Nathan kembali ke Vila De Gaia.Briana sedang duduk di sofa, rambut panjangnya acak-acakan. Dia memegang tespek dengan cemas.Nathan melihat dua garis pada tespek.Hamil.Nathan duduk di sofa, menyilangkan kaki dan terlihat sedikit santai. "Apa pikiranmu?"Ekspresi Briana sedikit bingung, dia menggigit bibir merahnya. "Aku nggak tahu."Nathan melihatnya sekilas lalu berkata, "Besok aku akan membawamu ke rumah sakit untuk pemeriksaan.""Oke". Briana menarik sudut bibirnya. Dia ingin tertawa, tetapi tidak bisa.Anak ini datang terlalu tiba-tiba.Nathan memintanya naik ke atas untuk beristirahat dulu. Begitu Briana mencapai anak tangga pertama, dia tiba-tiba berbalik kemudian berkata, "Aku menginginkan anak ini."Dia mengatupkan bibirnya."Pikirkan baik-baik. Anak itu akan lahir tanpa ayah."Briana mengatupkan bibirnya erat-erat."Selain itu orang tuamu mungkin nggak akan setuju."Nathan menganalisis dengan tenang.Briana tahu bahwa Keluarga Edkins tidak akan membiarkannya hamil di luar n
Meskipun dia belum berhasil membalas dendam, bagaimana mungkin dia tumbang begitu cepat?Elena hanya merasa dirinya tidak cukup kuat.Bourne memasukkan tangannya ke dalam saku celana kemudian melihat Elena sekilas. "Buatkan secangkir kopi untuk bosmu. Kita harus pergi ke Grup Burchan jam sepuluh.""..."Elena mengalihkan pandangan dari Bourne.Dia pergi membuat kopi, membawa masuk, kemudian menaruhnya di atas meja.Bourne mengangkat tangannya untuk membuka kancing kemeja teratas, memperlihatkan kulit kecokelatannya. Dia mengangkat pandangannya lalu berkata, "Bu Elena, kalau kamu nggak mau pergi juga boleh."Elena mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa aku harus nggak mau pergi? Ini pekerjaanku."Usai berbicara, Elena pun keluar dari kantor.Melihat Elena yang tampak biasa saja, Bourne merasa dirinya telah cemas berlebihan.Sesampainya di luar pintu ruang rapat Grup Burchan, Kaedyn sedikit mengernyit saat melihat Elena yang ada di sebelah Bourne. Dia memandang Bourne.Bourne tersenyum semb
Mobil hitam itu melaju di jalan.Melaju dan berhenti.Sekarang adalah jam pulang kerja, Kota Burgan sangat ramai pada waktu ini.Kaedyn sedang membalas beberapa email. Begitu mengingat Elena melepaskan dasi Bourne, dia mengatupkan bibirnya dengan agak kesal.Ponsel berdering, Kaedyn melihat ID penelepon, lalu menjawab panggilan telepon itu."Kae, aku akan pergi ke Kota Swindon untuk mempromosikan albumku selama dua hari ke depan. Selama aku nggak ada di Kota Burgan, kamu harus pulang lebih awal untuk menjaga putri kita," pesan Doreen dengan suara lembut.Kaedyn tahu bahwa Doreen masih marah karena Kaedyn telah berprasangka buruk terhadapnya."Oke."Doreen menutup telepon dulu setelah mendengar jawaban Kaedyn.Melihat suasana hati Doreen tampak buruk, Wendy pun bertanya, "Ada apa?"Doreen menjawab, "Bukan apa-apa."Pada saat ini, staf datang membawa sebuket mawar lalu berkata, "Nona Doreen, ada bunga dari Pak Kaedyn."Doreen tampak terkejut.Suasana hati buruknya langsung menjadi cerah.
Elena berdiri, keluar dari acara sambil membawa papan dukungan, kemudian melemparkan papan dukungan tersebut ke tong sampah.Elena menyipitkan mata, cuaca hari ini bagus.Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, kemudian menghubungi sebuah nomor."Nona Jules, aku Sunset." Elena berjalan santai. "Aku punya beberapa lagu baru. Apakah kamu mau membeli hak ciptanya? Aku hanya menjualnya kepadamu."Jules sedang memusingkan masa depannya, tiba-tiba sebuah nomor asing menghubunginya.Ketika dia mendengar isi panggilan telepon itu, dia langsung tampak gembira. "Halo, aku bersedia."Elena tersenyum. "Haruskah aku membeli cincin?"Jules sedikit tersipu, suara tawa wanita yang ada di ujung telepon itu terdengar menawan dan memikat.Elena berkata, "Aku akan mengirimkanmu alamatnya. Sampai jumpa besok.""Oke, sampai jumpa besok."Jules menutup panggilan telepon, menoleh ke Alisa lalu berkata, "Kak Alisa, cubit wajahku."Jules mencondongkan wajahnya, membiarkan Alisa mencubit pipinya.Alisa menc
Nathan duduk di sebelah Elena.Empat orang bermain mahjong.Setelah tiga ronde, mereka berhenti.Meja diganti, pelayan menyajikan makanan dan anggur.Bourne mengambil botol anggur, kemudian menuangkan anggur untuk mereka. Setelahnya, Elena, sebagai sekretaris, mengambil alih tanggung jawab menuang anggur.Saat mereka mengobrol, Elena tidak ikut serta dalam topik obrolan mereka."Nggak perlu tuang anggur lagi, terima kasih," tolak Nathan dengan malas.Elena mengambil lauk dan mulai makan. Dia belum makan malam.Sesekali mendentingkan gelas, Elena melihat cara Nathan memandangnya.Elena tersenyum, lalu menunduk.Nathan meletakkan sendok, bersandar di kursi sembari melihat pakaian warna-warni yang dikenakan Elena.Pakaian itu membuat lehernya tampak lebih putih.Seperti burung merak.Elena tidak tahu apa yang Nathan pikirkan tentangnya.Dia berhenti makan ketika sudah kenyang tujuh puluh persen.Ponsel Nathan yang ada di atas meja berdering, ID peneleponnya adalah Briana.Elena membuang m
Suasana di dalam mobil hening.Leon melirik kaca spion.Nathan yang ada di jok belakang masih memejamkan mata.Setelah menunggu satu jam.Nathan membuka matanya, kemudian dia bertanya dengan suara rendah. "Di mana Janine sekarang?"Saat dia berbicara, suaranya sedikit serak dan terdengar lelah.Leon berkata, "Aku coba tanya dulu."Leon segera menghubungi pengawal Janine untuk menanyakan keberadaan Janine. Dia tidak menutup panggilan telepon.Lalu Nathan berujar, "Buat acara biar dia bersenang-senang di sana malam ini."Leon tertegun sejenak. "Oke."Jendela mobil diturunkan.Mobil itu tersembunyi dalam kegelapan, orang di dalamnya tidak terlihat jelas.Nathan menyalakan rokok.Jemarinya menjepit rokok.Sikunya bersandar di jendela mobil.Waktu berlalu hingga pukul satu dini hari.Pintu mobil terbuka.Nathan keluar dari mobil, masuk ke dalam gedung melewati ruang manajemen. Dia mengeluarkan sebuah kartu lift dari sakunya, kemudian menekan tombol lift.Dia tiba di depan pintu rumah Elena.
Janine menonton pertunjukan dan bersemangat sepanjang malam.Pagi-pagi sekali, dia membuka pintu, lalu masuk ke dalam rumah sembari menguap.Mata kantuknya seketika melebar.Dia melihat seorang pria yang mengenakan handuk di pinggang membawa sebuah mangkuk dari dapur."?"Nathan melirik Janine sekilas dengan malas. Tanpa menggubris Janine, Nathan langsung membawa bubur ke dalam kamar Elena.Nathan menyuruh seseorang membeli bubur ini, dia baru saja menghangatkannya.Janine ingin ikut ke kamar Elena, tetapi Nathan sudah menutup pintu kamar.Bukan hanya tutup, tetapi juga menguncinya."Jangan masuk.""?"Suara Nathan terdengar sangat serak.Sekarang pertanyaannya adalah apa yang terjadi?Nathan meletakkan bubur di atas meja kopi, berjalan ke kasur, menyibak selimut, kemudian berkata, "El-el, makan sesuatu dulu baru tidur lagi."Wanita yang ada di kasur itu tidak bereaksi.Elena masih tidur.Siapa pun tidak bisa membangunkannya.Nathan membuka salah satu ujung selimut, lalu memasukkan jar
Janine, yang mengintip melalui celah di pintu, melihat Nathan telah pergi. Dia pun membuka pintu kamar tidur, kemudian berjalan ke depan Elena. "Kak El, apakah kamu dan Kak Nathan sudah baikan?"Elena mengusap tangan dan punggung bawahnya yang sakit. "Nggak."Janine melihat Elena yang meremas tangan dan pinggangnya, kemudian dia menyeringai. "Tadi malam kalian sangat bersemangat ya.""Jangan berpikir terlalu banyak," jawab Elena.Dia membawa mangkuk ke wastafel, mencucinya, kemudian keluar dari dapur. Dia hendak tidur lagi. Dia ada janji dengan Jules pada sore hari."Aku mau tidur. Kalau ada masalah, nanti malam baru bicara." Elena mengusap kepala Janine."Oke." Janine menguap. "Aku juga mau tidur. Acara tadi malam benar-benar banyak."Pintu kamar tidur kedua sisi tertutup kembali.Elena kembali ke kamar tidur, kemudian membaca pesan di ponsel dulu.Bourne memarahi Elena yang terus izin. Elena hanya membaca tanpa membalas.Dia telungkup di kasur, lanjut tidur....Melihat Nathan turun,