Demi mendengar pertanyaan Vina, Dylan bangun. Sebenarnya, niatnya hanya sederhana. Ingin menghabiskan waktu seharian di ranjang bersama sang istri.Hanya saja sepertinya, Vina lebih menikmati peran sebagai ibu daripada istri. Mungkin karena terbiasa. Hingga Dylan harus lebih pengertian."Tentu saja aku sayang Clara dan ibunya." Dylan tersenyum dengan wajah bantal. "Ayo, sarapan bersama Clara."Clara diantar Juan ke kamar Vina dan Dylan. Rere berpamitan untuk ke kampus."Aku tunggu cerita bersatunya kalian, ya." Rere berbisik pada sang kakak. "By the way, aku bahagia banget kalian akhirnya bersatu."Vina hanya diam saja mendengar ucapan pelan sang adik. Ia tidak bisa menebak bagaimana perasaan Rere memiliki ipar yang merupakan idolanya.Saat Rere pergi, Vina menutup pintu. Ia melihat Clara yang sudah duduk di pangkuan Dylan."Kenapa kita gak makan di restoran bawah? Auntie Rere makan di sana." Clara bertanya sambil melihat makanan di meja."Daddy belum mandi." Dylan menjawab asal.Vina
“Mempelai pria tidak akan datang. Dia sedang sibuk dengan... wanita lain.”Suasana ballroom yang sejak tadi sunyi kini terdengar suara bisik-bisik. Vina berdehem untuk mendapatkan perhatian kembali.“Pesta tetap berlanjut. Silahkan nikmati makanan yang telah tersedia.”Vina dengan gaun pengantin cantik turun dari panggung dengan senyum di wajah. Bahkan menyapa ramah para tamu undangan yang memberikan ucapan penuh keprihatinan.“Aku nggak papa. Lebih baik tau sebelum pernikahan, bukan?” Kalimat itu yang selalu meluncur dari bibir Vina tiap kali keluarga atau kerabat menanyai keadaannya.Tapi akhirnya, Vina lelah juga. Betul kata orang bijak, pura-pura baik-baik saja itu butuh banyak tenaga.Sahabatnya, Ayla menyeretnya ke meja VIP. Ayla lah yang pertama kali tau bahwa Andreas – mantan tunangannya, selingkuh. Vina tidak percaya begitu saja.Hingga dua hari sebelum pernikahan, ditemani sahabatnya, Vina memergoki sang tunangan di kamar hotel dengan wanita lain. Detik itu juga Vina memutus
"Ni -- Nikah denganmu?"Lelaki asing itu mengangguk. "Sayang kan semua yang kamu siapkan ini sia-sia?" Ia mengendik pada gaun dan kamar pengantin."Kamu gila! Kita tidak saling mengenal dan.... "Terdengar gelak tawa yang memotong ucapan Vina. Dylan membalas dengan kalimat sindiran. “Bertunangan lama pun nggak menjamin sampai pelaminan, kan? Lagipula, ini balas dendam yang tepat."Vina bukan wanita yang spontan. Segala sesuatu biasanya ia persiapkan dengan matang. Namun kali ini emosi sedang menyelimutinya.Dan ternyata, begitu ia menyetujui ide dadakan tersebut, rencana berjalan sangat lancar. Di kamar pengantin itu Vina dan Dylan menikah secara resmi.Dylan melepas cincin hitam di jari kelingkingnya. Benda itu bahkan pas saat Dylan menyisipkan di jari manis Vina."Kalian sekarang sudah resmi sebagai suami-istri."Mendengar ucapan tersebut, bukannya saling bertatapan mesra seperti layaknya pasangan pengantin baru, keduanya malah terkekeh bersama. Kegilaan ini sejenak menghibur Vina.
Tiga tahun kemudian.“Mommy.”Vina menoleh. Dengan senyum mengembang, ia merentangkan tangan dan menangkap tubuh anak perempuan mungil yang memanggilnya, ‘mommy.’“Bagaimana les pianonya, Clara?” Vina mengusap rambut halus putrinya.Anak perempuan berusia dua tahun itu mengacungkan jempol. “Ara mau konser.”“Kata guru piano, Ara sangat berbakat. Apa mungkin keturunan dari Daddynya? Soalnya, mommy-nya kan buta nada,” bisik Rere dengan nada menyindir.Vina berdiri mendengar ucapan tersebut. Ia tersenyum pada wanita di depannya.“Terima kasih sudah anter Clara ke sini, ya, Re. Kamu memang adik terbaik.” Vina mencubit kencang pipi adiknya yang langsung memberengut.“Tak masalah. Aku selalu senang berada di butik ini. Siapa tau bisa ketemu CEO misteriusnya.” Rere menyahut sambil mengusap pipinya yang agak merah akibat kegemasan sang kakak.Vina mengerutkan dahi. Tiga tahun bekerja di butik, ia tidak pernah mendengar cerita tentang CEO tempatnya bekerja. Kenapa adiknya jadi sangat penasaran
“K-kamu bukan lagi suamiku.”Usai terdiam beberapa detik, Vina menyahut dengan menekan rasa deg-degan."Jadi, kita sudah bercerai?" Dylan mengangkat sebelah alisnya.Vina mengangguk singkat. Semoga Dylan tidak tau bahwa ia berbohong.Dulu, Vina memang ingin bercerai, atau melakukan pembatalan pernikahan. Namun, saat sadar dirinya hamil, Vina tentu saja mengurungkan niatnya.Ia tidak ingin anak yang dilahirkannya tidak memiliki ayah."Benar, kita tidak ada hubungan apa-apa sekarang." Vina berkata dengan nada santai padahal detak jantungnya tak karuan.Dylan memicingkan mata pada Vina. Lalu, tangannya terjulur ke depan Vina dan berkata tegas. "Mana surat cerainya? Aku mau lihat."Akh, sial. Vina mengumpat dalam hati. Kepalanya semakin menunduk dengan jari-jari tangan saling meremat."Ummm aku... aku menghilangkannya." Dua kali kebohongan. Vina mengembuskan napas berat."Benarkah? Dokumen sepenting itu kamu hilangkan?" Saat tidak kunjung mendapati sahutan dari Vina, Dylan berdecak kesal.
Dalam pesawat, Vina sama sekali tidak berinteraksi dengan Dylan. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan headphone di telinga… lalu tertidur hingga pesawat mendarat sempurna di tempat tujuan mereka.Vina mengguncang pelan tubuh Dylan yang masih tertidur lelap.“Apa?!” gumam pria itu terdengar kesal.“Sudah sampai.”Sementara Dylano memicingkan mata, Vina sudah lebih dulu bersiap untuk menuruni pesawat.Suasana bandara terlihat begitu ramai. Petugas keamanan yang terdiri dari pengawal pribadi, juga polisi terlihat menyebar di segala penjuru. Mereka memang ditugaskan untuk men-sterilkan jalan, sebab penggemar Dylan sudah mulai membludak menunggu sang artis tiba.Sorak-sorai para penggila Dylan terdengar mengelukan nama pria itu.“Lanoo!! Lano!!”Berada beberapa langkah di belakang Dylan, Vina mengamati bagaimana reaksi pria itu pada penggemarnya. Meski dikelilingi pengawal berbadan kekar, sesekali Dylan melambai dan menunduk santun pada para penggemar.Melihat hal itu mengingatkan Vin
Kaget, Vina langsung mendorong dada bidang Dylan. Lalu, mundur satu langkah."Ngapain kalian? Ayo, berangkat!" Tamara menatap Vina tajam, kemudian keluar dengan cepat.Dylan memicingkan mata. Lelaki itu berbisik sambil melewati Vina. "Kita lanjutkan nanti, istriku."Apa itu tadi? Apa Dylan benar-benar ingin menciumnya? Jantung Vina berdebar kencang saat menyeret koper keluar.Hari-hari Vina sungguh berat. Ia makan sambil berjalan, tidur hanya di dalam mobil. Itu pun jika Tamara tidak mengadakan briefing dadakan di perjalanan.Belum lagi semua kesalahan yang ditimpakan Dylan padanya. Dylan benar-benar memeras tenaga Vina.Seminggu berlalu, Vina mulai beradaptasi. Kini, jadwal serta penampilan seperti apa yang harus dibawakan Dylan sudah ia hapal di luar kepala.Malam ini, Vina akhirnya bisa video call dengan putrinya. Itu pun ia lakukan di kamar mandi sambil bersiap akan pergi.“Clara, sayang.” Vina menyapa wajah sang putri di layar ponsel.“Mommy bohong. Katanya mau video call setiap
Vina mengerutkan kening mendengar desahan Dylan. Vin, kamu di mana? Apa yang dimaksud adalah dirinya?Kepala Vina menggeleng tegas. Jangan ge-er, Vina. Ia mengingatkan dirinya sendiri.“Jaket ini harus dipakai dua lagu. Jangan dilempar sembarangan.” Tamara mengingatkan Dylan. “Kamu tau brand jaket itu adalah salah satu sponsor terbesar.”“Hem.” Dylan hanya berdehem menjawab pertanyaan sang kakak.Persiapan belakang panggung membuat Vina gugup. Seumur hidup ia belum pernah menonton konser musik.“Setelah Lano keluar, kamu harus berlari sampai ke depan panggung. Perhatikan apa yang dibutuhkan Lano di panggung. Evaluasi penampilannya.” Tamara memerintah Vina yang mengangguk meski tak terlalu mengerti.Di antara teriakan penggemar dan musik kencang, Vina berusaha fokus menatap Dylan di panggung. Ia akui, Dylan sangat hebat di panggung. Sangat energik dan menghayati setiap lagu yang dibawakan hingga membuat fans-nya semakin larut dalam lirik yang dinyanyikan.“Kenapa baru satu lagu jaketny
Demi mendengar pertanyaan Vina, Dylan bangun. Sebenarnya, niatnya hanya sederhana. Ingin menghabiskan waktu seharian di ranjang bersama sang istri.Hanya saja sepertinya, Vina lebih menikmati peran sebagai ibu daripada istri. Mungkin karena terbiasa. Hingga Dylan harus lebih pengertian."Tentu saja aku sayang Clara dan ibunya." Dylan tersenyum dengan wajah bantal. "Ayo, sarapan bersama Clara."Clara diantar Juan ke kamar Vina dan Dylan. Rere berpamitan untuk ke kampus."Aku tunggu cerita bersatunya kalian, ya." Rere berbisik pada sang kakak. "By the way, aku bahagia banget kalian akhirnya bersatu."Vina hanya diam saja mendengar ucapan pelan sang adik. Ia tidak bisa menebak bagaimana perasaan Rere memiliki ipar yang merupakan idolanya.Saat Rere pergi, Vina menutup pintu. Ia melihat Clara yang sudah duduk di pangkuan Dylan."Kenapa kita gak makan di restoran bawah? Auntie Rere makan di sana." Clara bertanya sambil melihat makanan di meja."Daddy belum mandi." Dylan menjawab asal.Vina
Vina menahan napas sejenak mendengar permintaan Clara. Ia tau pasti, saat ini, Dylan belum bisa tampil ke publik dengan status telah memiliki seorang putri.“Hmm... bisa. Tapi, Daddy malu kalau bertemu teman-teman Clara. Jadi, Daddy hanya tunggu di mobil, ya.”Clara tampak berpikir, tetapi kemudian mengangguk membuat Vina tersenyum lega. Mereka duduk di sofa dan banyak mendengarkan celotehan Clara.“Ara sudah bisa membaca.”“Ara bisa bantu mommy masak.”“Ara bisa mandi sendiri.”“Mommy, kasih lihat daddy, aku bisa main piano.”Vina tersenyum lalu menunjukkan video Clara yang sedang konser mini di tempat les. Saat Dylan menatap layar ponsel, Clara naik ke pangkuan sang daddy dan ikut menonton tayangan ulang penampilannya.“Ara pintar, kan, Daddy?” Clara mendongak dan menatap wajah Dylan.“Pintar sekali. Clara tambah cantik dengan gaun princess ini.”“Itu mommy yang belikan. Soalnya, waktu Ara konser, mommy kerja di luar negeri, jadi mommy belikan Ara gaun cantik biar Ara nggak sedih.”
Vina tidak pernah mempersiapkan diri dengan adegan ini. Otaknya selalu merancang sesuatu secara terorganisir.Tapi, Dylan selalu memberinya kejutan. Dan saat ini otaknya merespon cepat dengan anggukan kepala dan isakan tangis yang tertahan.Dylan berdiri, menyelipkan cincin berlian hitam dan kalung berlian yang sejak tadi digenggamnya. Vina shock, kini sadar, mengangguk artinya ia telah benar-benar menjadi istri seorang pesohor dunia -- selamanya."Kamu yakin?" Vina mendongak dan malah bertanya kalimat yang membuat Dylan terkekeh."Kalau tidak yakin aku tidak akan berada di sini. Menunggumu dua jam dengan terpaan angin dingin dan kekhawatiran jika kamu tidak akan pernah datang."Vina memejamkan mata sejenak dan mengangguk.Dylan merapatkan tubuh mereka. Tangannya memegang leher belakang Vina dan mendekatkan wajah hingga bibir mereka saling menempel.Pagutan ringan hingga liar penuh kerinduan membuat mereka lupa segalanya. Baru kali ini Vina merasa tubuhnya panas meski angin dingin ber
Begitu Rere sampai di rumah, Vina masih termenung di meja. Clara yang tertidur digendong Rendra ke kamarnya."Bagaimana, Kak?""Ternyata kamu yang bersekongkol dengan Dylan." Vina mencebik."Aku hanya pembuka jalan." Rere meminjam kalimat Dylan.Vina hanya mengembuskan napas panjang. Ia bahkan hanya mengangguk lemah saat Rendra berpamitan.Rere kemudian menarik tangan kakaknya untuk bicara di kamar. Vina menceritakan pembicaraannya dengan Dylan."Kak Vina gila? Kakak masih pikir-pikir? Sumpah, kakak tuh kaya nggak bersyukur banget." Rere langsung berkomentar pedas."Re! Kakak pernah mengalami sendiri bagaimana menjadi tim Dylan. Orang-orang di bandara, jalanan, restoran, perusahaan semua mengejarnya. Mata kakak bahkan sakit karena melihat lampu flash kamera. Bagaimana kakak dan Clara bisa hidup seperti itu?""Itu pasti bisa diatur tim keamanan Lano, Kak. Aku yakin Lano juga akan memikirkan keselamatan Kakak dan Clara."Baru kali ini, Vina dan Rere saling adu pendapat dengan sengit. Ke
Malam harinya, Rere mengajak Clara pergi dengan alasan untuk menemaninya kencan dengan Rendra.“Ngapain kencan bawa-bawa anak kecil?” Vina mengerutkan dahi. “Nanti malah mengganggu.”“Justru harus bawa pengganggu. Kalau tidak kami bisa kebablasan.” Rere mengedipkan satu matanya pada Vina yang langsung menggeleng.Vina masih terlihat keberatan. Meskipun besok akhir minggu, tetap saja ia ingin Clara di rumah pada malam hari.“Ara juga mau beli hadiah buat Allysa, mommy.” Clara merajuk agar diperbolehkan pergi.Diam-diam, Rere mengedipkan matanya pada Clara. Mereka memang sudah janjian untuk pergi bersama dan merayu Vina agar diizinkan.“Memangnya Allysa ulang tahun?”“Ih, mommy. Kata bu guru, kasih hadiah itu nggak harus ulang tahun. Kapan aja boleh.” Clara berucap dengan gaya sok tau.“Tapi, mommy sendirian dong di rumah.”“Mommy kerja aja, ya. Katanya mau bikin desain baju buat pesta Auntie Rere.” Clara kembali merayu.Rere sampai takjub sendiri melihat keahlian sang keponakan. Hingga
“Kita tidak bisa bersama, Dylan.” Vina menggeleng lemah dengan mata berkaca-kaca. “Bahkan kakak-kakakmu tidak akan setuju.”Dylan menatap Vina dalam-dalam. Ia merasa ucapan Vina begitu menyentuh hingga sadar yang dilakukan Tamara dan Marcel pada wanita di depannya sangat menyakiti hati Vina.Dylan menghampiri Vina. “Aku pribadi minta maaf atas prilaku mereka padamu. Mereka telah menyesalinya.”Kepala Vina hanya mengangguk pelan. Ia memang bukan wanita pendendam. Tapi, kenangan menyakitkan selalu sulit ia lupakan.“Aku tau apa yang mereka lakukan padamu dan setuju tindakan kakak-kakakku itu memang keterlaluan.”Dahi Vina berkerut dalam. “Kamu tau? Dari mana?”“Aku bisa tau apa pun yang ingin aku ketahui. Termasuk asal usul Clara.”Spontan, Vina balas menatap Dylan. Mereka saling berpandangan beberapa saat.“Aku harus berangkat kerja sekarang.” Vina akhirnya menemukan cara untuk menghindari Dylan.Dylan menghela napas dan mengangguk. “Sampaikan salamku untuk Herera.”Vina kembali memand
Vina terpaku di bawah tangga. Meski dengan masker wajah, ia tau siapa yang berdiri di depan Clara.“Dylan." Vina menggumam amat pelan.“Mommy, Ara mau berangkat, ya.” Dengan tak sabar, Clara menarik tangan Vina.“I – Iya. Sebentar.”Vina melewati Dylan. Ia sampai takut Dylan mendengar debaran jantungnya yang sangat kencang. Vina mengantar Clara masuk ke dalam mobil Anton.“Terima kasih, ya.” Vina berkata pada Anton.“Kamu ada tamu, Vin?” Anton tampak mengamati lelaki yang sedang memperhatikan mereka.“Iya. Orang kantor.”“Oh. Oke. Hati-hati.” Anton berpesan sambil tetap mengawasi lelaki di depan pintu rumah Vina sebelum menjalankan kendaraannya.Setelah beberapa kali pertemuan, Vina dan Anton menjadi dekat. Itu pun karena putri-putri mereka bersahabat. Vina dan Clara bahkan beberapa kali mengantar Allysa menjalani pengobatan kanker.Mobil Anton sudah menjauh. Vina melirik mobil mewah yang terparkir di sebrang jalan dan seorang lelaki tegap berdiri di sampingnya dengan waspada. Vina ke
Dylan mendengar cerita tentang Vina yang berhasil menjual berbagai produk Gold Dy secara online. Tamara juga mendapat kabar, Vina saat ini menjadi salah satu orang yang cukup berpengaruh di dunia fashion.“Rumah Mode Herera bahkan menerapkan sistem ‘waiting list’ untuk bertemu Vina,” ucap Tamara.Empat bulan saja waktu yang dibutuhkan Vina untuk melesatkan karirnya di bidang fashion. Sebenarnya, Dylan sudah mendengar kabar tersebut langsung dari Herera. Tapi, ia tidak menyangka kesuksesan Vina sampai menembus internasional.Tamara yang selama ini dikenal sebagai pengamat mode bahkan kagum dengan pencapaian Vina.“Ternyata selama ini kami memang salah menilai tentang Vina.” Tamara berkata dengan nada menyesal.“Dulu, kami benar-benar khawatir dengan kedekatanmu dengan Vina hingga menghinanya.” Marcel menimpali. “Kami takut ia memanfaatkan ketenaranmu.”Dylan terdiam. Ini saat yang ia tunggu-tunggu. Vina bisa membuktikan dirinya bisa menjelma menjadi seorang wanita yang kuat dan berpres
“Tiup lilinnya... tiup lilinnya.... !”Clara sejenak memejamkan mata dan berdoa. Setelahnya dengan senyum manis, ia meniup lilin angka empat di kue ulang tahun yang berhias boneka-boneka Barbie favoritnya.“Mommy, tadi Ara berdoa supaya dikasi Daddy sama Tuhan.” Clara berbisik pada Vina.Vina tersenyum prihatin dan mengusap sayang kepala sang putri. Ia mencium kedua pipi Clara dan membantunya memotong kue.Selagi Clara membagi-bagikan kue pada teman-temannya, Vina berjalan ke pojok untuk mengambil minuman. Doa Clara tadi tiba-tiba membuat tenggorokannya kering kerontang.“Pesta yang meriah dan sukses.”Vina yang baru meneguk minumannya menoleh. Anton berdiri di sampingnya dengan topi ulang tahun membuat Vina terkekeh.“Topi itu cocok untukmu.”“Masa? Baiklah. Akan aku gunakan terus.”Vina tersenyum dan menatap kerumunan anak-anak yang sedang makan kue sambil tertawa-tawa.“Baru kali ini aku bisa merayakan ulang tahun Clara. Biasanya hanya aku dan Rere saja yang memberinya hadiah kecil