["Tak seharusnya anda melibatkan nona Mahira, Ibu Fatma. Cukup Sarayu saja." ]["Mahira itu harus tewas dalam kecelakaan itu, tapi dia hidup kembali."]["Pokoknya aku tak mau tahu, Maya. Sarayu sudah tiada sekarang aku ingin hidup Mahira menderita. Dia mengingatkanku pada ibunya."]Wisnu mendengar rekaman percakapan itu yang cukup panjang durasinya hingga rencana pemalsuan pelaku tabrak lari tersebut. Wisnu benar-benar tak menyangka jika Maya bekerjasama dengan Fatma."Apa kamu pernah menjanjikan sesuatu kepada Maya hingga menyebabkan dia begitu terobsesi padamu?" tanya Birendra menatap Wisnu."Entahlah Mas. Aku tak ingat. Mungkin ada di masa kecil kami saat aku mengajaknya bermain dan belajar bersama. Aku tak ingat aku pernah menjanjikan apa padanya," ujar Wisnu mencoba mengingat, tetapi tak bisa dia lakukan."Apa bisa kasus ini kembali dibuka, Mas?""Tentu saja bisa, Mas Wisnu. Aku bisa menjadi saksi mengenai kecelakaan tersebut jika aku sempat melihat wanita duduk di sebelah sopir
"Terima kasih sudah datang, Pak Birendra.""Tidah usah panggil Pak jika kita sedang berdua saja, Dokter Arya."Sore sepulang kerja Birendra menyempatkan diri ke rumah sakit karena Arya menyuruhnya untuk bertemu. Ada hal yang perlu dibicarakan oleh Arya."Hmm ... baiklah, Birendra. Lebih baik kita panggil nama saja," ucap Arya seraya menyerahkan secangkir teh hangat."Oke, apa yang mau anda bicarakan dengan saya?" tanya Birendra memakai bahasa tak formal."Apa ini menyangkut Sarayu atau Sanur?"Arya menatap Birendra yang duduk di depannya dan tubuhnya sedikit condong ke depan dengan tangannya terkepal di atas lutut. Arya menarik napas panjang sebelum berbicara."Bukan kedua wanita itu yang sedang saya bicarakan melainkan istri anda," kata Arya menatap ke arah Birendra dengan menggelengkan kepala. Ingatan Birendra selalu tentang Sarayu."Ada apa dengan Mahira? Apa ini menyangkut sakitnya?" Kini Birendra mulai menunjukkan keinginantahuan.Arya menarik napas panjang sebelum berbicara. Sua
"Nyonya Sanur, Dokter Mahira berpesan jika anda pulang akan ada sopir dari pihak kami untuk mengantarkan ada pulang." Sanur merapikan selimut di atas tempat tidur rumah sakit. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya muncul samar-samar saat perawat mengatakan dia boleh pulang hari ini. Tubuhnya terasa ringan dan hatinya berat. Begitu banyak yang harus dia pikirkan, begitu banyak yang harus dia tinggalkan. "Katakan rasa terima kasih saya pada Dokter Mahira, Suster. Saya bisa memanggil taksi online sendiri," kata Sanur dengan pelan seraya memegang bagian perutnya. "Tapi Nyonya Sanur, anda tidak boleh jalan pulang sendiri. Kondisi anda masih belum stabil mengingat sebenarnya anda baru boleh pulang tiga hari lagi," kata perawat tersebut mencoba mencegah kepulangan Sanur. "Tidak apa-apa, Sus. Saya sudah kuat kok lagipula kasihan anak saya sendirian," sahut Sanur melebarkan senyumnya seakan dia memang sudah sembuh. Jika dulu dia akan bahagia karena mendapat keistimewaan dan fasilitas,
Arya duduk di ruang istirahat rumah sakit dengan matan yang tidak lepas dari sosok Mahira yang tengah memeriksa hasil lab di ujung ruangan seolah wanita itu tak mengalami apapun. Arya menghela napas dalam, ada rasa cemas yang terus membayangi pikirannya. Arya tahu Mahira sangat keras kepala, tapi hematoma yang memburuk di tubuh rekan kerjanya itu bisa membawa konsekuensi serius jika tidak segera ditangani. Arya menggenggam cangkir kopi di tangannya lebih erat, memutar-mutar gagangnya seolah berusaha menenangkan pikirannya saat ini. Mahira merapikan dokumen dan berjalan keluar, wajahnya tetap tenang meski ada kerutan tipis di dahinya. Arya bangkit dari kursinya seraya melangkah cepat menyusul Mahira sebelum wanita itu sempat pergi lebih jauh. "Mahira, aku ingin bicara sebentar denganmu. Jangan keluar dulu," kata Arya dengan tatapan lembutnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya terdengar tenang. Mahira berhenti sambil menghela napas pelan lalu berbalik menghadap Arya. "Dokter Arya
Ada gemuruh di hati Mahira saat ini. Beberapa jam lalu Birendra menjemputnya ketika pulang kerja dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu. Mahira hanya mengangguk seraya memikirkan hal apa yang Birendra bicarakan.Sesampainya di rumah, Mahira hanya menyeduh teh di dapur sembari menunggu Birendra yang ada di kamar. Mahira tidak lagi berada di rumah ini dan lebih memilih menempati apartemen bersama Abisatya."Kamu tak ingin tinggal di sini lagi, Mahira?" tanya Birendra yang baru datang dan sudah berganti pakaian."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Dan maaf jika hak asuh Abisatya jatuh padaku meski aku tahu anak itu bukan darah dagingku.""Aku menyayanginya lebih dari apapun. Bersama dia, aku bisa menemukan kebahagian," ucap Mahira seraya menyunggingkan senyum."Aku tahu kamu bisa merawatnya. Lagipula aku tak bisa merawat atau menjaga Abisatya. Bik Sum sudah pulang kampung sedangkan Maya menghilang.""Terima kasih, Mas sudah percaya sama aku mengasuh Abisatya."Duduk berdua di teras membuat Ma
Di kantor kepolisian yang diterangi lampu neon putih, seorang penyidik duduk termenung di hadapan papan bukti. Foto-foto berserakan di mejanya, salah satunya foto Sarayu yang sudah meninggal dalam kecelakaan tragis.Andi---penyelidik itu menatap tajam pada foto Fatma dan Maya, dua perempuan yang telah lama dicari. Sudah hampir seminggu keberadaan mereka hilang. Mereka tak mungkin kabur ke luar negeri kecuali mereka kabur keluar kota."Kita harus temukan mereka," gumamnya lirih, matanya tak lepas dari peta yang menunjukkan tempat-tempat yang sudah mereka selidiki.Pintu ruangannya terbuka perlahan saat dia sedang serius. Seorang pria berpangkat kapten masuk dengan langkah tenang membawa amplop cokelat.“Saya menemukan bukti lagi, Pak," ucapnya sambil meletakkan amplop itu di atas meja.Andi meraihnya dengan cepat, membuka amplop dan menemukan beberapa foto baru. Salah satunya foto seorang wanita sedang menggendong bayi perempuan."Siapa ini?" tanyanya sambil mengernyitkan alis."Ini ib
"Coba jelaskan padaku, Agustin. Kenapa Hira ada di rumahmu?""Kamu tahu aku dan dokter Arya tak tahu lagi mau ke mana mencari Hira. Ternyata dia ada di sini."Birendra dan Arya tak pernah sekalipun menyangka jika Mahira datang ke rumah Agustin siang kemarin. Kini mereka berdua mendapat telepon jika Mahira sedang dalam keadaan tak baik-baik pagi ini."Kemarin siang Mahira datang ke rumahku. Dia terlihat lelah, tapi aku tidak menyangka kondisinya seburuk itu. Ketika aku mengajak masuk ke rumah, dia tiba-tiba jatuh pingsan.""Aku tak sempat menelepon, Bi. Jadi aku pikir kubawa dia masuk dan menunggu dia siuman. Saat siuman, dia melarangku untuk menghubungimu atau Arya kecuali ayahnya.""Di mana dia sekarang?" tanya Arya dan mendapat tatapan tak menyenangkan dari Birendra. Seharusnya dia yang bertanya bukan Arya."Pagi ini Pak Rahmat datang menjemput Mahira dan membawanya pulang ke rumahnya," kata Agustin memerhatikan kedua pria di depannya."Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Agustin?"
Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar jelas sekali di ruang makan saat ini. Tak ada perbincangan di antara aku dan suamiku. Bukan karena sebuah aturan yang mengharuskan kami untuk tak bicara saat sedang makan. Namun memang demikian keadaannya, Mas Birendra suamiku tak pernah suka denganku sejak kami menikah. Dia menganggapku bukan istri melainkan orang asing yang memasuki kehidupannya. "Mas, nanti bisa pulang lebih awal?" tanyaku saat kami sudah selesai sarapan. "Tidak bisa," jawabnya singkat. "Untuk kali ini saja ya?" Aku mencoba bertanya lagi. Berharap dia mau melakukannya sekali ini saja. "Aku sibuk, Mahira. Tolong jangan memaksaku," sahutnya seraya beranjak berdiri dari kursi lalu melangkahkan kakinya menuju ruang depan. "Tapi Mas, kamu sudah berjanji padaku dulu. Apa kamu telah lupa?" Tak ada sahutan darinya. Aku mengantarkannya sampai ke garasi mobil. Dia membuka pintu lebar-lebar sengaja untuk memperlihatkan sebuah foto berbingkai yang ada di jok depan.
"Coba jelaskan padaku, Agustin. Kenapa Hira ada di rumahmu?""Kamu tahu aku dan dokter Arya tak tahu lagi mau ke mana mencari Hira. Ternyata dia ada di sini."Birendra dan Arya tak pernah sekalipun menyangka jika Mahira datang ke rumah Agustin siang kemarin. Kini mereka berdua mendapat telepon jika Mahira sedang dalam keadaan tak baik-baik pagi ini."Kemarin siang Mahira datang ke rumahku. Dia terlihat lelah, tapi aku tidak menyangka kondisinya seburuk itu. Ketika aku mengajak masuk ke rumah, dia tiba-tiba jatuh pingsan.""Aku tak sempat menelepon, Bi. Jadi aku pikir kubawa dia masuk dan menunggu dia siuman. Saat siuman, dia melarangku untuk menghubungimu atau Arya kecuali ayahnya.""Di mana dia sekarang?" tanya Arya dan mendapat tatapan tak menyenangkan dari Birendra. Seharusnya dia yang bertanya bukan Arya."Pagi ini Pak Rahmat datang menjemput Mahira dan membawanya pulang ke rumahnya," kata Agustin memerhatikan kedua pria di depannya."Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Agustin?"
Di kantor kepolisian yang diterangi lampu neon putih, seorang penyidik duduk termenung di hadapan papan bukti. Foto-foto berserakan di mejanya, salah satunya foto Sarayu yang sudah meninggal dalam kecelakaan tragis.Andi---penyelidik itu menatap tajam pada foto Fatma dan Maya, dua perempuan yang telah lama dicari. Sudah hampir seminggu keberadaan mereka hilang. Mereka tak mungkin kabur ke luar negeri kecuali mereka kabur keluar kota."Kita harus temukan mereka," gumamnya lirih, matanya tak lepas dari peta yang menunjukkan tempat-tempat yang sudah mereka selidiki.Pintu ruangannya terbuka perlahan saat dia sedang serius. Seorang pria berpangkat kapten masuk dengan langkah tenang membawa amplop cokelat.“Saya menemukan bukti lagi, Pak," ucapnya sambil meletakkan amplop itu di atas meja.Andi meraihnya dengan cepat, membuka amplop dan menemukan beberapa foto baru. Salah satunya foto seorang wanita sedang menggendong bayi perempuan."Siapa ini?" tanyanya sambil mengernyitkan alis."Ini ib
Ada gemuruh di hati Mahira saat ini. Beberapa jam lalu Birendra menjemputnya ketika pulang kerja dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu. Mahira hanya mengangguk seraya memikirkan hal apa yang Birendra bicarakan.Sesampainya di rumah, Mahira hanya menyeduh teh di dapur sembari menunggu Birendra yang ada di kamar. Mahira tidak lagi berada di rumah ini dan lebih memilih menempati apartemen bersama Abisatya."Kamu tak ingin tinggal di sini lagi, Mahira?" tanya Birendra yang baru datang dan sudah berganti pakaian."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Dan maaf jika hak asuh Abisatya jatuh padaku meski aku tahu anak itu bukan darah dagingku.""Aku menyayanginya lebih dari apapun. Bersama dia, aku bisa menemukan kebahagian," ucap Mahira seraya menyunggingkan senyum."Aku tahu kamu bisa merawatnya. Lagipula aku tak bisa merawat atau menjaga Abisatya. Bik Sum sudah pulang kampung sedangkan Maya menghilang.""Terima kasih, Mas sudah percaya sama aku mengasuh Abisatya."Duduk berdua di teras membuat Ma
Arya duduk di ruang istirahat rumah sakit dengan matan yang tidak lepas dari sosok Mahira yang tengah memeriksa hasil lab di ujung ruangan seolah wanita itu tak mengalami apapun. Arya menghela napas dalam, ada rasa cemas yang terus membayangi pikirannya. Arya tahu Mahira sangat keras kepala, tapi hematoma yang memburuk di tubuh rekan kerjanya itu bisa membawa konsekuensi serius jika tidak segera ditangani. Arya menggenggam cangkir kopi di tangannya lebih erat, memutar-mutar gagangnya seolah berusaha menenangkan pikirannya saat ini. Mahira merapikan dokumen dan berjalan keluar, wajahnya tetap tenang meski ada kerutan tipis di dahinya. Arya bangkit dari kursinya seraya melangkah cepat menyusul Mahira sebelum wanita itu sempat pergi lebih jauh. "Mahira, aku ingin bicara sebentar denganmu. Jangan keluar dulu," kata Arya dengan tatapan lembutnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya terdengar tenang. Mahira berhenti sambil menghela napas pelan lalu berbalik menghadap Arya. "Dokter Arya
"Nyonya Sanur, Dokter Mahira berpesan jika anda pulang akan ada sopir dari pihak kami untuk mengantarkan ada pulang." Sanur merapikan selimut di atas tempat tidur rumah sakit. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya muncul samar-samar saat perawat mengatakan dia boleh pulang hari ini. Tubuhnya terasa ringan dan hatinya berat. Begitu banyak yang harus dia pikirkan, begitu banyak yang harus dia tinggalkan. "Katakan rasa terima kasih saya pada Dokter Mahira, Suster. Saya bisa memanggil taksi online sendiri," kata Sanur dengan pelan seraya memegang bagian perutnya. "Tapi Nyonya Sanur, anda tidak boleh jalan pulang sendiri. Kondisi anda masih belum stabil mengingat sebenarnya anda baru boleh pulang tiga hari lagi," kata perawat tersebut mencoba mencegah kepulangan Sanur. "Tidak apa-apa, Sus. Saya sudah kuat kok lagipula kasihan anak saya sendirian," sahut Sanur melebarkan senyumnya seakan dia memang sudah sembuh. Jika dulu dia akan bahagia karena mendapat keistimewaan dan fasilitas,
"Terima kasih sudah datang, Pak Birendra.""Tidah usah panggil Pak jika kita sedang berdua saja, Dokter Arya."Sore sepulang kerja Birendra menyempatkan diri ke rumah sakit karena Arya menyuruhnya untuk bertemu. Ada hal yang perlu dibicarakan oleh Arya."Hmm ... baiklah, Birendra. Lebih baik kita panggil nama saja," ucap Arya seraya menyerahkan secangkir teh hangat."Oke, apa yang mau anda bicarakan dengan saya?" tanya Birendra memakai bahasa tak formal."Apa ini menyangkut Sarayu atau Sanur?"Arya menatap Birendra yang duduk di depannya dan tubuhnya sedikit condong ke depan dengan tangannya terkepal di atas lutut. Arya menarik napas panjang sebelum berbicara."Bukan kedua wanita itu yang sedang saya bicarakan melainkan istri anda," kata Arya menatap ke arah Birendra dengan menggelengkan kepala. Ingatan Birendra selalu tentang Sarayu."Ada apa dengan Mahira? Apa ini menyangkut sakitnya?" Kini Birendra mulai menunjukkan keinginantahuan.Arya menarik napas panjang sebelum berbicara. Sua
["Tak seharusnya anda melibatkan nona Mahira, Ibu Fatma. Cukup Sarayu saja." ]["Mahira itu harus tewas dalam kecelakaan itu, tapi dia hidup kembali."]["Pokoknya aku tak mau tahu, Maya. Sarayu sudah tiada sekarang aku ingin hidup Mahira menderita. Dia mengingatkanku pada ibunya."]Wisnu mendengar rekaman percakapan itu yang cukup panjang durasinya hingga rencana pemalsuan pelaku tabrak lari tersebut. Wisnu benar-benar tak menyangka jika Maya bekerjasama dengan Fatma."Apa kamu pernah menjanjikan sesuatu kepada Maya hingga menyebabkan dia begitu terobsesi padamu?" tanya Birendra menatap Wisnu."Entahlah Mas. Aku tak ingat. Mungkin ada di masa kecil kami saat aku mengajaknya bermain dan belajar bersama. Aku tak ingat aku pernah menjanjikan apa padanya," ujar Wisnu mencoba mengingat, tetapi tak bisa dia lakukan."Apa bisa kasus ini kembali dibuka, Mas?""Tentu saja bisa, Mas Wisnu. Aku bisa menjadi saksi mengenai kecelakaan tersebut jika aku sempat melihat wanita duduk di sebelah sopir
"Kopi hitam dan satu slice cake moca. Selamat menikmati, Pak.""Terima kasih, Kak."Arya berada di kafe dekat rumah sakit siang ini untuk menikmati makan siangnya. Kafe di siang itu ramai dipenuhi suara orang-orang yang tengah menikmati makan siang mereka.Arya duduk di meja pojok dengan kepala sedikit menunduk, sibuk dengan ponselnya. Sesekali, dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah pintu karena suara bel. Namun, perhatiannya tiba-tiba tertarik pada suara yang terdengar familiar."Dengan siapa dia di sini?"Arya mengernyitkan kening saat mendengar nada suara Fatma yang dingin dan menusuk tajam. Arya memiringkan tubuhnya sedikit dan berpura-pura tidak memperhatikan, tetapi telinganya menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Fatma.Arya penasaran akan sosok yang diajak bicara oleh Fatma. Pasalnya Fatma bukan orang yang mudah berteman dengan siapa pun kecuali teman arisannya."Apa alasanmu menabrak Sanur, hah?" Arya memerhatikan suara Fatma yang terdengar penuh amarah."Sanur
"Kamu tampak segar hari ini," kata Birendra saat memasuki kamar perawatan Sanur mantan istrinya."Iya Mahira membantuku membersihkan diri," sahut Sanur seraya mencoba duduk dan menyandarkan punggungnya menggunakan bantal dibantu Birendra.Sanur duduk di ranjang rumah sakit dengan tatapan tenang, wajahnya tampak lebih segar setelah pulih dari masa kritis. Di seberang tempat tidurnya, Birendra berdiri, lengannya menyilang di depan dada, terlihat gelisah. Kedua matanya tajam memandangi Sanur, mencoba memahami apa yang hendak diutarakan oleh wanita yang pernah menjadi istrinya.“Birendra ...” Sanur memulai dengan suaranya yang lembut dan tegas."Iya ada apa, Sanur. Katakan apa yang hendak kamu bicarakan denganku," kata Birendra tak sabar.“Aku sudah memutuskan untuk pergi dari sini, Bi. Aku ikhlas dan rela dengan perceraian kita. Aku tidak akan menuntut apapun darimu. Yang aku inginkan hanya pulang ke Amerika dan memulai hidup baru dengan anak-anakku.”"Aku salah padamu dan Mahira selama