Malam harinya ketika selesai makan malam, aku dan Mas Haikal berbincang di ruang keluarga sambil memperhatikan Pasya yang sedang bermain mobil-mobilan.“Mas, mau tahu tentang kisahnya di Hesti nggak?”Mas Haikal terkekeh seraya berkata, “Memangnya dia heboh tadi saat nggak berhasil nubruk aku?”“Heboh pakai banget. Perlu kamu tahu ya, Mas. Kalau jampi-jampi si Hesti itu jadi salah sasaran.”“Hah? Kena siapa?” tanya Mas Haikal dengan kedua mata yang membola.“Kena pak satpam! Terus dia kelihatannya jadi tergila-gila sama Hesti,” ucapku antusias.“Wah, seru banget itu. Terus akhirnya gimana?”“Hesti pulang dan marah-marah sama mantan mertua kamu, Mas,” sahutku kalem.Mas Haikal hanya tersenyum mendengar ceritaku. Dia lalu menggenggam tanganku seraya berbisik, “Alhamdulillah, kita masih dilindungi oleh Allah.”“Iya, Mas.”Di saat kami sedang berbincang, tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi pesan masuk di ponselku. Aku yang sedang bersandar di dada bidang suamiku, enggan meraih benda pipi
Orang tua Siska yang tak terima anaknya dimaki, segera turun tangan.“Bu, kita bicara baik-baik di dalam. Jangan di depan rumah. Nggak enak kalau didengar oleh tetangga,” ucap ibunya Siska tampak berusaha menahan emosinya.“Biar saja dengar. Biar mereka tahu kalau Siska ini perempuan nggak tahu diri, nggak tahu diuntung. Bagus sudah kami terima di keluarga, eh malah sekarang berbohong. Lagi pula buat apa dia jualan mpek-mpek. Kayak saya nggak bisa kasih dia makan saja,” sahut Tante Retno dengan wajah tak suka pada besannya.“Bu Retno, saya sudah berusaha sabar. Kalau Ibu nggak masalah teriak-teriak di depan rumah, tapi saya sangat keberatan karena saya yang tinggal di sini. Saya yang berinteraksi dengan tetangga di sini. Jadi tolong hargai saya! Kita bicara baik-baik di dalam. Lagi pula anak saya berjualan mpek-mpek ini halal kok, dan untuk tambahan biaya terapi Reno. Alhamdulillah, dagangannya laku keras. Jadi jangan dipermasalahkan dong,” sahut ibunya Siska ketus karena mulai kesal
Di saat yang sama, ponselku berdering. Tampak nama ibu mertuaku terpampang di layar ponsel. Seketika jantungku berdegup kencang, karena ibu mertuaku tiba-tiba meneleponku. Padahal saat ini beliau sedang berlibur bersama suaminya. Aku lantas mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Bu.”“Halo, Manda. Kamu ada di mana? Retno tadi telepon Ibu, menanyakan kamu dan menantunya sekarang posisinya ada di mana? Memang ada apa sih, Manda? Kok tadi Retno menangis saat telepon Ibu.”“Reno telah meninggal, Bu.”“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Sakit apa si Reno? Kok Ibu nggak dengar kalau anaknya Melvin itu sakit.”Aku terdiam untuk sesaat. Bayangan Reno yang meronta saat di gendongan eyangnya kembali melintas di kepalaku. Hingga akhirnya bocah itu terlempar dan kepalanya membentur lantai, ketika tubuh Tante Retno membentur meja dagangan Siska. Aku seketika bergidik ngeri membayangkan itu semua.“Amanda, kamu masih di situ kan?”Suara ibu mertuaku kemudian menyadarkan aku dari lamunan seput
Aku biarkan Siska menangis. Mungkin dengan menangis akan membuatnya merasa lebih tenang hatinya. Setelah beberapa menit, Siska menghentikan tangisannya.Aku berikan dia segelas air. “Minumlah dulu, Sis.”Siska mengangguk lalu meraih gelas dari tanganku. Dia meneguk air itu hingga habis setengah.“Melvin telah menalak aku, Manda,” ucapnya lirih setelah merasa dirinya lebih tenang.Aku tersentak mendengar penuturan Siska. Aku tak menyangka kalau Melvin bisa berbuat seperti itu pada istrinya, di saat suasana sedang berduka.“Apa alasannya? Apa karena kematian Reno?” tanyaku.Siska mengangguk seraya berkata, “Dia bilang, aku yang menyebabkan kematian Reno. Andaikan aku tak memaksakan diri berjualan mpek-mpek, tentu Reno masih baik-baik saja di rumah. Melvin juga menuduhku yang sengaja dan senang dengan kematian Reno, karena anak kami seorang yang berkebutuhan khusus. Kejam sekali bukan tuduhannya, Manda? Justru aku berjualan untuk mendapat uang yang aku gunakan untuk keperluan Reno. Dia n
Aku menatap suamiku seraya berkata, “Ridwan kan duda, Mas. Kalau dipasangkan dengan janda, kayaknya cocok deh. Siska kan sekarang janda.”Mas Haikal yang sedang memangku Pasya, menoleh ke arahku. Sementara Pak Ujang yang sedang fokus menyetir mobil, tiba-tiba saja menatap kami melalui kaca spion tengah. Sepertinya kalimat yang aku ucapkan tadi mengagetkan kedua pria itu.“Terus, kamu mau jadi mak comblang, begitu?” tebak Mas Haikal yang membuatku mengangguk.“Barangkali saja mereka berjodoh. Membuat orang bahagia bisa mendapat pahala kan, Mas.” Aku berkata dengan senyuman.Mas Haikal terkekeh mendengar penuturanku. Dia mengusap lembut punggung tanganku yang ada di atas pahanya.“Apa kamu sudah punya rencana?” tanyanya yang mulai penasaran.“Sudah.”“Apa itu?”“Tentunya butuh kerja sama dari kamu, Mas. Kamu undang Ridwan main ke rumah, dan aku undang Siska ke rumah. Terus kita kenalkan mereka. Selebihnya kita serahkan pada mereka cocok atau nggak, itu terserah mereka. Kita hanya sebata
Pov SiskaAku sangat terkejut ketika ternyata tamu undangan yang kata Amanda belum hadir, adalah Mas Ridwan. Seorang pria yang pernah ada di hatiku, ketika aku masih duduk di bangku SMA.Bisa dibilang kalau Mas Ridwan adalah cinta pertamaku. Aku memang menghabiskan masa kecil hingga remaja di Surabaya, karena saat itu ayahku bekerja di sana. Barulah ketika aku kelas tiga SMA, ayah dipromosikan di kantor pusat, di Jakarta. Aku yang tanggung sekolahnya, tetap berada di Surabaya. Aku tinggal di rumah nenek.Suatu hari, nenekku jatuh sakit. Aku mengantarnya berobat ke rumah sakit, yang jaraknya memang tak jauh dari rumah. Naik becak hanya memakan waktu sepuluh menit.“Kamu nggak istirahat dulu, Sis? Kamu kan baru pulang sekolah,” ucap nenekku lirih.“Kesehatan nenek lebih penting. Jadi nggak masalah kalau aku istirahatnya tertunda. Yang penting nenek cepat berobat supaya lekas sembuh,” sahutku kala itu.Nenekku tersenyum dan memeluk tubuhku. Kami pun lantas berjalan perlahan menuju ke pan
Aku sangat grogi ketika bertemu kembali dengan mantan kekasihku. Cinta pertama sekaligus yang membuat aku patah hati. Aku tersenyum dan mengangguk padanya.“Kabarku baik, Mas. Seperti yang Mas Ridwan lihat sendiri,” sahutku tenang. Tapi, tampak tenang itu hanya di luarnya saja. Dalam hatiku terasa ketar-ketir tak karuan. Apalagi ketika dia mengangsurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Seketika tanganku terasa dingin. Biar saja kalau ditertawakan olehnya karena aku yang gugup.“Senang bisa bertemu kamu lagi, Siska,” sahutnya yang tak aku tanggapi. Buat apa menanggapi suami orang. Biarpun sekarang ini statusku adalah seorang janda, tapi aku ingin menjadi janda yang elegan, janda yang terhormat. Bukan malah menjadi perebut suami orang.Setelah basa-basi itu, Amanda lantas mengajak kami semua menuju ke ruang makan. Tampak di atas meja telah tersaji berbagai hidangan yang menggugah selera.Kami mulai menikmati hidangan makan siang sambil bercerita satu sama lain. Aku sibuk berbincang
Mas Ridwan terkekeh melihat diri ini terkejut mendengar pengakuannya. Ya, memang aku tak bisa menyembunyikan perubahan wajahku.“Kaget ya kamu, Sis?”“Sudah berapa lama menjomblo?” tanyaku mulai kepo. Biar saja aku dibilang ingin tahu urusan orang lain, karena ini penting juga agar aku bisa mengambil sikap. Karena kalau dia baru saja berpisah dengan istrinya, tak pantas juga kalau langsung mendekati wanita lain.“Sudah cukup lama, Sis. Aku sudah mencoba mencari istri baru, tapi belum ada yang sreg. Bahkan orang tuaku mencoba menjodohkan aku lagi dengan seorang gadis. Tapi, nggak cocok juga. Aku yang nggak sreg, begitu juga dengan gadis itu yang ternyata nggak mau dijodohkan dengan seorang duda. Akhirnya aku fokus saja dengan pekerjaanku. Aku pasrahkan urusan jodoh pada Yang Maha Kuasa,” sahutnya dengan mata yang lurus ke depan.Aku ingin tahu penyebab dia menjomblo. Tapi, aku takut. Selain takut, aku juga merasa gengsi. Khawatir kalau Mas Ridwan menganggap aku mengharapkan dia kembali
Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Tak lama, Saskia datang sambil menggendong Ayesha. Dia tampak sedang mengajak bercanda Ayesha sambil berjalan menuju sofa tempat Irene duduk.“Nah, ini ada mama, Sayang. Yesha sekarang dipangku sama mama, ya,” ucap Saskia dengan suara lembut.Ayesha yang sebelumnya tertawa, tiba-tiba merengek ketika Saskia meletakkannya di atas pangkuan Irene. Dia juga berpegangan pada blus Saskia, kode kalau dia tak ingin dilepaskan dari pelukan Saskia.“Ayesha, Sayang. Ini Mama, Nak. Mama kangen sama kamu. Semenjak kamu lahir, Mama belum peluk kamu,” ucap Irene lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca, karena sedih mendapat penolakan dari anak kandungnya sendiri.Pasya yang melihat itu pun jadi tak tega. Dia membantu membujuk Ayesha.“Yesha...ayo, mau ya dipangku sama mama. Nanti mimik susu lagi sama mama,” ucap Pasya, yang membuat Saskia serta Irene kompak menoleh padanya.‘Mas Pasya kenapa ngomongnya soal menyusu sih? Apa memang itu yang sekarang ada di kepalanya. Mentang-mentang Irene
Saskia lalu beringsut menjauhi suaminya dengan wajah tertekuk. Dia mendadak diam seribu bahasa.Pasya yang mengetahui perubahan sang istri, lantas tersenyum dan meraih tangan Saskia.“Cemburu?” tanya Pasya dengan tatapan menggoda.Hening.Saskia sepertinya malas memberi tanggapan. Dia malah sibuk merapatkan selimut di tubuh Ayesha, yang terbaring di sebelahnya duduk.“Irene sudah pulih dari koma, Kia. Dia menanyakan tentang bayinya. Tadi papanya telepon saat kita masih di bandara. Kamu sedang sibuk sendiri dengan Ayesha, makanya nggak tahu kalau aku menerima telepon dari mantan mertua,” jelas Pasya dengan nada lembut.Saskia sontak menatap sang suami. “Irene mau mengambil Ayesha ya, Mas?”Pasya mengangguk seraya berkata, “Iya, Sayang. Dia kan ibunya. Dia juga taruhan nyawa saat melahirkan Ayesha. Lagi pula aku dan Irene sudah berkomitmen untuk mengasuh anak kami, meski di tempat yang berbeda.”Saskia tampak muram. Meskipun dia hanya sebatas ibu sambung, namun dia sangat menyayangi Aye
“Pa, kok diam saja?” tanya Irene lagi dengan nada mendesak.“Eh, kamu kan masih harus banyak istirahat, Ren. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya, ya,” sahut Seto sedikit gugup. Membuat Irene curiga.“Pa, Ma, sebenarnya ini ada apa sih? Kok aku merasa kalau Mama dan Papa sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ngomong saja sih terus terang. Ada apa?” desak Irene dengan wajah memelas.Seto dan Diah saling tatap. Mereka seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata. Hingga akhirnya Diah menganggukkan kepalanya pada sang suami.“Ren, kamu kan baru saja pulih dari koma. Lebih baik nanti saja Papa beritahunya. Papa khawatir kalau nanti kamu...” Seto menghentikan kata-katanya ketika Irene menyela ucapannya.“Ini ada hubungannya dengan Ayesha dan Mas Pasya? Kalau iya, nggak apa katakan saja sekarang. Aku merasa sudah lebih baik kok sekarang, Pa,” ucap Irene yakin.“Ya sudah, kamu kasih tahu saja sekarang, Mas,” timpal Diah.Seto mengangguk. Dia lalu menatap wajah cantik Irene yang terliha
Kini kedua bola mata Irene mulai membuka secara perlahan. Tatapan wanita itu menyisir ke sekitarnya.“Selamat malam, Bu Irene,” sapa dokter dengan suara perlahan. Pria itu memperhatikan setiap respons pasiennya, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan Irene.“Ma-malam,” sahut Irene lirih dan terbata.“Ibu baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama empat bulan lamanya. Selamat datang, Bu Irene. Semoga kondisi Ibu semakin membaik,” ucap dokter dengan senyuman.“S-saya ta-tak s-sadar kan di-ri s-selama em-pat bu-lan?” sahut Irene masih dengan suara terbata-bata.“Iya dan alhamdulillah, sekarang Ibu sudah melewati masa kritis. Tapi, setelah ini tolong jangan banyak bicara dulu. Ibu istirahat dulu yang cukup supaya kesehatannya lekas pulih,” ucap dokter, yang diangguki oleh Irene.Setelah selesai memeriksa Irene, dokter lalu mengalihkan tatapan pada suster. “Sus, satu jam lagi kalau nggak ada keluhan dari pasien, silakan pasiennya dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritisnya sud
Empat bulan berlalu, kini saatnya pernikahan Pasya dan Saskia digelar. Acara akad nikah dilangsungkan di kediaman orang tua Saskia. Sedangkan resepsinya nanti akan dirayakan di salah satu hotel berbintang lima.Saskia tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih dan kain jarik coklat tua. Wajah Saskia dipoles dengan riasan yang natural, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.Sedangkan Pasya sendiri tampil gagah dengan setelan jas warna hitam dan kemeja putih, lengkap lengan peci hitamnya. Pasya juga sudah menyiapkan mahar berupa satu set perhiasan emas berhiaskan berlian. Meski ini bukan yang pertama, tapi tetap saja Pasya merasa gugup. Hal itu diketahui Haikal.Haikal berpindah duduknya di sebelah anak sulungnya. Mumpung Saskia belum tiba di ruangan itu. Begitu menurut pemikiran Haikal.“Sya, tenang saja kenapa sih. Jangan gugup begitu! Kayak yang baru pertama kali saja,” bisik Haikal.Pasya menghela napas panjang dan melirik pada papanya. “Namanya pengantin, mau pertama kali atau ke
Pasya masih berada di ruang keluarga menemani Amanda, ketika sebuah suara membuatnya tertegun dan menoleh ke arah sumber suara itu.“Assalamualaikum.”“Wa’ alaikumsalam,” sahut Amanda dan Pasya secara bersamaan.“Wah, tamu jauh ini yang datang. Sini duduk, Kia,” sapa Amanda dengan senyum mengembang di bibirnya.“Apa kabar, Tante? Ini aku bawain kado untuk Ayesha. Semoga suka.” Saskia berkata sambil meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja. Setelahnya, dia mengecup pipi Amanda karena tangan wanita paruh baya itu sedang memegang botol susu.“Yesha, ada Tante Kia datang. Dia bawa kado untuk kamu tuh,” bisik Amanda pada cucunya yang sedang asyik menyusu.Ayesha seketika menghentikan aktivitasnya menyusu, dan sontak menoleh ke arah Saskia yang kini sudah duduk di sebelah Amanda. Bayi itu seolah tahu kalau wanita yang ada di sebelah neneknya, adalah wanita yang sedang dekat dengan papanya. Setelah itu, Ayesha kembali lagi menyusu.“Kamu tadi berhenti menyusu sebentar karena mau men
Amanda yang dari tadi diam, kini merasa kesal juga dengan ucapan mantan besannya. Dia menatap Diah seraya berkata, “Bu, tolong jangan begitu. Pasya ini kan orang tuanya Ayesha. Ada mantan istri dan mantan suami. Tapi, nggak ada mantan anak dan mantan orang tua. Sekarang kondisi Irene sedang tak memungkinkan untuk mengasuh anak. Jadi sudah seharusnya Pasya mengambil alih. Apa salah seorang ayah mengasuh anaknya? Saya rasa nggak juga, Bu. Apalagi Ibu dan Bapak pernah datang ke rumah kami, untuk sekedar memberitahu kalau Irene hamil anaknya Pasya. Nah, sekarang kenapa dipersulit saat Pasya hendak mengasuh anaknya?”Hening. Tak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibir Diah maupun Seto. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar dari mulut keduanya.Akhirnya Seto mengeluarkan kata setelah sesaat terdiam.“Tapi, Pasya kan nggak setiap waktu ada di samping...siapa tadi nama cucuku?” ucap Seto dengan tatapan pada Amanda serta Pasya secara bergantian.“Ayesha,” sahut Pasya.“Iya, Ayesha. P
Pasya dan kedua orang tuanya kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuan mereka pertama kali adalah ke ruang bayi, di mana bayi Pasya berada.“Mama sudah nggak sabar mau melihat cucu Mama, Sya,” ucap Amanda dengan senyuman ketika di jarak beberapa meter dari posisi mereka saat ini, sudah terlihat ruangan bayi.“Iya, tapi Mama untuk sementara ini hanya bisa melihat Ayesha dari balik kaca saja. Bantu doanya ya, Ma, supaya bayiku bisa segera keluar dari inkubator. Jadi kita bisa menggendongnya nanti,” sahut Pasya, yang diangguki oleh Amanda.“Tentu dong, Sayang. Kamu nggak minta pun, Mama sudah pasti akan mendoakan cucu Mama,” sahut Amanda masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Tak lama, langkah mereka terhenti di depan ruang bayi. Amanda dan Haikal yang ingin melihat cucu mereka, segera menghampiri suster jaga.“Sus, kami ingin melihat cucu kami yang baru lahir kemarin, boleh kan?” ucap Amanda dengan nada suara memohon.Suster itu terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya