"Nyonya Sanur, Dokter Mahira berpesan jika anda pulang akan ada sopir dari pihak kami untuk mengantarkan ada pulang." Sanur merapikan selimut di atas tempat tidur rumah sakit. Wajahnya masih pucat, tapi senyumnya muncul samar-samar saat perawat mengatakan dia boleh pulang hari ini. Tubuhnya terasa ringan dan hatinya berat. Begitu banyak yang harus dia pikirkan, begitu banyak yang harus dia tinggalkan. "Katakan rasa terima kasih saya pada Dokter Mahira, Suster. Saya bisa memanggil taksi online sendiri," kata Sanur dengan pelan seraya memegang bagian perutnya. "Tapi Nyonya Sanur, anda tidak boleh jalan pulang sendiri. Kondisi anda masih belum stabil mengingat sebenarnya anda baru boleh pulang tiga hari lagi," kata perawat tersebut mencoba mencegah kepulangan Sanur. "Tidak apa-apa, Sus. Saya sudah kuat kok lagipula kasihan anak saya sendirian," sahut Sanur melebarkan senyumnya seakan dia memang sudah sembuh. Jika dulu dia akan bahagia karena mendapat keistimewaan dan fasilitas,
Arya duduk di ruang istirahat rumah sakit dengan matan yang tidak lepas dari sosok Mahira yang tengah memeriksa hasil lab di ujung ruangan seolah wanita itu tak mengalami apapun. Arya menghela napas dalam, ada rasa cemas yang terus membayangi pikirannya. Arya tahu Mahira sangat keras kepala, tapi hematoma yang memburuk di tubuh rekan kerjanya itu bisa membawa konsekuensi serius jika tidak segera ditangani. Arya menggenggam cangkir kopi di tangannya lebih erat, memutar-mutar gagangnya seolah berusaha menenangkan pikirannya saat ini. Mahira merapikan dokumen dan berjalan keluar, wajahnya tetap tenang meski ada kerutan tipis di dahinya. Arya bangkit dari kursinya seraya melangkah cepat menyusul Mahira sebelum wanita itu sempat pergi lebih jauh. "Mahira, aku ingin bicara sebentar denganmu. Jangan keluar dulu," kata Arya dengan tatapan lembutnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya terdengar tenang. Mahira berhenti sambil menghela napas pelan lalu berbalik menghadap Arya. "Dokter Arya
Ada gemuruh di hati Mahira saat ini. Beberapa jam lalu Birendra menjemputnya ketika pulang kerja dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu. Mahira hanya mengangguk seraya memikirkan hal apa yang Birendra bicarakan.Sesampainya di rumah, Mahira hanya menyeduh teh di dapur sembari menunggu Birendra yang ada di kamar. Mahira tidak lagi berada di rumah ini dan lebih memilih menempati apartemen bersama Abisatya."Kamu tak ingin tinggal di sini lagi, Mahira?" tanya Birendra yang baru datang dan sudah berganti pakaian."Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Dan maaf jika hak asuh Abisatya jatuh padaku meski aku tahu anak itu bukan darah dagingku.""Aku menyayanginya lebih dari apapun. Bersama dia, aku bisa menemukan kebahagian," ucap Mahira seraya menyunggingkan senyum."Aku tahu kamu bisa merawatnya. Lagipula aku tak bisa merawat atau menjaga Abisatya. Bik Sum sudah pulang kampung sedangkan Maya menghilang.""Terima kasih, Mas sudah percaya sama aku mengasuh Abisatya."Duduk berdua di teras membuat Ma
Di kantor kepolisian yang diterangi lampu neon putih, seorang penyidik duduk termenung di hadapan papan bukti. Foto-foto berserakan di mejanya, salah satunya foto Sarayu yang sudah meninggal dalam kecelakaan tragis.Andi---penyelidik itu menatap tajam pada foto Fatma dan Maya, dua perempuan yang telah lama dicari. Sudah hampir seminggu keberadaan mereka hilang. Mereka tak mungkin kabur ke luar negeri kecuali mereka kabur keluar kota."Kita harus temukan mereka," gumamnya lirih, matanya tak lepas dari peta yang menunjukkan tempat-tempat yang sudah mereka selidiki.Pintu ruangannya terbuka perlahan saat dia sedang serius. Seorang pria berpangkat kapten masuk dengan langkah tenang membawa amplop cokelat.“Saya menemukan bukti lagi, Pak," ucapnya sambil meletakkan amplop itu di atas meja.Andi meraihnya dengan cepat, membuka amplop dan menemukan beberapa foto baru. Salah satunya foto seorang wanita sedang menggendong bayi perempuan."Siapa ini?" tanyanya sambil mengernyitkan alis."Ini ib
"Coba jelaskan padaku, Agustin. Kenapa Hira ada di rumahmu?""Kamu tahu aku dan dokter Arya tak tahu lagi mau ke mana mencari Hira. Ternyata dia ada di sini."Birendra dan Arya tak pernah sekalipun menyangka jika Mahira datang ke rumah Agustin siang kemarin. Kini mereka berdua mendapat telepon jika Mahira sedang dalam keadaan tak baik-baik pagi ini."Kemarin siang Mahira datang ke rumahku. Dia terlihat lelah, tapi aku tidak menyangka kondisinya seburuk itu. Ketika aku mengajak masuk ke rumah, dia tiba-tiba jatuh pingsan.""Aku tak sempat menelepon, Bi. Jadi aku pikir kubawa dia masuk dan menunggu dia siuman. Saat siuman, dia melarangku untuk menghubungimu atau Arya kecuali ayahnya.""Di mana dia sekarang?" tanya Arya dan mendapat tatapan tak menyenangkan dari Birendra. Seharusnya dia yang bertanya bukan Arya."Pagi ini Pak Rahmat datang menjemput Mahira dan membawanya pulang ke rumahnya," kata Agustin memerhatikan kedua pria di depannya."Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Agustin?"
Perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya dirasa Mahira saat ini. Matanya terus memandangi ponsel di tangannya. Jari-jarinya gemetar ketika dia berulang kali membuka aplikasi pesan, berharap ada kabar dari Abisatya.Mahira masih berharap jika Abisatya dibawa oleh sang bibi Kinar atau ayahnya. Pihak polisi pun sudah mencari sosok wanita yang membawa bayi tersebut. Kini dia dan Birendra tetap menunggu. Birendra berdiri di samping jendela, melihat keluar dengan tatapan kosong. Sesekali dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri."Kita sudah mencari Abi ke manapun, tapi masih belum ada kabar," suara Birendra terdengar pelan. Bahunya tampak kaku seolah menahan beban yang sangat berat.Mahira mendongak, menatap Birendra dengan mata berkaca-kaca. "Mas Birendra, aku takut terjadi yang membuat Abi menangis," bisiknya."Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Abisatya?"Birendra menoleh, menghampiri Mahira dan duduk di sampingnya. Dia meraih tangan Mahira dan mencoba menena
Abisatya terbangun, matanya mencari keberadaan seseorang yang selalu memberinya dekapan di pagi hari dan menggendongnya dengan bernyanyi. Saat dia tak menemukan sosok tersebut, Abisatya menangis kencang.Tangisannya yang melengking membuat Maya terjaga dari tidurnya, dia lelah setelah semalam harus menenangkan bayi rewel itu. Tangannya gemetar, napasnya tersengal-sengal, dan wajahnya mulai memerah oleh frustrasi."Ada apa lagi sih?" Maya bertanya dengan nada emosi seraya berjalan menuju salah satu ruangan.Bayi di depannya tidak juga berhenti menangis, suaranya seakan menusuk telinga Maya yang sudah lelah dan kesal. Dengan gerakan cepat, tanpa berpikir panjang, Maya mencubit lengan kecil Abisatya."Diam!" bisiknya dengan suara tinggi dengan matanya yang melebar menatap Abisatya.Bayi itu menangis semakin keras, tubuhnya yang mungil bergetar dan wajahnya memerah seiring dengan tangisannya yang tak mereda. Maya menarik napas panjang, menyandarkan punggung ke dinding, seolah-olah mencoba
"Birendra akan membawa Abisatya, Mahira. Jadi serahkan semua padanya ya."Dokter Agustin dan Arya datang ke rumah Mahira untuk memberi dukungan. Mereka tahu jika Mahira membutuhkan seseorang untuk menguatkan di kala susah seperti ini."Tapi bagaimana jika tak berhasil, Dok?" tanya Mahira menatap dokter Agustin penuh kesedihan."Sampai sekarang Mas Birendra tak meneleponku," lanjutnya."Tenanglah, Mahira. Dia akan memberi kabar pada kita," sahut Arya.Matanya terus melirik ke ponsel di atas meja yang tak henti-hentinya bergetar dengan notifikasi, tetapi tak satu pun dari mereka membawa kabar baik yang ditunggunya. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan.Arya tak tahu bagaimana dia harus menghibur Mahira yang saat ini sedang dirundung masalah. Sejak awal bertemu dengannya, Arya merasa kehidupan Mahira sungguh berat dan tak ada bahagia."Kita harus sabar, Mahira," ujar dokter Agustin dengan suara yang lembut."Birendra pasti tahu apa yang dia lak
Tanpa disadari oleh Fatma, seorang polisi diam-diam berjalan di belakangnya. Polisi tersebut mendekati Fatma dengan sigap dan sebelum dia bisa melakukan sesuatu yang lebih berbahaya, polisi berhasil melumpuhkannya."Sudahi permainan anda, Ibu Fatma!""Tidak ... aku tak berakhir seperti ini!" Fatma berteriak tidak terima.Pistol yang dia genggam jatuh dengan bunyi keras ke lantai beton. Bayi Abisatya yang hampir terlepas dari genggamannya langsung diselamatkan oleh seorang petugas polisi dan dengan hati-hati diserahkan kembali kepada Mahira.Mahira meraih Abisatya dengan tangan gemetar, dan begitu dia mendekap putranya, air mata mengalir deras di pipinya. Rasa syukur dan kebahagiaan meluap-luap di hatinya setelah berhari-hari terjebak dalam mimpi buruk ini."Ibu di sini, Sayang. Kamu aman sekarang," kata Mahira memeluk erat Abisatya."Jangan menangis lagi. Kita pulang ya sekarang," imbuh Mahira sembari mencium wajah Abisatya yang sudah berhenti menangis.Birendra dengan cepat menghampi
Mahira berdiri terpaku, tangan gemetar saat menatap pisau di hadapannya. Fatma menunggunya membuat keputusan, tetapi bagaimana mungkin ia bisa memilih? Di satu sisi ada Abisatya, putranya yang bahkan belum bisa berbicara. Di sisi lain, ada Sanur, yang meski bukan siapa-siapa baginya secara pribadi, tetaplah seseorang yang berharga bagi Wisnu."Kenapa anda begitu menginginkan kematianku, Bibi Fatma?" tanya Mahira sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.Fatma mendengkus kesal, dia menatap Mahira dengan tatapan kebencian. Tidak ada rasa iba pada Mahira yang notebene adalah keponakannya. Rasa bencinya telah mengakar di hatinya."Karena dengan kematianmu, aku bisa mewarisi harta ibumu. Semua yang dia miliki seharusnya jatuh kepadaku bukan kepada ibumu. Sejak kecil aku diabaikan dan tak seorang pun menyayangiku hanya karena ibumu memiliki penyakit jantung," ucap Fatma sinis."Bukankah anda telah mengambil semuanya? Kenapa anda masih menginginkan kematianku?" ulang Mahira."Wajahmu mengingatk
Malam semakin larut saat Mahira menyetir seorang diri di lenggangnya jalanan ibu kota. Jari-jarinya mencengkeram erat setir mobil. Ini pertama kalinya ia menyetir setelah setahun tak pernah menyentuh mobil karena trauma kecelakaan yang pernah dialaminya. Tubuhnya terasa kaku, dan setiap tarikan napasnya berat.Satu jam lalu Mahira mendapat telepon dari Fatma untuk menemuinya secara langsung di tempat yang sudah ditunjuknya. Mahira awalnya ingin menolak, tetapi ancaman Fatma membuat dia harus menghadap.["Jika kau tak ke sini sendirian, jangan harap kamu akan bertemu dengan salah satu dari mereka."]Suara dingin Fatma memerintahkannya datang sendiri tanpa ditemani siapa pun. Jika Mahira membawa polisi atau siapa saja, salah satu sandera — anaknya, Abisatya atau akan dilukai. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Tanpa memberitahu Birendra ataupun Wisnu, Mahira mengambil kunci mobil dan pergi di tengah malam yang sunyi.Angin malam menyapu wajahnya saat dia membuka sedikit jendela mob
"Maafkan saya, Non Mahira. Seharusnya nona tidak pernah mengasuh bayi itu. Saya begitu tak suka saat nona mau mengasuh anak dari pelakor.""Lebih baik lupakan saja anak ini, Nona Mahira."Empat hari sudah sejak hilangnya Abisatya dan polisi masih kesulitan menemukan jejak Maya dan Fatma. Kedua wanita itu begitu pandai bersembunyi, meninggalkan pihak berwenang kebingungan. Setiap harapan yang dimiliki Mahira dan Birendra mulai pudar."Aku berharap setelah ibu Fatma mendapatkan uangnya. Aku bisa pergi dari kota ini dan memberikan anak ini pada orang lain."Maya dan Fatma berganti lokasi tempat persembunyian. Kali ini anak buah Fatma menemukan rumah kosong di pinggiran kota meski harus masuk gang sempit, kedua wanita itu tak peduli asal mereka bisa menghindari pihak polisi."Makanya jangan cari masalah denganku. Kalau kamu diam, aku tak akan melakukan ini!"Dari luar, Maya mendengar suara keras Fatma. Maya segera meninggalkan Abisatya dengan botol susunya yang sengaja dia beli agar bayi
"Birendra akan membawa Abisatya, Mahira. Jadi serahkan semua padanya ya."Dokter Agustin dan Arya datang ke rumah Mahira untuk memberi dukungan. Mereka tahu jika Mahira membutuhkan seseorang untuk menguatkan di kala susah seperti ini."Tapi bagaimana jika tak berhasil, Dok?" tanya Mahira menatap dokter Agustin penuh kesedihan."Sampai sekarang Mas Birendra tak meneleponku," lanjutnya."Tenanglah, Mahira. Dia akan memberi kabar pada kita," sahut Arya.Matanya terus melirik ke ponsel di atas meja yang tak henti-hentinya bergetar dengan notifikasi, tetapi tak satu pun dari mereka membawa kabar baik yang ditunggunya. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan.Arya tak tahu bagaimana dia harus menghibur Mahira yang saat ini sedang dirundung masalah. Sejak awal bertemu dengannya, Arya merasa kehidupan Mahira sungguh berat dan tak ada bahagia."Kita harus sabar, Mahira," ujar dokter Agustin dengan suara yang lembut."Birendra pasti tahu apa yang dia lak
Abisatya terbangun, matanya mencari keberadaan seseorang yang selalu memberinya dekapan di pagi hari dan menggendongnya dengan bernyanyi. Saat dia tak menemukan sosok tersebut, Abisatya menangis kencang.Tangisannya yang melengking membuat Maya terjaga dari tidurnya, dia lelah setelah semalam harus menenangkan bayi rewel itu. Tangannya gemetar, napasnya tersengal-sengal, dan wajahnya mulai memerah oleh frustrasi."Ada apa lagi sih?" Maya bertanya dengan nada emosi seraya berjalan menuju salah satu ruangan.Bayi di depannya tidak juga berhenti menangis, suaranya seakan menusuk telinga Maya yang sudah lelah dan kesal. Dengan gerakan cepat, tanpa berpikir panjang, Maya mencubit lengan kecil Abisatya."Diam!" bisiknya dengan suara tinggi dengan matanya yang melebar menatap Abisatya.Bayi itu menangis semakin keras, tubuhnya yang mungil bergetar dan wajahnya memerah seiring dengan tangisannya yang tak mereda. Maya menarik napas panjang, menyandarkan punggung ke dinding, seolah-olah mencoba
Perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya dirasa Mahira saat ini. Matanya terus memandangi ponsel di tangannya. Jari-jarinya gemetar ketika dia berulang kali membuka aplikasi pesan, berharap ada kabar dari Abisatya.Mahira masih berharap jika Abisatya dibawa oleh sang bibi Kinar atau ayahnya. Pihak polisi pun sudah mencari sosok wanita yang membawa bayi tersebut. Kini dia dan Birendra tetap menunggu. Birendra berdiri di samping jendela, melihat keluar dengan tatapan kosong. Sesekali dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri."Kita sudah mencari Abi ke manapun, tapi masih belum ada kabar," suara Birendra terdengar pelan. Bahunya tampak kaku seolah menahan beban yang sangat berat.Mahira mendongak, menatap Birendra dengan mata berkaca-kaca. "Mas Birendra, aku takut terjadi yang membuat Abi menangis," bisiknya."Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Abisatya?"Birendra menoleh, menghampiri Mahira dan duduk di sampingnya. Dia meraih tangan Mahira dan mencoba menena
"Coba jelaskan padaku, Agustin. Kenapa Hira ada di rumahmu?""Kamu tahu aku dan dokter Arya tak tahu lagi mau ke mana mencari Hira. Ternyata dia ada di sini."Birendra dan Arya tak pernah sekalipun menyangka jika Mahira datang ke rumah Agustin siang kemarin. Kini mereka berdua mendapat telepon jika Mahira sedang dalam keadaan tak baik-baik pagi ini."Kemarin siang Mahira datang ke rumahku. Dia terlihat lelah, tapi aku tidak menyangka kondisinya seburuk itu. Ketika aku mengajak masuk ke rumah, dia tiba-tiba jatuh pingsan.""Aku tak sempat menelepon, Bi. Jadi aku pikir kubawa dia masuk dan menunggu dia siuman. Saat siuman, dia melarangku untuk menghubungimu atau Arya kecuali ayahnya.""Di mana dia sekarang?" tanya Arya dan mendapat tatapan tak menyenangkan dari Birendra. Seharusnya dia yang bertanya bukan Arya."Pagi ini Pak Rahmat datang menjemput Mahira dan membawanya pulang ke rumahnya," kata Agustin memerhatikan kedua pria di depannya."Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Agustin?"
Di kantor kepolisian yang diterangi lampu neon putih, seorang penyidik duduk termenung di hadapan papan bukti. Foto-foto berserakan di mejanya, salah satunya foto Sarayu yang sudah meninggal dalam kecelakaan tragis.Andi---penyelidik itu menatap tajam pada foto Fatma dan Maya, dua perempuan yang telah lama dicari. Sudah hampir seminggu keberadaan mereka hilang. Mereka tak mungkin kabur ke luar negeri kecuali mereka kabur keluar kota."Kita harus temukan mereka," gumamnya lirih, matanya tak lepas dari peta yang menunjukkan tempat-tempat yang sudah mereka selidiki.Pintu ruangannya terbuka perlahan saat dia sedang serius. Seorang pria berpangkat kapten masuk dengan langkah tenang membawa amplop cokelat.“Saya menemukan bukti lagi, Pak," ucapnya sambil meletakkan amplop itu di atas meja.Andi meraihnya dengan cepat, membuka amplop dan menemukan beberapa foto baru. Salah satunya foto seorang wanita sedang menggendong bayi perempuan."Siapa ini?" tanyanya sambil mengernyitkan alis."Ini ib