"Kak, semua udah siap." seru Diana saat menghampiriku di kamar.
"Oke. Mereka udah datang, Dek?" tanyaku pada adikku itu.
"Udah. Baru aja turun dari mobil. Kakak keluarnya sekarang atau pas lamaran udah selesai?"
"Ya sekarang dong, Sayang. Kan Hanan mau ngelamar Kakak. Kalau Kakak ga keluar, gimana mau ngasih jawabannya?"
"Ribet banget sih, Kak? Padahal kan udah tau juga lamarannya diterima. Tapi masih pake proses yang ribet begini segala. Buang-buang uang dan waktu aja." ucap Diana sambil nyengir tak tentu arah.
Aku maklum Diana berkata seperti itu. Usia remaja seperti dia, tentu belum sepenuhnya mengerti dari segala proses adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. Sebenarnya, aku juga awalnya tidak mau mengadakan acara lamaran semewah ini.
Cukup pertemuan antara keluarga saja dan adakan lamaran. Nanti langsung saja pada proses ijab qabul dan resepsi pernikahan. Tapi, aku juga harus menghargai keputusan Hanan yang menginginkan adanya aca
Pov Heru Aku sudah mendengar kabar tentang acara lamaran dan pertunangan Winda, mantan istri yang ternyata sampai saat ini masih aku cintai. Tidak ada gunanya lagi menyesali semua yang telah terjadi. Aku tidak bisa memperbaiki hubungan yang telah hancur. Aku mendapatkan kabar itu dari Ranisa saat ia berkunjung tadi. "Mas, mantan istri kamu kemarin lamaran sekaligus tunangan. Acaranya meriah banget. Mewah lah pokoknya, Mas." ucap Ranisa saat baru pertama kali bertatap muka padaku. Dia bahkan belum menanyakan bagaimana kabarku saat itu. "Syukur lah. Dia berhak mendapatkan kebahagiaannya setelah semua yang telah aku lakukan padanya." jawabku dengan pasrah. Aku menatap penampilan Ranisa secara keseluruhan. Istriku ini terlihat sangat jauh berbeda. Dia tidak terlihat seperti seorang wanita yang hidup kekurangan nafkah dari suaminya. Dia terlihat sangat berkecukupan, bahkan sedikit mewah. "Kamu ga marah, Mas? Dia menikah sama se
Pov Author Waktu terlalu cepat berlalu. Tapi bagi mereka yang dimabuk cinta, sehari rasa setahun. Hari ini adalah hari sakral bagi Winda dan Hanan. Yang mana, pagi ini mereka akan melangsungkan akad nikah atau pengucapan ijab qabul. Dan dilanjut dengan resepsi pernikahan. Pernikahan mereka digelar pada sebuah hotel bintang lima. Karena banyaknya undangan yang disebar. Mengingat Hanan adalah seorang Dokter, juga keluarganya yang ternyata juga orang yang sangat berpengaruh. Winda juga berasal dari keluarga terpandang. Bisnis yang ayahnya jalani selama ini telah membuatnya dikenal oleh banyak orang. Sebab itu, mereka akhirnya memutuskan untuk mengadakan pernikahan yang megah dan mewah. "Sayang, kamu udah siap?" tanya Mami Mery pada Winda yang masih duduk di depan meja riasnya. "Udah, Mi. Baru aja selesai make up. Diana mana? Jason jadi datang, Mi?" tanyaku beruntun menghilangkan kegugupan. "Diana ada di bawah sama Nia
Setelah resepsi pernikahan selesai, aku dan Mas Hanan memang sengaja tak ikut pulang. Karena semua perlengkapan persiapan pernikahan ini sudah sepaket dengan kamar pengantinnya juga. Jadi, sudah ada satu kamar yang dihias sedemikian rupa sebagai kamar pengantin untukku dan Mas Hanan. Ehem... Sekarang manggilnya ga boleh Hanan lagi dong, ya. Kan udah jadi suami. Jadi harus sopan. Hihihi Aku dan Mas Hanan meninggalkan aula saat semua tamu sudah pulang. Hanya tinggal pegawai hotel dan tim sukses acara yang kami sewa tampak sedang membersihkan aula dan mengemasi segala macam barang-barangnya. "Mas, aku mandi duluan, ya. Kamu tolong telponin Diana dulu bisa kan? Bilangin besok pagi jangan lupa Bu Dona mau ambil pesanannya. Pastikan semuanya sempurna." pintaku pada Mas Hanan yang masih membuka jas hitam di tubuh atletisnya itu. "Lho, kok mandi sendirian. Bareng aja, ya." goda Mas Hanan dengan senyum penuh makna. "Ih, jangan gitu. Aku kan masih malu.
"Jadi, untuk melihat jenis kelaminnya saat belum bisa kita lakukan. Kita harus menunggu sekitar 4 minggu lagi untuk bisa melihatnya. Itu pun belum terlalu jelas pastinya," ucap Dokter kandungan yang aku kunjungi pagi ini. "Ja-jadi, aku benar-benar hamil saat ini, Dok?" tanyaku masih dengan raut wajah tak percaya. Aku merasakan mataku mulai hangat dan pandangan mulai mengabur, karena ada genangan air yang sudah mengisi ruang di bola mataku itu kini. "Benar, Bu. Kehamilan Ibu saat ini sudah memasuki usia 9 minggu. Sekali lagi, selamat ya, Bu. Atas kehamilannya. Sebaiknya Ibu mulai memperhatikan pola makan dan asupan gizi. Karna, apa yang Ibu makan itu juga akan menjadi makanan bagi si kecil di dalam sana." saran sang Dokter wanita paruh baya itu padaku. "Ternyata aku bisa hamil..." aku masih larut dalam suasana hatiku sendiri dan tak menjawab apa yang dikatakan Dokter. "Tentu saja bisa. Rahim Ibu bagus dan sangat subur. Jika tidak berhati-
Tak terasa hari demi hari sudah terlewati. Bulan berganti bulan sudah kami jalani sebagai sepasang suami istri dan juga calon orang tua untuk bayi dalam kandunganku. Kandungan yang sudah sembilan bulan ini kubawa kemana pun aku pergi. Kami sudah berbagi segalanya selama sembilan bulan dan kini aku sedang menanti detik-detik kelahiran anak pertamaku. "Sayang, aku pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa langsung telpon aku." Mas Hanan memperingatiku sebelum berangkat ke klinik untuk bertemu pasien yang sudah membuat janji sebelumnya. "Iya, Mas. Masih jauh kok perkiraannya. Kamu tenang aja." jawabku menenangkan Mas Hanan dengan melempar sebuah seyuman untuknya. "Atau kamu ke rumah Mami aja deh, ya. Atau Mami aku suruh ke sini aja, gimana?" "Mas... Aku beneran ga apa-apa. Kamu berlebihan banget deh khawatirnya. Ini juga kan masih lama prediksinya. Masih 10 harian lagi," "Tapi, Sayang...itu cuma prediksi. Bisa cepat bisa lambat dari tanggalnya. A
"Ayo, Bu. Dorong terus! Kepala bayinya sudah kelihatan," Dokter memberi perintah pada Winda yang sedang berjuang di ranjang bersalin. "Sayang, yang kuat, ya. Ayo semangat, Sayang. Aku di sini." ucap Hanan memberi semangat pula. "Mas, aku ga kuat. Sakit banget...emmmmppp..." "Eaaak.... Eaakk..." jerit bayi perempuan yang baru hadir ke dunia itu dengan suara lantang. Winda bahkan belum selesai mengatakan perasaannya, dan sudah mengejan sekuat tenaga hingga bayi yang sejak pagi memberikan rasa sakit di rahim Winda itu akhirnya keluar. Tangis haru pecah seketika. Baik Hanan maupun Winda menangis bahagia mendengar suara tangisan bayi itu. Hanan tak henti mengecup kening dan pipi Winda bergantian. Dalam hati mengucap syukur tak berkesudahan. Di depan mata kepalanya, ia menyaksikan bagaimana Winda bertaruh nyawa demi lahirnya penerus generasi keluarganya. "Kamu ibu yang kuat, Sayang. Terima kasih karena sudah berjuang sejauh ini.
Pov Winda Ternyata waktu terlalu cepat berlalu. Aku tidak pernah menyangka akan menjadi seorang ibu sebelumnya. Aku yang dulu selalu pesimis akan hal itu karena mantan suami yang selalu menganggap bahwa aku kurang subur karena terlalu sibuk mengurus butik. Kini merasa sangat bangga dan bahagia karena sudah mematahkan pernyataan itu. Meski, pria itu tak dapat melihat kenyataan ini. Bayi perempuanku yang sangat cantik dan manja sudah tumbuh dan berkembang dengan baik. 3 tahun sudah usianya saat ini. Bayi yang kuberi nama Cantika itu, tengah asik menikmati permainan di taman dekat rumah baruku. Baru dua bulan ini, kami pindah ke sini. Karena Mas Hanan membelikan rumah lagi yang lebih besar atas namaku. Sungguh besar rasa cinta Mas Hanan padaku. Aku merasa seperti wanita yang paling beruntung di dunia ini. Dari kursi tempat aku duduk kini, aku bisa melihat Cantika sedang berebut perosotan dengan seorang anak laki-laki. Aku dengan cepat menghampiri mereka.
"Siapa itu, Bunda?" tanya Cantika yang berhasil membuatku sedikit terkejut dan kembali tersadar pada keadaan saat ini. "Oh. Di-dia...dia mungkin Mama anak laki-laki itu, Sayang. Anak laki-laki yang tadi ga mau pinjemin kamu perosotan," aku menjawab dengan situasi yang bisa dimengerti Cantika dengan mudah. "Oh, iya. Apa dia ngadu sama Mamanya, Bun?" tanya Cantika lagi. "Kak Winda...," sapa wanita itu sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Cantika. "Kenapa kamu mencegahku pergi dengan suara lantang? Apa masalahmu?" aku bertanya tanpa basa-basi. "Bukan begitu, Kak. Aku ga tau kalau tadi itu Kak," jawabnya terlihat sangat ragu. "Sayang, aku bawa Cantika ke mobil dulu, ya," Mas Hanan berinisiatif membawa Cantika pergi. Karena sejujurnya aku juga tak ingin Cantika mendengar pembicaraanku dengan wanita ini. "Iya, Mas. Bentar lagi aku nyusul, ya." Mas Hanan mengangguk dan membawa Cantika menuju parkiran mobil. "Jadi, kenapa ema
Terima ksih tak terhingga aku ucapkan pada semua pembaca setia karya-karyaku di Good Novel. Baik itu yang membaca dengan koin gratis dan harus sedikit berjuang + bersabar agar bisa membaca kelanjutan bab nya, maupun yang bela-belain top up koin demi bisa buka bab bergembok. Selama ini aku selalu mengatakan terima kasih untuk pembaca royalku, itu bukan sekedar untuk pembaca yang buka bab dengan koin hasil top up. Tapi kata-kata itu juga aku tujukan pada pembaca pejuang koin gratis dan untuk semua yang sudah royal meluangkan waktunya untuk membaca hasil ketikan jari jemariku ini. Aku mohon jangan ada lagi yang salah paham dan berkecil hati. Siapa pun kalian, dimana pun kalian berada, meski hanya buka bab pertama dari novelku saja, aku sudah mencintai kalian. Sayang sekali novel ini sudah harus tamat. Tapi, terus dukung dan baca karyaku yang lainnya, ya. Semoga aku secepatnya bisa menambah daftar karya terkontrakku lagi di Good Novel. Sekali
Pov AuthorWaktu begitu cepat berlalu, dan saat ini di dalam ruangan bersalin Winda sedang berjuang untuk melahirkan anak keduanya. Winda baru masuk sekitar 15 menit yang lalu. Kondisi saat ini jauh berbeda dengan saat ia melahirkan anak pertamanya dulu. Anak kedua ini lebih di permudah prosesnya. Winda ditemani oleh Hanan di dalam ruangan. Sementara itu, di luar sudah menunggu Mami Mery, Diana, Cantika, Jason, Nia, dan juga Ferdi. Anak mereka titipkan pada orang tua Ferdi."Oma, apa Bunda baik-baik aja?" tanya Cantika sambil memeluk Mami Mery."Iya, Sayang. Bunda baik-baik aja kok di dalam. Itu Bundanya kan sedang berjuang ngelahirin dedek bayi. Kita berdoa sama-sama, ya. Semoga Bunda dan dedek bayi sehat dan selamat," jawab Mami Mery sambil menciumi putri semata wayangnya. "Oma dan Om Jason kok ga punya adek bayi kayak Bunda? Itu, Tante Nia sama Om Ferdi juga mau punya bayi lagi." Cantika yang lucu dan menggemaskan berkata dengan polosnya."Sayang, Oma udah tua
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk Mas Hanan dan Cantika. Hanya menu sederhana saja hari ini yang bisa aku buat, karena ternyata stok di kulkas tidak mencukupi lagi untuk membuat bubur ayam favorite Mas Hanan dan Cantika. Jadilah pagi ini aku hanya membuat nasi goreng spesial ala-ala cheff rumahan. Di rumahku sudah ada seorang asisten rumah tangga yang mulai bekerja seminggu yang lalu. Dia adalah ibu-ibu yang aku temui sedang mendorong gerobak menjajakan pisang yang ternyata juga punya orang lain. Hanya demi bisa membeli beras hari itu, ia rela berpanas-panasan berkeliling menjualkan pisang milik tetangganya. Menurut ibu itu, jika laki 1 sisir, maka ia akan mendapat 5 ribu rupiah sebagai untungnya. Sementara sejak pagi, baru laku 2 sisir. Untuk membeli sekilo beras saja belum cukup. Apalagi membeli telor sebagai lauknya makan. Di rumah ada dua orang anaknya yang sedang menunggu dengan perut lapar karena sudah sejak semalam belum makan nasi. Ha
Setelah petugas keamanan komplek datang, wanita itu segera dibawa bersama dengan seorang Dokter wanita. Mungkin karena tadi Mas Hanan mengatakan ia sedang dalam keadaan hamil besar, jadi untuk berjaga-jaga mereka juga membawa seorang Dokter. Dan ternyata itu juga sangat membantu. Wanita itu mengamuk awalnya karena bersikeras tak ingin pergi dan menganggap Mas Hanan adalah suaminya yang benama Jaka itu.Jalan terakhir yang dipilih Dokter adalah memberikannya suntik penenang. Dan setelah menunggu selama lima menit, akhirnya dia benar-benar tenang dan akhirnya tertidur. Mereka semua membawa wanita itu untuk ditangani oleh ahli kejiwaan dan akan mencari tau tentang informasi keluarganya.Sampai saat aku dan Mas Hanan sudah berada di dalam kamar, kami masih saja heran dengan bagaimana wanita itu bisa masuk ke rumah kami dan menganggap Mas Hanan adalah suaminya.Aku bahkan sempat membaca secarik kertas yang dia lemparkan pada Mas Hanan saat baru datang itu. Itu adalah surat d
Aku sangat terkejut dengan kedatangan wanita hamil yang tiba-tiba saja marah dengan melempar kertas pada suamiku itu. Entah apa maksudnya. Mas Hanan juga terlihat sangat heran. Kemudian dia berjalan lebih dekat pada Mas Hanan. Seketika itu juga, wanita hamil itu menghambur ke dalam pelukan suamiku. Dia memeluk Mas Hanan dengan sangat erat.Mas Hanan tampak semakin bingung dan berusaha menjauhkan wanita itu dari tubuhnya. Tapi, pelukannya terlihat semakin erat. Aku yakin Mas Hanan sangat takut berbuat kasar karena kondisi wanita itu yang sedang hamil besar."Mas, tega sekali kamu ninggalin aku demi perempuan ini? Apa kurangnya aku, Mas? Lihat ini, Mas. Aku juga bisa hamil, Mas. Aku bisa seperti dia. Tinggalin dia, Mas. Kembali padaku. Ini anak kita. Dia akan segera lahir ke dunia ini, Mas," ucap wanita itu dengan isak tangis yang tak bisa ia tahan.Sementara aku? Aku yang tadinya sudah berdiri, lantas kembali terduduk di atas kursi yang untungnya sangat lembut itu. Tubuh
Kebahagiaan yang Tuhan berikan seakan tak pernah ada habisnya. Kehamilan keduaku yang awalnya membuatku agak susah makan dan beraktifitas karena mabuk berat, ternyata hanya berlaku 2 bulan saja. Setelah kehamilan memasuki 7 bulan, semua orang sudah sangat tidak sabar menantikannya lahir. Terlebih lagi, saat aku memberitahukan hasil USG tentang bayi yang ada dalam kandunganku ini berjenis kelamin laki-laki. Itulah yang membuat semua orang sangat senang dan tidak sabar menantikan kehadirannya. Malam ini, di rumahku sedang diadakan acara do'a tujuh bulanan. Sangat banyak tamu yang datang. Hampir semua orang yang aku undang, menampakkan batang hidungnya malam ini di kediamanku yang sudah semakin besar karena Mas Hanan bersikeras merenovasinya beberapa bulan yang lalu. "Selamat ya, Win," ucap Nia, sahabatku yang paling aku sayangi dan selalu ada untukku dalam kondisi apapun. "Makasih ya, Beb. Kamu juga, bentar lagi mau nujuh bulanan kan?" jawabku dan kami saling berpe
Saat aku membayar semua belanjaanku di toko roti itu, aku masih dapat mendengar pertengkaran hebat antara Ranisa dan seorang wanita yang mengaku suaminya telah diambil oleh Ranisa itu. Kerumunan yang ada di sana terlihat semakin ramai dan tidak sedikit di antara mereka yang menghadapkan kamera ponselnya ke arah dua wanita yang sedang bersiteru itu. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan untuk ditonton. Setelah selesai, aku mengajak Cantika untuk kembali masuk ke dalam mobil. Aku sudah tak ingin tau lagi dengan semua yang menimpanya. Meski dalam hati kecilku merasa iba, karena aku sempat melihat Ranisa sedang diamuk oleh wanita itu. Rambutnya ditarik dan wajahnya ditampar berkali-kali. Mirisnya, di samping Ranisa sedang berdiri seorang anak laki-laki yang aku tau itu adalah anak Ranisa. Entah bagaimana perasaan anak itu saat melihat ibunya dimaki dan dihina, diperlakukan seperti itu di depan umum. Mungkin sekarang ia belum mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.
Sudah tiga bulan sejak meninggalnya Mas Heru. Dan aku memang menuruti semua saran Nia. Berusaha tidak peduli lagi pada masa lalu dan memikirkannya. Aku sama sekali berhasil melupakan segalanya dengan sangat mudah. Ternyata, semua itu berasal dari niat dalam hati kita sendiri. Jika kita benar-benar ingin melupakannya, maka lakukan lah dengan sangat elegan. Tidak perlu berusaha sekuat tenaga untuk membencinya. Hari ini aku sengaja pergi ke butik karena memang sudah lama aku tidak berkunjung langsung ke sana. Diana mengurus semuanya dengan sangat baik. Dari bagi hasil yang aku berikan pada Diana, dia sudah mampu membeli rumah dan mobil pribadi. Meski tidak yang terlalu mewah. Tapi, itu cukup berharga karena dibeli dari hasil kerja kerasnya. Diana juga berhasil memasarkan produk butikku ke luar negri. Sejak saat itulah, butik selalu banjir orderan. Diana memang sangat menguasi ilmu marketing yang bagus dan mampu memikat calon pembeli dengan sangat baik. "Bunda, nant
Pov Winda Tidak ada yang bisa aku lakukan di rumah saat hari kerja seperti ini. Cantika sudah selesai aku bantu mandi dan makan. Kami juga sudah bercengkrama dan saling bertukar pikiran tentang liburan akhir bulan yang sudah direncanakan oleh Mas Hanan kemarin. Rumah dan segalanya sudah beres dan rapi. Aku merasa sedikit bosan sebenarnya. Pernah aku berniat untuk kembali mengurus butik, tapi tak tega jika setiap hari harus membawa atau meninggalkan Cantika. Keduanya sama-sama tidak akan baik untuk tumbuh kembangnya. Lagi pula, Mas Hanan tidak memberikanku izin karena saat ini kami berencana untuk menambah momongan lagi. Aku sudah tidak memakai KB lagi dalam dua bulan terakhir. Namun, sepertinya masih belum beruntung untuk bulan ini. Dengan malas, aku menggeser-geser beranda media sosialku di ponsel. Banyak sekali orang yang memberikam tag pada akunku saat ini. Aku merasa heran, tumben sekali teman-temanku menandaiku pada sebuah berita yang berjudul 'Ditemuk