Setelah resepsi pernikahan selesai, aku dan Mas Hanan memang sengaja tak ikut pulang. Karena semua perlengkapan persiapan pernikahan ini sudah sepaket dengan kamar pengantinnya juga. Jadi, sudah ada satu kamar yang dihias sedemikian rupa sebagai kamar pengantin untukku dan Mas Hanan.
Ehem... Sekarang manggilnya ga boleh Hanan lagi dong, ya. Kan udah jadi suami. Jadi harus sopan. Hihihi
Aku dan Mas Hanan meninggalkan aula saat semua tamu sudah pulang. Hanya tinggal pegawai hotel dan tim sukses acara yang kami sewa tampak sedang membersihkan aula dan mengemasi segala macam barang-barangnya.
"Mas, aku mandi duluan, ya. Kamu tolong telponin Diana dulu bisa kan? Bilangin besok pagi jangan lupa Bu Dona mau ambil pesanannya. Pastikan semuanya sempurna." pintaku pada Mas Hanan yang masih membuka jas hitam di tubuh atletisnya itu.
"Lho, kok mandi sendirian. Bareng aja, ya." goda Mas Hanan dengan senyum penuh makna.
"Ih, jangan gitu. Aku kan masih malu.
"Jadi, untuk melihat jenis kelaminnya saat belum bisa kita lakukan. Kita harus menunggu sekitar 4 minggu lagi untuk bisa melihatnya. Itu pun belum terlalu jelas pastinya," ucap Dokter kandungan yang aku kunjungi pagi ini. "Ja-jadi, aku benar-benar hamil saat ini, Dok?" tanyaku masih dengan raut wajah tak percaya. Aku merasakan mataku mulai hangat dan pandangan mulai mengabur, karena ada genangan air yang sudah mengisi ruang di bola mataku itu kini. "Benar, Bu. Kehamilan Ibu saat ini sudah memasuki usia 9 minggu. Sekali lagi, selamat ya, Bu. Atas kehamilannya. Sebaiknya Ibu mulai memperhatikan pola makan dan asupan gizi. Karna, apa yang Ibu makan itu juga akan menjadi makanan bagi si kecil di dalam sana." saran sang Dokter wanita paruh baya itu padaku. "Ternyata aku bisa hamil..." aku masih larut dalam suasana hatiku sendiri dan tak menjawab apa yang dikatakan Dokter. "Tentu saja bisa. Rahim Ibu bagus dan sangat subur. Jika tidak berhati-
Tak terasa hari demi hari sudah terlewati. Bulan berganti bulan sudah kami jalani sebagai sepasang suami istri dan juga calon orang tua untuk bayi dalam kandunganku. Kandungan yang sudah sembilan bulan ini kubawa kemana pun aku pergi. Kami sudah berbagi segalanya selama sembilan bulan dan kini aku sedang menanti detik-detik kelahiran anak pertamaku. "Sayang, aku pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa langsung telpon aku." Mas Hanan memperingatiku sebelum berangkat ke klinik untuk bertemu pasien yang sudah membuat janji sebelumnya. "Iya, Mas. Masih jauh kok perkiraannya. Kamu tenang aja." jawabku menenangkan Mas Hanan dengan melempar sebuah seyuman untuknya. "Atau kamu ke rumah Mami aja deh, ya. Atau Mami aku suruh ke sini aja, gimana?" "Mas... Aku beneran ga apa-apa. Kamu berlebihan banget deh khawatirnya. Ini juga kan masih lama prediksinya. Masih 10 harian lagi," "Tapi, Sayang...itu cuma prediksi. Bisa cepat bisa lambat dari tanggalnya. A
"Ayo, Bu. Dorong terus! Kepala bayinya sudah kelihatan," Dokter memberi perintah pada Winda yang sedang berjuang di ranjang bersalin. "Sayang, yang kuat, ya. Ayo semangat, Sayang. Aku di sini." ucap Hanan memberi semangat pula. "Mas, aku ga kuat. Sakit banget...emmmmppp..." "Eaaak.... Eaakk..." jerit bayi perempuan yang baru hadir ke dunia itu dengan suara lantang. Winda bahkan belum selesai mengatakan perasaannya, dan sudah mengejan sekuat tenaga hingga bayi yang sejak pagi memberikan rasa sakit di rahim Winda itu akhirnya keluar. Tangis haru pecah seketika. Baik Hanan maupun Winda menangis bahagia mendengar suara tangisan bayi itu. Hanan tak henti mengecup kening dan pipi Winda bergantian. Dalam hati mengucap syukur tak berkesudahan. Di depan mata kepalanya, ia menyaksikan bagaimana Winda bertaruh nyawa demi lahirnya penerus generasi keluarganya. "Kamu ibu yang kuat, Sayang. Terima kasih karena sudah berjuang sejauh ini.
Pov Winda Ternyata waktu terlalu cepat berlalu. Aku tidak pernah menyangka akan menjadi seorang ibu sebelumnya. Aku yang dulu selalu pesimis akan hal itu karena mantan suami yang selalu menganggap bahwa aku kurang subur karena terlalu sibuk mengurus butik. Kini merasa sangat bangga dan bahagia karena sudah mematahkan pernyataan itu. Meski, pria itu tak dapat melihat kenyataan ini. Bayi perempuanku yang sangat cantik dan manja sudah tumbuh dan berkembang dengan baik. 3 tahun sudah usianya saat ini. Bayi yang kuberi nama Cantika itu, tengah asik menikmati permainan di taman dekat rumah baruku. Baru dua bulan ini, kami pindah ke sini. Karena Mas Hanan membelikan rumah lagi yang lebih besar atas namaku. Sungguh besar rasa cinta Mas Hanan padaku. Aku merasa seperti wanita yang paling beruntung di dunia ini. Dari kursi tempat aku duduk kini, aku bisa melihat Cantika sedang berebut perosotan dengan seorang anak laki-laki. Aku dengan cepat menghampiri mereka.
"Siapa itu, Bunda?" tanya Cantika yang berhasil membuatku sedikit terkejut dan kembali tersadar pada keadaan saat ini. "Oh. Di-dia...dia mungkin Mama anak laki-laki itu, Sayang. Anak laki-laki yang tadi ga mau pinjemin kamu perosotan," aku menjawab dengan situasi yang bisa dimengerti Cantika dengan mudah. "Oh, iya. Apa dia ngadu sama Mamanya, Bun?" tanya Cantika lagi. "Kak Winda...," sapa wanita itu sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Cantika. "Kenapa kamu mencegahku pergi dengan suara lantang? Apa masalahmu?" aku bertanya tanpa basa-basi. "Bukan begitu, Kak. Aku ga tau kalau tadi itu Kak," jawabnya terlihat sangat ragu. "Sayang, aku bawa Cantika ke mobil dulu, ya," Mas Hanan berinisiatif membawa Cantika pergi. Karena sejujurnya aku juga tak ingin Cantika mendengar pembicaraanku dengan wanita ini. "Iya, Mas. Bentar lagi aku nyusul, ya." Mas Hanan mengangguk dan membawa Cantika menuju parkiran mobil. "Jadi, kenapa ema
Pov Heru Setelah lima tahun aku hidup di dalam penjara, akhirnya tiba juga hari dimana kebebasanku akan aku rasakan. Aku tidak tau, mengapa bisa bebas lebih cepat dari vonis yang dulu dijatuhkan Hakim saat ketuk palu. Yang jelas, aku sangat bersyukur kepada Tuhan. Akhirnya, aku bisa pulang dan bertemu lagi dengan anak serta istriku, Ranisa. Entah bagaimana kini rupanya bayi laki-laki yang aku tinggalkan saat baru dilahirkan itu. Apakah Ranisa ada memperkenalkan aku padanya, meski hanya dari foto-foto saja. Setidaknya, dia mengenaliku dari gambar. Jadi, saat pertemuan pertama kami nanti dia tidak asing lagi dengan ayahnya ini. Aku dengan semangat membereskan barang-barangku yang tidak seberapa. Sambil menunggu petugas datang untuk memanggil dan membukakan pintu jeruji besi ini untukku, aku menyempatkan diri berpamitan dan meminta maaf pada teman satu sel denganku. Ada beberapa orang penghuni lama, ada pula yang baru mengecap pahit dan ke
Dengan dada yang bergemuruh menahan emosi, aku kembali melangkahkan kaki lebih cepat menaiki anak tangga. Meski rumah itu tidak terlalu besar, ternyata memiliki dua lantai di dalamnya. Aku berjalan mengikuti dimana arah suara desahan itu terdengar. Hingga tanpa sadar, kini kakiku berdiri di depan sebuah kamar yang tidak terkunci sama sekali. Pintunya terbuka sedikit. Aku berusaha mengintip, akan tetapi letak ranjang sepertinya ada di belakang pintu. "Mas...kamu nakal banget sih. Siang-siang gini pulang cuma buat minta ginian," suara seorang wanita yang sangat aku kenal terdengar berkata dengan manja. 'Dengan siapa dia di dalam? Apa benar wanita yang ada di dalam kamar ini adalah istri yang aku tinggalkan beberapa tahun belakangan ini? Benarkah itu Ranisa? Apa benar dia telah menikah lagi dan itu artinya dia telah berkhianat dariku. Mana bisa perempuan menikah dua kali. Menikah selama masih dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki lain. "Gimana dong, S
"Ini, Mas. Surat cerai kita. Udah 5 tahun yang lalu aku buatkan supaya kamu ga susah-susah lagi mengurusnya saat sudah bebas dari penjara," ucap Ranisa dengan penuh keangkuhan."Jadi, kamu memalsukan tanda tangan aku?" tanyaku padanya."Ya, harus gimana lagi. Kalau aku minta langsung sama kamu saat itu, pastilah kamu ga akan mau tanda tabgan. Iya kan?""Hebat kamu, Ranisa. Aku ga pernah menyangka punya istri selicik kamu. Selama ini kamu terlihat lugu dan polos, tapi ternyata aku salah menilaimu. Kau lebih buruk dari wanita malam yang pernah aku temui.""Oh, jadi ngaku sekarang kalau kamu pernah jajan di luar sana. Udah ada istri di rumah, masih aja nyari wanita malam. Untung aku ga kena penyakit menular." Ranisa terlihat bergidik ngeri saat mengatakannya."Sudah lah, jangan mencari-cari kesalahanku. Aku menyesal pernah terjerat dalam perangkapmu. Aku menyesal pernah meninggalkan istri yang setia dan baik seperti Winda hanya demi wanita seperti dir