Aku menatap suamiku seraya berkata, “Ridwan kan duda, Mas. Kalau dipasangkan dengan janda, kayaknya cocok deh. Siska kan sekarang janda.”Mas Haikal yang sedang memangku Pasya, menoleh ke arahku. Sementara Pak Ujang yang sedang fokus menyetir mobil, tiba-tiba saja menatap kami melalui kaca spion tengah. Sepertinya kalimat yang aku ucapkan tadi mengagetkan kedua pria itu.“Terus, kamu mau jadi mak comblang, begitu?” tebak Mas Haikal yang membuatku mengangguk.“Barangkali saja mereka berjodoh. Membuat orang bahagia bisa mendapat pahala kan, Mas.” Aku berkata dengan senyuman.Mas Haikal terkekeh mendengar penuturanku. Dia mengusap lembut punggung tanganku yang ada di atas pahanya.“Apa kamu sudah punya rencana?” tanyanya yang mulai penasaran.“Sudah.”“Apa itu?”“Tentunya butuh kerja sama dari kamu, Mas. Kamu undang Ridwan main ke rumah, dan aku undang Siska ke rumah. Terus kita kenalkan mereka. Selebihnya kita serahkan pada mereka cocok atau nggak, itu terserah mereka. Kita hanya sebata
Pov SiskaAku sangat terkejut ketika ternyata tamu undangan yang kata Amanda belum hadir, adalah Mas Ridwan. Seorang pria yang pernah ada di hatiku, ketika aku masih duduk di bangku SMA.Bisa dibilang kalau Mas Ridwan adalah cinta pertamaku. Aku memang menghabiskan masa kecil hingga remaja di Surabaya, karena saat itu ayahku bekerja di sana. Barulah ketika aku kelas tiga SMA, ayah dipromosikan di kantor pusat, di Jakarta. Aku yang tanggung sekolahnya, tetap berada di Surabaya. Aku tinggal di rumah nenek.Suatu hari, nenekku jatuh sakit. Aku mengantarnya berobat ke rumah sakit, yang jaraknya memang tak jauh dari rumah. Naik becak hanya memakan waktu sepuluh menit.“Kamu nggak istirahat dulu, Sis? Kamu kan baru pulang sekolah,” ucap nenekku lirih.“Kesehatan nenek lebih penting. Jadi nggak masalah kalau aku istirahatnya tertunda. Yang penting nenek cepat berobat supaya lekas sembuh,” sahutku kala itu.Nenekku tersenyum dan memeluk tubuhku. Kami pun lantas berjalan perlahan menuju ke pan
Aku sangat grogi ketika bertemu kembali dengan mantan kekasihku. Cinta pertama sekaligus yang membuat aku patah hati. Aku tersenyum dan mengangguk padanya.“Kabarku baik, Mas. Seperti yang Mas Ridwan lihat sendiri,” sahutku tenang. Tapi, tampak tenang itu hanya di luarnya saja. Dalam hatiku terasa ketar-ketir tak karuan. Apalagi ketika dia mengangsurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Seketika tanganku terasa dingin. Biar saja kalau ditertawakan olehnya karena aku yang gugup.“Senang bisa bertemu kamu lagi, Siska,” sahutnya yang tak aku tanggapi. Buat apa menanggapi suami orang. Biarpun sekarang ini statusku adalah seorang janda, tapi aku ingin menjadi janda yang elegan, janda yang terhormat. Bukan malah menjadi perebut suami orang.Setelah basa-basi itu, Amanda lantas mengajak kami semua menuju ke ruang makan. Tampak di atas meja telah tersaji berbagai hidangan yang menggugah selera.Kami mulai menikmati hidangan makan siang sambil bercerita satu sama lain. Aku sibuk berbincang
Mas Ridwan terkekeh melihat diri ini terkejut mendengar pengakuannya. Ya, memang aku tak bisa menyembunyikan perubahan wajahku.“Kaget ya kamu, Sis?”“Sudah berapa lama menjomblo?” tanyaku mulai kepo. Biar saja aku dibilang ingin tahu urusan orang lain, karena ini penting juga agar aku bisa mengambil sikap. Karena kalau dia baru saja berpisah dengan istrinya, tak pantas juga kalau langsung mendekati wanita lain.“Sudah cukup lama, Sis. Aku sudah mencoba mencari istri baru, tapi belum ada yang sreg. Bahkan orang tuaku mencoba menjodohkan aku lagi dengan seorang gadis. Tapi, nggak cocok juga. Aku yang nggak sreg, begitu juga dengan gadis itu yang ternyata nggak mau dijodohkan dengan seorang duda. Akhirnya aku fokus saja dengan pekerjaanku. Aku pasrahkan urusan jodoh pada Yang Maha Kuasa,” sahutnya dengan mata yang lurus ke depan.Aku ingin tahu penyebab dia menjomblo. Tapi, aku takut. Selain takut, aku juga merasa gengsi. Khawatir kalau Mas Ridwan menganggap aku mengharapkan dia kembali
Aku terdiam. Bingung mau berkata apa. Setelah sekian lama berpisah dan kini bertemu lagi, tiba-tiba Mas Ridwan mengajak untuk merajut kembali benang kasih yang terputus. Aku seketika merasa seperti sebuah barang yang sudah dibuang, lalu dipungut lagi. Apa serendah itukah diri ini? Dulu saat dia dijodohkan dengan orang tuanya, tak ada penolakan. Malah memutuskan hubungan denganku hingga aku sangat patah hati. Kini setelah dia ditinggalkan oleh anak dan istrinya dan merasa kesepian, minta aku untuk mengisi ruang kosong itu. Adilkah ini untukku? Memang aku juga kehilangan suami dan anak. Tapi, aku belum memikirkan untuk mencari pendamping hidup. Aku perlu menata hatiku terlebih dahulu.“Siska,” panggil Mas Ridwan lembut, yang seketika membuyarkan lamunanku.“Eh, iya. Maaf kalau aku sempat melamun.”“Nggak apa, Sis. Kamu pasti melamunkan jawabannya, iya kan?” tebak Mas Ridwan yang memang tepat sasaran.Aku hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban pasti untuknya. Hal itu membuat Mas Ridwan
“Manda, kenapa harus aku yang ke rumah sakit? Aku bukan apa-apanya dia lho. Kamu hubungi saja keluarganya. Kamu bisa cari di ponselnya Mas Ridwan.”“Lho, kok begitu sih, Sis?”“Apanya yang begitu, Manda. Benar kan yang aku bilang. Aku bukan siapa-siapanya dia. Kebetulan saja aku kenal dan ketemu lagi di rumah kamu. Sudah ya, Manda. Aku tutup teleponnya. Aku mau istirahat.”“Tapi, ada apa sih sebenarnya, Sis? Apa Mas Ridwan sudah menyakiti kamu?”Amanda bertanya dengan nada cemas di seberang sana. Aku jadi tak enak hati karena harus melibatkan Amanda. Aku ingin menutup rapat-rapat masa laluku dengan Mas Ridwan. Tapi dengan adanya kejadian ini, entahlah apa bisa aku tutupi semuanya. Ah, rasanya lelah juga. Masa lalu yang seharusnya berlalu, tapi kini membuntuti aku lagi.“Mas Ridwan nggak menyakiti aku kok, Manda. Sudahlah, aku baik-baik saja,” ucapku meyakinkan Amanda agar pembicaraan di telepon ini segera berakhir.“Kamu hutang penjelasan sama aku deh, Sis. Bukannya aku ingin tahu. Ta
Mas Ridwan tersenyum ke arahku dan Amanda. Dia memberi kode pada wanita di sebelahnya, agar berhenti menyuapinya.“Kok malah diam di situ sih? Ayo, masuk sini!” ucap Mas Ridwan ramah.Aku diam saja. Namun, Amanda melontarkan pertanyaan yang sama sekali tak aku duga sebelumnya.“Apa kita berdua nggak mengganggu Mas Ridwan? Kan Mas lagi disuapi sama Mbak ini,” ucap Amanda yang mengarahkan dagunya ke arah wanita yang duduk di samping ranjang perawatan.Mas Ridwan tersenyum seraya berkata, “Ayolah masuk kalian! Sekalian kenalan sama adik iparku. Dia baru datang kok. Kita bisa ngobrol bareng di sini.”Amanda mengangguk. Dia akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap. Aku pun mengekor di belakangnya.“Bagaimana kabarnya, Mas Ridwan? Sudah lebih baik sekarang?” sapa Amanda ramah.Aku hanya diam dan sibuk mengamati wanita muda nan cantik, yang duduk sambil tersenyum menatap Amanda. Ah, senyumnya manis sekali. Tadi kata Mas Ridwan, wanita ini adalah adik iparnya. Itu artinya wanita ini merupakan
Aku menerima ponsel Siska dengan tangan bergetar. Aku tahu ada sesuatu yang tak beres di pesan itu. Dari raut wajahnya, Siska tampak sangat marah. Entah marah pada siapa? Bisa pada orang si pengirim pesan, atau bisa juga padaku.Kedua mataku membola dan mulutku pun terbuka sempurna ketika membaca pesan tersebut yang ternyata dari Ridwan. Aku menghela napas panjang dan mengembalikan ponsel pada pemiliknya.“Kenapa Mas Ridwan tahu nomor teleponku? Apa kamu yang memberitahunya?” tanya Siska dengan tatapan menyelidik. Aku tiba-tiba merasa bersalah dan menyesal telah memberikan nomor telepon Siska pada pria itu. Sungguh, aku tak mengira akan begini jadinya.Aku mengangguk seraya berkata, “Iya, Sis. Tapi, awalnya niatku baik. Aku juga nggak tahu tentang Mira. Sungguh, Sis. Aku dan Mas Haikal memang berencana menjodohkan kalian berdua, karena kalian kan sama-sama sendiri. Jadi apa salahnya kalian ini bersama membina rumah tangga yang harmonis. Aku dan Mas Haikal berpikir, kalau kita berempat