Hati Flavia berdebar. Foto itu lebih dari sekadar gambar; itu adalah bukti ketulusan yang selama ini dia ragukan. Flavia tiba-tiba merasa bersalah. Semua kecemburuannya—terhadap wanita lain, —ternyata tidak beralasan. Dengan tangan gemetar, dia mengambil ponselnya.Ketika Alessandro mengangkat telepon, suara Flavia terdengar ragu-ragu namun penuh penyesalan. “Dokter … aku minta maaf. Aku terlalu sibuk mencurigaimu hingga lupa melihat ketulusanmu. Kalau kau masih mau, bisakah kau datang ke Cirebon? Aku ingin memberikan jawaban atas cintamu.”Di seberang sana, Alessandro terdiam sesaat sebelum melompat dari kursinya, berjingkrak seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah. “Serius, Fla? Kau serius?”Flavia terkikik mendengar reaksinya. “Ya, aku serius. Tapi aku ingin kau datang ke rumah uwa Kardi. Dia seperti orang tua bagiku, dan aku ingin bicara ini di hadapannya.”Tanpa berpikir panjang, Alessandro menjawab, “Aku akan ke sana! Tunggu aku besok.”Keesokan harinya, Flavia menjalani ruti
Matahari sudah beranjak condong ke barat. Flavia, atau Fla, masih sibuk menyusun laporan stok barang di meja kecil toko material tempatnya bekerja. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Sesekali ia melirik Seno, rekan kerjanya yang sedang merapikan barang di rak-rak tinggi di sudut toko.Wajah Seno terlihat sendu sejak obrolan mereka tadi siang. Fla sadar, perkataan spontan yang keluar dari mulutnya soal cintanya pada Dokter Alessandro telah melukai hati Seno. Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk menghampiri pria itu.“Seno …” Fla memanggilnya ragu. Suaranya pelan, nyaris berbisik.Seno menoleh sebentar, lalu pura-pura sibuk dengan tumpukan cat kaleng yang sedang ia atur. “Ada apa?” tanyanya singkat, tanpa menatap Fla.Fla menghela napas. Ia tahu ini akan sulit. “Aku … mau minta maaf. Aku nggak maksud—”“Nggak apa-apa, Fla.” Seno memotong dengan cepat. Nadanya datar, tapi ada getar kecil yang sulit ia sembunyikan. “Kamu nggak perlu minta maaf. Perasaan itu kan nggak
Ruangan keluarga yang hangat dihiasi sinar matahari sore terasa hening. Dr. Alessandro duduk di hadapan orang tuanya, Sofia dan Maximus, dengan raut wajah penuh keraguan. Ia menarik napas panjang, mencoba menyusun keberanian."Ibu, Ayah, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," katanya pelan.Sofia mengalihkan pandangannya dari majalah yang sedang dibacanya, sementara Maximus menutup koran dan menatap putranya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Alessandro? Kamu terlihat gugup," tanya Maximus.Dr. Alessandro tersenyum kaku, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Aku ... Aku jatuh cinta lagi," ucapnya dengan suara bergetar.Sofia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Benarkah? Dengan siapa?"Dr. Ale mengangguk senang.Maximus menaikkan alisnya, memandang Alessandro dengan penuh rasa ingin tahu. "Siapa wanita itu?" tanyanya."Namanya Flavia," kata Alessandro. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Dia dulu pasienku, dan kami mulai saling mengenal lebih dekat. Aku suka bagaimana dia sederhana, tulus,
"Fla, aku akan mengajakmu untuk bertemu dengan orang tuaku, mereka akan membicarakan hubungan kita selanjutnya." Zafran, lelaki yang sudah lima tahun mengisi hari-hari Flavia dengan kebahagiaan."Se_sekarang?" Flavia melebarkan pandangannya dengan alis yang terangkat.Zafran mengangguk pelan dengan senyum yang terukir indah menghiasi wajah gantengnya.Pagi itu, langit Brebes cerah seperti biasa. Angin sepoi-sepoi menyapa Flavia yang duduk di belakang motor Zafran, tangannya memeluk erat pinggang pria itu. Mereka dalam perjalanan menuju rumah orang tua Zafran untuk membicarakan rencana pernikahan mereka. Flavia tersenyum bahagia, meskipun hatinya selalu diliputi sedikit kekhawatiran. Bagaimana tidak, Zafran adalah anak orang kaya, sedangkan ia hanyalah anak dari ibu yang hidup sederhana, tepatnya hanya sebagai pedagang kecil alias buka warung di rumahnya.“Kamu yakin mereka setuju sama aku, Mas?” tanya Flavia, mencondongkan sedikit tubuhnya untuk lebih dekat ke telinga Zafran.Zafran
Flavia duduk di ruang tamu, pandangannya kosong menatap jendela. Sejak kecelakaan itu, banyak hal berubah dalam hidupnya. Kakinya belum pulih sepenuhnya, dan lebih parah lagi, Zafran, kekasihnya, semakin jarang berkunjung. Dulu, setiap hari Zafran selalu ada di sisinya, memastikan dia baik-baik saja. Tapi sekarang? Kehadirannya mulai langka. Bahkan sahabatnya, Aurellia, yang biasanya sering nongol dengan candaannya, kini entah ke mana.Hati Flavia dipenuhi tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa keduanya seperti menghilang begitu saja dari hidupnya? Seakan dunia luar menjauh darinya, hanya menyisakan sunyi yang menyakitkan.Di tengah kegalauannya, ketukan pintu rumah berbunyi. Flavia menghela napas panjang. "Siapa lagi sekarang?" gumamnya pelan, tidak mengharapkan siapapun.Ibunya, yang baru saja selesai di dapur, melangkah ke depan pintu. Saat pintu terbuka, muncul sosok yang membuat Flavia sedikit tersenyum. Dr. Alessandro."Selamat sore, Bu," sapa Alessandro dengan senyum
“Apa ini ...?" suara Flavia bergetar, hampir tidak terdengar. Di layar, Zafran, pria yang seharusnya menjadi calon suaminya, duduk di depan penghulu. Di sampingnya, Aurellia—sahabat terbaiknya, yang selalu ada di sampingnya, yang tahu segala impian dan harapannya—duduk dengan gaun putih sederhana, menggenggam erat tangan Zafran. Dalam video itu, Zafran dan Aurellia sedang mengikat janji suci, tersenyum bahagia.“Flavia …” Victor memanggil lembut, mencoba menggapai pergelangan tangan Flavia.Dr. Alessandro yang sejak tadi duduk di samping Flavia langsung merasakan gelombang emosi yang mengalir dari tubuh wanita itu. Dia segera bertindak, menarik bahu Flavia, membawanya ke dalam pelukan hangatnya. "Sudah, Fla … Aku di sini. Kau tidak sendiri," ucapnya pelan, nada suaranya menenangkan, meskipun jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang berkecamuk—empati.Flavia merosot dalam pelukan Dr. Alessandro, tubuhnya gemetar dan isakannya mulai terdengar. Rasanya, seluruh dunianya hancur dalam sek
"Sudah, lupakan saja. Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang kamu harus bangkit dan semangat menata masa depan yang lebih baik," sahut dr. Ale, mengelak.Aku hanya tersenyum tipis mendengar balasannya. Dan sesaat ponsel dr. Ale berdering dari dalam kantong celanannya lalu dia membaca chat yang masuk dengan serius."Fla, aku pamit pulang dulu ya, biar kamu bisa istirahat. Dan jangan lupa makan yang teratur!" pungkas dr. Ale sebelum pulang.Malam Minggu ini seharusnya aku tidak punya rencana apa-apa. Namun, seperti biasa, Dokter Ale tiba-tiba menghubungiku sore tadi. Suaranya tenang, seperti biasa, namun penuh ketegasan. Ia berkata ingin datang malam ini, tanpa menjelaskan lebih lanjut.Aku masih ingat saat pertama kali mengenal dekat dokter Ale, ketika aku sedang terpuruk karena pengkhianatan Zafran. Ia selalu ada di setiap momen terburukku, menghibur tanpa pernah memaksa. Ada rasa nyaman yang kurasakan, meski aku sendiri belum berani menafsirkan apa yang sebenarnya kurasakan terh
"Zafran, kamu apa-apaan sih, maen mukul orang sembarangan?" teriak Fla dengan sorot mata penuh kebencian."Ngapain dia ada di sini? Mau godain kamu, iya?" balas Zafran dengan nada sedikit naik seraya menatapku sebentar."Bukan urusanmu, kamu tidak punya hak mencampuri urusanku," balas Fla sambil mendorong dada Zafran. Zafran terdiam, mungkin merasa omongan Fla benar adanya, dia tidak punya hak mengatur hidup Fla lagi setelah kemarin sudah mencampakkannya dan lebih memilih sahabat Fla.Aku tidak pernah menyangka akan berada di tengah situasi seperti ini. Udara sore yang biasanya menenangkan, kini terasa panas. Tubuhku masih sedikit gemetar akibat pukulan Zafran yang tiba-tiba menghantam wajahku beberapa menit lalu. Aku merasakan rasa logam dari darah yang merembes di sudut bibirku, tapi yang lebih menyakitkan adalah tatapan Zafran. Cemburu, marah, dan mungkin ... penyesalan. Semua tergambar jelas di wajahnya."Biar aku seka darahnya," ucap Fla mendekat ke arahku sambil menyeka darah
Ruangan keluarga yang hangat dihiasi sinar matahari sore terasa hening. Dr. Alessandro duduk di hadapan orang tuanya, Sofia dan Maximus, dengan raut wajah penuh keraguan. Ia menarik napas panjang, mencoba menyusun keberanian."Ibu, Ayah, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," katanya pelan.Sofia mengalihkan pandangannya dari majalah yang sedang dibacanya, sementara Maximus menutup koran dan menatap putranya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Alessandro? Kamu terlihat gugup," tanya Maximus.Dr. Alessandro tersenyum kaku, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Aku ... Aku jatuh cinta lagi," ucapnya dengan suara bergetar.Sofia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Benarkah? Dengan siapa?"Dr. Ale mengangguk senang.Maximus menaikkan alisnya, memandang Alessandro dengan penuh rasa ingin tahu. "Siapa wanita itu?" tanyanya."Namanya Flavia," kata Alessandro. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Dia dulu pasienku, dan kami mulai saling mengenal lebih dekat. Aku suka bagaimana dia sederhana, tulus,
Matahari sudah beranjak condong ke barat. Flavia, atau Fla, masih sibuk menyusun laporan stok barang di meja kecil toko material tempatnya bekerja. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Sesekali ia melirik Seno, rekan kerjanya yang sedang merapikan barang di rak-rak tinggi di sudut toko.Wajah Seno terlihat sendu sejak obrolan mereka tadi siang. Fla sadar, perkataan spontan yang keluar dari mulutnya soal cintanya pada Dokter Alessandro telah melukai hati Seno. Ia menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk menghampiri pria itu.“Seno …” Fla memanggilnya ragu. Suaranya pelan, nyaris berbisik.Seno menoleh sebentar, lalu pura-pura sibuk dengan tumpukan cat kaleng yang sedang ia atur. “Ada apa?” tanyanya singkat, tanpa menatap Fla.Fla menghela napas. Ia tahu ini akan sulit. “Aku … mau minta maaf. Aku nggak maksud—”“Nggak apa-apa, Fla.” Seno memotong dengan cepat. Nadanya datar, tapi ada getar kecil yang sulit ia sembunyikan. “Kamu nggak perlu minta maaf. Perasaan itu kan nggak
Hati Flavia berdebar. Foto itu lebih dari sekadar gambar; itu adalah bukti ketulusan yang selama ini dia ragukan. Flavia tiba-tiba merasa bersalah. Semua kecemburuannya—terhadap wanita lain, —ternyata tidak beralasan. Dengan tangan gemetar, dia mengambil ponselnya.Ketika Alessandro mengangkat telepon, suara Flavia terdengar ragu-ragu namun penuh penyesalan. “Dokter … aku minta maaf. Aku terlalu sibuk mencurigaimu hingga lupa melihat ketulusanmu. Kalau kau masih mau, bisakah kau datang ke Cirebon? Aku ingin memberikan jawaban atas cintamu.”Di seberang sana, Alessandro terdiam sesaat sebelum melompat dari kursinya, berjingkrak seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah. “Serius, Fla? Kau serius?”Flavia terkikik mendengar reaksinya. “Ya, aku serius. Tapi aku ingin kau datang ke rumah uwa Kardi. Dia seperti orang tua bagiku, dan aku ingin bicara ini di hadapannya.”Tanpa berpikir panjang, Alessandro menjawab, “Aku akan ke sana! Tunggu aku besok.”Keesokan harinya, Flavia menjalani ruti
"Selamat pagi, Flavia. Apa kabar? Kok pagi-pagi sudah menelepon?" suara Alessandro terdengar hangat, membuat senyum kecil terbit di wajah Flavia.Namun, sebelum Alessandro sempat melanjutkan, terdengar suara perempuan memanggil dari latar belakang."Sayang, kopinya sudah siap!"Flavia membeku. Kata "sayang" itu seakan menusuk telinganya. Senyumnya lenyap, digantikan oleh kekhawatiran yang bergejolak. Ia tidak menjawab, hanya memutuskan sambungan dengan cepat tanpa berpamitan.Sepanjang pagi, Flavia merasa tidak tenang. Alessandro beberapa kali menelepon balik, tetapi ia tidak berniat mengangkatnya. Pikirannya penuh dengan prasangka. Siapa perempuan itu? Apakah dia pacar Alessandro? Atau mungkin lebih dari itu?"Ah, aku ini bodoh! Kenapa langsung percaya saja padanya? Dia mungkin cuma main-main," gumam Flavia sambil merapikan jaketnya. Ia memutuskan untuk berangkat kerja ke toko material yang dikelola uwa-nya. Di sana, setidaknya ada Irfan dan Seno, dua teman yang selalu berhasil meng
Di dalam mobil hitamnya yang nyaman, Dokter Alessandro menatap Flavia yang duduk di sampingnya dengan raut wajah penuh ketegangan.“Fla, aku mencintaimu.” Alessandro menatap lurus ke depan, menghindari tatapan Flavia yang kini membelalak. “Aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba. Tapi aku nggak bisa menyembunyikan perasaan ini lebih lama. Aku ingin kamu tahu, aku serius sama kamu.”Keheningan panjang menyelimuti mereka. Flavia menunduk, kedua tangannya mengepal erat di pangkuannya. Kata-kata Alessandro masih menggema di telinganya, membuat pikirannya berkecamuk."Bukannya aku nggak merasa apa-apa sama kamu, Ale ..." gumam Flavia akhirnya, suaranya pelan seperti bisikan. “Tapi aku takut.”Alessandro mengerutkan kening. "Takut kenapa, Fla? Aku nggak akan nyakitin kamu, aku janji."Flavia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang mulai tumpah. "Aku takut ... karena aku sudah pernah dikhianati. Aku nggak mau merasakan sakit itu lagi. Apalagi sekarang ... aku bukan siapa-sia
"Silakan duduk, Dok," Bu Mireya menyambut dengan senyum ramah, meski terlihat bingung. Ia segera menyuruh Flavia menemaninya "Saya buatkan teh hangat, ya?"Alessandro mengangguk sopan. "Terima kasih, Bu Mireya."Flavia akhirnya duduk di seberang Alessandro. Suasana ruang tamu terasa hening dan kikuk. Alessandro ingin memulai pembicaraan, tapi Flavia terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Flavia mematung. Dia tidak tahu harus berkata apa. “Bagaimana Dokter bisa menemukan aku di sini? Dan kenapa ... kenapa Dokter mencari saya?” tanyanya dengan nada heran dan gugup."Aku menyewa detektif," katanya langsung, menatap Flavia penuh intensitas. " Dan aku ingin cerita banyak sama kamu."“Kenapa kamu pergi tanpa pamit, Fla?” tanyanya dengan nada serak. “Kenapa kamu lari dari aku?” Flavia menghela napas panjang, mencoba mengendalikan getar di dadanya. “Aku nggak lari, Dok …” katanya perlahan, menghindari tatapan tajam pria itu. “Aku hanya … kembali ke tempat yang seharusnya.”“Kembali? Tanp
Sudah beberapa hari terakhir Detektif Arman bersama rekannya, Bayu, melakukan pengawasan di Cirebon untuk menemukan keberadaan Flavia. Mereka rutin memberikan laporan hasil investigasi kepada Dokter Alessandro. “Dia memang di sini, tapi kita harus lebih hati-hati. Perempuan ini pintar menyembunyikan jejak,” ujar Arman.Bayu mengangguk. “Sepertinya dia sudah curiga, Bang. Beberapa kali dia terlihat celingukan, seperti mencari sesuatu.”“Jangan sampai kita ketahuan. Kalau Dokter Alessandro tahu kita gagal, habis kita,” balas Arman, sambil mengetik laporan di ponselnya. Dia lalu menekan tombol kirim dan bersandar lelah di kursin mobilnya. Satu bulan sudah mereka melakukan tugasnya sebagai Detektif, dan beberapa hari ke sini sudah mulai menemukan titik terang.---Sementara itu, di Brebes, Alessandro membaca laporan yang baru diterima. Matanya fokus pada detail yang diberikan oleh Arman. Meski wajahnya terlihat tenang, hatinya bergolak. “Dia memang di sana …” gumam Alessandro sambil be
Dr. Alessandro duduk termenung di ruang kerjanya. Pikirannya penuh dengan wajah Flavia yang telah lama hilang. "Where are you, Flavia?" gumamnya pelan sambil memandang foto Flavia yang selalu disimpan di laci meja kerjanya. Setelah kepergian Flavia, hidupnya terasa hampa. Ditambah lagi, pengkhianatan Valeri membuat luka di hatinya semakin dalam. "Why did she leave without saying a word?" tanyanya pada dirinya sendiri, frustrasi. Alessandro menarik napas panjang dan memutuskan sesuatu. Dia harus mencari Flavia, apapun caranya. "Sev," panggil Alessandro ketika Severus, adiknya, masuk ke ruang kerjanya sambil membawa secangkir kopi. "Ada apa, Mas Ale? Kelihatannya serius banget," jawab Severus, duduk di sofa kecil dekat meja Alessandro. "I need to find her. Flavia," kata Alessandro sambil memijat pelipisnya. Severus mengerutkan dahi. "Flavia? Maksudmu cewek yang dulu kamu sering jemput itu?" "Exactly. Aku nggak bisa terus begini. Aku harus tahu dia ada di mana." Alessandro m
Alessandro merebahkan tubuhnya di ranjang. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar, sementara jemarinya memainkan selembar surat yang baru saja diterimanya. Surat itu dari Valeri, perempuan yang dulunya ia cintai tetapi kini menjadi sumber luka terdalam dalam hidupnya."Pourquoi maintenant? Kenapa sekarang?" gumam Alessandro lirih, melontarkan kalimat dalam bahasa Prancis yang biasa ia gunakan untuk meluapkan perasaannya. Matanya berkaca-kaca mengingat kenyataan pahit yang membekas. Valeri mengkhianatinya dan kini mengandung anak lelaki lain.Ia enggan membaca surat itu lebih jauh. Sejak pernikahannya dengan Valeri dibatalkan, Alessandro tak pernah lagi ingin bertemu dengannya, apalagi keluarganya. Luka itu terlalu dalam. Setelah pulang kerja sore ini, biasanya Alessandro melepas lelah dengan berenang di kolam halaman rumahnya. Namun, kali ini ia bahkan tidak bersemangat melakukan apa pun. Ia hanya berbaring, tenggelam dalam pikirannya. "Fla ..." nama itu muncul begitu sa