerja.“Kamu ada meeting di sini?”“Iya. Kamu ikut.”“Jadi, aku dipekerjakan
Dylan masuk ke dalam butik bersama dua orang pengawal. Vina menunggu signal di mobil dari Dylan untuk masuk. Sambil menunggu Vina membenahi penampilannya.Sesungguhnya, Vina tidak tau harus berbuat apa di depan Ayla. Namun, Dylan mendesaknya untuk mengikuti alur sandiwara yang dibuat. Semakin menit berlalu, jantung Vina semakin bertalu.“Selamat pagi, Lano. Selamat datang di butik.” Ayla tersenyum sangat manis dan mengulurkan tangannya untuk berjabatan.Pengawal di sisi Dylan langsung menggeleng. Ayla mengangguk singkat lalu menurunkan tangan. Tampak sedikit malu karena uluran tangannya diabaikan.Dylan berkeliling butik ditemani Ayla. Hingga kemudian, wanita itu membuka satu pintu di sampingnya.“Silahkan, Lano. Di sini kita bisa bicara private.” Dengan percaya diri, Ayla menawarkan ruangannya.“Aku ke sini bukan untuk bicara private. Setiap ke butik biasanya aku melihat laporan keseluruhan.” Dylan berkata tanpa menatap wajah Ayla.“Iya. Maksudku begitu. Kita bicara tentang laporan i
Ayla menunggu jawaban Vina. Berteman dengan Vina mungkin akan menguntungkannya. Apalagi, sekarang selain menjadi direktur butik, Vina juga dekat dengan Lano.“Hmm... Vina mengangguk-angguk lalu membalas, “Aku pikir, hubungan profesional akan lebih baik. Aku direktur dan kamu salah satu managerku.”“Lagipula, aku tidak ingin mengulang pertemanan denganmu!” Vina menambahkan.“Setelah bertahun-tahun, kamu masih marah? Tidak baik menyimpan dendam. Jalani saja pada takdir kita sekarang.”Dylan memandang Ayla dengan tatapan tak suka. Ingin membentak, tapi ia membiarkan Vina melakukannya sendiri agar istrinya lebih puas.“Oh, aku bersyukur dengan takdirku. Seperti sekarang. Aku atasanmu dan kamu bawahanku.” Vina kini bertatapan tajam dengan Alya.“Kamu terlihat masih tidak rela. Kamu masih mencintai Andreas, kan?”Pertanyaan Alya membuat Dylan tertawa mencemooh. Vina mendengus geli sambil melirik Dylan. “Tidak. Aku sudah dapat yang jauh lebih baik dari lelaki pengkhianat itu."Setelahnya, Vi
“Sebentar. Aku sedang nunggu paket.” Vina berdiri dari kursi kerja dan mengghampiri Dylan. “Clara sudah tidur?”“Umm... tidak tau. Aku meninggalkannya setelah ia berbaring.” Singkat, Dylan juga bercerita tentang kebersamaannya dengan sang putri.Vina menggeleng-geleng mendengar cara Dylan mendongeng untuk Clara. Ia lebih tak percaya lagi saat Dylan berjanji pada Clara untuk datang ke sekolah.“Dylan, pertemuan itu akan dihadiri orang tua murid lain. Kamu nggak bisa muncul begitu saja dan berkata bahwa Clara anakmu.” Vina berucap dengan nada frustasi.Tentu saja Dylan tidak mengerti. Selama ini ia tidak pernah tau bagaimana sekolah Clara. Lelaki itu mengaruk kepalanya yang tidak gatal.“Tapi, aku sudah janji pada Clara.”“Batalkan saja.”Dylan menggeleng. “Kasihan. Masa anak kita nanti terus-terusan dibilang pembohong karena daddynya nggak muncul.”Vina menghela napas kasar. “Makanya, kalau sama Clara, jangan asal janji.”Dylan terdiam sejenak. Suara bel membuat Vina melangkah ke pintu
“Mempelai pria tidak akan datang. Dia sedang sibuk dengan... wanita lain.”Suasana ballroom yang sejak tadi sunyi kini terdengar suara bisik-bisik. Vina berdehem untuk mendapatkan perhatian kembali.“Pesta tetap berlanjut. Silahkan nikmati makanan yang telah tersedia.”Vina dengan gaun pengantin cantik turun dari panggung dengan senyum di wajah. Bahkan menyapa ramah para tamu undangan yang memberikan ucapan penuh keprihatinan.“Aku nggak papa. Lebih baik tau sebelum pernikahan, bukan?” Kalimat itu yang selalu meluncur dari bibir Vina tiap kali keluarga atau kerabat menanyai keadaannya.Tapi akhirnya, Vina lelah juga. Betul kata orang bijak, pura-pura baik-baik saja itu butuh banyak tenaga.Sahabatnya, Ayla menyeretnya ke meja VIP. Ayla lah yang pertama kali tau bahwa Andreas – mantan tunangannya, selingkuh. Vina tidak percaya begitu saja.Hingga dua hari sebelum pernikahan, ditemani sahabatnya, Vina memergoki sang tunangan di kamar hotel dengan wanita lain. Detik itu juga Vina memutus
"Ni -- Nikah denganmu?"Lelaki asing itu mengangguk. "Sayang kan semua yang kamu siapkan ini sia-sia?" Ia mengendik pada gaun dan kamar pengantin."Kamu gila! Kita tidak saling mengenal dan.... "Terdengar gelak tawa yang memotong ucapan Vina. Dylan membalas dengan kalimat sindiran. “Bertunangan lama pun nggak menjamin sampai pelaminan, kan? Lagipula, ini balas dendam yang tepat."Vina bukan wanita yang spontan. Segala sesuatu biasanya ia persiapkan dengan matang. Namun kali ini emosi sedang menyelimutinya.Dan ternyata, begitu ia menyetujui ide dadakan tersebut, rencana berjalan sangat lancar. Di kamar pengantin itu Vina dan Dylan menikah secara resmi.Dylan melepas cincin hitam di jari kelingkingnya. Benda itu bahkan pas saat Dylan menyisipkan di jari manis Vina."Kalian sekarang sudah resmi sebagai suami-istri."Mendengar ucapan tersebut, bukannya saling bertatapan mesra seperti layaknya pasangan pengantin baru, keduanya malah terkekeh bersama. Kegilaan ini sejenak menghibur Vina.
Tiga tahun kemudian.“Mommy.”Vina menoleh. Dengan senyum mengembang, ia merentangkan tangan dan menangkap tubuh anak perempuan mungil yang memanggilnya, ‘mommy.’“Bagaimana les pianonya, Clara?” Vina mengusap rambut halus putrinya.Anak perempuan berusia dua tahun itu mengacungkan jempol. “Ara mau konser.”“Kata guru piano, Ara sangat berbakat. Apa mungkin keturunan dari Daddynya? Soalnya, mommy-nya kan buta nada,” bisik Rere dengan nada menyindir.Vina berdiri mendengar ucapan tersebut. Ia tersenyum pada wanita di depannya.“Terima kasih sudah anter Clara ke sini, ya, Re. Kamu memang adik terbaik.” Vina mencubit kencang pipi adiknya yang langsung memberengut.“Tak masalah. Aku selalu senang berada di butik ini. Siapa tau bisa ketemu CEO misteriusnya.” Rere menyahut sambil mengusap pipinya yang agak merah akibat kegemasan sang kakak.Vina mengerutkan dahi. Tiga tahun bekerja di butik, ia tidak pernah mendengar cerita tentang CEO tempatnya bekerja. Kenapa adiknya jadi sangat penasaran
“K-kamu bukan lagi suamiku.”Usai terdiam beberapa detik, Vina menyahut dengan menekan rasa deg-degan."Jadi, kita sudah bercerai?" Dylan mengangkat sebelah alisnya.Vina mengangguk singkat. Semoga Dylan tidak tau bahwa ia berbohong.Dulu, Vina memang ingin bercerai, atau melakukan pembatalan pernikahan. Namun, saat sadar dirinya hamil, Vina tentu saja mengurungkan niatnya.Ia tidak ingin anak yang dilahirkannya tidak memiliki ayah."Benar, kita tidak ada hubungan apa-apa sekarang." Vina berkata dengan nada santai padahal detak jantungnya tak karuan.Dylan memicingkan mata pada Vina. Lalu, tangannya terjulur ke depan Vina dan berkata tegas. "Mana surat cerainya? Aku mau lihat."Akh, sial. Vina mengumpat dalam hati. Kepalanya semakin menunduk dengan jari-jari tangan saling meremat."Ummm aku... aku menghilangkannya." Dua kali kebohongan. Vina mengembuskan napas berat."Benarkah? Dokumen sepenting itu kamu hilangkan?" Saat tidak kunjung mendapati sahutan dari Vina, Dylan berdecak kesal.
“Sebentar. Aku sedang nunggu paket.” Vina berdiri dari kursi kerja dan mengghampiri Dylan. “Clara sudah tidur?”“Umm... tidak tau. Aku meninggalkannya setelah ia berbaring.” Singkat, Dylan juga bercerita tentang kebersamaannya dengan sang putri.Vina menggeleng-geleng mendengar cara Dylan mendongeng untuk Clara. Ia lebih tak percaya lagi saat Dylan berjanji pada Clara untuk datang ke sekolah.“Dylan, pertemuan itu akan dihadiri orang tua murid lain. Kamu nggak bisa muncul begitu saja dan berkata bahwa Clara anakmu.” Vina berucap dengan nada frustasi.Tentu saja Dylan tidak mengerti. Selama ini ia tidak pernah tau bagaimana sekolah Clara. Lelaki itu mengaruk kepalanya yang tidak gatal.“Tapi, aku sudah janji pada Clara.”“Batalkan saja.”Dylan menggeleng. “Kasihan. Masa anak kita nanti terus-terusan dibilang pembohong karena daddynya nggak muncul.”Vina menghela napas kasar. “Makanya, kalau sama Clara, jangan asal janji.”Dylan terdiam sejenak. Suara bel membuat Vina melangkah ke pintu
Ayla menunggu jawaban Vina. Berteman dengan Vina mungkin akan menguntungkannya. Apalagi, sekarang selain menjadi direktur butik, Vina juga dekat dengan Lano.“Hmm... Vina mengangguk-angguk lalu membalas, “Aku pikir, hubungan profesional akan lebih baik. Aku direktur dan kamu salah satu managerku.”“Lagipula, aku tidak ingin mengulang pertemanan denganmu!” Vina menambahkan.“Setelah bertahun-tahun, kamu masih marah? Tidak baik menyimpan dendam. Jalani saja pada takdir kita sekarang.”Dylan memandang Ayla dengan tatapan tak suka. Ingin membentak, tapi ia membiarkan Vina melakukannya sendiri agar istrinya lebih puas.“Oh, aku bersyukur dengan takdirku. Seperti sekarang. Aku atasanmu dan kamu bawahanku.” Vina kini bertatapan tajam dengan Alya.“Kamu terlihat masih tidak rela. Kamu masih mencintai Andreas, kan?”Pertanyaan Alya membuat Dylan tertawa mencemooh. Vina mendengus geli sambil melirik Dylan. “Tidak. Aku sudah dapat yang jauh lebih baik dari lelaki pengkhianat itu."Setelahnya, Vi
Dylan masuk ke dalam butik bersama dua orang pengawal. Vina menunggu signal di mobil dari Dylan untuk masuk. Sambil menunggu Vina membenahi penampilannya.Sesungguhnya, Vina tidak tau harus berbuat apa di depan Ayla. Namun, Dylan mendesaknya untuk mengikuti alur sandiwara yang dibuat. Semakin menit berlalu, jantung Vina semakin bertalu.“Selamat pagi, Lano. Selamat datang di butik.” Ayla tersenyum sangat manis dan mengulurkan tangannya untuk berjabatan.Pengawal di sisi Dylan langsung menggeleng. Ayla mengangguk singkat lalu menurunkan tangan. Tampak sedikit malu karena uluran tangannya diabaikan.Dylan berkeliling butik ditemani Ayla. Hingga kemudian, wanita itu membuka satu pintu di sampingnya.“Silahkan, Lano. Di sini kita bisa bicara private.” Dengan percaya diri, Ayla menawarkan ruangannya.“Aku ke sini bukan untuk bicara private. Setiap ke butik biasanya aku melihat laporan keseluruhan.” Dylan berkata tanpa menatap wajah Ayla.“Iya. Maksudku begitu. Kita bicara tentang laporan i
Dua hari kemudian, pengacara datang ke rumah Vina. Ia menyerahkan dokumen pernikahan Vina dan Dylan dan akte lahir Clara dengan nama keluarga Dylan.“Aku saja yang simpan dokumennya.” Dylan berkata pada Vina. “Biar kamu tidak bisa coba-coba mendaftarkan perceraian lagi!”Vina mencebik. “Ngapain juga bercerai. Paling kalau kamu ketauan selingkuh, aku kabur aja dan kali ini untuk selamanya.”“Wah, wah sudah mulai pake ancaman nih? Berani kamu kabur lagi dariku?” Dylan menarik istrinya ke dalam dekapan.“Berani aja. Aku sudah biasa hidup mandiri.”Dylan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. “Aku janji. Tapi, jangan cemburu kalau aku dekat dengan Goldies atau teman duet di panggung, atau meeting bersama wanita-wanita pengusaha.”“Oke. Aku nggak cemburu tapi sebaiknya kamu berinteraksi dalam batas normal saja.”“Siap.”Mereka bersiap mengantar Clara ke sekolah. Dylan meminta Vina berdandan rapi seperti hendak bekerja.“Kamu ada meeting di sini?”“Iya. Kamu ikut.”“Jadi, aku dipekerjakan
“Lano itu Daddy Dylan?” Clara mengerutkan kening saat Dylan bicara jujur pada putrinya.Saat Dylan dan Vina mengangguk berbarengan, Clara masih menampakkan wajah tak percaya. Sepertinya mereka bertiga butuh bicara lebih serius.“Clara kenal Lano dari mana?” Dylan bertanya sambil tetap fokus menyetir.“Dari Auntie Rere. Auntie kan denger lagu Lano teruss. Di kamar Auntie juga banyak foto-foto Lano.”Dylan terkekeh sambil menggeleng. “Foto di kamar Auntie Rere sama kan seperti daddy.”Clara terdiam. Anak perempuan itu tampak berpikir keras, lalu menggeleng. “Ara nggak mau daddynya Lano, maunya Daddy Dylan.”“Lho, kok gitu?”“Kata Auntie Rere, Lano itu sulit digapai. Nggak real.” Clara berkata dengan meniru nada dan mimik Rere.“Astaga.” Dylan tergelak, sementara Vina menepuk dahinya.Pembicaraan itu terhenti karena mereka telah sampai di rumah. Dylan membuka pintu untuk Vina dan Clara. Lalu, dengan satu tangan mengangkat Clara dalam gendongannya.“Clara sudah empat tahun. Nggak perlu ka
Ruang keluarga Vina tiba-tiba menjadi ruang rapat dadakan. Selain Tamara dan Marcel, ia kedatangan pengawal inti, petinggi agensi dan pengacara pribadi keluarga Richmont.Jangan tanya bagaimana mereka semua bisa ada di sini di waktu bersamaan. Terkadang orang-orang kaya memang mampu mewujudkan keinginan mereka dalam sekejap.Pengacara langsung pergi setelah berdiskusi dengan Dylan dan Vina tentang dokumen pernikahan.Petinggi agensi setuju merahasiakan pernikahan musisi top mereka. Jika ada kebocoran informasi semua sepakat tidak akan ada konfirmasi."Aku mau jemput Clara." Vina berdiri dan berkata pada Dylan."Aku antar. Juan juga masih di sekitar rumah Allysa." Dylan ikut berdiri."Kalau begitu, kami lanjutkan rapat di hotel saja." Tamara langsung menutup tablet dan mengajak Marcel pergi.Vina menutup rumahnya yang kini sepi. Mobil-mobil mewah yang berjejer di jalanan depan rumahnya pun sudah pergi satu persatu.Semoga para tetangga sedang beraktifitas di luar dan tidak melihat kera
“Vina.” Tamara menyapa dengan senyum di bibir.“Maaf, kami datang tanpa persetujuan.” Marcel menimpali.Vina mengangguk singkat. Ia tetap berdiri di depan pintu, bingung harus berbuat apa hingga Tamara menoleh ke kiri dan kanan.“Boleh kamu masuk? Aku khawatir ada yang mengenali kami.” Tamara memohon pada Vina.Sejenak Vina sadar. Ia mengamati sekeliling. Pastinya kedatangan tiga mobil mewah di depan rumahnya sudah menjadi perhatian tersendiri bagi para tetangga.Apalagi, selama ini ia diketahui merupakan single parent. Vina mengembuskan napas panjang, lalu melebarkan pintu.“Iya, masuk lah.”Vina mempersilahkan Tamara dan Marcel duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, Clara datang mengembalikan ponsel sang mommy. Ia berjalan pelan menghampiri Vina.“Mommy.” Clara memanggil sambil mengawasi tamu-tamu.Vina menepuk sisi sofa, meminta Clara duduk di sampingnya. Clara menurut dan duduk dengan sikap santun.“Ini Nyonya Tamara dan Tuan Marcel.” Vina mengenalkan dua orang di depan mereka.“
Demi mendengar pertanyaan Vina, Dylan bangun. Sebenarnya, niatnya hanya sederhana. Ingin menghabiskan waktu seharian di ranjang bersama sang istri.Hanya saja sepertinya, Vina lebih menikmati peran sebagai ibu daripada istri. Mungkin karena terbiasa. Hingga Dylan harus lebih pengertian."Tentu saja aku sayang Clara dan ibunya." Dylan tersenyum dengan wajah bantal. "Ayo, sarapan bersama Clara."Clara diantar Juan ke kamar Vina dan Dylan. Rere berpamitan untuk ke kampus."Aku tunggu cerita bersatunya kalian, ya." Rere berbisik pada sang kakak. "By the way, aku bahagia banget kalian akhirnya bersatu."Vina hanya diam saja mendengar ucapan pelan sang adik. Ia tidak bisa menebak bagaimana perasaan Rere memiliki ipar yang merupakan idolanya.Saat Rere pergi, Vina menutup pintu. Ia melihat Clara yang sudah duduk di pangkuan Dylan."Kenapa kita gak makan di restoran bawah? Auntie Rere makan di sana." Clara bertanya sambil melihat makanan di meja."Daddy belum mandi." Dylan menjawab asal.Vina
Vina menahan napas sejenak mendengar permintaan Clara. Ia tau pasti, saat ini, Dylan belum bisa tampil ke publik dengan status telah memiliki seorang putri.“Hmm... bisa. Tapi, Daddy malu kalau bertemu teman-teman Clara. Jadi, Daddy hanya tunggu di mobil, ya.”Clara tampak berpikir, tetapi kemudian mengangguk membuat Vina tersenyum lega. Mereka duduk di sofa dan banyak mendengarkan celotehan Clara.“Ara sudah bisa membaca.”“Ara bisa bantu mommy masak.”“Ara bisa mandi sendiri.”“Mommy, kasih lihat daddy, aku bisa main piano.”Vina tersenyum lalu menunjukkan video Clara yang sedang konser mini di tempat les. Saat Dylan menatap layar ponsel, Clara naik ke pangkuan sang daddy dan ikut menonton tayangan ulang penampilannya.“Ara pintar, kan, Daddy?” Clara mendongak dan menatap wajah Dylan.“Pintar sekali. Clara tambah cantik dengan gaun princess ini.”“Itu mommy yang belikan. Soalnya, waktu Ara konser, mommy kerja di luar negeri, jadi mommy belikan Ara gaun cantik biar Ara nggak sedih.”