Setelah terdiam agak lama, Siska akhirnya menganggukkan kepalanya.“Baiklah, aku akan coba cari tahu semampuku. Nanti aku akan beritahu kamu, informasi apa pun yang aku ketahui. Semoga mereka nggak punya niatan buruk. Andaikan mereka punya niat buruk, setidaknya bisa dicegah niatan mereka itu. Aku juga kan dapat pahala karena bisa mencegah perbuatan buruk terjadi,” sahutnya dengan senyuman.Aku pun tersenyum senang mendengar penuturan Siska. “Semoga saja ya, Sis. Terus kapan kamu mau mulai jualan mpek-mpek? Biar aku bisa langsung memerintahkan anak buahku menyiapkan mpek-mpek untuk kamu.”“Mungkin besok, Manda. Hari ini aku akan bilang ke orang tuaku dulu kalau akan berjualan mpek-mpek. Insya Allah, aku akan menekuni usaha ini. Mulai dari nol, dan semoga saja yang awalnya sedikit, lama kelamaan akan menjadi bukit. Aamiin.”Aku pun ikut mengaminkan ucapan Siska. Bukankah ucapan itu juga sebuah doa.Aku lalu menghubungi anak buahku untuk menyediakan mpek-mpek untuk Siska sebanyak dua pu
Aku yang terkejut, mundur dua langkah sambil memegang dadaku. Siska yang tiba-tiba pucat wajahnya dan tampak bingung, masih mendengarkan ucapan Tante Retno di seberang sana.“Ya sudah, begitu saja ya, Sis. Kamu nggak usah tanya-tanya lagi. Mama mau membalas sakit hati kita secara halus. Kamu tenang saja. Mama nggak akan melibatkan kamu. Mama bergerak sendiri sama Hesti. Mama tutup sekarang ya video call nya.”Hening.Aku dan Siska saling tatap satu sama lain. Hingga perlahan Siska mulai melangkah mendekatiku.“Mama sudah gelap mata karena dendam, Amanda. Kamu sudah dengar sendiri kan tadi. Mereka berdua berniat jahat pada kamu dan suami kamu. Sekarang tinggal kalian pikirkan bagaimana cara mencegah mereka. Aku nggak bisa berpikir atau berkata-kata lagi. Oh ya, tadi aku sempat screenshot wajah Hesti yang sempat tertangkap di layar ponselku. Aku akan kirimkan padamu, ya,” ucap Siska, yang aku angguki.“Kita bicara di ruang tamu saja, ya.” Aku merangkul bahu Siska dan mengajaknya berjala
Aku menganggukkan kepala dan segera membuka rekaman percakapan Tante Retno dan Hesti, yang Siska kirim barusan.“Hes, besok kamu harus siap di depan kantornya Haikal, ya. Kamu tampil secantik mungkin dan pura-pura menabak dia. Begitu kalian saling tatap, kamu jangan sekali-kali berkedip. Supaya manjur yang ditaruh di mata kamu oleh si Mbah. Aku yakin Haikal pasti bertekuk lutut sama kamu. Rumah tangganya akan berantakan. Di situlah aku mendapatkan kepuasan. Dendamku terbalaskan.”“Tapi, kalau dia tergila-gila sama saya, bagaimana? Saya ragu juga sih ini, Tan. Soalnya saya kan punya suami, meskipun dia di penjara.”“Kamu ini jangan bodoh, Hes! Si Haikal itu ganteng lho, kaya pula. Bagus kalau dia tergila-gila sama kamu kan. Kamu nggak pusing lagi soal uang. Dia pasti bakal kasih apa pun yang kamu pinta. Kamu poroti saja uangnya. Atau kamu ajak dia menikah sekalian. Biar gigit jari itu si Amanda. Soal suami kamu sih gampang. Kalian kan hanya menikah siri. Kalau sama Haikal, kamu bisa mi
Aku melongok ke luar jendela mobil yang kebetulan sekali kaca jendela mobil suamiku ini lumayan gelap, sehingga tak tampak jelas dari luar. Aku jadi bebas memperhatikan interaksi Pak Ujang dan Hesti.“Mbak, sini saya bantu. Pasti sakit sekali, ya. Lagiannya kok jalan nggak lihat-lihat. Mobil jangan ditubruk, Mbak. Sakit ini lho,” ucap Pak Ujang, yang membuatku senyum-senyum sendiri.“Eh, Pak. Jangan dekat-dekat saya. Sudah sana pergi! Saya nggak apa-apa. Saya bisa bangun sendiri kok,” tutur Hesti sedikit ketus. Dia tampak berusaha agar tak menatap Pak Ujang.Aku melihat reaksi Pak Ujang yang kaget. Dia menarik kembali tangannya yang sebelumnya ingin membantu Hesti berdiri.“Mau dibantu berdiri kok ya nggak mau. Ya sudah kalau nggak mau. Silakan saja berdiri sendiri! Lagiannya saya tadi mau bantu juga karena Mbak yang bersandar di samping mobil majikan saya ini. Saya mau bantu agar Mbak cepat berdiri dan minggir, karena saya mau cepat pergi dari sini. Kalau kelamaan berhenti di sini, p
Malam harinya ketika selesai makan malam, aku dan Mas Haikal berbincang di ruang keluarga sambil memperhatikan Pasya yang sedang bermain mobil-mobilan.“Mas, mau tahu tentang kisahnya di Hesti nggak?”Mas Haikal terkekeh seraya berkata, “Memangnya dia heboh tadi saat nggak berhasil nubruk aku?”“Heboh pakai banget. Perlu kamu tahu ya, Mas. Kalau jampi-jampi si Hesti itu jadi salah sasaran.”“Hah? Kena siapa?” tanya Mas Haikal dengan kedua mata yang membola.“Kena pak satpam! Terus dia kelihatannya jadi tergila-gila sama Hesti,” ucapku antusias.“Wah, seru banget itu. Terus akhirnya gimana?”“Hesti pulang dan marah-marah sama mantan mertua kamu, Mas,” sahutku kalem.Mas Haikal hanya tersenyum mendengar ceritaku. Dia lalu menggenggam tanganku seraya berbisik, “Alhamdulillah, kita masih dilindungi oleh Allah.”“Iya, Mas.”Di saat kami sedang berbincang, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi pesan masuk di ponselku. Aku yang sedang bersandar di dada bidang suamiku, enggan meraih benda pipi
Orang tua Siska yang tak terima anaknya dimaki, segera turun tangan.“Bu, kita bicara baik-baik di dalam. Jangan di depan rumah. Nggak enak kalau didengar oleh tetangga,” ucap ibunya Siska tampak berusaha menahan emosinya.“Biar saja dengar. Biar mereka tahu kalau Siska ini perempuan nggak tahu diri, nggak tahu diuntung. Bagus sudah kami terima di keluarga, eh malah sekarang berbohong. Lagi pula buat apa dia jualan mpek-mpek. Kayak saya nggak bisa kasih dia makan saja,” sahut Tante Retno dengan wajah tak suka pada besannya.“Bu Retno, saya sudah berusaha sabar. Kalau Ibu nggak masalah teriak-teriak di depan rumah, tapi saya sangat keberatan karena saya yang tinggal di sini. Saya yang berinteraksi dengan tetangga di sini. Jadi tolong hargai saya! Kita bicara baik-baik di dalam. Lagi pula anak saya berjualan mpek-mpek ini halal kok, dan untuk tambahan biaya terapi Reno. Alhamdulillah, dagangannya laku keras. Jadi jangan dipermasalahkan dong,” sahut ibunya Siska ketus karena mulai kesal
Di saat yang sama, ponselku berdering. Tampak nama ibu mertuaku terpampang di layar ponsel. Seketika jantungku berdegup kencang, karena ibu mertuaku tiba-tiba meneleponku. Padahal saat ini beliau sedang berlibur bersama suaminya. Aku lantas mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Bu.”“Halo, Manda. Kamu ada di mana? Retno tadi telepon Ibu, menanyakan kamu dan menantunya sekarang posisinya ada di mana? Memang ada apa sih, Manda? Kok tadi Retno menangis saat telepon Ibu.”“Reno telah meninggal, Bu.”“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Sakit apa si Reno? Kok Ibu nggak dengar kalau anaknya Melvin itu sakit.”Aku terdiam untuk sesaat. Bayangan Reno yang meronta saat di gendongan eyangnya kembali melintas di kepalaku. Hingga akhirnya bocah itu terlempar dan kepalanya membentur lantai, ketika tubuh Tante Retno membentur meja dagangan Siska. Aku seketika bergidik ngeri membayangkan itu semua.“Amanda, kamu masih di situ kan?”Suara ibu mertuaku kemudian menyadarkan aku dari lamunan seput
Aku biarkan Siska menangis. Mungkin dengan menangis akan membuatnya merasa lebih tenang hatinya. Setelah beberapa menit, Siska menghentikan tangisannya.Aku berikan dia segelas air. “Minumlah dulu, Sis.”Siska mengangguk lalu meraih gelas dari tanganku. Dia meneguk air itu hingga habis setengah.“Melvin telah menalak aku, Manda,” ucapnya lirih setelah merasa dirinya lebih tenang.Aku tersentak mendengar penuturan Siska. Aku tak menyangka kalau Melvin bisa berbuat seperti itu pada istrinya, di saat suasana sedang berduka.“Apa alasannya? Apa karena kematian Reno?” tanyaku.Siska mengangguk seraya berkata, “Dia bilang, aku yang menyebabkan kematian Reno. Andaikan aku tak memaksakan diri berjualan mpek-mpek, tentu Reno masih baik-baik saja di rumah. Melvin juga menuduhku yang sengaja dan senang dengan kematian Reno, karena anak kami seorang yang berkebutuhan khusus. Kejam sekali bukan tuduhannya, Manda? Justru aku berjualan untuk mendapat uang yang aku gunakan untuk keperluan Reno. Dia n