"Mahira, operasi hematomamu harus segera dilakukan. Kita tidak bisa terus menunda," ucap Arya dengan nada penuh penekanan, kedua tangannya dia silangkan di depan dada, seolah bersiap menghadapi penolakan yang sudah dia duga."Jangan menundanya, Hira," imbuh Arya mencemaskan keadaan Mahira.Mahira duduk di ruang perawatan dengan tatapan tajam yang sulit diabaikan. Dokter Arya berdiri di depannya, wajahnya penuh ketegasan meski dia tahu jawabannya.Mahira menarik napas dalam-dalam, matanya menatap Arya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dia tahu hal ini tak bisa ditunda, tetapi sekarang ada hal lebih penting baginya.“Aku tahu,” jawabnya dingin. Mahira tetap berusaha mempertahankan ketenangannya.“Tapi aku tidak bisa sekarang. Ada masalah yang harus aku selesaikan lebih dulu, Dokter Arya." Arya menurunkan tangannya, mendekati Mahira dengan gerakan pelan.“Ini soal hidupmu, Mahira. Hal apa yang lebih penting dari operasimu?”"Kecelakaan Sanur, kecelakaan yang menimpak
"Kamu tampak segar hari ini," kata Birendra saat memasuki kamar perawatan Sanur mantan istrinya."Iya Mahira membantuku membersihkan diri," sahut Sanur seraya mencoba duduk dan menyandarkan punggungnya menggunakan bantal dibantu Birendra.Sanur duduk di ranjang rumah sakit dengan tatapan tenang, wajahnya tampak lebih segar setelah pulih dari masa kritis. Di seberang tempat tidurnya, Birendra berdiri, lengannya menyilang di depan dada, terlihat gelisah. Kedua matanya tajam memandangi Sanur, mencoba memahami apa yang hendak diutarakan oleh wanita yang pernah menjadi istrinya.“Birendra ...” Sanur memulai dengan suaranya yang lembut dan tegas."Iya ada apa, Sanur. Katakan apa yang hendak kamu bicarakan denganku," kata Birendra tak sabar.“Aku sudah memutuskan untuk pergi dari sini, Bi. Aku ikhlas dan rela dengan perceraian kita. Aku tidak akan menuntut apapun darimu. Yang aku inginkan hanya pulang ke Amerika dan memulai hidup baru dengan anak-anakku.”"Aku salah padamu dan Mahira selama
"Kopi hitam dan satu slice cake moca. Selamat menikmati, Pak.""Terima kasih, Kak."Arya berada di kafe dekat rumah sakit siang ini untuk menikmati makan siangnya. Kafe di siang itu ramai dipenuhi suara orang-orang yang tengah menikmati makan siang mereka.Arya duduk di meja pojok dengan kepala sedikit menunduk, sibuk dengan ponselnya. Sesekali, dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah pintu karena suara bel. Namun, perhatiannya tiba-tiba tertarik pada suara yang terdengar familiar."Dengan siapa dia di sini?"Arya mengernyitkan kening saat mendengar nada suara Fatma yang dingin dan menusuk tajam. Arya memiringkan tubuhnya sedikit dan berpura-pura tidak memperhatikan, tetapi telinganya menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Fatma.Arya penasaran akan sosok yang diajak bicara oleh Fatma. Pasalnya Fatma bukan orang yang mudah berteman dengan siapa pun kecuali teman arisannya."Apa alasanmu menabrak Sanur, hah?" Arya memerhatikan suara Fatma yang terdengar penuh amarah."Sanur
["Tak seharusnya anda melibatkan nona Mahira, Ibu Fatma. Cukup Sarayu saja." ]["Mahira itu harus tewas dalam kecelakaan itu, tapi dia hidup kembali."]["Pokoknya aku tak mau tahu, Maya. Sarayu sudah tiada sekarang aku ingin hidup Mahira menderita. Dia mengingatkanku pada ibunya."]Wisnu mendengar rekaman percakapan itu yang cukup panjang durasinya hingga rencana pemalsuan pelaku tabrak lari tersebut. Wisnu benar-benar tak menyangka jika Maya bekerjasama dengan Fatma."Apa kamu pernah menjanjikan sesuatu kepada Maya hingga menyebabkan dia begitu terobsesi padamu?" tanya Birendra menatap Wisnu."Entahlah Mas. Aku tak ingat. Mungkin ada di masa kecil kami saat aku mengajaknya bermain dan belajar bersama. Aku tak ingat aku pernah menjanjikan apa padanya," ujar Wisnu mencoba mengingat, tetapi tak bisa dia lakukan."Apa bisa kasus ini kembali dibuka, Mas?""Tentu saja bisa, Mas Wisnu. Aku bisa menjadi saksi mengenai kecelakaan tersebut jika aku sempat melihat wanita duduk di sebelah sopir
"Terima kasih sudah datang, Pak Birendra.""Tidah usah panggil Pak jika kita sedang berdua saja, Dokter Arya."Sore sepulang kerja Birendra menyempatkan diri ke rumah sakit karena Arya menyuruhnya untuk bertemu. Ada hal yang perlu dibicarakan oleh Arya."Hmm ... baiklah, Birendra. Lebih baik kita panggil nama saja," ucap Arya seraya menyerahkan secangkir teh hangat."Oke, apa yang mau anda bicarakan dengan saya?" tanya Birendra memakai bahasa tak formal."Apa ini menyangkut Sarayu atau Sanur?"Arya menatap Birendra yang duduk di depannya dan tubuhnya sedikit condong ke depan dengan tangannya terkepal di atas lutut. Arya menarik napas panjang sebelum berbicara."Bukan kedua wanita itu yang sedang saya bicarakan melainkan istri anda," kata Arya menatap ke arah Birendra dengan menggelengkan kepala. Ingatan Birendra selalu tentang Sarayu."Ada apa dengan Mahira? Apa ini menyangkut sakitnya?" Kini Birendra mulai menunjukkan keinginantahuan.Arya menarik napas panjang sebelum berbicara. Sua
"Nyonya Sanur, Dokter Mahira berpesan jika anda pulang akan ada sopir dari pihak kami untuk mengantarkan ada pulang." Sanur merapikan selimut di atas tempat tidur rumah sakit. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya muncul samar-samar saat perawat mengatakan dia boleh pulang hari ini. Tubuhnya terasa ringan dan hatinya berat. Begitu banyak yang harus dia pikirkan, begitu banyak yang harus dia tinggalkan. "Katakan rasa terima kasih saya pada Dokter Mahira, Suster. Saya bisa memanggil taksi online sendiri," kata Sanur dengan pelan seraya memegang bagian perutnya. "Tapi Nyonya Sanur, anda tidak boleh jalan pulang sendiri. Kondisi anda masih belum stabil mengingat sebenarnya anda baru boleh pulang tiga hari lagi," kata perawat tersebut mencoba mencegah kepulangan Sanur. "Tidak apa-apa, Sus. Saya sudah kuat kok lagipula kasihan anak saya sendirian," sahut Sanur melebarkan senyumnya seakan dia memang sudah sembuh. Jika dulu dia akan bahagia karena mendapat keistimewaan dan fasilitas,
Arya duduk di ruang istirahat rumah sakit dengan matan yang tidak lepas dari sosok Mahira yang tengah memeriksa hasil lab di ujung ruangan seolah wanita itu tak mengalami apapun. Arya menghela napas dalam, ada rasa cemas yang terus membayangi pikirannya. Arya tahu Mahira sangat keras kepala, tapi hematoma yang memburuk di tubuh rekan kerjanya itu bisa membawa konsekuensi serius jika tidak segera ditangani. Arya menggenggam cangkir kopi di tangannya lebih erat, memutar-mutar gagangnya seolah berusaha menenangkan pikirannya saat ini. Mahira merapikan dokumen dan berjalan keluar, wajahnya tetap tenang meski ada kerutan tipis di dahinya. Arya bangkit dari kursinya seraya melangkah cepat menyusul Mahira sebelum wanita itu sempat pergi lebih jauh. "Mahira, aku ingin bicara sebentar denganmu. Jangan keluar dulu," kata Arya dengan tatapan lembutnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya terdengar tenang. Mahira berhenti sambil menghela napas pelan lalu berbalik menghadap Arya. "Dokter Arya
Ada gemuruh di hati Mahira saat ini. Beberapa jam lalu Birendra menjemputnya ketika pulang kerja dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu. Mahira hanya mengangguk seraya memikirkan hal apa yang Birendra bicarakan.Sesampainya di rumah, Mahira hanya menyeduh teh di dapur sembari menunggu Birendra yang ada di kamar. Mahira tidak lagi berada di rumah ini dan lebih memilih menempati apartemen bersama Abisatya."Kamu tak ingin tinggal di sini lagi, Mahira?" tanya Birendra yang baru datang dan sudah berganti pakaian."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Dan maaf jika hak asuh Abisatya jatuh padaku meski aku tahu anak itu bukan darah dagingku.""Aku menyayanginya lebih dari apapun. Bersama dia, aku bisa menemukan kebahagian," ucap Mahira seraya menyunggingkan senyum."Aku tahu kamu bisa merawatnya. Lagipula aku tak bisa merawat atau menjaga Abisatya. Bik Sum sudah pulang kampung sedangkan Maya menghilang.""Terima kasih, Mas sudah percaya sama aku mengasuh Abisatya."Duduk berdua di teras membuat Ma
"Takdir itu tak bisa diubah dan akan menghampiri setiap insan manusia.""Ini sudah takdir ayahmu. Jangan merasa bersalah.""Allah menempatkan ayahmu di sisi-Nya."Kerabat ayah dan teman-teman sesama TKI datang ke pemakaman ayah. Mereka menguatkan aku di hari yang paling menyedihkan. Andai mereka tahu, aku tak bisa kuat seperti yang mereka katakan.Saat kabar itu datang—bahwa Ayahku dan Ayah Dani meninggal bersamaan dalam kecelakaan itu, rasanya seperti seseorang mencabut seluruh napas dari paru-paruku. Dan seakan belum cukup, Ibu Tari... koma. Antara hidup dan mati layaknya menggantungkan harapan kami di benang yang nyaris putus.Aku mengunci diri di kamar. Dua hari. Dua malam. Aku tidak bicara. Tidak makan. Bahkan air mataku pun seakan berhenti mengalir. Yang tersisa hanya kebisuan dan rasa marah—pada dunia, pada semesta dan juga pada takdir."Kenapa Ayah harus semobil dengan mereka?""Sebenarnya Ayah mau ke mana?"Aku tak menyangka jika ayah semobil dengan kedua orang tua Mas Birend
["Mahira, kamu bisa ke rumah sore ini? Ada yang mau aku bicarakan denganmu."]"Rumah ayah Dani atau ke rumahnya Mas di jalan Cempaka?"["Datanglah ke jalan Cempaka."]Pagi ini aku mendapat notif pesan dari Mas Birendra. Dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya. Katanya ada yang sesuatu yang hendak dia bicarakan. Aku langsung membalas pesannya dan mengiyakan permintaannya.Setelah menyelesaikan tugasku, aku segera melangkah pergi menemui Mas Birendra di rumahnya. Aku mengambil kunci mobil. Sudah dua bulan ini aku belajar lagi menyetir setelah pernah mengalami trauma."Selamat sore, Mbak Hira. Lama tidak ke sini.""Senang bisa melihat Mbak Hira lagi."Sesampainya di depan pintu gerbang rumah Mas Birendra, aku disambut hangat para pekerja di sini. Dulu sebelum Mas Birendra menikah dengan Sarayu, aku sering ke sini bersama ibu Tari hanya untuk beberes dan menyetok makanan, karena tempat kerja Mas Birendra lebih dekat daripada di rumah utama."Ah iya Pak. Hira juga kangen sama kalian," sapa
Aku berdiri di depan lift dengan jantung berdegup kencang. Wanita itu tersenyum, tetapi bukan ditujukan padaku melainkan pada dua sosok di belakangku. Aku menoleh dan melihat seorang pria bersama gadis remaja.Dia dengan langkah anggun. Tubuh ini menegang karena orang yang aku kenal ada di hadapanku sekarang. Ibu Fatma mengangkat tangan, melambai dengan semangat pada dua sosok yang juga membalas lambaian tangannya."Ibu Fatma!" seruku disertai langkah maju dengan penuh harap.Wanita itu berhenti dan alisnya berkerut. Tatapannya kosong seolah aku hanyalah orang asing di matanya dan menatapku dengan penuh kebingungan."Maaf, apakah kita saling mengenal?" tanyanya dengan suara tenang, tapi ada kehati-hatian di matanya.Dadaku seketika terasa sesak. Aku mengerjap dan mencari jawaban di wajahnya lalu berharap ada secercah pengakuan. Namun tidak ada dan ku tersenyum kaku, berharap dia sedang bercanda."Ibu tidak ingat aku?" suaraku terdengar ragu.Wanita itu menghela napas, menggigit bibirn
Aku melangkah masuk ke ruang lobi rumah sakit dengan sedikit rasa gugup. Saat kakiku berjalan lebih jauh, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Dua kali aku dihidupkan kembali oleh semesta.Semua yang ada di gedung rumah sakit ini terlihat sama. Tak ada perubahan sama sekali. Aku menghela napas sembari terus berjalan menuju ruang UGD, tempat aku akan bertugas.Mataku menyapu ruangan yang penuh dengan staf dan dokter. Beberapa dari mereka tersenyum ramah, sementara yang lain sibuk dengan tugas masing-masing. Dua perawat senior mendekat, wajahnya lembut, menyodorkan tangan untuk berjabat. Aku kenal dengan mereka."Selamat datang di rumah sakit ini, Dokter Mahira.""Senang rasanya bisa berkenalan dengan anak dokter Dani.""Terima kasih Sus Mariani dan Sus Siska," sahutku seraya berjabat tangan dan mengetahui nama mereka dari name tag.Satu per satu staf memperkenalkan diri. Beberapa bersalaman dengan tatapan penasaran, mungkin mendengar kabar tentang aku dan pemilik rumah sakit ini. Namun ti
Aku menggeliat di atas kasur dan tubuhku masih enggan untuk bangun. Matahari pagi menerobos melalui celah jendela hingga menyilaukan pandanganku yang masih setengah terpejam. Saat aku hendak menarik selimut kembali ada suara ketukan dari luar kamar terdengar, diiringi panggilan namaku."Mahira, ayo bangun Nak." Terdengar suara dari luar pintu, memanggilku dengan nada tegas. Aku tak memerhatikan siapa yang berada di luar pintu kamarku.“Iya... sebentar lagi.” Aku mendesah pelan dan menjawab dengan suara serak.Namun suara dari luar kembali terdengar, kali ini dengan nada yang lebih mendesak seperti ada sesuatu yang serius karena aku mendengar namaku dipanggil lagi."Mahira ... kamu baik-baik saja, bukan?""Bangunlah ... kita ditunggu ayah Dani dan ibu Tari di rumahnya."Mataku terbuka lebar. Jantungku berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suara itu yang membuatku terkejut. Aku bangkit dengan enggan lalu menyibak selimut dan turun dari tempat tidur. Begitu aku membuka pintu kamar
"Biar Abisatya bersama kami, Pak. Bapak ke ruang rawat dokter Mahira saja."Setelah mendapat telepon dari Agustin dan menitipkan Abisatya bersama dokter anak yang dikenalnya Birendra segera berlari menembus koridor rumah sakit yang panjang dan sunyi. Nafasnya tersengal disertai wajahnya dipenuhi kegelisahan. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan."Aku mohon Mahira, bertahanlah."Pandangannya lurus ke depan dan penuh tekad. Sesampainya di depan ruangan rawat inap, Birendra berhenti sejenak, menunduk dan menahan napas mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali.Begitu Birendra membuka pintu, dia melihat Mahira dikelilingi para dokter yang sibuk dengan wajah mereka dipenuhi ketegangan. Di balik tirai yang setengah terbuka, tubuh Mahira terlihat lemah dan tak berdaya. Matanya terpejam dan wajahnya pucat, sementara mesin-mesin medis di sekelilingnya berdengung cepat. Birendra mengepalkan kedua tangannya berusaha menahan diri agar tidak panik."Berik
"Sebentar lagi kita akan sampai menemui ibu, Nak.""Ayah berharap ibumu segera sadar."Birendra memegang erat tubuh kecil Abisatya yang sedang tertidur dalam gendongannya. Balita berusia dua tahun itu tampak damai, wajahnya bersandar di dada Birendra. Setiap harinya Birendra membawa Abisatya ke rumah sakit untuk mengunjungi Mahira. Harapan akan keajaiban tidak pernah surut dari hati Birendra, meski waktu terus berlalu dan kondisi Mahira tak juga menunjukkan perubahan."Selamat pagi, Pak Birendra," sapa satpam melihat Birendra berjalan menuju lobby."Selamat pagi juga, Pak," balas Birendra menyunggingkan senyum.Sejak Mahira dinyatakan koma, mau tak mau Birendra mengambil alih urusan rumah sakit dibantu oleh sahabat ayahnya sementara pekerjaan yang dibangunnya sendiri ditangani oleh Rudi.Setiap hari Birendra mengambil alih tugas Mahira sebagai direktur pelaksana rumah sakit dan mengerjakan semuanya di ruang rawat inap hingga rumah sakit menjadi rumah kedua bagi Birendra."Pak Hasan ti
"Selamat pagi dunia.""Terima kasih untuk berkat-Mu hari ini, Allah."Cahaya pagi menyelinap masuk melalui jendela rumah sakit, menerangi lorong-lorong yang mulai sibuk dengan aktivitas para dokter dan perawat. Di antara mereka, seorang pria dengan jas dokter yang baru saja dikenakan kembali setelah sekian lama berjalan dengan langkah penuh harapan sembari bergumam sendiri.Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi terlihat di matanya berbinar. Dia menarik napas dalam-dalam seolah ingin meresapi udara rumah sakit yang begitu familiar, tempat yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya sebelum semuanya berubah."Dokter Arya, senang berjumpa dengan anda lagi," kata seorang perawat yang kebetulan berpapasan dengannya."Saya juga senang berjumpa dengan kalian lagi," balas Arya seraya tersenyum."Selamat bertugas kembali, Dok," ucap salah satu perawat wanita."Terima kasih suster Wina."Arya melanjutkan kembali langkah kakinya menuju ruang berkumpulnya para dokter sebelum bertugas di pagi i
"Ayo Mahira ....""Kamu pasti bisa melewati ini semuanya. Berjuanglah."Di ruang operasi yang dipenuhi suara mesin pemantau detak jantung dan alat-alat medis, Dokter Gatot berkeringat di balik masker bedahnya. Tangannya yang bersarung tangan lateks bergerak cepat, berusaha menghentikan pendarahan hebat di otak Mahira. Para perawat dan petugas anestesi bekerja dengan cekatan, saling bertukar pandang setiap kali tekanan darah pasien turun drastis.“Tekanan darahnya anjlok lagi, Dok!” seru seorang perawat, suaranya tegang.Dokter Gatot mengatupkan rahangnya dengan napasnya yang tertahan. “Tambahkan satu ampul epinefrin. Kita harus stabilkan dia dulu.”"Baik, Dok."Jarum jam terus berdetak, tapi keadaan Mahira tak juga membaik. Sudah tiga jam lamanya Dokter Gatot yang menggantikan Arya mengoperasi Mahira, keadaan di ruang operasi sungguh mendebarkan."Dokter Mahira, jangan menyerah. Anda harus berjuang demi dokter Arya!" seru perawat Raka mendampingi dokter Gatot.Para dokter dan perawat