“Mempelai pria tidak akan datang. Dia sedang sibuk dengan... wanita lain.”
Suasana ballroom yang sejak tadi sunyi kini terdengar suara bisik-bisik. Vina berdehem untuk mendapatkan perhatian kembali.
“Pesta tetap berlanjut. Silahkan nikmati makanan yang telah tersedia.”
Vina dengan gaun pengantin cantik turun dari panggung dengan senyum di wajah. Bahkan menyapa ramah para tamu undangan yang memberikan ucapan penuh keprihatinan.
“Aku nggak papa. Lebih baik tau sebelum pernikahan, bukan?” Kalimat itu yang selalu meluncur dari bibir Vina tiap kali keluarga atau kerabat menanyai keadaannya.
Tapi akhirnya, Vina lelah juga. Betul kata orang bijak, pura-pura baik-baik saja itu butuh banyak tenaga.
Sahabatnya, Ayla menyeretnya ke meja VIP. Ayla lah yang pertama kali tau bahwa Andreas – mantan tunangannya, selingkuh. Vina tidak percaya begitu saja.
Hingga dua hari sebelum pernikahan, ditemani sahabatnya, Vina memergoki sang tunangan di kamar hotel dengan wanita lain. Detik itu juga Vina memutuskan Andreas.
“Sudah kubilang untuk membatalkan saja pesta ini. Aku risih mendengar banyak orang bertanya tentangmu dan Andreas.” Ayla berbisik sambil menyiapkan piring makanan untuk Vina, lalu pergi untuk menemani para tamu.
Vina menatap sekeliling. Pesta pernikahan tanpa pengantin lelaki ini tetap berjalan meriah dengan dekorasi elegan dan band kenamaan. Hingga akhirnya matanya berair.
Tak mau keluarga dan kerabatnya melihat ia menangis, diam-diam Vina keluar dari ballroom. Perlahan berjalan menuju ruang ganti pakaian untuk sekedar menenangkan diri.
Langkahnya terhenti melihat pemandangan di depan pintu. Andreas dan Ayla sedang bercumbu di sofa. Dua orang terdekatnya ternyata berkhianat. Entah sejak kapan.
Kedua mata Vina hanya menatap kosong pada dua mahluk yang tak sadar ia perhatikan. Tidak ada air mata. Ia hanya mengutuk diri sendiri bagaimana selama ini begitu polos hingga tak tau apa yang terjadi di belakangnya.
Vina segera membalik tubuh dan setengah berlari menjauhi ruang ganti pakaian. Kakinya melangkah tak tentu arah. Hingga akhirnya ia melihat sebuah restoran yang sepi.
Setelah memesan minuman, Vina memangku wajahnya dan merenung. Jantungnya masih berdebar kencang mengingat apa yang barusan ia lihat. Sebenarnya Andreas bersama wanita di hotel atau dengan Ayla?
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyelinap ke bawah gaun pengantinnya yang lebar. Tak lama kemudian tiga lelaki kekar masuk dan berkeliling ruangan.
“Ssstttt.” Seorang lelaki bermasker melongokkan kepalanya dari balik gaun. “Tolong sembunyikan aku sebentar, ya.”
Vina mengerutkan kening tak suka. “Pasti lelaki yang di bawah gaunku yang mereka cari.” Vina membatin.
Berpikir cepat apa yang harus ia lakukan, Vina akhirnya memutuskan untuk pura-pura tidak tau. Hingga tiga lelaki kekar itu pergi.
“Mereka sudah pergi, kan?” Lelaki itu keluar dari gaun lebar Vina.
“Plak.” Tangan Vina spontan menampar pipi lelaki tersebut. “Dasar lelaki mesum!”
“Eh, aku nggak lihat apa-apa, kok.” Lelaki itu bersumpah pada Vina sambil memegangi pipinya.
“Lagian, apa nggak ada tempat lain untuk sembunyi dari para penagih hutang itu?”
“Hah? Penagih hutang?” Lelaki itu tampak terkejut.
Dengan wajah menahan marah, Vina melengos lalu pergi. Tetapi, lelaki itu malah membuntuti Vina.
“Aku ikut kamu, siapa tau mereka masih mengejarku.”
“Bukan urusanku!"
“Oh. Mereka juga akan mengejarmu, bahkan menangkapmu juga karena barusan kamu yang menyembunyikanku.” Lelaki itu mengancam sambil berkacak pinggang.
Ini pasti orang gila! Dengan wajah merengut kesal, Vina melewati lelaki itu dan masuk ke dalam lift yang kosong.
Hingga tiba di depan pintu kamar hotel, lelaki itu tetap membuntuti Vina.
“Cukup sampai di sini ngikutin aku.” Vina berkata tegas.
Vina membuka pintu. Saat ia akan masuk, lelaki itu segera mendahuluinya. Spontan, Vina berteriak kesal.
“Heii! Kamu tidak boleh masuk!”
Lelaki itu tidak menjawab. Ia terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap sekeliling. “Kamu... ini, kamar pengantin?”
“Keluar!” ulang Vina dengan jari telunjuk mengarah ke pintu. Nada suaranya bergetar saat memerintah.
Lelaki itu mengabaikan ucapan tegas Vina, lalu mengambil secarik kartu pada kue cantik di meja.
“Nona Vina... kami prihatin atas gagalnya pernikahan anda. Terimalah kue ini sebagai rasa kepedulian kami.” Lelaki itu membaca keras-keras. “Aku pikir kamu sedang syuting, pemotretan, cosplay atau apa lah. Ternyata pengantin betulan,” imbuhnya lagi sambil terkekeh.
“Tolong, keluar lah. Aku sedang ingin sendiri.” Vina seperti kehabisan daya untuk emosi, lalu menjatuhkan bokongnya ke sofa dan bersandar lemah.
“Nangis aja kalau mau nangis.” Lelaki itu memberi saran dengan santai. “Lagipula dia yang rugi karena tidak jadi menikahi wanita cantik sepertimu.”
Kalimat itu sudah berkali-kali ia dengar, namun saat ini terasa berbeda. Rasanya kata-kata itu menguatkan sekaligus melemahkannya. Vina jadi terisak sedih.
“Cup, cup, cup.” Lelaki itu menghampiri Vina lalu memeluknya. “Apa ini kali pertama kamu menangis semenjak membatalkan pernikahan?”
Vina tidak menjawab. Untuk sesaat ia larut dalam pelukan lelaki tak dikenal itu. Hingga akhirnya sadar dan mendorong dada lelaki di sampingnya.
“Kamu siapa, sih? Jangan sok menenangkanku.”
“Mmm kamu... tidak kenal aku?” Lelaki itu membuka masker wajahnya.
Kening Vina berkerut menatap si lelaki. Tampan, kulit bersih dengan mata berkilau, struktur wajahnya proporsional. Di mata Vina, lelaki ini seperti sosok playboy internasional.
“Tidak. Kita belum pernah bertemu, kan?”
Lelaki itu mengangkat kedua alisnya, lalu tergelak kencang sambil bertepuk tangan. Vina terpana melihat ketampanan lelaki itu justru bertambah saat tertawa.
“Akhirnya... ada juga wanita yang tidak mengenaliku.” Lelaki itu bergumam sambil menatap Vina dengan senyum misterius.
“Apa maksudmu?” Vina menggeleng bingung.
“Tidak, tidak.” Lelaki itu menggeleng dan menjulurkan tangan. “Kenalkan. Aku Dylan.”
Vina menatap uluran tangan itu tanpa membalasnya. Si lelaki akhirnya menurunkan tangan dan menatap prihatin pada Vina.
“Apa yang lelaki itu perbuat padamu? Selama dia tidak tiba-tiba mati, kamu wajib balas dendam!”
Spontan, Vina menoleh dan menatap Dylan. Saat ini, ia bahkan sulit bernapas, apalagi balas dendam yang butuh ekstra effort?
“Malas!” Vina menjawab dan menghela napas beratnya.
“Hem. Karena tadi kamu membantuku, aku akan balas budi.”
Vina menggeleng lemah. “Tidak perlu. Keluar saja dari kamar ini. Aku butuh ketenangan.”
“Tidak mau. Aku takut kamu bunuh diri.”
Pernyataan itu membuat bibir Vina mencebik. “Sebelum mati, aku ingin tau bagaimana mantan tunangan dan sahabatku bisa selingkuh.”
“What?” Mata Dylan terbelalak lalu memberi saran. “Daripada sedih-sedih, lebih baik menyalurkan energi negatifmu pada hal yang bisa membuat mereka terkejut.”
Vina menghela napas berat. “Aku belum tau harus melakukan apa.”
Dylan menatap sekeliling kamar yang bernuansa cream dan putih serta dekorasi bunga berwarna burgundy. “Aku punya solusi untuk masalahmu.” Dylan menatap Vina dengan wajah serius.
“Apa?”
“Menikah lah denganku!”
"Ni -- Nikah denganmu?"Lelaki asing itu mengangguk. "Sayang kan semua yang kamu siapkan ini sia-sia?" Ia mengendik pada gaun dan kamar pengantin."Kamu gila! Kita tidak saling mengenal dan.... "Terdengar gelak tawa yang memotong ucapan Vina. Dylan membalas dengan kalimat sindiran. “Bertunangan lama pun nggak menjamin sampai pelaminan, kan? Lagipula, ini balas dendam yang tepat."Vina bukan wanita yang spontan. Segala sesuatu biasanya ia persiapkan dengan matang. Namun kali ini emosi sedang menyelimutinya.Dan ternyata, begitu ia menyetujui ide dadakan tersebut, rencana berjalan sangat lancar. Di kamar pengantin itu Vina dan Dylan menikah secara resmi.Dylan melepas cincin hitam di jari kelingkingnya. Benda itu bahkan pas saat Dylan menyisipkan di jari manis Vina."Kalian sekarang sudah resmi sebagai suami-istri."Mendengar ucapan tersebut, bukannya saling bertatapan mesra seperti layaknya pasangan pengantin baru, keduanya malah terkekeh bersama. Kegilaan ini sejenak menghibur Vina.
Tiga tahun kemudian.“Mommy.”Vina menoleh. Dengan senyum mengembang, ia merentangkan tangan dan menangkap tubuh anak perempuan mungil yang memanggilnya, ‘mommy.’“Bagaimana les pianonya, Clara?” Vina mengusap rambut halus putrinya.Anak perempuan berusia dua tahun itu mengacungkan jempol. “Ara mau konser.”“Kata guru piano, Ara sangat berbakat. Apa mungkin keturunan dari Daddynya? Soalnya, mommy-nya kan buta nada,” bisik Rere dengan nada menyindir.Vina berdiri mendengar ucapan tersebut. Ia tersenyum pada wanita di depannya.“Terima kasih sudah anter Clara ke sini, ya, Re. Kamu memang adik terbaik.” Vina mencubit kencang pipi adiknya yang langsung memberengut.“Tak masalah. Aku selalu senang berada di butik ini. Siapa tau bisa ketemu CEO misteriusnya.” Rere menyahut sambil mengusap pipinya yang agak merah akibat kegemasan sang kakak.Vina mengerutkan dahi. Tiga tahun bekerja di butik, ia tidak pernah mendengar cerita tentang CEO tempatnya bekerja. Kenapa adiknya jadi sangat penasaran
“K-kamu bukan lagi suamiku.”Usai terdiam beberapa detik, Vina menyahut dengan menekan rasa deg-degan."Jadi, kita sudah bercerai?" Dylan mengangkat sebelah alisnya.Vina mengangguk singkat. Semoga Dylan tidak tau bahwa ia berbohong.Dulu, Vina memang ingin bercerai, atau melakukan pembatalan pernikahan. Namun, saat sadar dirinya hamil, Vina tentu saja mengurungkan niatnya.Ia tidak ingin anak yang dilahirkannya tidak memiliki ayah."Benar, kita tidak ada hubungan apa-apa sekarang." Vina berkata dengan nada santai padahal detak jantungnya tak karuan.Dylan memicingkan mata pada Vina. Lalu, tangannya terjulur ke depan Vina dan berkata tegas. "Mana surat cerainya? Aku mau lihat."Akh, sial. Vina mengumpat dalam hati. Kepalanya semakin menunduk dengan jari-jari tangan saling meremat."Ummm aku... aku menghilangkannya." Dua kali kebohongan. Vina mengembuskan napas berat."Benarkah? Dokumen sepenting itu kamu hilangkan?" Saat tidak kunjung mendapati sahutan dari Vina, Dylan berdecak kesal.
Dalam pesawat, Vina sama sekali tidak berinteraksi dengan Dylan. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan headphone di telinga… lalu tertidur hingga pesawat mendarat sempurna di tempat tujuan mereka.Vina mengguncang pelan tubuh Dylan yang masih tertidur lelap.“Apa?!” gumam pria itu terdengar kesal.“Sudah sampai.”Sementara Dylano memicingkan mata, Vina sudah lebih dulu bersiap untuk menuruni pesawat.Suasana bandara terlihat begitu ramai. Petugas keamanan yang terdiri dari pengawal pribadi, juga polisi terlihat menyebar di segala penjuru. Mereka memang ditugaskan untuk men-sterilkan jalan, sebab penggemar Dylan sudah mulai membludak menunggu sang artis tiba.Sorak-sorai para penggila Dylan terdengar mengelukan nama pria itu.“Lanoo!! Lano!!”Berada beberapa langkah di belakang Dylan, Vina mengamati bagaimana reaksi pria itu pada penggemarnya. Meski dikelilingi pengawal berbadan kekar, sesekali Dylan melambai dan menunduk santun pada para penggemar.Melihat hal itu mengingatkan Vin
Kaget, Vina langsung mendorong dada bidang Dylan. Lalu, mundur satu langkah."Ngapain kalian? Ayo, berangkat!" Tamara menatap Vina tajam, kemudian keluar dengan cepat.Dylan memicingkan mata. Lelaki itu berbisik sambil melewati Vina. "Kita lanjutkan nanti, istriku."Apa itu tadi? Apa Dylan benar-benar ingin menciumnya? Jantung Vina berdebar kencang saat menyeret koper keluar.Hari-hari Vina sungguh berat. Ia makan sambil berjalan, tidur hanya di dalam mobil. Itu pun jika Tamara tidak mengadakan briefing dadakan di perjalanan.Belum lagi semua kesalahan yang ditimpakan Dylan padanya. Dylan benar-benar memeras tenaga Vina.Seminggu berlalu, Vina mulai beradaptasi. Kini, jadwal serta penampilan seperti apa yang harus dibawakan Dylan sudah ia hapal di luar kepala.Malam ini, Vina akhirnya bisa video call dengan putrinya. Itu pun ia lakukan di kamar mandi sambil bersiap akan pergi.“Clara, sayang.” Vina menyapa wajah sang putri di layar ponsel.“Mommy bohong. Katanya mau video call setiap
Vina mengerutkan kening mendengar desahan Dylan. Vin, kamu di mana? Apa yang dimaksud adalah dirinya?Kepala Vina menggeleng tegas. Jangan ge-er, Vina. Ia mengingatkan dirinya sendiri.“Jaket ini harus dipakai dua lagu. Jangan dilempar sembarangan.” Tamara mengingatkan Dylan. “Kamu tau brand jaket itu adalah salah satu sponsor terbesar.”“Hem.” Dylan hanya berdehem menjawab pertanyaan sang kakak.Persiapan belakang panggung membuat Vina gugup. Seumur hidup ia belum pernah menonton konser musik.“Setelah Lano keluar, kamu harus berlari sampai ke depan panggung. Perhatikan apa yang dibutuhkan Lano di panggung. Evaluasi penampilannya.” Tamara memerintah Vina yang mengangguk meski tak terlalu mengerti.Di antara teriakan penggemar dan musik kencang, Vina berusaha fokus menatap Dylan di panggung. Ia akui, Dylan sangat hebat di panggung. Sangat energik dan menghayati setiap lagu yang dibawakan hingga membuat fans-nya semakin larut dalam lirik yang dinyanyikan.“Kenapa baru satu lagu jaketny
Semakin menggali informasi tentang Dylan, Vina semakin stress. Ia sampai bertanya-tanya, kenapa dulu ia sama sekali tidak mengenali Dylan sebagai seorang pesohor terkenal.Vina menutup internet. Sebelum tidur, ia membaca kembali schedule Dylan esok hari. Hingga Vina merasa ngantuk dan segera memejamkan mata.*Suara musik kencang*Terduduk, Vina membuka mata kaget. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm. Padahal rasanya baru beberapa menit ia tidur.Selesai membilas dan berpakaian, Vina menuju kamar Dylan. Sesaat, ia terpaku di depan pintu. Bagaimana jika ia masuk, Dylan masih tidur bersama Avrie?Begitu melihat Tamara di lorong, Vina segera menghampiri dan mengungkapkan kekhawatirannya. Tamara mengangkat kedua alis menatap Vina. Lalu, memberi kode untuk mengikutinya masuk ke kamar Dylan.Tebakan Vina, benar. Dylan masih tidur. Hanya saja sisi sampingnya kosong dan terlihat tetap rapi.“Acaranya satu jam lagi.” Tamara mengingatkan Vina sebelum keluar.Vina mengangguk mengerti dan segera
Ayla Sheira Maldeva. Sekian lama tidak tau kabar mantan sahabatnya, kini Vina melihat foto wanita itu di layar, dipromosikan menjadi manager.Ternyata karir Ayla semakin meningkat. Vina tidak pernah mau tau tentang keadaan mantan tunangan dan sahabatnya. Namun, Rere yang rajin bermain media sosial selalu memberi informasi.Orang bilang, pasangan yang selingkuh biasanya akan mendapat karma. Tapi, pada kasusnya, Vina merasa hidupnya lah yang justru lebih menyedihkan.“Setelah rapat tadi, kamu pucat. Apa kamu sakit?” Dylan bertanya pada Vina saat mereka telah di dalam mobil.“Eh, iya. Tadi siang, aku lihat kamu juga makan sedikit sekali, Vina.” Tamara ikut menambahkan.Bagaimana Vina bisa nafsu makan jika baru saja mendapati berita tentang Ayla? Ia menggeleng pelan. “Aku nggak papa.”Acara Dylan masih padat. Selesai menjadi CEO, Dylan kembali berprofesi sebagai penyanyi tenar. Saat ini ia dijadwalkan akan melakukan fans meeting.Vina kembali berdiri di belakang Dylan yang menandatangani
Akh, Vina baru sadar, ia tidak pernah bertanya pada Dylan. Saat itu ia memang memutuskan secara sepihak saja.Mau tak mau, Vina kembali menjelaskan pada Rere bahwa hingga saat ini Dylan taunya ia sudah mengajukan cerai."Lano percaya?""Tidak, sebelum ia melihat surat cerainya.""Lalu, rencana kakak gimana?""Tolong temani kakak ke kantor administrasi pernikahan untuk mendaftarkan perceraian." Vina memohon pada sang adik."Aku tebak, kakak juga gak bilang kalian punya Clara." Rere memgangkat kedua alisnya, menunggu jawab sang kakak.Vina menggeleng. Lagi-lagi, ia mengembuskan napas berat."Kakak malah bermaksud menyembunyikan status Clara."Rere memijat keningnya dengan keras. Sejak Vina hamil, ia sangat ingin tau bagaimana dan siapa yang membuat itu terjadi.Sekarang, begitu kenyataan terpampang di depannya, Rere sulit sekali mencerna berita yang baru ia dengar."Kami para penggemarnya bahkan sudah bahagia jika Lano tersenyum atau balas menatap. Belum lagi jika ada yang berhasil sala
Vina diam dengan tatapan sayu. Kepalanya menggeleng lemah.“Tidur lah, Re. Kita bicara lagi besok.”Tanpa mempedulikan panggilan Rere, Vina tetap berjalan ke kamarnya. Pintu ia kunci dari dalam. Lalu, Vina merebahkan tubuhnya.Suara notifikasi ponselnya terdengar. Vina menatap layar dan mengerutkan kening mendapat pesan dari Dylan.Segera, ia membukanya.“Sudah sampai?”Pesan berisi kalimat perhatian itu dibalas Vina singkat. Nama kontak Dylan di ponselnya langsung ia ganti. Vina berpikir beberapa saat.‘Debt Collector.’Vina terkekeh membaca nama itu lagi. Nama itu sesuai dengan cara pertemuan mereka. Menjelang dini hari, Vina baru bisa tidur.Beberapa jam kemudian, Vina merasa pipinya dielus dan dicium. Vina mendesah dan menggeliat.“Hem. Jangan menggodaku. Aku tidak akan terbuai.” Vina menggumam pelan.“Mommy ngomong apa?”Mata Vina spontan langsung membulat. Ia menoleh dan menatap wajah mungil di sampingnya.“Ara.” Vina memeluk putrinya. Berusaha menahan malu karena barusan berima
Vina menoleh. Rere berdiri dengan satu tangan terangkat, memegang benda yang Vina cari."Cincin ini yang Kak Vina cari?" ulang Rere.Berusaha tenang, Vina mengangguk. Lalu, tangannya menengadah meminta cincin hitam berlian itu. Namun, Rere menggeleng."Jelaskan dulu, bagaimana cincin ini bisa ada pada Kak Vina?""Dipinjamkan. Sekarang mau kakak kembalikan.""Siapa yang pinjemin?"Vina jadi kesal dicecar pertanyaan begitu. Dengan cepat, Vina merebutnya namun Rere lebih sigap.Sekarang, cincin itu dalam gengaman tangan Rere yang mengepal di belakang punggung."Kakak capek, Re. Ayo lah. Kakak hanya ingin menyimpan cincin itu dan mengembalikannya.""Aku kembalikan kalau kakak jujur. Bagaimana cincin Dylano Maximilian Goldson ini ada pada Kak Vina?"Vina melongo dengan mulut terbuka setengah. "Ka -- Kamu tau itu cincin milik Dylano?""Ini yang tadi sebenarnya ingin kutanyakan.""Kamu kembali ke sini karena mau mengembalikan cincin itu, kan? Ya sudah, sini. Berikan padaku.""Jawab dulu gima
Duh! Kenapa tiba-tiba, Dylan teringat cincin itu, sih.“Aku simpan di rumah. Nanti aku kembalikan.” Semoga saja cincin itu masih ada di kamarnya. Vina mendesah dalam hati.“Kalau kamu mau, ambil saja. Asal jangan dijual. Cincin itu satu-satunya di dunia.”“Aku kembalikan saja.” Vina bersikeras.Pelayan yang datang membawakan makanan membuat mereka diam beberapa saat. Vina mengangkat kedua alisnya melihat menu makanan yang dipilih Dylan.Hampir semua daging. Sup daging, barbekiu daging, burger daging dan salad sayur. Untuk minuman, Dylan memilih susu.“Makan yang banyak. Kamu lebih kurus dari terakhir kita bertemu.”Vina tersentak mendapat perhatian dari Dylan. Perlahan, ia mengambil beberapa daging dan sayuran.Sementara Vina makan dengan porsi kecil, Dylan makan sangat banyak. Seperti tidak pernah kenyang. Pantas saja tubuhnya lebih besar dibanding keluarganya.Tamara dan Uncle Dennis saja berpostur sedang. Vina yakin pola makan dan olahraga Dylan menjadi faktor yang membuat tubuhnya
Ayla Sheira Maldeva. Sekian lama tidak tau kabar mantan sahabatnya, kini Vina melihat foto wanita itu di layar, dipromosikan menjadi manager.Ternyata karir Ayla semakin meningkat. Vina tidak pernah mau tau tentang keadaan mantan tunangan dan sahabatnya. Namun, Rere yang rajin bermain media sosial selalu memberi informasi.Orang bilang, pasangan yang selingkuh biasanya akan mendapat karma. Tapi, pada kasusnya, Vina merasa hidupnya lah yang justru lebih menyedihkan.“Setelah rapat tadi, kamu pucat. Apa kamu sakit?” Dylan bertanya pada Vina saat mereka telah di dalam mobil.“Eh, iya. Tadi siang, aku lihat kamu juga makan sedikit sekali, Vina.” Tamara ikut menambahkan.Bagaimana Vina bisa nafsu makan jika baru saja mendapati berita tentang Ayla? Ia menggeleng pelan. “Aku nggak papa.”Acara Dylan masih padat. Selesai menjadi CEO, Dylan kembali berprofesi sebagai penyanyi tenar. Saat ini ia dijadwalkan akan melakukan fans meeting.Vina kembali berdiri di belakang Dylan yang menandatangani
Semakin menggali informasi tentang Dylan, Vina semakin stress. Ia sampai bertanya-tanya, kenapa dulu ia sama sekali tidak mengenali Dylan sebagai seorang pesohor terkenal.Vina menutup internet. Sebelum tidur, ia membaca kembali schedule Dylan esok hari. Hingga Vina merasa ngantuk dan segera memejamkan mata.*Suara musik kencang*Terduduk, Vina membuka mata kaget. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm. Padahal rasanya baru beberapa menit ia tidur.Selesai membilas dan berpakaian, Vina menuju kamar Dylan. Sesaat, ia terpaku di depan pintu. Bagaimana jika ia masuk, Dylan masih tidur bersama Avrie?Begitu melihat Tamara di lorong, Vina segera menghampiri dan mengungkapkan kekhawatirannya. Tamara mengangkat kedua alis menatap Vina. Lalu, memberi kode untuk mengikutinya masuk ke kamar Dylan.Tebakan Vina, benar. Dylan masih tidur. Hanya saja sisi sampingnya kosong dan terlihat tetap rapi.“Acaranya satu jam lagi.” Tamara mengingatkan Vina sebelum keluar.Vina mengangguk mengerti dan segera
Vina mengerutkan kening mendengar desahan Dylan. Vin, kamu di mana? Apa yang dimaksud adalah dirinya?Kepala Vina menggeleng tegas. Jangan ge-er, Vina. Ia mengingatkan dirinya sendiri.“Jaket ini harus dipakai dua lagu. Jangan dilempar sembarangan.” Tamara mengingatkan Dylan. “Kamu tau brand jaket itu adalah salah satu sponsor terbesar.”“Hem.” Dylan hanya berdehem menjawab pertanyaan sang kakak.Persiapan belakang panggung membuat Vina gugup. Seumur hidup ia belum pernah menonton konser musik.“Setelah Lano keluar, kamu harus berlari sampai ke depan panggung. Perhatikan apa yang dibutuhkan Lano di panggung. Evaluasi penampilannya.” Tamara memerintah Vina yang mengangguk meski tak terlalu mengerti.Di antara teriakan penggemar dan musik kencang, Vina berusaha fokus menatap Dylan di panggung. Ia akui, Dylan sangat hebat di panggung. Sangat energik dan menghayati setiap lagu yang dibawakan hingga membuat fans-nya semakin larut dalam lirik yang dinyanyikan.“Kenapa baru satu lagu jaketny
Kaget, Vina langsung mendorong dada bidang Dylan. Lalu, mundur satu langkah."Ngapain kalian? Ayo, berangkat!" Tamara menatap Vina tajam, kemudian keluar dengan cepat.Dylan memicingkan mata. Lelaki itu berbisik sambil melewati Vina. "Kita lanjutkan nanti, istriku."Apa itu tadi? Apa Dylan benar-benar ingin menciumnya? Jantung Vina berdebar kencang saat menyeret koper keluar.Hari-hari Vina sungguh berat. Ia makan sambil berjalan, tidur hanya di dalam mobil. Itu pun jika Tamara tidak mengadakan briefing dadakan di perjalanan.Belum lagi semua kesalahan yang ditimpakan Dylan padanya. Dylan benar-benar memeras tenaga Vina.Seminggu berlalu, Vina mulai beradaptasi. Kini, jadwal serta penampilan seperti apa yang harus dibawakan Dylan sudah ia hapal di luar kepala.Malam ini, Vina akhirnya bisa video call dengan putrinya. Itu pun ia lakukan di kamar mandi sambil bersiap akan pergi.“Clara, sayang.” Vina menyapa wajah sang putri di layar ponsel.“Mommy bohong. Katanya mau video call setiap
Dalam pesawat, Vina sama sekali tidak berinteraksi dengan Dylan. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan headphone di telinga… lalu tertidur hingga pesawat mendarat sempurna di tempat tujuan mereka.Vina mengguncang pelan tubuh Dylan yang masih tertidur lelap.“Apa?!” gumam pria itu terdengar kesal.“Sudah sampai.”Sementara Dylano memicingkan mata, Vina sudah lebih dulu bersiap untuk menuruni pesawat.Suasana bandara terlihat begitu ramai. Petugas keamanan yang terdiri dari pengawal pribadi, juga polisi terlihat menyebar di segala penjuru. Mereka memang ditugaskan untuk men-sterilkan jalan, sebab penggemar Dylan sudah mulai membludak menunggu sang artis tiba.Sorak-sorai para penggila Dylan terdengar mengelukan nama pria itu.“Lanoo!! Lano!!”Berada beberapa langkah di belakang Dylan, Vina mengamati bagaimana reaksi pria itu pada penggemarnya. Meski dikelilingi pengawal berbadan kekar, sesekali Dylan melambai dan menunduk santun pada para penggemar.Melihat hal itu mengingatkan Vin