Pov Winda
"Maafkan aku ya, Nan. Mungkin aku bukan lah wanita yang baik untukmu. Aku belum bisa menjadi wanita yang sesuai dengan keinginanmu. Aku penuh kekurangan." Aku berkata dengan suara pelan dan wajah yang sayu mendayu.
Kulihat Hanan masih menatapku dengan lembut. Selalu seperti itu sejak tadi. Sejak aku mengeluarkan ratusan kata ocehan yang tak berguna. Aku sungguh menyesal memperlihatkan sisi burukku pada Hanan di hari pertama hubungan kami menjadi resmi seperti ini.
Apakah nantinya dia akan berubah feeling padaku. Karena Winda yang selama ini dia kenal tidak pernah menunjukkan sisi cerewet dan kecemburuan hakiki seperti ini. Aku akui, memang aku tipe wanita pencemburu. Terlebih setelah kejadian di masa lalu yang memnuatku masih sedikit trauma dalam menjalani hubungan.
Belum lagi, Hanan memang seorang pria muda dengan postur tubuh yang pastinya menjadi incaran para gadis-gadis. Jujur, Mas Heru yang begitu sem
Pov Nia Kami sudah mendengar kabar bahagia yang dibagikan Winda melalui akun sosial medianya. Winda akan segera mengadakan pertemuan keluarga dengan Dokter Hanan. Aku turut bahagia, akhirnya sahabatku itu menemukan kembali alasannya untuk tetap tersenyum dan bahagia. Bagiku, Winda lebih dari sekedar teman dan sahabat. Lukanya juga akan menjadi lukaku. Bahagianya, juga adalah kebahagiaan bagi diriku. Aku bisa merasakan bahwa sejak awal kedekatan mereka, mereka mempunya perasaan satu sama lain. Tapi, aku enggan berkomentar bukan karena aku tak peduli pada Winda. Hanya saja, aku ingin dia merasakan sendiri perasaannya. Meyakinkan sendiri hatinya. "Hai, Manis. Ngapain siang bolong gini melamun?" tegur Ferdi yang tiba-tiba sudah berada di depanku. Entah kapan pria ini duduk berhadapan denganku. Aku tersenyum kecut melihat ke arahnya lalu menyesap jus yang masih tersisa setengah lagi. "Ga ada. Aku cuma capek aja tadi, lagian mal
Pov Ferdi Aku masih bingung dengan maksud ucapan Nia yang terakhir kali tadi. Tapi gadis itu sudah tak ada lagi di parkiran. Pun, aku telpon nomornya selalu sibuk atau dia dengan sengaja merijeknya. Ada apa sebenarnya dengan Nia? Aku tau ada yang berubah dari dirinya. Terutama sikapnya padaku yang tidak seperti dulu lagi. Dia terkesan seperti menjaga jarak dariku. Apa aku melakukan kesalahan padanya? Atau mungkin dia ada kekasih baru, sehingga ia takut jika kekasihnya tau dia punya teman dekat seorang pria yang sembrono seperti aku? Deg... Punya kekasih? Kenapa hatiku terasa sedikit sakit saat membayangkannya? Apa benar Nia sudah punya pacar? Tapi, aku tidak pernah mendengarnya bercerita mengenai hal itu. Winda pun tidak pernah membahasnya. Bukan kah dia dan Winda tak akan pernah ada rahasia? Atau memang hanya Winda yang tau? "Kekasih? Siapa?" gumamku dengan perasaan tak menentu saat membayangkannya.
Pov Ferdi Aku sudah rapi dengan pakaian santaiku. Sejak jam 5 aku sudah melihat jam tangan tiap menit. Tak sabar rasanya ingin menginjak gas mobil menuju rumah Nia. Entah lah, rasanya seperti akan pergi menjemput cinta pertama untuk pergi malam mingguan. Kenapa bisa begini, dan kenapa ada rasa ini, jangan tanyakan mengapa. Karena ku tak tau jawabnya. (Hehehe) Semua rasa mengalir begitu saja, tanpa diduga dan direncanakan. Tanpa diminta dan tak bisa dihindari. Namun, aku tak ingin terlalu cepat mengartikan semua perasaan pada Nia ini. Jangan-jangan ini hanya perasaan sesaat karena aku baru saja patah hati karena pujaan hatiku akan dipinang oleh pria lain. Atau bisa jadi, selama ini aku hanya terobsesi pada Winda. Hanya sekedar kagum dan hasrat ingin memiliki. Yang bahkan, perasaan sayang dan cinta itu tak jelas dimana posisinya. Sementara, pada Nia yang kuanggap sebagai teman biasa tempat berkeluh kesah dan berbagi cerita, ternyata rasa
Pov Winda "Kak, ada pelakor tuh. Ngapain dia datang lagi ke sini. Dasar ga tau malu. Sinting!" umpat Putri, karyawanku yang paling setia selama ini. Terang saja, aku menoleh ke arah pintu masuk untuk melihat orang yang di maksud Putri. Ternyata, ada Ranisa yang berjalan ke arahku dengan menggendong seorang bayi laki-laki yang cukup imut menurutku. Bagaimana pun juga, bayi itu tidak pernah salah dan tidak pernah tau apa yang terjadi di antara kami. "Hai, Put. Masih betah kamu kerja di sini?" sapanya pada Putri yang sudah kembali ke rak pakaian yang tadi ia bereskan. "Hai, Ran. Ya masih lah. Gimana aku ga betah kerja di sini coba, orang majikannya aja baiknya ga abis-abis. Orang bego aja yang nyia-nyiain kesempatan emas begini." jawab Putri dengan sengit dan pedas. Sepertinya Putri sangat marah pada Ranisa. Sementara, Ranisa hanya menanggapinya dengan senyum sinis. Terlihat sombong dan tak pada tempatnya. Aku hanya
"Kak, semua udah siap." seru Diana saat menghampiriku di kamar. "Oke. Mereka udah datang, Dek?" tanyaku pada adikku itu. "Udah. Baru aja turun dari mobil. Kakak keluarnya sekarang atau pas lamaran udah selesai?" "Ya sekarang dong, Sayang. Kan Hanan mau ngelamar Kakak. Kalau Kakak ga keluar, gimana mau ngasih jawabannya?" "Ribet banget sih, Kak? Padahal kan udah tau juga lamarannya diterima. Tapi masih pake proses yang ribet begini segala. Buang-buang uang dan waktu aja." ucap Diana sambil nyengir tak tentu arah. Aku maklum Diana berkata seperti itu. Usia remaja seperti dia, tentu belum sepenuhnya mengerti dari segala proses adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. Sebenarnya, aku juga awalnya tidak mau mengadakan acara lamaran semewah ini. Cukup pertemuan antara keluarga saja dan adakan lamaran. Nanti langsung saja pada proses ijab qabul dan resepsi pernikahan. Tapi, aku juga harus menghargai keputusan Hanan yang menginginkan adanya aca
Pov Heru Aku sudah mendengar kabar tentang acara lamaran dan pertunangan Winda, mantan istri yang ternyata sampai saat ini masih aku cintai. Tidak ada gunanya lagi menyesali semua yang telah terjadi. Aku tidak bisa memperbaiki hubungan yang telah hancur. Aku mendapatkan kabar itu dari Ranisa saat ia berkunjung tadi. "Mas, mantan istri kamu kemarin lamaran sekaligus tunangan. Acaranya meriah banget. Mewah lah pokoknya, Mas." ucap Ranisa saat baru pertama kali bertatap muka padaku. Dia bahkan belum menanyakan bagaimana kabarku saat itu. "Syukur lah. Dia berhak mendapatkan kebahagiaannya setelah semua yang telah aku lakukan padanya." jawabku dengan pasrah. Aku menatap penampilan Ranisa secara keseluruhan. Istriku ini terlihat sangat jauh berbeda. Dia tidak terlihat seperti seorang wanita yang hidup kekurangan nafkah dari suaminya. Dia terlihat sangat berkecukupan, bahkan sedikit mewah. "Kamu ga marah, Mas? Dia menikah sama se
Pov Author Waktu terlalu cepat berlalu. Tapi bagi mereka yang dimabuk cinta, sehari rasa setahun. Hari ini adalah hari sakral bagi Winda dan Hanan. Yang mana, pagi ini mereka akan melangsungkan akad nikah atau pengucapan ijab qabul. Dan dilanjut dengan resepsi pernikahan. Pernikahan mereka digelar pada sebuah hotel bintang lima. Karena banyaknya undangan yang disebar. Mengingat Hanan adalah seorang Dokter, juga keluarganya yang ternyata juga orang yang sangat berpengaruh. Winda juga berasal dari keluarga terpandang. Bisnis yang ayahnya jalani selama ini telah membuatnya dikenal oleh banyak orang. Sebab itu, mereka akhirnya memutuskan untuk mengadakan pernikahan yang megah dan mewah. "Sayang, kamu udah siap?" tanya Mami Mery pada Winda yang masih duduk di depan meja riasnya. "Udah, Mi. Baru aja selesai make up. Diana mana? Jason jadi datang, Mi?" tanyaku beruntun menghilangkan kegugupan. "Diana ada di bawah sama Nia
Setelah resepsi pernikahan selesai, aku dan Mas Hanan memang sengaja tak ikut pulang. Karena semua perlengkapan persiapan pernikahan ini sudah sepaket dengan kamar pengantinnya juga. Jadi, sudah ada satu kamar yang dihias sedemikian rupa sebagai kamar pengantin untukku dan Mas Hanan. Ehem... Sekarang manggilnya ga boleh Hanan lagi dong, ya. Kan udah jadi suami. Jadi harus sopan. Hihihi Aku dan Mas Hanan meninggalkan aula saat semua tamu sudah pulang. Hanya tinggal pegawai hotel dan tim sukses acara yang kami sewa tampak sedang membersihkan aula dan mengemasi segala macam barang-barangnya. "Mas, aku mandi duluan, ya. Kamu tolong telponin Diana dulu bisa kan? Bilangin besok pagi jangan lupa Bu Dona mau ambil pesanannya. Pastikan semuanya sempurna." pintaku pada Mas Hanan yang masih membuka jas hitam di tubuh atletisnya itu. "Lho, kok mandi sendirian. Bareng aja, ya." goda Mas Hanan dengan senyum penuh makna. "Ih, jangan gitu. Aku kan masih malu.