"Ugh ...." Tubuh Zain langsung menjadi kaku. Dia melihat wajah Maple yang masih tersenyum, lalu melihat dadanya yang telah tertancap pisau. Ekspresi Zain penuh dengan ketidakpercayaan. Dia tidak pernah menyangka bahwa adik junior yang tadinya masih tersenyum beberapa detik yang lalu, kini malah membunuhnya dengan begitu tegas. Maple bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun sebelumnya."Hm?" Melihat perubahan situasi yang begitu mendadak, Luther juga menjadi kebingungan. Padahal tadinya dia tidak menaruh harapan sama sekali. Tak disangka Maple malah benar-benar menganggap serius perkataannya. Bukan hanya menganggap serius, Maple bahkan melaksanakannya dengan begitu cepat.Hanya dalam sekali tusukan, Maple membunuh kakak seniornya sendiri. Apakah wanita ini memang sekejam itu? Atau terlalu gila?"Ke ... kenapa?" tanya Zain dengan bersusah payah sambil membelalakkan matanya. Wajahnya penuh dengan rasa kaget, marah, dendam, tidak rela, dan bingung. Dia benar-benar tidak mengerti mengap
"Dokter, aku bahkan rela mengkhianati perguruan dan membunuh kakak seniorku demi kamu. Bukankah perkataanmu itu terlalu kejam?" kata Maple dengan wajah sedih."Apa sebenarnya yang ingin kamu lakukan?" tanya Luther."Jangan pikir sembarangan, aku hanya ingin berteman denganmu. Nggak ada niat lainnya," kata Maple sambil tersenyum."Aku nggak sanggup berteman denganmu. Siapa tahu suatu hari nanti kamu akan menusukku dari belakang?" kata Luther terus terang."Hohoho .... Dokter, aku nggak mungkin tega menusukmu. Seharusnya kamu yang menusukku," balas Maple dengan senyum menggoda.Mendengar ucapannya, sudut bibir Luther berkedut. Kenapa wanita ini kedengarannya seperti sedang menggodanya? Luther kemudian berkata, "Kalau nggak ada urusan lain lagi, aku pergi dulu." Luther tidak ingin lagi berbicara panjang lebar dengan wanita ini. Dia hanya menggendong Ariana, bersiap-siap keluar dari tempat itu."Tunggu." Maple tiba-tiba mengeluarkan sebuah botol kecil dan menyerahkannya pada Luther. "Ini a
Keesokan paginya di Grup Warsono. Ketika Ariana perlahan-lahan bangun, dia menemukan dirinya berbaring di sofa kantor. Tubuhnya tertutup selimut tebal, dan di dekat meja ada segelas susu panas. Dia menggosok kepalanya yang terasa agak sakit. Ingatan tentang malam sebelumnya masih agak kabur.Mulutnya terasa kering, jadi dia segera mengambil susu tersebut dan meneguknya hingga habis. Setelah minum susu tersebut, perut Ariana jadi terasa hangat. Rasa tidak nyaman di tubuhnya juga mulai mereda."Ariana, kamu sudah bangun ya," kata Luther sambil membawa sarapan yang masih hangat memasuki ruangan."Kenapa kamu di sini?" Ariana langsung mengernyit dan ekspresinya terlihat dingin."Aku nggak tahu tempat tinggalmu, jadi aku membawamu kembali ke kantor semalam," kata Luther. Sambil menjawab pertanyaannya, Luther membawakan sarapan yang berisi susu, roti isi, dan telur."Kutanya sekali lagi, kenapa kamu ada di sini?" tanya Ariana dengan nada tegas."Kamu nggak ingat sama sekali dengan kejadian s
Tempat itu adalah lantai 30. Jika melompat dari tempat setinggi itu, Luther pasti akan mati. Ariana hanya ingin mengusir Luther. "Baik, aku lompat!" Luther menganggukkan kepala. Tanpa ragu-ragu, dia berlari menuju jendela, lalu menabraknya hingga pecah dan melompat dari lantai 30 itu."Eh ...." Ariana berdiri mematung di tempatnya, tidak sadar untuk beberapa saat. Dia hanya emosi sesaat tadi. Ariana tidak menyangka Luther akan benar-benar berani melompat dari lantai 30."Luther!"Setelah menyadari apa yang terjadi, Ariana berteriak kaget dan segera berlari menuju jendela yang hancur, lalu melihat ke bawah. Di luar jendela, sudah tidak terlihat jejak Luther lagi. Tidak ada manusia yang bisa selamat setelah jatuh dari tempat setinggi itu.Bruk! Kedua kaki Ariana menjadi lemas dan langsung terduduk di lantai. Dia lalu menangis terisak-isak. "Kenapa begini? Luther, kenapa kamu sebodoh itu? Kenapa harus melompat? Bagaimana nasibku kalau kamu mati? Aku harus bagaimana?"Ariana menangis teris
"Sudah, jangan menangis lagi. Aku masih hidup, 'kan?"Luther menepuk punggung Ariana dengan lembut untuk mencoba menghiburnya. Ini benar-benar pertama kalinya kedua orang itu berpelukan dengan erat seperti ini. Dalam sekejap, Luther merasa bergairah saat mencium aroma tubuh Ariana yang menggoda dan merasakan dadanya yang sangat lembut."Huh! Kamu masih berani bilang begitu? Tadi kamu hampir mati!" Ariana memukul dada Luther sekali lagi."Apa boleh buat, kamu yang menyuruhku untuk lompat," jawab Luther dengan ekspresi polos."Aku suruh lompat, kamu lompat. Kalau aku suruh kamu makan kotoran, apa kamu juga akan makan?" tanya Ariana dengan kesal."Uhuk .... Kalau ini harus dipertimbangkan dengan baik," kata Luther dengan canggung."Kamu mau mempertimbangkannya kalau makan kotoran, tapi kalau lompat nggak usah dipertimbangkan? Apa yang ada di dalam pikiranmu?" Ariana mengulurkan jari telunjuknya dan menusuk kening Luther dengan keras."Aku tadi hanya gegabah. Aku jamin nggak akan melakukan
"Putriku! Obat apa yang diberikan si berengsek ini sampai kamu begitu percaya padanya?" Helen merasa terkejut dan marah.Helen benar-benar tidak menyangka putrinya akan terjerumus seperti ini. Demi seorang pria busuk, putrinya tidak memedulikan kematian adiknya dan bahkan membela pembunuhnya. Sungguh sangat bodoh!"Aku percaya padanya karena memang ada kejanggalan dalam kasus ini. Aku nggak ingin menuduh orang yang tak bersalah," jelas Ariana."Omong kosong! Orang itu terlihat licik, pasti bukan orang baik. Hari ini aku harus menangkap dan membawanya ke pengadilan!" Helen tetap keras kepala dan bersikeras untuk bertindak."Ibu, bisakah kamu lebih tenang?" Ariana tetap menghalang di depan Luther dan menahan ibunya sendiri."Minggir kamu!"Helen sangat marah dan mencoba mendorong putrinya. Namun, Ariana tidak membiarkannya dan terus menjaga posisinya dengan tubuhnya. Kemudian, keduanya mulai saling tarik-menarik."Ibu! Dengarkan aku, masalah ini ....""Plak!"Saat Ariana akan mengatakan
"Kring kring kring ...."Di perjalanan kembali ke Faksi Draco, ponsel Luther tiba-tiba berdering. Saat diangkat, itu adalah panggilan dari Charlotte. Begitu berbicara, nada suara Charlotte terdengar sangat panik. "Paman! Gawat! Rumah kami dalam masalah!""Masalah? Masalah apa?" Luther mengernyitkan alisnya."Aku tidak tahu detailnya, hanya tahu ada banyak orang yang mengepung di luar dan ada dua ekskavator. Sepertinya mereka ingin merobohkan rumah kami dengan paksa," kata Charlotte.Ekspresi Luther menjadi muram. "Mereka berani merobohkan rumah dengan paksa? Sungguh keterlaluan! Tahan sebentar, aku akan segera datang.""Tidak bisa! Mereka sudah mulai bertindak!"Setelah mengatakan itu, Charlotte sepertinya melihat sesuatu dan tiba-tiba berteriak, "Dasar berengsek! Kalian berani memukul ayahku? Aku akan lawan kalian!""Charlotte! Jangan gegabah!"Luther buru-buru membujuk, tetapi panggilan dari Charlotte sudah diputuskan. Kelihatan jelas, Charlotte berada dalam situasi berbahaya. Luther
"Bagus! Pukulan yang bagus! Orang-orang yang hanya berani berbuat kasar pada orang lemah memang pantas mendapatkan pelajaran yang kejam!"Melihat Charlotte yang berhasil menang sepenuhnya, sekelompok penonton yang ada di sekitar memberikan tepuk tangan dan bersorak. Mereka semua adalah tetangga di sekitar yang sering kali menjadi korban intimidasi preman-preman itu, sekarang mereka bisa melampiaskan amarah mereka."Charlotte, kamu terlalu gegabah, kamu tidak boleh memukul orang-orang ini!" Pada saat itu, Harsa berjalan ke depan dengan langkah yang terpincang-pincang dan ekspresi penuh kekhawatiran."Kenapa tidak boleh dipukul? Mereka sudah mengganggu kita, apa Ayah masih ingin aku tetap diam?" kata Charlotte sambil mengernyitkan alisnya. Charlotte mengira tindakannya yang penuh keberanian ini akan mendapatkan pujian dari ayahnya, tidak disangka dia malah mendengar perkataan itu."Charlotte, kamu masih terlalu muda dan sama sekali tidak mengerti kejahatan di masyarakat ini. Ada orang ya