Alesandro, atau yang biasa dipanggil Dr. Ale, berdiri di ambang pintu rumah Flavia. Di hadapannya, Flavia sedang duduk di sofa dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Wajahnya terlihat begitu letih, seolah habis tersapu badai emosi. Di sampingnya, Victor duduk dengan wajah cemas, sesekali melirik Flavia dengan perhatian, namun sorot matanya berubah dingin saat melihat kehadiran Dr. Ale.“Kenapa Flavia menangis?” tanya Ale, sedikit waspada dengan suasana yang terasa canggung.Victor, yang merasa kehadiran Ale mengganggu momen kebersamaannya dengan Flavia, menghela napas pelan sebelum menjawab. "Barusan Aurellia datang. Dia datang untuk meminta maaf atas apa yang dia lakukan dulu. Pengkhianatannya dengan Zafran masih sangat menyakitkan bagi Flavia. Itu membuatnya kembali teringat semua luka yang belum sembuh," jawab Victor dengan nada dingin.Ale menatap Flavia dengan perasaan campur aduk. Dia tahu betapa besar luka yang ditinggalkan oleh Zafran dan Aurellia, tapi melihat Flav
Flavia kini mencoba menjalani hari-harinya dengan lebih baik. Setelah berminggu-minggu menjalani terapi untuk kakinya karena cedera yang dialami, ia akhirnya mampu bangkit, meski dengan langkah yang terpincang-pincang. Setiap pagi, ia membantu ibunya melayani pelanggan di warung kecil mereka yang terletak di depan rumah. Warung sederhana itu telah menjadi sumber penghidupan keluarga sejak Ayah Flavia meninggal. Pagi itu, Flavia tampak sibuk di warung bersama ibunya, mengantar pesanan kopi dan roti kepada pelanggan setia mereka.“Fla, kamu istirahat dulu, nak,” ujar ibunya sambil mengusap keringat di dahi Flavia. “Biar ibu yang lanjutkan.”Flavia tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Nggak apa-apa, Bu. Aku bisa kok. Lagian, aku butuh gerak biar cepat sembuh.”Ibunya, seorang wanita paruh baya yang lembut, menatap anak perempuannya dengan tatapan penuh kasih dan kekhawatiran. Meskipun bangga melihat putrinya mulai beraktivitas kembali, ia tahu Flavia belum sepenuhnya pulih, baik secara f
Tiap malam, Flavia selalu termenung di kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memandang langit-langit yang gelap. Namun senyumnya tak pernah gagal menghiasi wajahnya, meski hanya untuk dirinya sendiri. Wajah Dokter Alessandro selalu terlintas di benaknya, dengan semua kebaikan dan perhatiannya. Setiap kali teringat, dadanya menghangat. Ada kenyamanan yang tak pernah ia duga akan datang dari seorang dokter yang dulu hanya sekadar orang asing baginya.Malam itu, seperti biasa, Flavia duduk di ruang tamu bersama Ibu Mireya dan Alesa. Kedua wanita di depannya sudah tak sabar untuk menggoda Flavia. Ibu Mireya, dengan seringai nakal di wajahnya, melirik ke arah Alesa yang langsung paham apa yang harus ia lakukan."Aku perhatiin, akhir-akhir ini Kak Fla senyum-senyum sendiri terus. Pasti gara-gara dokter ganteng itu, ya?" goda Alesa, tak menahan tawa kecilnya.Flavia terkesiap dan langsung memalingkan wajah, mencoba menutupi rona merah di pipinya. "Alesa ... apaan sih?" gumam Flavia, mencob
Setiap hari, Flavia bangun pagi-pagi sekali, memulai harinya dengan kesibukan yang tak ada habisnya. Dia membantu ibunya di warung, melayani pembeli, memasak, dan beres-beres rumah. Hidup mereka tampak sederhana, tapi penuh dengan kehangatan.Alesa, adik Flavia, masih bersekolah di SMA, sementara Flavia dan ibunya lebih banyak mengandalkan penghasilan dari warung serta hasil berkebun sayur di pekarangan belakang. Walau tanpa ayah, mereka tetap berusaha bahagia dalam kesederhanaan hidup.Setiap sore, setelah semua pekerjaan selesai, Victor sering datang ke rumah Flavia. Dia membantu menyiram tanaman sayur di pekarangan belakang dengan semangat yang tak pernah surut. Victor adalah pria yang baik hati, selalu ada untuk Flavia dan keluarganya. Ia mengungkapkan perasaannya pada Flavia berulang kali, tapi Flavia selalu ragu, tak pernah memberikan harapan yang jelas.Hari itu pun tak berbeda. Victor datang seperti biasanya, membawa senyum hangat yang selalu dia tunjukkan. Flavia sedang dudu
Pikiran Flavia terpecah saat pintu rumahnya diketuk. Di ambang pintu, berdiri Dokter Alessandro dengan ekspresi yang penuh kekhawatiran. Flavia menatapnya, namun tak banyak bicara."Fla," kata Alessandro pelan, seraya mencoba mendekat. "Kita bisa bicara sebentar?"Flavia tetap diam. Sebelum dia sempat menjawab, Ibu Mireya dan Alesa datang dari arah dapur, membawa minuman dan kudapan. Mereka langsung bergabung dalam suasana."Ada apa, Dokter Ale? Kok mendadak datang malam-malam begini?" tanya Ibu Mireya sambil tersenyum ramah.Alessandro tersenyum kaku, mencoba bersikap tenang meski hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Saya cuma mau ngobrol sebentar sama Flavia, Bu. Ada yang ingin saya jelaskan."Namun, sebelum Alessandro bisa melanjutkan, pintu rumah kembali terbuka. Kali ini Victor datang membawa sebungkus martabak keju kesukaan Flavia. Suasana mendadak berubah ceria, seolah beban berat yang tadi terasa tiba-tiba lenyap dengan kedatangan Victor."Hei, Fla! Aku bawa martabak kesukaanmu ni
Flavia memarkirkan motornya di depan sebuah kafe kecil yang cukup ramai malam itu. Cahaya lampu-lampu gantung yang redup di teras kafe memberi suasana hangat, namun hatinya dingin, dipenuhi kegelisahan. Kata-kata Alesa saat tadi masih terngiang di kepalanya."Kak, tadi aku lihat Dokter Ale di kafe sama cewek, kayaknya sih pacarnya, soalnya tampak mesra,"Mendengar hal itu, Flavia tidak bisa tenang. Hati kecilnya tak ingin mempercayai kabar itu, namun rasa penasaran mendesaknya untuk memastikan sendiri. Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju pintu kafe, mencoba terlihat santai meski hatinya sedang kacau.Begitu masuk, Flavia dengan cepat melirik sekeliling. Matanya langsung tertumbuk pada sosok Dokter Alessandro yang sedang duduk di sudut ruangan bersama seorang wanita cantik. Mereka terlihat sangat akrab. Wanita itu tersenyum, dan Dokter Alessandro tampak tertawa kecil. Pandangan itu menghancurkan hati Flavia yang sebelumnya sudah retak.“Fla? Kamu ngapain di sini?” Suara berat yang
Valeri, pacarnya, beberapa hari yang lalu melontarkan kalimat yang terus membayangi pikirannya, "Kayaknya Flavia suka sama kamu, Ale."Sejak mendengar itu, hatinya terusik. Perhatian yang ia berikan kepada Flavia ternyata memiliki arti lebih di mata wanita itu. Dokter Alessandro merasa bersalah. Ia tidak pernah bermaksud memberi harapan. Sebagai seorang dokter, ia hanya berusaha memberikan support kepada pasiennya yang sedang terpuruk. Namun, kini situasi semakin rumit. Apalagi Valeri, pacarnya, semakin sering merajuk dan merasa terancam dengan keberadaan Flavia."Ale, lo kenapa sih? Dari tadi gue perhatiin, lo kayak lagi mikirin sesuatu yang berat," suara berat dari seberang meja mengagetkan Alessandro dari lamunannya.Dokter Amir, sahabat sekaligus rekan kerjanya, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Amir, gue ... ada masalah," ujar Alessandro akhirnya."Masalah apa? Lo kelihatan kacau banget, bro. Cerita aja, siapa tahu gue bisa bantu."Alessandro menatap sahabatnya dengan t
Aku mendesah panjang di depan layar ponsel yang menunjukkan pesan dari Valerie, pacarku yang berkarir sebagai seorang dokter.“Aku kangen kamu, Ale. Dan segera datang ke sini di rumah uwaku!," bacaku cepat. "Tapi kan lom lama kita sudah ketemu cuma sekarang ini aku lagi sibuk banget jadi lom bisa menemuimu lagi. Sabar ya, sayang, sampaikan salamku buat uwamu!" balasku cepat."Tapi aku masih kangen, tau.""Tapi aku gak bisa kalau sekarang ini."Valeri tak membalasnya lagi, mungkin ia merajuk, batinku.Hubungan kami selama ini selalu harmonis. Valerie adalah sosok yang luar biasa, cerdas, ambisius, dan selalu mendorongku untuk menjadi yang terbaik. Tidak jarang aku memberinya hadiah kecil untuk menunjukkan perhatianku, seperti buku yang dia suka atau kalung cantik yang cocok untuknya. Valerie bahagia, dan aku senang bisa membahagiakannya.Namun, akhir-akhir ini waktuku semakin terbatas. Kesibukan di rumah sakit semakin menumpuk, dan pertemuanku dengan Valerie menjadi semakin jarang. Ti
Jogjakarta menyuguhkan suasana yang tenang dan indah, dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus di antara pepohonan tinggi dan langit biru yang tak berawan. Di sebuah hotel bintang lima yang mewah, keluarga besar Alessandro berkumpul untuk merayakan momen yang telah lama ditunggu-tunggu: pertunangan antara putra pertama mereka, Alessandro, dan wanita yang telah menjadi bagian dari hidupnya, Valerie.Tuan Maximus, ayah Alessandro, duduk dengan penuh kebanggaan di meja makan besar. Wajahnya yang serius terlihat lembut ketika ia menatap putranya. Ibu Sofia, seorang wanita yang penuh kasih sayang, duduk di samping suaminya dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.Severus, adik Alessandro yang juga seorang dokter kandungan ternama di Jakarta, terlihat ceria meskipun tampak sedikit lebih serius daripada biasanya. Namun, semua mata tertuju pada pasangan yang menjadi pusat perhatian malam itu.Alessandro mengenakan jas hitam elegan, wajahnya tampak begitu bahagia. Di sebelahnya, Valerie yang
"Zafran?" serunya dengan suara tercekat, matanya tak percaya."Akhirnya aku menemukanmu," katanya sambil melepas helm dan mengibaskan rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan. "Aku nyari kamu kemana-mana, Fla."Fla hanya terdiam, perasaan campur aduk antara bahagia dan cemas. Setelah berminggu-minggu, akhirnya Zafran datang juga. Tetapi, kenapa sekarag?"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Fla, mencoba menyembunyikan rasa harunya. Zafran menatapnya sejenak, lalu menghela napas. "Aku baru dapat kabar tentang kamu dari teman lama. Aku nggak tahu kalau kamu ada di Cirebon sekarang.""Ya, aku ... Aku di sini sekarang," jawab Fla, suaranya sedikit terputus-putus. "Kehidupan baru. Aku mencoba untuk ... melupakan semuanya."Zafran mengangguk, lalu berjalan mendekat. "Melupakan aku?" tanyanya dengan nada lembut, mencoba mengukur reaksi Fla.Fla menoleh padanya dengan ragu. "Aku ... tidak tahu. Semua terlalu berat untuk diingat lagi, Zaf. Apalagi kamu ... sudah punya kehidupan baru kan?"Zaf
Lemari sudah kosong, dan hanya tinggal beberapa barang kecil yang tersisa untuk dikemas. Alesa, adiknya, sedang di kamar sebelah, membantu Bu Mireya merapikan barang-barang terakhir sebelum mereka semua meninggalkan Brebes untuk pindah ke rumah Uwa Kardi di Cirebon."Kak, kamu yakin nggak mau kasih tahu Dokter Alessandro soal kepindahan kita?" tanya Alesa saat memasuki kamar. Wajahnya terlihat ragu.Flavia menatap ke jendela, menghindari tatapan adiknya. “Nggak perlu, Alesa. Dia sibuk. Dia sudah punya hidupnya sendiri sekarang... dengan Valeri.”Alesa menghela napas pelan. Ia tahu betul bagaimana perasaan kakaknya, betapa Flavia masih menyimpan luka yang belum sembuh, bukan hanya dari pengkhianatan Zafran dan Aurellia, tapi juga dari perasaan yang tak terucapkan untuk Dokter Alessandro. "Tapi... Kak, gimana kalau dia sebenarnya peduli? Mungkin dia nggak tahu kalau kamu mau pergi, dan dia bakal—""Nggak, Les. Kita nggak bisa terus menunggu orang yang jelas-jelas sudah punya hidup lain
Alessandro memarkir mobil mewahnya di depan rumah Flavia. Matahari siang menyinari halaman depan rumah dengan sinar hangat, tetapi hati Flavia terasa dingin. “Siap, Flavia?” Alessandro keluar dari mobil, tersenyum hangat seperti biasa. Ia terlihat begitu tampan dengan kemeja putih yang digulung hingga siku dan rambutnya yang tertata rapi. Tetapi kali ini, senyuman itu justru menambah beban di hati Flavia.Flavia mengangguk pelan. “Iya, Dok,” jawabnya Alessandro berjalan mendekati pintu dan mengetuknya dengan ringan, meminta izin kepada Bu Mireya yang segera muncul dari dalam rumah. “Oh, dr. Alessandro! Apa kalian berdua akan pergi sekarang?” Bu Mireya bertanya, suaranya ramah seperti biasanya, namun ada sedikit kekhawatiran di matanya saat melihat wajah murung Flavia.“Iya, Bu. Saya ingin mengajak Flavia keluar sebentar untuk memilih sesuatu. Bisa kan, Bu?” Alessandro tersenyum lagi, kali ini ke arah Bu Mireya, memastikan semuanya terlihat normal. Bu Mireya melirik putrinya yang
Flavia menatap kosong keluar jendela. Matahari yang biasanya membawa kehangatan kini terasa dingin. Hatinya masih dipenuhi rasa sakit. Zafran, seseorang yang dulu begitu dicintainya, kini terbaring di rumah sakit setelah kecelakaan hebat yang membuat kakinya patah. Sebuah perasaan campur aduk antara simpati dan luka lama menyelimuti pikirannya.Di sebelahnya, Victor duduk diam. Mata lelaki itu penuh perhatian, tapi Flavia bisa merasakan jarak yang tak terucap di antara mereka. Victor adalah seseorang yang selalu ada, terutama saat Flavia merasa tak ada lagi yang peduli. Tapi kini, dia ikut menemani Flavia menjenguk Zafran, pria yang telah mengkhianatinya."Apa kamu siap masuk?" suara Victor terdengar lembut, membuyarkan lamunan Flavia.Flavia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergetar. "Aku... Aku nggak tahu, Vic. Dada ini masih sesak saat ingat namanya."Victor menggenggam tangan Flavia, menyalurkan kekuatan yang diam-diam selalu dia berikan. "Kamu nggak ha
Aku menatap layar ponsel di tanganku dengan perasaan yang tak karuan. Pesan singkat dari Alessandro masih terpampang jelas di sana. Aku membaca ulang kata-katanya, mencoba menemukan makna yang lebih dalam, tetapi kenyataan tak bisa diubah. Alessandro ternyata sudah memiliki kekasih, dan yang lebih menyakitkan, kekasihnya adalah seseorang yang selevel dengannya, seorang dokter juga. Aku tertawa kecut, mencoba menahan rasa perih yang semakin menyayat. "Kenapa aku bodoh sekali, ya?" gumamku, memeluk lutut di atas sofa. Selama ini aku merasa mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian profesional antara aku dan dr.Alessandro. Tapi ternyata, aku hanya salah mengartikan semuanya. Setiap senyum, setiap perhatian yang ia berikan, hanyalah bentuk dari kebaikan hatinya—tidak lebih."Flavia, kamu kenapa?" Suara lembut Ibu Mireya memecah lamunanku. Ibu datang menghampiriku, duduk di sebelahku sambil menatapku penuh rasa iba. Aku tidak sanggup menjawabnya, hanya menggeleng lemah."Kam
Aku mendesah panjang di depan layar ponsel yang menunjukkan pesan dari Valerie, pacarku yang berkarir sebagai seorang dokter.“Aku kangen kamu, Ale. Dan segera datang ke sini di rumah uwaku!," bacaku cepat. "Tapi kan lom lama kita sudah ketemu cuma sekarang ini aku lagi sibuk banget jadi lom bisa menemuimu lagi. Sabar ya, sayang, sampaikan salamku buat uwamu!" balasku cepat."Tapi aku masih kangen, tau.""Tapi aku gak bisa kalau sekarang ini."Valeri tak membalasnya lagi, mungkin ia merajuk, batinku.Hubungan kami selama ini selalu harmonis. Valerie adalah sosok yang luar biasa, cerdas, ambisius, dan selalu mendorongku untuk menjadi yang terbaik. Tidak jarang aku memberinya hadiah kecil untuk menunjukkan perhatianku, seperti buku yang dia suka atau kalung cantik yang cocok untuknya. Valerie bahagia, dan aku senang bisa membahagiakannya.Namun, akhir-akhir ini waktuku semakin terbatas. Kesibukan di rumah sakit semakin menumpuk, dan pertemuanku dengan Valerie menjadi semakin jarang. Ti
Valeri, pacarnya, beberapa hari yang lalu melontarkan kalimat yang terus membayangi pikirannya, "Kayaknya Flavia suka sama kamu, Ale."Sejak mendengar itu, hatinya terusik. Perhatian yang ia berikan kepada Flavia ternyata memiliki arti lebih di mata wanita itu. Dokter Alessandro merasa bersalah. Ia tidak pernah bermaksud memberi harapan. Sebagai seorang dokter, ia hanya berusaha memberikan support kepada pasiennya yang sedang terpuruk. Namun, kini situasi semakin rumit. Apalagi Valeri, pacarnya, semakin sering merajuk dan merasa terancam dengan keberadaan Flavia."Ale, lo kenapa sih? Dari tadi gue perhatiin, lo kayak lagi mikirin sesuatu yang berat," suara berat dari seberang meja mengagetkan Alessandro dari lamunannya.Dokter Amir, sahabat sekaligus rekan kerjanya, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Amir, gue ... ada masalah," ujar Alessandro akhirnya."Masalah apa? Lo kelihatan kacau banget, bro. Cerita aja, siapa tahu gue bisa bantu."Alessandro menatap sahabatnya dengan t
Flavia memarkirkan motornya di depan sebuah kafe kecil yang cukup ramai malam itu. Cahaya lampu-lampu gantung yang redup di teras kafe memberi suasana hangat, namun hatinya dingin, dipenuhi kegelisahan. Kata-kata Alesa saat tadi masih terngiang di kepalanya."Kak, tadi aku lihat Dokter Ale di kafe sama cewek, kayaknya sih pacarnya, soalnya tampak mesra,"Mendengar hal itu, Flavia tidak bisa tenang. Hati kecilnya tak ingin mempercayai kabar itu, namun rasa penasaran mendesaknya untuk memastikan sendiri. Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju pintu kafe, mencoba terlihat santai meski hatinya sedang kacau.Begitu masuk, Flavia dengan cepat melirik sekeliling. Matanya langsung tertumbuk pada sosok Dokter Alessandro yang sedang duduk di sudut ruangan bersama seorang wanita cantik. Mereka terlihat sangat akrab. Wanita itu tersenyum, dan Dokter Alessandro tampak tertawa kecil. Pandangan itu menghancurkan hati Flavia yang sebelumnya sudah retak.“Fla? Kamu ngapain di sini?” Suara berat yang