"Zafran, kamu apa-apaan sih, maen mukul orang sembarangan?" teriak Fla dengan sorot mata penuh kebencian.
"Ngapain dia ada di sini? Mau godain kamu, iya?" balas Zafran dengan nada sedikit naik seraya menatapku sebentar. "Bukan urusanmu, kamu tidak punya hak mencampuri urusanku," balas Fla sambil mendorong dada Zafran. Zafran terdiam, mungkin merasa omongan Fla benar adanya, dia tidak punya hak mengatur hidup Fla lagi setelah kemarin sudah mencampakkannya dan lebih memilih sahabat Fla. Aku tidak pernah menyangka akan berada di tengah situasi seperti ini. Udara sore yang biasanya menenangkan, kini terasa panas. Tubuhku masih sedikit gemetar akibat pukulan Zafran yang tiba-tiba menghantam wajahku beberapa menit lalu. Aku merasakan rasa logam dari darah yang merembes di sudut bibirku, tapi yang lebih menyakitkan adalah tatapan Zafran. Cemburu, marah, dan mungkin ... penyesalan. Semua tergambar jelas di wajahnya. "Biar aku seka darahnya," ucap Fla mendekat ke arahku sambil menyeka darah di ujung bibirku dengan sapu tangannya yang ia keluarkan dari saku bajunya. "Terima kasih ya, Fla," balasku lirih menahan sakit akibat pukulan Zafran yang begitu kuat. Aku pasrah menerima perhatian dari Fla. Fla tersenyum manis untukku, dia memang manis dan lembut. Sentuhan lembutnya sedikit menenangkan hatiku yang bergejolak. Namun, tindakan Flavia ini justru membuat Zafran semakin geram. Aku bisa melihat rahangnya mengeras, matanya membara dengan kecemburuan. "Fla," Zafran akhirnya memecah keheningan dengan suara serak. "Aku datang ke sini bukan untuk membuat keributan. Aku cuma ingin meminta maaf." Meminta maaf? Aku hampir tidak percaya mendengarnya. Setelah semua yang Zafran lakukan, dia berani datang ke sini dan berharap Flavia memaafkannya? Tentu, aku bisa mengerti rasa penyesalan, tapi apa yang dia lakukan pada Flavia adalah sesuatu yang jauh dari sekadar kesalahan. Dia bukan hanya meninggalkannya, dia menghancurkan hati Fla. "Aku tahu aku salah, Fla," lanjut Zafran. "Aku meninggalkanmu dan menikahi Aurellia, tapi ... aku harus jujur padamu. Aurellia sudah hamil tiga bulan saat aku menikahinya. Aku ... aku tidak punya pilihan lain." Mendengar pengakuan itu, Flavia tertegun. Wajahnya pucat, seolah seluruh udara di paru-parunya terhenti. Aku ingin memeluknya, menenangkannya, tetapi aku tahu ini adalah momen yang sangat pribadi. Dia membutuhkan ruang, meski aku ingin sekali berada di sana untuk melindunginya. "Aku tidak perduli dengan penyesalanmu, Zafran," kataku, suaraku lebih tajam dari biasanya. "Tapi jangan datang ke sini dan berharap Flavia akan memaafkanmu begitu saja apa yang sudah kau lakukan. Kau sudah mempermainkan perasaannya, dan itu tidak bisa dimaafkan begitu saja." Zafran menatapku dengan tatapan tajam, penuh amarah. "Ini bukan urusanmu, Alessandro. Ini antara aku dan Flavia." Aku melangkah maju, menatapnya dengan penuh ketenangan meski hatiku bergejolak. "Setelah apa yang kau lakukan padanya, aku rasa ini sudah menjadi urusanku. Kau menyakiti wanita yang sangat aku perdulikan, dan aku tidak akan membiarkanmu terus mempermainkannya." Suara Ibu Mireya terdengar dari arah dalam rumah. Pintu depan terbuka dengan cepat, dan Ibu Mireya berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang. "Apa yang terjadi di sini?" Flavia yang dari tadi terdiam, menoleh ke arah ibu tirinya. "Zafran," jawabnya pelan, matanya masih bergetar. "Dia datang ... untuk meminta maaf. Tapi dia sudah memukul Dokter Ale." Ibu Mireya melangkah keluar, wajahnya berubah marah ketika melihat Zafran. "Apa yang kau lakukan di sini? Setelah semua yang kau perbuat pada Flavia, kau masih punya keberanian datang?" Zafran terlihat gelisah di hadapan Ibu Mireya. "Bu Mireya, saya ... saya hanya ingin minta maaf, saya aku saya memang salah sudah mengkhianati Fla." "Minta maaf?" Ibu Mireya mendekatinya dengan langkah tegas. "Kau meninggalkan putriku, memilih wanita lain, dan sekarang kau datang ke sini untuk meminta maaf? Apa kau pikir kami akan menerimamu begitu saja?" Aku bisa merasakan hawa tegang semakin memuncak di antara kami. Zafran menunduk, kelihatan benar-benar terpojok. Namun, sejenak aku bisa melihat sesuatu yang samar di balik matanya—penyesalan. Meski aku tidak suka melihatnya menyakiti Flavia, aku juga tahu bahwa Zafran sedang berjuang dengan dirinya sendiri. Sayangnya, itu tidak mengubah apa yang telah dia lakukan. Aku menatap Flavia yang berdiri diam di sampingku. Wajahnya masih tidak terbaca, mungkin masih terlalu terguncang oleh semua ini. "Zafran, pulanglah." Suara Flavia akhirnya pecah. Lembut, tapi tegas. "Tidak ada yang perlu kau jelaskan lagi. Aku sudah tahu semuanya, dan tidak ada yang bisa diperbaiki. Dan tolong, jangan usik hidupku dan jangan pernah muncul di hadapanku!" Aku melihat Zafran menarik napas panjang, seolah kata-kata Flavia memukulnya lebih keras daripada yang dia duga. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia menatapku sejenak, mungkin berharap aku akan melakukan sesuatu—tapi aku tetap berdiri diam, menunjukkan bahwa Flavia punya hak penuh atas keputusannya. Zafran perlahan berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan kami dalam hening. Begitu dia hilang dari pandangan, aku merasakan ketegangan di tubuhku perlahan mengendur. Tapi keheningan ini tidak nyaman. Terasa ada sesuatu yang belum selesai. Aku menoleh ke arah Flavia. "Kau baik-baik saja?" tanyaku lembut, berharap bisa membaca pikirannya. Flavia tidak langsung menjawab. Dia menatap tanah sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, Dokter Ale ... rasanya terlalu banyak hal terjadi sekaligus." Aku mengangguk, mendekatinya sedikit. "Aku di sini kalau kau butuh bicara, Fla. Kau tahu itu, kan?" Dia menatapku dengan mata yang lelah tapi penuh rasa syukur. "Aku tahu. Terima kasih, Dokter Ale." Namun, sebelum aku bisa mengatakan apa-apa lagi, suara Ibu Mireya kembali memecah keheningan. "Flavia, Dokter Ale, masuklah. Ibu mau bicara!" Apa yang akan Ibu Mireya bicarakan?"Dokter Ale, Fla, kita makan dulu. Ibu sudah masakin banyak buat kalian," ajak Ibu dengan senyumnya yang hangat."Baik, Bu," jawab Fla dengan berjalan menuju meja makan bersamaan dengan Dokter ganteng.Sore itu, suasana di rumah Mireya terasa jadi ceria setelah tadi ada ketegangan. Sejak pagi, Bu Mireya sibuk menyiapkan hidangan istimewa untuk Dr. Alessandro, yang telah banyak membantu Flavia. Tak hanya menyembuhkan luka fisik, tetapi juga luka hati yang masih menganga atas pengkhianatan Zafran dan Aurel.“Terima kasih, Bu Mireya, sudah repot-repot menyiapkan semua ini.” Dokter Ale tersenyum malu.“Ah, tidak apa-apa, Dok. Ini sedikit tanda terima kasih dari kami,” jawab Bu Mireya sambil tersenyum. Flavia yang duduk di sampingnya hanya tersenyum lemah. Ia merasa nyaman di hadapan Dr. Alessandro. Alesa, adik Flavia yang lebih ceria, ikut bergabung dan mengisi ruang dengan tawa kecil. Pembicaraan mereka mengalir ringan, penuh canda tawa. Sementara itu, Victor yang sedang berada di warun
Alesandro, atau yang biasa dipanggil Dr. Ale, berdiri di ambang pintu rumah Flavia. Di hadapannya, Flavia sedang duduk di sofa dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Wajahnya terlihat begitu letih, seolah habis tersapu badai emosi. Di sampingnya, Victor duduk dengan wajah cemas, sesekali melirik Flavia dengan perhatian, namun sorot matanya berubah dingin saat melihat kehadiran Dr. Ale.“Kenapa Flavia menangis?” tanya Ale, sedikit waspada dengan suasana yang terasa canggung.Victor, yang merasa kehadiran Ale mengganggu momen kebersamaannya dengan Flavia, menghela napas pelan sebelum menjawab. "Barusan Aurellia datang. Dia datang untuk meminta maaf atas apa yang dia lakukan dulu. Pengkhianatannya dengan Zafran masih sangat menyakitkan bagi Flavia. Itu membuatnya kembali teringat semua luka yang belum sembuh," jawab Victor dengan nada dingin.Ale menatap Flavia dengan perasaan campur aduk. Dia tahu betapa besar luka yang ditinggalkan oleh Zafran dan Aurellia, tapi melihat Flav
Flavia kini mencoba menjalani hari-harinya dengan lebih baik. Setelah berminggu-minggu menjalani terapi untuk kakinya karena cedera yang dialami, ia akhirnya mampu bangkit, meski dengan langkah yang terpincang-pincang. Setiap pagi, ia membantu ibunya melayani pelanggan di warung kecil mereka yang terletak di depan rumah. Warung sederhana itu telah menjadi sumber penghidupan keluarga sejak Ayah Flavia meninggal. Pagi itu, Flavia tampak sibuk di warung bersama ibunya, mengantar pesanan kopi dan roti kepada pelanggan setia mereka.“Fla, kamu istirahat dulu, nak,” ujar ibunya sambil mengusap keringat di dahi Flavia. “Biar ibu yang lanjutkan.”Flavia tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Nggak apa-apa, Bu. Aku bisa kok. Lagian, aku butuh gerak biar cepat sembuh.”Ibunya, seorang wanita paruh baya yang lembut, menatap anak perempuannya dengan tatapan penuh kasih dan kekhawatiran. Meskipun bangga melihat putrinya mulai beraktivitas kembali, ia tahu Flavia belum sepenuhnya pulih, baik secara f
Tiap malam, Flavia selalu termenung di kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memandang langit-langit yang gelap. Namun senyumnya tak pernah gagal menghiasi wajahnya, meski hanya untuk dirinya sendiri. Wajah Dokter Alessandro selalu terlintas di benaknya, dengan semua kebaikan dan perhatiannya. Setiap kali teringat, dadanya menghangat. Ada kenyamanan yang tak pernah ia duga akan datang dari seorang dokter yang dulu hanya sekadar orang asing baginya.Malam itu, seperti biasa, Flavia duduk di ruang tamu bersama Ibu Mireya dan Alesa. Kedua wanita di depannya sudah tak sabar untuk menggoda Flavia. Ibu Mireya, dengan seringai nakal di wajahnya, melirik ke arah Alesa yang langsung paham apa yang harus ia lakukan."Aku perhatiin, akhir-akhir ini Kak Fla senyum-senyum sendiri terus. Pasti gara-gara dokter ganteng itu, ya?" goda Alesa, tak menahan tawa kecilnya.Flavia terkesiap dan langsung memalingkan wajah, mencoba menutupi rona merah di pipinya. "Alesa ... apaan sih?" gumam Flavia, mencob
Setiap hari, Flavia bangun pagi-pagi sekali, memulai harinya dengan kesibukan yang tak ada habisnya. Dia membantu ibunya di warung, melayani pembeli, memasak, dan beres-beres rumah. Hidup mereka tampak sederhana, tapi penuh dengan kehangatan.Alesa, adik Flavia, masih bersekolah di SMA, sementara Flavia dan ibunya lebih banyak mengandalkan penghasilan dari warung serta hasil berkebun sayur di pekarangan belakang. Walau tanpa ayah, mereka tetap berusaha bahagia dalam kesederhanaan hidup.Setiap sore, setelah semua pekerjaan selesai, Victor sering datang ke rumah Flavia. Dia membantu menyiram tanaman sayur di pekarangan belakang dengan semangat yang tak pernah surut. Victor adalah pria yang baik hati, selalu ada untuk Flavia dan keluarganya. Ia mengungkapkan perasaannya pada Flavia berulang kali, tapi Flavia selalu ragu, tak pernah memberikan harapan yang jelas.Hari itu pun tak berbeda. Victor datang seperti biasanya, membawa senyum hangat yang selalu dia tunjukkan. Flavia sedang dudu
Pikiran Flavia terpecah saat pintu rumahnya diketuk. Di ambang pintu, berdiri Dokter Alessandro dengan ekspresi yang penuh kekhawatiran. Flavia menatapnya, namun tak banyak bicara."Fla," kata Alessandro pelan, seraya mencoba mendekat. "Kita bisa bicara sebentar?"Flavia tetap diam. Sebelum dia sempat menjawab, Ibu Mireya dan Alesa datang dari arah dapur, membawa minuman dan kudapan. Mereka langsung bergabung dalam suasana."Ada apa, Dokter Ale? Kok mendadak datang malam-malam begini?" tanya Ibu Mireya sambil tersenyum ramah.Alessandro tersenyum kaku, mencoba bersikap tenang meski hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Saya cuma mau ngobrol sebentar sama Flavia, Bu. Ada yang ingin saya jelaskan."Namun, sebelum Alessandro bisa melanjutkan, pintu rumah kembali terbuka. Kali ini Victor datang membawa sebungkus martabak keju kesukaan Flavia. Suasana mendadak berubah ceria, seolah beban berat yang tadi terasa tiba-tiba lenyap dengan kedatangan Victor."Hei, Fla! Aku bawa martabak kesukaanmu ni
Flavia memarkirkan motornya di depan sebuah kafe kecil yang cukup ramai malam itu. Cahaya lampu-lampu gantung yang redup di teras kafe memberi suasana hangat, namun hatinya dingin, dipenuhi kegelisahan. Kata-kata Alesa saat tadi masih terngiang di kepalanya."Kak, tadi aku lihat Dokter Ale di kafe sama cewek, kayaknya sih pacarnya, soalnya tampak mesra,"Mendengar hal itu, Flavia tidak bisa tenang. Hati kecilnya tak ingin mempercayai kabar itu, namun rasa penasaran mendesaknya untuk memastikan sendiri. Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju pintu kafe, mencoba terlihat santai meski hatinya sedang kacau.Begitu masuk, Flavia dengan cepat melirik sekeliling. Matanya langsung tertumbuk pada sosok Dokter Alessandro yang sedang duduk di sudut ruangan bersama seorang wanita cantik. Mereka terlihat sangat akrab. Wanita itu tersenyum, dan Dokter Alessandro tampak tertawa kecil. Pandangan itu menghancurkan hati Flavia yang sebelumnya sudah retak.“Fla? Kamu ngapain di sini?” Suara berat yang
Valeri, pacarnya, beberapa hari yang lalu melontarkan kalimat yang terus membayangi pikirannya, "Kayaknya Flavia suka sama kamu, Ale."Sejak mendengar itu, hatinya terusik. Perhatian yang ia berikan kepada Flavia ternyata memiliki arti lebih di mata wanita itu. Dokter Alessandro merasa bersalah. Ia tidak pernah bermaksud memberi harapan. Sebagai seorang dokter, ia hanya berusaha memberikan support kepada pasiennya yang sedang terpuruk. Namun, kini situasi semakin rumit. Apalagi Valeri, pacarnya, semakin sering merajuk dan merasa terancam dengan keberadaan Flavia."Ale, lo kenapa sih? Dari tadi gue perhatiin, lo kayak lagi mikirin sesuatu yang berat," suara berat dari seberang meja mengagetkan Alessandro dari lamunannya.Dokter Amir, sahabat sekaligus rekan kerjanya, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Amir, gue ... ada masalah," ujar Alessandro akhirnya."Masalah apa? Lo kelihatan kacau banget, bro. Cerita aja, siapa tahu gue bisa bantu."Alessandro menatap sahabatnya dengan t
Jogjakarta menyuguhkan suasana yang tenang dan indah, dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus di antara pepohonan tinggi dan langit biru yang tak berawan. Di sebuah hotel bintang lima yang mewah, keluarga besar Alessandro berkumpul untuk merayakan momen yang telah lama ditunggu-tunggu: pertunangan antara putra pertama mereka, Alessandro, dan wanita yang telah menjadi bagian dari hidupnya, Valerie.Tuan Maximus, ayah Alessandro, duduk dengan penuh kebanggaan di meja makan besar. Wajahnya yang serius terlihat lembut ketika ia menatap putranya. Ibu Sofia, seorang wanita yang penuh kasih sayang, duduk di samping suaminya dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.Severus, adik Alessandro yang juga seorang dokter kandungan ternama di Jakarta, terlihat ceria meskipun tampak sedikit lebih serius daripada biasanya. Namun, semua mata tertuju pada pasangan yang menjadi pusat perhatian malam itu.Alessandro mengenakan jas hitam elegan, wajahnya tampak begitu bahagia. Di sebelahnya, Valerie yang
"Zafran?" serunya dengan suara tercekat, matanya tak percaya."Akhirnya aku menemukanmu," katanya sambil melepas helm dan mengibaskan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan. "Aku nyari kamu kemana-mana, Fla."Fla hanya terdiam, perasaan campur aduk antara bahagia dan cemas. Setelah berminggu-minggu, akhirnya Zafran datang juga. Tetapi, kenapa sekarag?"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Fla, mencoba menyembunyikan rasa harunya. Zafran menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Aku baru dapat kabar tentang kamu dari teman lama. Aku nggak tahu kalau kamu ada di Cirebon sekarang.""Ya, aku ... Aku di sini sekarang," jawab Fla, suaranya sedikit terputus-putus. "Kehidupan baru. Aku mencoba untuk ... melupakan semuanya."Zafran mengangguk, lalu berjalan mendekat. "Melupakan aku?" tanyanya dengan nada lembut, mencoba mengukur reaksi Fla.Fla menoleh padanya dengan ragu. "Aku ... tidak tahu. Semua terlalu berat untuk diingat lagi, Zaf. Apalagi kamu ... sudah punya kehidupan baru kan?"Zaf
Lemari sudah kosong, dan hanya tinggal beberapa barang kecil yang tersisa untuk dikemas. Alesa, adiknya, sedang di kamar sebelah, membantu Bu Mireya merapikan barang-barang terakhir sebelum mereka semua meninggalkan Brebes untuk pindah ke rumah Uwa Kardi di Cirebon."Kak, kamu yakin nggak mau kasih tahu Dokter Alessandro soal kepindahan kita?" tanya Alesa saat memasuki kamar. Wajahnya terlihat ragu.Flavia menatap ke jendela, menghindari tatapan adiknya. “Nggak perlu, Alesa. Dia sibuk. Dia sudah punya hidupnya sendiri sekarang... dengan Valeri.”Alesa menghela napas pelan. Ia tahu betul bagaimana perasaan kakaknya, betapa Flavia masih menyimpan luka yang belum sembuh, bukan hanya dari pengkhianatan Zafran dan Aurellia, tapi juga dari perasaan yang tak terucapkan untuk Dokter Alessandro. "Tapi... Kak, gimana kalau dia sebenarnya peduli? Mungkin dia nggak tahu kalau kamu mau pergi, dan dia bakal—""Nggak, Les. Kita nggak bisa terus menunggu orang yang jelas-jelas sudah punya hidup lain
Alessandro memarkir mobil mewahnya di depan rumah Flavia. Matahari siang menyinari halaman depan rumah dengan sinar hangat, tetapi hati Flavia terasa dingin. “Siap, Flavia?” Alessandro keluar dari mobil, tersenyum hangat seperti biasa. Ia terlihat begitu tampan dengan kemeja putih yang digulung hingga siku dan rambutnya yang tertata rapi. Tetapi kali ini, senyuman itu justru menambah beban di hati Flavia.Flavia mengangguk pelan. “Iya, Dok,” jawabnya Alessandro berjalan mendekati pintu dan mengetuknya dengan ringan, meminta izin kepada Bu Mireya yang segera muncul dari dalam rumah. “Oh, dr. Alessandro! Apa kalian berdua akan pergi sekarang?” Bu Mireya bertanya, suaranya ramah seperti biasanya, namun ada sedikit kekhawatiran di matanya saat melihat wajah murung Flavia.“Iya, Bu. Saya ingin mengajak Flavia keluar sebentar untuk memilih sesuatu. Bisa kan, Bu?” Alessandro tersenyum lagi, kali ini ke arah Bu Mireya, memastikan semuanya terlihat normal. Bu Mireya melirik putrinya yang
Flavia menatap kosong keluar jendela. Matahari yang biasanya membawa kehangatan kini terasa dingin. Hatinya masih dipenuhi rasa sakit. Zafran, seseorang yang dulu begitu dicintainya, kini terbaring di rumah sakit setelah kecelakaan hebat yang membuat kakinya patah. Sebuah perasaan campur aduk antara simpati dan luka lama menyelimuti pikirannya.Di sebelahnya, Victor duduk diam. Mata lelaki itu penuh perhatian, tapi Flavia bisa merasakan jarak yang tak terucap di antara mereka. Victor adalah seseorang yang selalu ada, terutama saat Flavia merasa tak ada lagi yang peduli. Tapi kini, dia ikut menemani Flavia menjenguk Zafran, pria yang telah mengkhianatinya."Apa kamu siap masuk?" suara Victor terdengar lembut, membuyarkan lamunan Flavia.Flavia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergetar. "Aku... Aku nggak tahu, Vic. Dada ini masih sesak saat ingat namanya."Victor menggenggam tangan Flavia, menyalurkan kekuatan yang diam-diam selalu dia berikan. "Kamu nggak ha
Aku menatap layar ponsel di tanganku dengan perasaan yang tak karuan. Pesan singkat dari Alessandro masih terpampang jelas di sana. Aku membaca ulang kata-katanya, mencoba menemukan makna yang lebih dalam, tetapi kenyataan tak bisa diubah. Alessandro ternyata sudah memiliki kekasih, dan yang lebih menyakitkan, kekasihnya adalah seseorang yang selevel dengannya, seorang dokter juga. Aku tertawa kecut, mencoba menahan rasa perih yang semakin menyayat. "Kenapa aku bodoh sekali, ya?" gumamku, memeluk lutut di atas sofa. Selama ini aku merasa mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian profesional antara aku dan dr.Alessandro. Tapi ternyata, aku hanya salah mengartikan semuanya. Setiap senyum, setiap perhatian yang ia berikan, hanyalah bentuk dari kebaikan hatinya—tidak lebih."Flavia, kamu kenapa?" Suara lembut Ibu Mireya memecah lamunanku. Ibu datang menghampiriku, duduk di sebelahku sambil menatapku penuh rasa iba. Aku tidak sanggup menjawabnya, hanya menggeleng lemah."Kam
Aku mendesah panjang di depan layar ponsel yang menunjukkan pesan dari Valerie, pacarku yang berkarir sebagai seorang dokter.“Aku kangen kamu, Ale. Dan segera datang ke sini di rumah uwaku!," bacaku cepat. "Tapi kan lom lama kita sudah ketemu cuma sekarang ini aku lagi sibuk banget jadi lom bisa menemuimu lagi. Sabar ya, sayang, sampaikan salamku buat uwamu!" balasku cepat."Tapi aku masih kangen, tau.""Tapi aku gak bisa kalau sekarang ini."Valeri tak membalasnya lagi, mungkin ia merajuk, batinku.Hubungan kami selama ini selalu harmonis. Valerie adalah sosok yang luar biasa, cerdas, ambisius, dan selalu mendorongku untuk menjadi yang terbaik. Tidak jarang aku memberinya hadiah kecil untuk menunjukkan perhatianku, seperti buku yang dia suka atau kalung cantik yang cocok untuknya. Valerie bahagia, dan aku senang bisa membahagiakannya.Namun, akhir-akhir ini waktuku semakin terbatas. Kesibukan di rumah sakit semakin menumpuk, dan pertemuanku dengan Valerie menjadi semakin jarang. Ti
Valeri, pacarnya, beberapa hari yang lalu melontarkan kalimat yang terus membayangi pikirannya, "Kayaknya Flavia suka sama kamu, Ale."Sejak mendengar itu, hatinya terusik. Perhatian yang ia berikan kepada Flavia ternyata memiliki arti lebih di mata wanita itu. Dokter Alessandro merasa bersalah. Ia tidak pernah bermaksud memberi harapan. Sebagai seorang dokter, ia hanya berusaha memberikan support kepada pasiennya yang sedang terpuruk. Namun, kini situasi semakin rumit. Apalagi Valeri, pacarnya, semakin sering merajuk dan merasa terancam dengan keberadaan Flavia."Ale, lo kenapa sih? Dari tadi gue perhatiin, lo kayak lagi mikirin sesuatu yang berat," suara berat dari seberang meja mengagetkan Alessandro dari lamunannya.Dokter Amir, sahabat sekaligus rekan kerjanya, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Amir, gue ... ada masalah," ujar Alessandro akhirnya."Masalah apa? Lo kelihatan kacau banget, bro. Cerita aja, siapa tahu gue bisa bantu."Alessandro menatap sahabatnya dengan t
Flavia memarkirkan motornya di depan sebuah kafe kecil yang cukup ramai malam itu. Cahaya lampu-lampu gantung yang redup di teras kafe memberi suasana hangat, namun hatinya dingin, dipenuhi kegelisahan. Kata-kata Alesa saat tadi masih terngiang di kepalanya."Kak, tadi aku lihat Dokter Ale di kafe sama cewek, kayaknya sih pacarnya, soalnya tampak mesra,"Mendengar hal itu, Flavia tidak bisa tenang. Hati kecilnya tak ingin mempercayai kabar itu, namun rasa penasaran mendesaknya untuk memastikan sendiri. Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju pintu kafe, mencoba terlihat santai meski hatinya sedang kacau.Begitu masuk, Flavia dengan cepat melirik sekeliling. Matanya langsung tertumbuk pada sosok Dokter Alessandro yang sedang duduk di sudut ruangan bersama seorang wanita cantik. Mereka terlihat sangat akrab. Wanita itu tersenyum, dan Dokter Alessandro tampak tertawa kecil. Pandangan itu menghancurkan hati Flavia yang sebelumnya sudah retak.“Fla? Kamu ngapain di sini?” Suara berat yang