Arga tertegun sejenak. Andai bukan mengingat mama tirinya itu yang mengasuhnya sejak kecil, tentu ia akan segera meninggalkan rumah mamanya tersebut begitu saja. Namun, wanita itu pernah memberikan kasih sayang yang begitu besar padanya hingga Arga tidak bisa berkutik.Pria itu melangkah mengikuti sang mama tiri menuju ke meja makan lalu duduk menghadap sang mama yang sudah lebih dulu menunggunya di sana. Tak lama, wanita itu menyeduh kopi instan di dalam sebuah gelas lalu menyodorkannya pada putra tirinya tersebut.“Minumlah! Sudah lama kamu tidak meminum kopi buatan Mama, kan? Terkadang, Mama ingat kebiasaan Mama saat masih ada kamu di rumah ini.”Arga tidak menjawab apa pun. Ia mengambil gelas yang disodorkan sang mama lalu menikmati kopi buatan wanita yang pernah mewarnai hari-harinya dulu.“Maafkan Mama, Arga. Mungkin Mama pernah menyakiti hatimu, tapi yakinlah semua yang Mama lakukan itu ada tujuannya.” Nadia mulai membuka pembicaraan serius sambil menatap lekat putra sambungnya
“Baru pulang, Za?”Gea buru-buru membukakan pintu saat mendengar suara mobil di pekarangannya. Wanita berambut pendek itu menyambut Zaya dengan raut gelisah.“Iya,” sahut Zaya. Wanita cantik itu menatap heran wajah sang sahabat yang terlihat tidak seperti biasanya. Namun, belum sempat bertanya, sahabatnya itu buru-buru menariknya ke dalam lalu kembali menanyainya.“Apa kamu sudah makan malam?”Zaya tersenyum pada sahabatnya. “Aku baru aja makan. Aku makan soto sama Arga.” Gea terlihat menoleh ke pekarangan di mana tidak ada mobil Arga di saja. lalu kembali mengonfirmasi Zaya. “Tapi kamu pulang sendirian.”Zaya menutup pintu, tak lupa menguncinya lalu kembali fokus pada pertanyaan Gea. “Rencananya dia mau mengantarku pulang, tapi aku nggak mau karena aku ingin mandiri. Kami sudah berjanji akan terus makan malam bersama di mana setelah makan malam dia akan mengantar kembali ke hotel sehingga aku bisa menyetir mobil seperti biasa pulang ke rumah.”“Heumm, gitu, ya.” Wanita berambut pend
Gea terus menceritakan apa-apa saja yang ia dengar baik dari Evan, Dimas, maupun apa yang ia lihat sendiri tadi pagi. Ia terus berusaha meyakinkan sahabatnya kalau pernikahan mereka berdua memang direncanakan untuk dihancurkan oleh seseorang yang mungkin memiliki kepentingan ataupun iri terhadap Evan, mengingat Evan adalah seorang pengusaha yang lumayan disegani di kalangan pebisnis.“Sekarang setelah aku menjelaskan semuanya padamu Apa kamu bisa memaafkan Evan?” Gadis berambut pendek itu serius bertanya pada sahabatnya.Zaya menarik nafas panjang, mencerna semua berita yang disampaikan oleh Gea. Ia cukup terkejut mengetahui kalau ada orang yang sangat iri dengan pernikahannya sehingga memutuskan untuk memecah dan membuatnya salah paham.Namun, setelah ia pikir-pikir lagi, perceraian juga sudah terjadi. Takdirlah yang membuat ia dan Evan terpisah dan tak ada juga yang bisa dilakukan lagi. Berita yang ia terima saat ini tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap masa depannya karena semua
Evan bangun pagi-pagi sekali, bahkan ia tak sempat sarapan bersama sang mama karena ingin segera menemui Zaya. Hatinya berdebar semalaman karena ia yakin Gea sudah bicara empat mata dengan mantan istrinya itu dan berharap semua penjelasannya bisa diterima dengan baik oleh Zaya.Saat ini, Evan tengah berada di depan pekarangan rumah Gea, menanti Zaya keluar dan akan langsung mengajak wanita itu naik ke mobilnya, sarapan bersama, baru kemudian bicara empat mata sebelum akhirnya mengantarnya bekerja di hotel kakak tirinya. Jika ia sudah berbaikan dengan Zaya nanti, Evan akan membujuk mantan istrinya itu untuk berhenti bekerja di hotel karena ia tak ingin Arga merayu dan membuat Zaya kembali meragukannya.“Mana dia? Kok, belum keluar juga?” gumam Evan gelisah.Pria tampan yang mengenakan jas berwarna navy itu akhirnya tak sabar menanti Zaya keluar dari rumah sahabatnya. Ia pun segera menelepon Gea, ingin tahu apa yang terjadi semalam pasca berbincang dengan mantan istrinya.“Halo, Gea. Gi
Zaya dan Evan kini telah berada di sebuah restoran tepi laut. Zaya menikmati pemandangan laut sambil menyantap sarapannya tanpa suara. Sebenarnya, ia tahu Evan hanya akan buang waktu menjelaskan semuanya karena hatinya sudah bulat tak akan kembali rujuk dengan mantan suaminya itu.Evan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk memandangi wajah cantik yang begitu ia rindukan. Penyesalan kembali terputar saat ia melihat wajah sang mantan istri. Kenapa bisa timbul rasa bosan di hatinya? Kenapa ia tak jujur pada istrinya soal rasa bosannya? Kenapa ia terpancing menceritakan masalahnya pada Mira yang memperburuk semuanya?Setelah menghabiskan sarapan dengan tenang, akhirnya Evan memutuskan untuk buka suara. “Kamu sehat, kan, Sayang?” Lelaki tampan itu ingin menanyakan keadaan Zaya terlebih dahulu.Zaya menghela napas lelah. Sudah berapa kali ia meminta Evan untuk berhenti memanggilnya begitu, tapi Evan tetap saja bebal. “Berhentilah memanggilku begitu! Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu bahka
Hancur, itu yang dirasakan Evan ketika mendengar ucapan mantan istrinya. Air matanya mengucur deras, tak mampu dibendung lagi. Begitu besar luka yang ia torehkan pada Zaya, sehingga dengan bersimpuh pun, mantan istrinya sama sekali tidak tergugah. Ia tak menyangka, tanpa benar-benar melakukan zina pun, Zaya tak mau memberikannya kesempatan. Pada akhirnya, Evan hanya bisa melihat kepergian Zaya yang terus melangkah jauh hingga akhirnya masuk ke dalam taksi. Tak ada yang bisa Evan lakukan selain meninggalkan restoran langsung menuju ke perusahaan. Setibanya pria tampan itu di sana, ia langsung ditanyai oleh Dimas perihal pertemuannya dengan Zaya.“Gimana, apa kamu sudah bicara pada Zaya? Sejak pagi tante menghubungiku dan mengatakan kalau kamu ingin bertemu Zaya, bahkan tidak sempat sarapan.”Evan tertunduk lesu. Kakinya melangkah menuju meja. Tangannya refleks mengendurkan dasinya. Hatinya hancur lebur tak bersisa. Rasanya tak ada tenaga lagi untuk sekedar bernapas. Dadanya begitu se
“Gimana, Dim? Apa kabar terbaru tentang putraku?”Dimas terpaksa mengendap-endap meninggalkan ruangan Evan saat ia mengetahui ponselnya tengah dihubungi oleh tante Nadia. Untungnya, sang sahabat bisa kembali fokus pada dokumen yang harus ia review pasca mengalami pagi yang buruk bersama Zaya, membuatnya bisa menyelinap menerima panggilan dari Nadia, mama sahabatnya itu.“Kabar buruk, Tante,” sahut Dimas memberitahukan yang sebenarnya.“Pasti Zaya tetap menolak Evan, kan?”Dimas langsung mengiyakan ucapan Nadia. “Iya, Tante. Semuanya bertambah rumit.” Pria berpenampilan kelimis itu mulai menceritakan apa yang terjadi tadi pagi antara Zaya dan Evan.“Sudah kuduga jadi begini. Apa boleh buat, tampaknya aku harus turun tangan sendiri.”“Maksud, Tante?” Dimas ingin tahu rencana Nadia. Hatinya bertanya-tanya, kira-kira apa yang bisa sang tante lakukan untuk membalik keadaan.“Tante akan menemui Zaya malam ini. Kamu segera usut siapa di balik dalang penjebakan Evan! Jika aku gagal meyakinkan
“Aku pulang dulu, Ga.”Zaya berpamitan pada Arga, berniat akan naik taksi saja. Ia merasa cukup lelah hari itu. Harusnya ia menemani Arga makan malam sesuai janjinya. Namun, khusus malam itu, ia tak bisa menepatinya.Arga segera menarik tangan Zaya ke dalam mobilnya tanpa aba-aba. Laki-laki itu sungguh ingin mengantar Zaya sehingga bisa bersama lebih lama lagi untuk meluapkan kerinduannya yang herannya selalu terasa menggebu-gebu.“Aku antar kamu, ya! Tak apa kalau kamu tak mau makan malam denganku malam ini. Namun, aku tak akan biarkan kamu naik taksi sendirian. Please, jangan menolak!”Suara lirih dari Arga, tentu membuat Zaya tak tega. Apalagi saat menatap wajahnya yang terlihat sangat berharap. Pada akhirnya, Zaya mengalah. Ia menerima kebaikan hati Arga yang mau mengantarnya.“Kalau mukamu udah kayak gitu, mana bisa aku menolak, Ga,” seloroh Zaya mengulum senyum lalu mulai menarik sabuk pengaman dan memasangnya dengan benar.Sorot bahagia pun langsung terpancar di mata Arga. Bibi