Nadia benar-benar geram kala melihat kedua putranya sedang bersitegang, bahkan kedua-duanya terlihat sudah babak belur. Pastinya mereka sudah saling menghajar satu sama lain. Nadia tidak pernah menduga putra tirinya akan datang malam itu juga karena itu ia berdiam diri di kamar dan tidak menyangka kalau akan mendengar suara keributan di ruang tamu. Benar saja, wanita itu melihat pertengkaran antara kedua putranya.Arga segera menjauhi Evan yang masih terlihat ingin memukulnya lalu mendekati sang mama. Pria itu meraih tangan mama tirinya, kemudian mengecup punggung tangannya lalu menyapanya dengan ramah.“Apa kabar, Ma?”Nadia trenyuh. Biar bagaimana pun Arga tetaplah putranya, putra yang dibawa suaminya saat menikahinya karena sang mama telah meninggal dunia. Dengan menahan rasa kecewa di hatinya, Nadia cemberut lalu menyindir Arga. “Kamu masih ingat pulang setelah meninggalkan Mama bertahun-tahun?”Arga lagi-lagi berusaha menahan diri agar tidak mengamuk ataupun marah pada sang mama
Arga tertegun sejenak. Andai bukan mengingat mama tirinya itu yang mengasuhnya sejak kecil, tentu ia akan segera meninggalkan rumah mamanya tersebut begitu saja. Namun, wanita itu pernah memberikan kasih sayang yang begitu besar padanya hingga Arga tidak bisa berkutik.Pria itu melangkah mengikuti sang mama tiri menuju ke meja makan lalu duduk menghadap sang mama yang sudah lebih dulu menunggunya di sana. Tak lama, wanita itu menyeduh kopi instan di dalam sebuah gelas lalu menyodorkannya pada putra tirinya tersebut.“Minumlah! Sudah lama kamu tidak meminum kopi buatan Mama, kan? Terkadang, Mama ingat kebiasaan Mama saat masih ada kamu di rumah ini.”Arga tidak menjawab apa pun. Ia mengambil gelas yang disodorkan sang mama lalu menikmati kopi buatan wanita yang pernah mewarnai hari-harinya dulu.“Maafkan Mama, Arga. Mungkin Mama pernah menyakiti hatimu, tapi yakinlah semua yang Mama lakukan itu ada tujuannya.” Nadia mulai membuka pembicaraan serius sambil menatap lekat putra sambungnya
“Baru pulang, Za?”Gea buru-buru membukakan pintu saat mendengar suara mobil di pekarangannya. Wanita berambut pendek itu menyambut Zaya dengan raut gelisah.“Iya,” sahut Zaya. Wanita cantik itu menatap heran wajah sang sahabat yang terlihat tidak seperti biasanya. Namun, belum sempat bertanya, sahabatnya itu buru-buru menariknya ke dalam lalu kembali menanyainya.“Apa kamu sudah makan malam?”Zaya tersenyum pada sahabatnya. “Aku baru aja makan. Aku makan soto sama Arga.” Gea terlihat menoleh ke pekarangan di mana tidak ada mobil Arga di saja. lalu kembali mengonfirmasi Zaya. “Tapi kamu pulang sendirian.”Zaya menutup pintu, tak lupa menguncinya lalu kembali fokus pada pertanyaan Gea. “Rencananya dia mau mengantarku pulang, tapi aku nggak mau karena aku ingin mandiri. Kami sudah berjanji akan terus makan malam bersama di mana setelah makan malam dia akan mengantar kembali ke hotel sehingga aku bisa menyetir mobil seperti biasa pulang ke rumah.”“Heumm, gitu, ya.” Wanita berambut pend
Gea terus menceritakan apa-apa saja yang ia dengar baik dari Evan, Dimas, maupun apa yang ia lihat sendiri tadi pagi. Ia terus berusaha meyakinkan sahabatnya kalau pernikahan mereka berdua memang direncanakan untuk dihancurkan oleh seseorang yang mungkin memiliki kepentingan ataupun iri terhadap Evan, mengingat Evan adalah seorang pengusaha yang lumayan disegani di kalangan pebisnis.“Sekarang setelah aku menjelaskan semuanya padamu Apa kamu bisa memaafkan Evan?” Gadis berambut pendek itu serius bertanya pada sahabatnya.Zaya menarik nafas panjang, mencerna semua berita yang disampaikan oleh Gea. Ia cukup terkejut mengetahui kalau ada orang yang sangat iri dengan pernikahannya sehingga memutuskan untuk memecah dan membuatnya salah paham.Namun, setelah ia pikir-pikir lagi, perceraian juga sudah terjadi. Takdirlah yang membuat ia dan Evan terpisah dan tak ada juga yang bisa dilakukan lagi. Berita yang ia terima saat ini tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap masa depannya karena semua
Evan bangun pagi-pagi sekali, bahkan ia tak sempat sarapan bersama sang mama karena ingin segera menemui Zaya. Hatinya berdebar semalaman karena ia yakin Gea sudah bicara empat mata dengan mantan istrinya itu dan berharap semua penjelasannya bisa diterima dengan baik oleh Zaya.Saat ini, Evan tengah berada di depan pekarangan rumah Gea, menanti Zaya keluar dan akan langsung mengajak wanita itu naik ke mobilnya, sarapan bersama, baru kemudian bicara empat mata sebelum akhirnya mengantarnya bekerja di hotel kakak tirinya. Jika ia sudah berbaikan dengan Zaya nanti, Evan akan membujuk mantan istrinya itu untuk berhenti bekerja di hotel karena ia tak ingin Arga merayu dan membuat Zaya kembali meragukannya.“Mana dia? Kok, belum keluar juga?” gumam Evan gelisah.Pria tampan yang mengenakan jas berwarna navy itu akhirnya tak sabar menanti Zaya keluar dari rumah sahabatnya. Ia pun segera menelepon Gea, ingin tahu apa yang terjadi semalam pasca berbincang dengan mantan istrinya.“Halo, Gea. Gi
Zaya dan Evan kini telah berada di sebuah restoran tepi laut. Zaya menikmati pemandangan laut sambil menyantap sarapannya tanpa suara. Sebenarnya, ia tahu Evan hanya akan buang waktu menjelaskan semuanya karena hatinya sudah bulat tak akan kembali rujuk dengan mantan suaminya itu.Evan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk memandangi wajah cantik yang begitu ia rindukan. Penyesalan kembali terputar saat ia melihat wajah sang mantan istri. Kenapa bisa timbul rasa bosan di hatinya? Kenapa ia tak jujur pada istrinya soal rasa bosannya? Kenapa ia terpancing menceritakan masalahnya pada Mira yang memperburuk semuanya?Setelah menghabiskan sarapan dengan tenang, akhirnya Evan memutuskan untuk buka suara. “Kamu sehat, kan, Sayang?” Lelaki tampan itu ingin menanyakan keadaan Zaya terlebih dahulu.Zaya menghela napas lelah. Sudah berapa kali ia meminta Evan untuk berhenti memanggilnya begitu, tapi Evan tetap saja bebal. “Berhentilah memanggilku begitu! Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu bahka
Hancur, itu yang dirasakan Evan ketika mendengar ucapan mantan istrinya. Air matanya mengucur deras, tak mampu dibendung lagi. Begitu besar luka yang ia torehkan pada Zaya, sehingga dengan bersimpuh pun, mantan istrinya sama sekali tidak tergugah. Ia tak menyangka, tanpa benar-benar melakukan zina pun, Zaya tak mau memberikannya kesempatan. Pada akhirnya, Evan hanya bisa melihat kepergian Zaya yang terus melangkah jauh hingga akhirnya masuk ke dalam taksi. Tak ada yang bisa Evan lakukan selain meninggalkan restoran langsung menuju ke perusahaan. Setibanya pria tampan itu di sana, ia langsung ditanyai oleh Dimas perihal pertemuannya dengan Zaya.“Gimana, apa kamu sudah bicara pada Zaya? Sejak pagi tante menghubungiku dan mengatakan kalau kamu ingin bertemu Zaya, bahkan tidak sempat sarapan.”Evan tertunduk lesu. Kakinya melangkah menuju meja. Tangannya refleks mengendurkan dasinya. Hatinya hancur lebur tak bersisa. Rasanya tak ada tenaga lagi untuk sekedar bernapas. Dadanya begitu se
“Gimana, Dim? Apa kabar terbaru tentang putraku?”Dimas terpaksa mengendap-endap meninggalkan ruangan Evan saat ia mengetahui ponselnya tengah dihubungi oleh tante Nadia. Untungnya, sang sahabat bisa kembali fokus pada dokumen yang harus ia review pasca mengalami pagi yang buruk bersama Zaya, membuatnya bisa menyelinap menerima panggilan dari Nadia, mama sahabatnya itu.“Kabar buruk, Tante,” sahut Dimas memberitahukan yang sebenarnya.“Pasti Zaya tetap menolak Evan, kan?”Dimas langsung mengiyakan ucapan Nadia. “Iya, Tante. Semuanya bertambah rumit.” Pria berpenampilan kelimis itu mulai menceritakan apa yang terjadi tadi pagi antara Zaya dan Evan.“Sudah kuduga jadi begini. Apa boleh buat, tampaknya aku harus turun tangan sendiri.”“Maksud, Tante?” Dimas ingin tahu rencana Nadia. Hatinya bertanya-tanya, kira-kira apa yang bisa sang tante lakukan untuk membalik keadaan.“Tante akan menemui Zaya malam ini. Kamu segera usut siapa di balik dalang penjebakan Evan! Jika aku gagal meyakinkan
Pernikahan Evan dan Zaya berjalan cukup baik. Dengan ditempatkannya Zaya di bawah kepemimpinan manajer Ardi, rasa cemburu dan takut kehilangan yang dirasakan oleh Evan terus saja menggebu-gebu. Hingga tak terasa satu bulan perjalanan pernikahan mereka pasca rujuk kembali pun terlewati dengan baik. Evan dan Zaya memutuskan untuk pergi ke psikolog untuk melakukan aneka terapi untuk menyembuhkan Zaya dari trauma yang dialaminya pasca pengkhianatan yang Evan lakukan dan semuanya berjalan dengan mulus. Pelan-pelan, Evan dan Zaya mulai bisa mengarungi bahtera rumah tangga mereka berdua di mana saat ini adalah hari pertama mereka kembali menyatu sebagai pasangan suami istri. Evan awalnya dengan sangat terpaksa memangkas pemanasan saat melakukan kegiatan nakalnya dengan Zaya karena itulah yang menyebabkan istrinya teringat-ingat akan perbuatannya dengan Mira dulu. Sampai akhirnya sang istri mulai terlena, baru ia bisa melakukan yang ia inginkan, yaitu mencium sang istri di tengah-tengah p
“Kenalkan Zaya, ini manajer Ardi. Dia akan menjadi atasanmu mulai hari ini.”Zaya segera mengulurkan tangannya di depan sang suami yang baru saja memperkenalkannya pada calon atasannya.“Perkenalkan, saya Mazaya– sekretaris baru Anda, Pak Ardi.”Ardi menyambut tangan Zaya, kemudian tersenyum padanya. “Aduh saya jadi tidak enak, nih! Masa bawahan saya, istri atasan saya sendiri?”Zaya membalas senyuman sang atasan. “Tidak usah merasa tak enak, Pak Ardi. Perlakukan saya sama seperti sekretaris pada umumnya saja! Saya wanita yang suka bekerja secara profesional. Saat saya menjadi sekretaris Anda, jangan pernah anggap saya seorang istri dari CEO. Kalau saya melakukan kesalahan, tegur bahkan marahi saya. Saya lebih suka seperti itu, Pak.”“Duh, saya benar-benar tidak enak, Bu Zaya!” Ardi benar-benar terlihat canggung di depan Zaya dan Evan.“Perlakukan saja saya seperti bawahan Anda, Pak. Saya tidak akan mengadu kok pada suami saya,” ucap Zaya tersenyum lebar dan itu sukses membuat Evan ke
“Kenapa denganku? Bukankah aku menikah kembali karena aku tidak bisa hidup tanpanya dan menderita membayangkan berpisah selama-lamanya dari dirinya? Bukankah aku bersedih ketika melihat video kenangan kami saat kami bersama sehingga memutuskan kembali rujuk dengannya? Tapi kenapa aku tidak bisa disentuh olehnya?” Zaya hanya bisa menggumam di dalam hati tatkala ia membuka matanya tengah malam itu. Posisinya sekarang berada di kamar di rumah barunya dengan sang suami di mana Evan menghiba padanya, meminta agar dirinya bisa bertahan melewati rintangan yang terjadi pasca resminya pernikahan mereka yang kedua kali.Suaminya itu memeluknya erat, terlihat takut kehilangan. Dipandanginya wajah Evan, membuat rasa iba menyeruak di hati Zaya. Evan begitu kukuh mempertahankannya menjadi seorang istri, sementara dirinya ragu karena bisa dibayangkan ke depannya nanti, setiap kali sang suami ingin menciumnya, ia kemungkinan akan teringat sang suami mencium Mira. Ini gawat. Ini benar-benar gawat. “
Rasa kecewa sungguh menyelimuti hati Evan ketika ia berusaha ingin mencium sang istri, tapi istrinya malah berpaling. Yang lebih membuatnya syok adalah ketika sang istri mengatakan ia belum siap.Kenapa ini? Apa yang terjadi pada Zaya? Kenapa sang istri tidak mau dicium olehnya? Evan berusaha menepis semua kemungkinan terburuk yang ia pikirkan lalu ia memegangi bahu Zaya, membawanya menghadapnya.“Kenapa, Sayang? Ada apa denganmu?” tanya Evan penasaran.Zaya memejamkan matanya, berusaha menepis kenangan-kenangan buruk yang terpintas sesaat sebelum sang suami berniat mendaratkan bibirnya di bibirnya tadi. Bagaimana tidak, tanpa ia niatkan bayangan ketika Evan memagut mesra bibir Mira, kemudian bergumul panas di atas sofa di dalam kantor di mana ia menyaksikan sendiri betapa buasnya Evan mencumbu bibir sekretarisnya itu, terbayang jelas di pelupuk mata.Itu sukses memberikan rasa sakit luar biasa di hatinya. Zaya berusaha membuang semua pikiran itu, tapi tidak bisa. Ia juga tidak menger
“Wah, rumahnya bagus, Sayang!” Zaya berdecak takjub saat ia digandeng suaminya memasuki rumah baru mereka yang luar biasa megah seusai mengemasi barang-barangnya dari rumah Gea. Rumah bergaya Eropa yang lokasinya sangat dekat dengan perusahaan itu akan sangat memudahkan Zaya dan Evan pergi bekerja agak siang karena mereka berdua tak akan pernah terlambat pergi ke perusahaan.“Kamu suka rumahnya, Sayang?” tanya Evan, mengajak sang istri masuk lalu menemaninya berkeliling dan menunjukkan detail interior yang menawan.Zaya menganggukkan kepalanya, terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan tak hentinya merasa takjub. Bagaimana tidak, rumah yang akan menjadi huniannya yang baru dengan Evan jauh lebih besar dibandingkan rumah lama. Interior, eksterior, serta model rumahnya juga begitu elegan, persis rumah-rumah sultan di mana ada dua pilar besar di teras depan yang terhubung dengan sebuah balkon utama yang mengarah ke arah halaman depan dan ketika masuk, Zaya pun disambut sebuah ta
Zaya tersenyum pada Gea lalu menjelaskan keinginannya.“Kayaknya nggak perlu resepsi, deh. Evan juga belum mengumumkan kalau dia sudah bercerai dariku. Yang tahu hanya Mira.”“Ah, gitu! Apa Dimas sudah membekuk Mira?” tanya Gea penasaran. “Apa bisa menjebloskannya ke penjara dengan kasus yang sekarang sedang menimpa Arga? Tapi 'kan, tidak ada korbannya?”Evan segera menengahi. “Itu urusan Dimas. Dia pasti sudah menemukan bukti-bukti lain atas kejahatan Mira. Wanita itu bukan hanya jahat padaku saja, tapi juga sudah mencelakai orang-orang lain yang akan menjadi korbannya. Tidak usah membahas itu dulu karena sekarang kami ingin bicara sesuatu pada kamu.”Zaya langsung menyambung kalimat suaminya. “Makasih banyak, ya, sudah membiarkan aku tinggal di sini, Gea. Aku sungguh bersyukur mendapat sahabat yang baik sepertimu sehingga aku tidak luntang-lantung di jalan saat aku kabur dari rumah Evan. Hari ini, aku akan ikut suamiku.”Gadis berambut pendek itu mengernyitkan kedua alisnya. “Maksud
“Kalian, kok, aneh?”Suara Gea menyapa pendengaran Zaya ketika ia dan suaminya tiba di kediaman sahabat cantiknya tersebut. Wanita berambut pendek itu pasti sangat kebingungan melihat betapa mesranya dirinya dan sang suami yang saat ini bergandengan pinggang masuk ke dalam rumah dan itu membuat Zaya terkikik geli.“Emangnya kami kenapa?” ucap Zaya balik bertanya.Gea menatap Zaya dan Evan secara bergantian dengan sorot curiga. “Aura kalian berbeda. Gimana, ya, bilangnya ...? Entahlah.” Gadis cantik itu terlihat bingung mendeskripsikan apa yang ia lihat. “Ngomong-ngomong, kamu jadi ke salon, jadi jalan-jalan? Ini masih pagi, tapi kok kalian sudah ada di sini?”Gea kemudian menoleh pada Evan. “Kamu kok udah sama-sama Zaya pagi ini? Kamu enggak kerja?”Zaya menoleh pada sang suami, kemudian bertukar senyum dan itu membuat Gea keki.“Kenapa malah senyum-senyum kayak gitu? Jawab dong pertanyaanku!”Zaya tergelak renyah, merasa geli melihat sewotnya sang sahabat. “Ya, makanya suruh kami ma
Evan menatap Zaya penuh cinta saat wanita cantik itu selesai menandatangani berkas-berkas pernikahan dengannya. Rasanya tak percaya, bisa mendapatkan wanita cantik ini kembali.Setelah semua urusan selesai, petugas yang menikahkan Evan dan Zaya pun pamit, meninggalkan pasangan pengantin yang terus saling bertukar pandang.“Aku tak pernah menyangka pernikahan kita akan dilangsungkan secepat ini walaupun aku sebenarnya masih benar-benar geram dan kesal pada Arga. Aku tidak bisa membayangkan kalau dia sampai berhasil menyentuh kamu tadi, Sayang.”Zaya menghela napas panjang, kemudian seketika merinding ketika membayangkan dirinya disentuh oleh Arga. Hingga detik ini, ia belum percaya kalau laki-laki yang ia percayai bisa melakukan hal keji seperti itu padanya. Namun, setelah ia pikir lagi, Arga melakukan itu pasti karena terlalu cinta padanya. Lelaki itu marah karena ia lebih memilih Evan kembali dibanding dirinya yang sepertinya sudah berusaha sekuat tenaga sejak awal perceraian hingga
“Lepaskan aku, Ma! Aku mau menemui Zaya. Aku harus menjadikannya milikku.”Arga terus berontak, minta dilepaskan karena saat ini pria itu sedang dikurung oleh Nadia, sang mama di sebuah ruangan dengan sebuah jendela kaca untuk memantau Arga dari luar.Nadia pilu melihat putra tirinya yang sejak tadi menjerit histeris di dalam sana. Air matanya tanpa bisa ditahan meluncur deras di pipi.“Gimana ini, Tante? Apa tak sebaiknya kita bawa ke kantor polisi saja? Biar bagaimana pun, Arga telah melakukan perbuatan kriminal. Dia harus diberi efek jera, Tan.”Dimas membujuk Nadia untuk menyerahkan Arga ke pihak berwajib karena yang dilakukan pria itu benar-benar keji. Tega-teganya Arga membuat dua orang menderita, berpisah lalu2Nadia menyeka air matanya sambil terus menatap putra tirinya yang tengah meraung, menangis, dan meratap di dalam sana. Bagaimana mungkin ia tega menjebloskan putra suaminya yang telah ia anggap sebagai anak sendiri. Meski memang mungkin perhatian dan kasih sayangnya sedi