“K-kamu bukan lagi suamiku.”
Usai terdiam beberapa detik, Vina menyahut dengan menekan rasa deg-degan.
"Jadi, kita sudah bercerai?" Dylan mengangkat sebelah alisnya.
Vina mengangguk singkat. Semoga Dylan tidak tau bahwa ia berbohong.
Dulu, Vina memang ingin bercerai, atau melakukan pembatalan pernikahan. Namun, saat sadar dirinya hamil, Vina tentu saja mengurungkan niatnya.
Ia tidak ingin anak yang dilahirkannya tidak memiliki ayah.
"Benar, kita tidak ada hubungan apa-apa sekarang." Vina berkata dengan nada santai padahal detak jantungnya tak karuan.
Dylan memicingkan mata pada Vina. Lalu, tangannya terjulur ke depan Vina dan berkata tegas. "Mana surat cerainya? Aku mau lihat."
Akh, sial. Vina mengumpat dalam hati. Kepalanya semakin menunduk dengan jari-jari tangan saling meremat.
"Ummm aku... aku menghilangkannya." Dua kali kebohongan. Vina mengembuskan napas berat.
"Benarkah? Dokumen sepenting itu kamu hilangkan?" Saat tidak kunjung mendapati sahutan dari Vina, Dylan berdecak kesal. "Kapan kamu mengajukan perceraian?"
"Satu hari setelah kita menikah." Paling tidak, Vina tidak sepenuhnya membual karena hari itu ia benar-benar pergi ke gedung administrasi pencatatan pernikahan.
Dylan kembali mendengus. Kali ini pria itu berkacak pinggang, menatap Vina dengan pandangan terluka. "Apa alasanmu meninggalkanku sendiri di kamar hotel saat itu?"
“Aku menyesal menikah terburu-buru.” Kali ini, Vina berkata jujur. “Kita baru bertemu. Bagaimana kalau ternyata kamu pria jahat?”
Dylan tersenyum sinis, "Sekarang, kamu sudah tau siapa aku. Apa sekarang kamu menyesal kita bercerai?"
Sekilas, Vina mendongak menatap Dylan, lalu menggeleng. "Tidak," sahutnya dengan tenang.
Mendengar jawaban Vina, sepertinya Dylan bertambah kesal.
Dylan terdengar menggeram. "Aku tidak mau tau. Selama aku tidak melihat surat perceraian itu, aku anggap kita masih terikat pernikahan!"
Deg.
Vina spontan mendongak menatap wajah Dylan.
Baru akan membuka mulut untuk menolak pernyataan tersebut, Dylan kembali berkata tegas. "Kamu akan bekerja sebagai asisten dan penata busana pribadiku, ikut tur keliling dan bermacam kegiatan yang aku ikuti!"
Vina menggeleng keras. Tur keliling? "Aku tidak bisa." Ia tidak bisa meninggalkan Clara. “Butik ini bergantung padaku,” dalihnya kemudian.
"Bisa. Karena aku bosnya!" Dylan berkata dengan nada yang lebih tegas.
"Ya sudah, lebih baik aku mengundurkan diri."
Pandangan mereka beradu dengan sengit. Keduanya tidak terlihat ingin mengalah. Namun, Dylan tentu saja tidak ingin dikalahkan.
Untuk itu, pria itu tersenyum jumawa, sebelum berkata, "Kalau kamu mengundurkan diri, butik ini akan aku tutup. Semua karyawan aku berhentikan tanpa pesangon sepeser pun."
Mata Vina membelalak. "Jangan!” Ancaman Dylan bukan hanya akan berimbas padanya, tetapi pada seluruh pekerja. “Mereka sangat membutuhkan pekerjaan ini."
"Kalau begitu... kemasi barangmu dan pergi ke bandara X besok pagi!"
**
"Maaf, ya, Clara." Vina memeluk tubuh putrinya. Sejak pulang ke apartemen, Vina terus memberi pengertian pada putrinya.
Meski baru berusia dua tahun, Clara sangat cerdas dan penurut. Anak perempuan itu mengangguk-angguk.
"Mommy janji video call setiap hari."
"Tenang saja. Clara aman bersamaku." Rere mencoba menenangkan. "Kakak harusnya bangga mendapat pekerjaan ini. Banyak yang hanya bisa menghalu untuk bisa dekat-dekat dengan Dylan. Kakak tau kan, dia itu pujaan wanita seantero jagat raya!!"
Penasaran dengan ucapan adiknya, Vina duduk di depan laptop. Ia mengetik nama Dylan di pencarian. Sederet informasi keluar, lengkap dengan berbagai foto.
“Pantas saja Clara sudah terlihat memiliki bakat di bidang musik.” Vina menggumam kala melihat prestasi Dylan sejak kecil. “Rupanya menurun dari ayahnya.”
Selesai mencaritahu tentang Dylan, Vina menatap sang anak.
Bagaimana kalau Dylan tahu jika mereka memiliki anak? Bayangan-bayangan buruk lantas berkelebat di pikiran Vina.
Tidak, tidak. Ia tidak ingin Dylan merebut Clara dari sisinya. Dan lagi, agaknya Vina pun tidak sanggup berada di sisi Dylan sebagai seorang istri, sebab ia tahu… pria itu punya segudang wanita yang jauh lebih baik darinya.
Sebuah ide lantas terbersit begitu saja. Benar, Vina harus menyembunyikan putrinya dari Dylan. Kalau perlu, segera mendaftarkan perceraian.
Dini hari, Vina sudah siap menuju bandara. Saat berada di titik kumpul, Vina berdiri dan mengamati sekeliling.
"Kamu Vina? Penata busana Lano yang baru, kan?" Seseorang menyapa Vina.
Vina membalik tubuh. Lalu tercengang melihat wanita cantik di depannya. Wajah itu mirip dengan wajah Clara.
"Mmm... iya." Gugup, Vina menjawab.
Untung Vina sudah mencaritahu tentang Dylan semalam. Ia tahu, Lano adalah nama panggung yang pria itu gunakan.
"Hai. Aku Tamara, manager sekaligus kakak sulung Lano."
Mereka berjabatan. Pandangan mata Vina tidak lekat dari Tamara.
Dulu, saat melahirkan hingga sekarang, Vina sempat bertanya-tanya mirip siapa Clara itu. Ternyata wajah Clara mirip dengan wajah Kakak Dylan, bahkan mata indahnya juga sama. Vina hanya mewarisi warna kulit, juga rambut.
Mereka berjalan bersisian. Tamara cukup ramah dan lincah. Wanita itu terlihat sangat sibuk mengatur beberapa orang.
"Pelajari tugasmu ini. Lano bukan lelaki yang mudah.” Tamara memberi beberapa lembar berkas, lalu menepuk lengan atas Vina dan berjalan mendahului ke dalam pesawat. “Semoga kamu kuat.”
Vina mengernyit mendengar hal itu. Namun, otaknya lantas mengarahkan memorinya pada saat ia dan Dylan ‘melakukannya’ dulu.
Dylan. Kuat.
Oh, astaga! Vina lantas menggelengkan kepalanya.
Bisa-bisanya dia berpikir mesum ke arah sana!’
Dalam pesawat, Vina sama sekali tidak berinteraksi dengan Dylan. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan headphone di telinga… lalu tertidur hingga pesawat mendarat sempurna di tempat tujuan mereka.Vina mengguncang pelan tubuh Dylan yang masih tertidur lelap.“Apa?!” gumam pria itu terdengar kesal.“Sudah sampai.”Sementara Dylano memicingkan mata, Vina sudah lebih dulu bersiap untuk menuruni pesawat.Suasana bandara terlihat begitu ramai. Petugas keamanan yang terdiri dari pengawal pribadi, juga polisi terlihat menyebar di segala penjuru. Mereka memang ditugaskan untuk men-sterilkan jalan, sebab penggemar Dylan sudah mulai membludak menunggu sang artis tiba.Sorak-sorai para penggila Dylan terdengar mengelukan nama pria itu.“Lanoo!! Lano!!”Berada beberapa langkah di belakang Dylan, Vina mengamati bagaimana reaksi pria itu pada penggemarnya. Meski dikelilingi pengawal berbadan kekar, sesekali Dylan melambai dan menunduk santun pada para penggemar.Melihat hal itu mengingatkan Vin
Kaget, Vina langsung mendorong dada bidang Dylan. Lalu, mundur satu langkah."Ngapain kalian? Ayo, berangkat!" Tamara menatap Vina tajam, kemudian keluar dengan cepat.Dylan memicingkan mata. Lelaki itu berbisik sambil melewati Vina. "Kita lanjutkan nanti, istriku."Apa itu tadi? Apa Dylan benar-benar ingin menciumnya? Jantung Vina berdebar kencang saat menyeret koper keluar.Hari-hari Vina sungguh berat. Ia makan sambil berjalan, tidur hanya di dalam mobil. Itu pun jika Tamara tidak mengadakan briefing dadakan di perjalanan.Belum lagi semua kesalahan yang ditimpakan Dylan padanya. Dylan benar-benar memeras tenaga Vina.Seminggu berlalu, Vina mulai beradaptasi. Kini, jadwal serta penampilan seperti apa yang harus dibawakan Dylan sudah ia hapal di luar kepala.Malam ini, Vina akhirnya bisa video call dengan putrinya. Itu pun ia lakukan di kamar mandi sambil bersiap akan pergi.“Clara, sayang.” Vina menyapa wajah sang putri di layar ponsel.“Mommy bohong. Katanya mau video call setiap
Vina mengerutkan kening mendengar desahan Dylan. Vin, kamu di mana? Apa yang dimaksud adalah dirinya?Kepala Vina menggeleng tegas. Jangan ge-er, Vina. Ia mengingatkan dirinya sendiri.“Jaket ini harus dipakai dua lagu. Jangan dilempar sembarangan.” Tamara mengingatkan Dylan. “Kamu tau brand jaket itu adalah salah satu sponsor terbesar.”“Hem.” Dylan hanya berdehem menjawab pertanyaan sang kakak.Persiapan belakang panggung membuat Vina gugup. Seumur hidup ia belum pernah menonton konser musik.“Setelah Lano keluar, kamu harus berlari sampai ke depan panggung. Perhatikan apa yang dibutuhkan Lano di panggung. Evaluasi penampilannya.” Tamara memerintah Vina yang mengangguk meski tak terlalu mengerti.Di antara teriakan penggemar dan musik kencang, Vina berusaha fokus menatap Dylan di panggung. Ia akui, Dylan sangat hebat di panggung. Sangat energik dan menghayati setiap lagu yang dibawakan hingga membuat fans-nya semakin larut dalam lirik yang dinyanyikan.“Kenapa baru satu lagu jaketny
Semakin menggali informasi tentang Dylan, Vina semakin stress. Ia sampai bertanya-tanya, kenapa dulu ia sama sekali tidak mengenali Dylan sebagai seorang pesohor terkenal.Vina menutup internet. Sebelum tidur, ia membaca kembali schedule Dylan esok hari. Hingga Vina merasa ngantuk dan segera memejamkan mata.*Suara musik kencang*Terduduk, Vina membuka mata kaget. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm. Padahal rasanya baru beberapa menit ia tidur.Selesai membilas dan berpakaian, Vina menuju kamar Dylan. Sesaat, ia terpaku di depan pintu. Bagaimana jika ia masuk, Dylan masih tidur bersama Avrie?Begitu melihat Tamara di lorong, Vina segera menghampiri dan mengungkapkan kekhawatirannya. Tamara mengangkat kedua alis menatap Vina. Lalu, memberi kode untuk mengikutinya masuk ke kamar Dylan.Tebakan Vina, benar. Dylan masih tidur. Hanya saja sisi sampingnya kosong dan terlihat tetap rapi.“Acaranya satu jam lagi.” Tamara mengingatkan Vina sebelum keluar.Vina mengangguk mengerti dan segera
Ayla Sheira Maldeva. Sekian lama tidak tau kabar mantan sahabatnya, kini Vina melihat foto wanita itu di layar, dipromosikan menjadi manager.Ternyata karir Ayla semakin meningkat. Vina tidak pernah mau tau tentang keadaan mantan tunangan dan sahabatnya. Namun, Rere yang rajin bermain media sosial selalu memberi informasi.Orang bilang, pasangan yang selingkuh biasanya akan mendapat karma. Tapi, pada kasusnya, Vina merasa hidupnya lah yang justru lebih menyedihkan.“Setelah rapat tadi, kamu pucat. Apa kamu sakit?” Dylan bertanya pada Vina saat mereka telah di dalam mobil.“Eh, iya. Tadi siang, aku lihat kamu juga makan sedikit sekali, Vina.” Tamara ikut menambahkan.Bagaimana Vina bisa nafsu makan jika baru saja mendapati berita tentang Ayla? Ia menggeleng pelan. “Aku nggak papa.”Acara Dylan masih padat. Selesai menjadi CEO, Dylan kembali berprofesi sebagai penyanyi tenar. Saat ini ia dijadwalkan akan melakukan fans meeting.Vina kembali berdiri di belakang Dylan yang menandatangani
Duh! Kenapa tiba-tiba, Dylan teringat cincin itu, sih.“Aku simpan di rumah. Nanti aku kembalikan.” Semoga saja cincin itu masih ada di kamarnya. Vina mendesah dalam hati.“Kalau kamu mau, ambil saja. Asal jangan dijual. Cincin itu satu-satunya di dunia.”“Aku kembalikan saja.” Vina bersikeras.Pelayan yang datang membawakan makanan membuat mereka diam beberapa saat. Vina mengangkat kedua alisnya melihat menu makanan yang dipilih Dylan.Hampir semua daging. Sup daging, barbekiu daging, burger daging dan salad sayur. Untuk minuman, Dylan memilih susu.“Makan yang banyak. Kamu lebih kurus dari terakhir kita bertemu.”Vina tersentak mendapat perhatian dari Dylan. Perlahan, ia mengambil beberapa daging dan sayuran.Sementara Vina makan dengan porsi kecil, Dylan makan sangat banyak. Seperti tidak pernah kenyang. Pantas saja tubuhnya lebih besar dibanding keluarganya.Tamara dan Uncle Dennis saja berpostur sedang. Vina yakin pola makan dan olahraga Dylan menjadi faktor yang membuat tubuhnya
Vina menoleh. Rere berdiri dengan satu tangan terangkat, memegang benda yang Vina cari."Cincin ini yang Kak Vina cari?" ulang Rere.Berusaha tenang, Vina mengangguk. Lalu, tangannya menengadah meminta cincin hitam berlian itu. Namun, Rere menggeleng."Jelaskan dulu, bagaimana cincin ini bisa ada pada Kak Vina?""Dipinjamkan. Sekarang mau kakak kembalikan.""Siapa yang pinjemin?"Vina jadi kesal dicecar pertanyaan begitu. Dengan cepat, Vina merebutnya namun Rere lebih sigap.Sekarang, cincin itu dalam gengaman tangan Rere yang mengepal di belakang punggung."Kakak capek, Re. Ayo lah. Kakak hanya ingin menyimpan cincin itu dan mengembalikannya.""Aku kembalikan kalau kakak jujur. Bagaimana cincin Dylano Maximilian Goldson ini ada pada Kak Vina?"Vina melongo dengan mulut terbuka setengah. "Ka -- Kamu tau itu cincin milik Dylano?""Ini yang tadi sebenarnya ingin kutanyakan.""Kamu kembali ke sini karena mau mengembalikan cincin itu, kan? Ya sudah, sini. Berikan padaku.""Jawab dulu gima
Vina diam dengan tatapan sayu. Kepalanya menggeleng lemah.“Tidur lah, Re. Kita bicara lagi besok.”Tanpa mempedulikan panggilan Rere, Vina tetap berjalan ke kamarnya. Pintu ia kunci dari dalam. Lalu, Vina merebahkan tubuhnya.Suara notifikasi ponselnya terdengar. Vina menatap layar dan mengerutkan kening mendapat pesan dari Dylan.Segera, ia membukanya.“Sudah sampai?”Pesan berisi kalimat perhatian itu dibalas Vina singkat. Nama kontak Dylan di ponselnya langsung ia ganti. Vina berpikir beberapa saat.‘Debt Collector.’Vina terkekeh membaca nama itu lagi. Nama itu sesuai dengan cara pertemuan mereka. Menjelang dini hari, Vina baru bisa tidur.Beberapa jam kemudian, Vina merasa pipinya dielus dan dicium. Vina mendesah dan menggeliat.“Hem. Jangan menggodaku. Aku tidak akan terbuai.” Vina menggumam pelan.“Mommy ngomong apa?”Mata Vina spontan langsung membulat. Ia menoleh dan menatap wajah mungil di sampingnya.“Ara.” Vina memeluk putrinya. Berusaha menahan malu karena barusan berima
Akh, Vina baru sadar, ia tidak pernah bertanya pada Dylan. Saat itu ia memang memutuskan secara sepihak saja.Mau tak mau, Vina kembali menjelaskan pada Rere bahwa hingga saat ini Dylan taunya ia sudah mengajukan cerai."Lano percaya?""Tidak, sebelum ia melihat surat cerainya.""Lalu, rencana kakak gimana?""Tolong temani kakak ke kantor administrasi pernikahan untuk mendaftarkan perceraian." Vina memohon pada sang adik."Aku tebak, kakak juga gak bilang kalian punya Clara." Rere memgangkat kedua alisnya, menunggu jawab sang kakak.Vina menggeleng. Lagi-lagi, ia mengembuskan napas berat."Kakak malah bermaksud menyembunyikan status Clara."Rere memijat keningnya dengan keras. Sejak Vina hamil, ia sangat ingin tau bagaimana dan siapa yang membuat itu terjadi.Sekarang, begitu kenyataan terpampang di depannya, Rere sulit sekali mencerna berita yang baru ia dengar."Kami para penggemarnya bahkan sudah bahagia jika Lano tersenyum atau balas menatap. Belum lagi jika ada yang berhasil sala
Vina diam dengan tatapan sayu. Kepalanya menggeleng lemah.“Tidur lah, Re. Kita bicara lagi besok.”Tanpa mempedulikan panggilan Rere, Vina tetap berjalan ke kamarnya. Pintu ia kunci dari dalam. Lalu, Vina merebahkan tubuhnya.Suara notifikasi ponselnya terdengar. Vina menatap layar dan mengerutkan kening mendapat pesan dari Dylan.Segera, ia membukanya.“Sudah sampai?”Pesan berisi kalimat perhatian itu dibalas Vina singkat. Nama kontak Dylan di ponselnya langsung ia ganti. Vina berpikir beberapa saat.‘Debt Collector.’Vina terkekeh membaca nama itu lagi. Nama itu sesuai dengan cara pertemuan mereka. Menjelang dini hari, Vina baru bisa tidur.Beberapa jam kemudian, Vina merasa pipinya dielus dan dicium. Vina mendesah dan menggeliat.“Hem. Jangan menggodaku. Aku tidak akan terbuai.” Vina menggumam pelan.“Mommy ngomong apa?”Mata Vina spontan langsung membulat. Ia menoleh dan menatap wajah mungil di sampingnya.“Ara.” Vina memeluk putrinya. Berusaha menahan malu karena barusan berima
Vina menoleh. Rere berdiri dengan satu tangan terangkat, memegang benda yang Vina cari."Cincin ini yang Kak Vina cari?" ulang Rere.Berusaha tenang, Vina mengangguk. Lalu, tangannya menengadah meminta cincin hitam berlian itu. Namun, Rere menggeleng."Jelaskan dulu, bagaimana cincin ini bisa ada pada Kak Vina?""Dipinjamkan. Sekarang mau kakak kembalikan.""Siapa yang pinjemin?"Vina jadi kesal dicecar pertanyaan begitu. Dengan cepat, Vina merebutnya namun Rere lebih sigap.Sekarang, cincin itu dalam gengaman tangan Rere yang mengepal di belakang punggung."Kakak capek, Re. Ayo lah. Kakak hanya ingin menyimpan cincin itu dan mengembalikannya.""Aku kembalikan kalau kakak jujur. Bagaimana cincin Dylano Maximilian Goldson ini ada pada Kak Vina?"Vina melongo dengan mulut terbuka setengah. "Ka -- Kamu tau itu cincin milik Dylano?""Ini yang tadi sebenarnya ingin kutanyakan.""Kamu kembali ke sini karena mau mengembalikan cincin itu, kan? Ya sudah, sini. Berikan padaku.""Jawab dulu gima
Duh! Kenapa tiba-tiba, Dylan teringat cincin itu, sih.“Aku simpan di rumah. Nanti aku kembalikan.” Semoga saja cincin itu masih ada di kamarnya. Vina mendesah dalam hati.“Kalau kamu mau, ambil saja. Asal jangan dijual. Cincin itu satu-satunya di dunia.”“Aku kembalikan saja.” Vina bersikeras.Pelayan yang datang membawakan makanan membuat mereka diam beberapa saat. Vina mengangkat kedua alisnya melihat menu makanan yang dipilih Dylan.Hampir semua daging. Sup daging, barbekiu daging, burger daging dan salad sayur. Untuk minuman, Dylan memilih susu.“Makan yang banyak. Kamu lebih kurus dari terakhir kita bertemu.”Vina tersentak mendapat perhatian dari Dylan. Perlahan, ia mengambil beberapa daging dan sayuran.Sementara Vina makan dengan porsi kecil, Dylan makan sangat banyak. Seperti tidak pernah kenyang. Pantas saja tubuhnya lebih besar dibanding keluarganya.Tamara dan Uncle Dennis saja berpostur sedang. Vina yakin pola makan dan olahraga Dylan menjadi faktor yang membuat tubuhnya
Ayla Sheira Maldeva. Sekian lama tidak tau kabar mantan sahabatnya, kini Vina melihat foto wanita itu di layar, dipromosikan menjadi manager.Ternyata karir Ayla semakin meningkat. Vina tidak pernah mau tau tentang keadaan mantan tunangan dan sahabatnya. Namun, Rere yang rajin bermain media sosial selalu memberi informasi.Orang bilang, pasangan yang selingkuh biasanya akan mendapat karma. Tapi, pada kasusnya, Vina merasa hidupnya lah yang justru lebih menyedihkan.“Setelah rapat tadi, kamu pucat. Apa kamu sakit?” Dylan bertanya pada Vina saat mereka telah di dalam mobil.“Eh, iya. Tadi siang, aku lihat kamu juga makan sedikit sekali, Vina.” Tamara ikut menambahkan.Bagaimana Vina bisa nafsu makan jika baru saja mendapati berita tentang Ayla? Ia menggeleng pelan. “Aku nggak papa.”Acara Dylan masih padat. Selesai menjadi CEO, Dylan kembali berprofesi sebagai penyanyi tenar. Saat ini ia dijadwalkan akan melakukan fans meeting.Vina kembali berdiri di belakang Dylan yang menandatangani
Semakin menggali informasi tentang Dylan, Vina semakin stress. Ia sampai bertanya-tanya, kenapa dulu ia sama sekali tidak mengenali Dylan sebagai seorang pesohor terkenal.Vina menutup internet. Sebelum tidur, ia membaca kembali schedule Dylan esok hari. Hingga Vina merasa ngantuk dan segera memejamkan mata.*Suara musik kencang*Terduduk, Vina membuka mata kaget. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm. Padahal rasanya baru beberapa menit ia tidur.Selesai membilas dan berpakaian, Vina menuju kamar Dylan. Sesaat, ia terpaku di depan pintu. Bagaimana jika ia masuk, Dylan masih tidur bersama Avrie?Begitu melihat Tamara di lorong, Vina segera menghampiri dan mengungkapkan kekhawatirannya. Tamara mengangkat kedua alis menatap Vina. Lalu, memberi kode untuk mengikutinya masuk ke kamar Dylan.Tebakan Vina, benar. Dylan masih tidur. Hanya saja sisi sampingnya kosong dan terlihat tetap rapi.“Acaranya satu jam lagi.” Tamara mengingatkan Vina sebelum keluar.Vina mengangguk mengerti dan segera
Vina mengerutkan kening mendengar desahan Dylan. Vin, kamu di mana? Apa yang dimaksud adalah dirinya?Kepala Vina menggeleng tegas. Jangan ge-er, Vina. Ia mengingatkan dirinya sendiri.“Jaket ini harus dipakai dua lagu. Jangan dilempar sembarangan.” Tamara mengingatkan Dylan. “Kamu tau brand jaket itu adalah salah satu sponsor terbesar.”“Hem.” Dylan hanya berdehem menjawab pertanyaan sang kakak.Persiapan belakang panggung membuat Vina gugup. Seumur hidup ia belum pernah menonton konser musik.“Setelah Lano keluar, kamu harus berlari sampai ke depan panggung. Perhatikan apa yang dibutuhkan Lano di panggung. Evaluasi penampilannya.” Tamara memerintah Vina yang mengangguk meski tak terlalu mengerti.Di antara teriakan penggemar dan musik kencang, Vina berusaha fokus menatap Dylan di panggung. Ia akui, Dylan sangat hebat di panggung. Sangat energik dan menghayati setiap lagu yang dibawakan hingga membuat fans-nya semakin larut dalam lirik yang dinyanyikan.“Kenapa baru satu lagu jaketny
Kaget, Vina langsung mendorong dada bidang Dylan. Lalu, mundur satu langkah."Ngapain kalian? Ayo, berangkat!" Tamara menatap Vina tajam, kemudian keluar dengan cepat.Dylan memicingkan mata. Lelaki itu berbisik sambil melewati Vina. "Kita lanjutkan nanti, istriku."Apa itu tadi? Apa Dylan benar-benar ingin menciumnya? Jantung Vina berdebar kencang saat menyeret koper keluar.Hari-hari Vina sungguh berat. Ia makan sambil berjalan, tidur hanya di dalam mobil. Itu pun jika Tamara tidak mengadakan briefing dadakan di perjalanan.Belum lagi semua kesalahan yang ditimpakan Dylan padanya. Dylan benar-benar memeras tenaga Vina.Seminggu berlalu, Vina mulai beradaptasi. Kini, jadwal serta penampilan seperti apa yang harus dibawakan Dylan sudah ia hapal di luar kepala.Malam ini, Vina akhirnya bisa video call dengan putrinya. Itu pun ia lakukan di kamar mandi sambil bersiap akan pergi.“Clara, sayang.” Vina menyapa wajah sang putri di layar ponsel.“Mommy bohong. Katanya mau video call setiap
Dalam pesawat, Vina sama sekali tidak berinteraksi dengan Dylan. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan headphone di telinga… lalu tertidur hingga pesawat mendarat sempurna di tempat tujuan mereka.Vina mengguncang pelan tubuh Dylan yang masih tertidur lelap.“Apa?!” gumam pria itu terdengar kesal.“Sudah sampai.”Sementara Dylano memicingkan mata, Vina sudah lebih dulu bersiap untuk menuruni pesawat.Suasana bandara terlihat begitu ramai. Petugas keamanan yang terdiri dari pengawal pribadi, juga polisi terlihat menyebar di segala penjuru. Mereka memang ditugaskan untuk men-sterilkan jalan, sebab penggemar Dylan sudah mulai membludak menunggu sang artis tiba.Sorak-sorai para penggila Dylan terdengar mengelukan nama pria itu.“Lanoo!! Lano!!”Berada beberapa langkah di belakang Dylan, Vina mengamati bagaimana reaksi pria itu pada penggemarnya. Meski dikelilingi pengawal berbadan kekar, sesekali Dylan melambai dan menunduk santun pada para penggemar.Melihat hal itu mengingatkan Vin