Mas Ridwan terkekeh melihat diri ini terkejut mendengar pengakuannya. Ya, memang aku tak bisa menyembunyikan perubahan wajahku.“Kaget ya kamu, Sis?”“Sudah berapa lama menjomblo?” tanyaku mulai kepo. Biar saja aku dibilang ingin tahu urusan orang lain, karena ini penting juga agar aku bisa mengambil sikap. Karena kalau dia baru saja berpisah dengan istrinya, tak pantas juga kalau langsung mendekati wanita lain.“Sudah cukup lama, Sis. Aku sudah mencoba mencari istri baru, tapi belum ada yang sreg. Bahkan orang tuaku mencoba menjodohkan aku lagi dengan seorang gadis. Tapi, nggak cocok juga. Aku yang nggak sreg, begitu juga dengan gadis itu yang ternyata nggak mau dijodohkan dengan seorang duda. Akhirnya aku fokus saja dengan pekerjaanku. Aku pasrahkan urusan jodoh pada Yang Maha Kuasa,” sahutnya dengan mata yang lurus ke depan.Aku ingin tahu penyebab dia menjomblo. Tapi, aku takut. Selain takut, aku juga merasa gengsi. Khawatir kalau Mas Ridwan menganggap aku mengharapkan dia kembali
Aku terdiam. Bingung mau berkata apa. Setelah sekian lama berpisah dan kini bertemu lagi, tiba-tiba Mas Ridwan mengajak untuk merajut kembali benang kasih yang terputus. Aku seketika merasa seperti sebuah barang yang sudah dibuang, lalu dipungut lagi. Apa serendah itukah diri ini? Dulu saat dia dijodohkan dengan orang tuanya, tak ada penolakan. Malah memutuskan hubungan denganku hingga aku sangat patah hati. Kini setelah dia ditinggalkan oleh anak dan istrinya dan merasa kesepian, minta aku untuk mengisi ruang kosong itu. Adilkah ini untukku? Memang aku juga kehilangan suami dan anak. Tapi, aku belum memikirkan untuk mencari pendamping hidup. Aku perlu menata hatiku terlebih dahulu.“Siska,” panggil Mas Ridwan lembut, yang seketika membuyarkan lamunanku.“Eh, iya. Maaf kalau aku sempat melamun.”“Nggak apa, Sis. Kamu pasti melamunkan jawabannya, iya kan?” tebak Mas Ridwan yang memang tepat sasaran.Aku hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban pasti untuknya. Hal itu membuat Mas Ridwan
“Manda, kenapa harus aku yang ke rumah sakit? Aku bukan apa-apanya dia lho. Kamu hubungi saja keluarganya. Kamu bisa cari di ponselnya Mas Ridwan.”“Lho, kok begitu sih, Sis?”“Apanya yang begitu, Manda. Benar kan yang aku bilang. Aku bukan siapa-siapanya dia. Kebetulan saja aku kenal dan ketemu lagi di rumah kamu. Sudah ya, Manda. Aku tutup teleponnya. Aku mau istirahat.”“Tapi, ada apa sih sebenarnya, Sis? Apa Mas Ridwan sudah menyakiti kamu?”Amanda bertanya dengan nada cemas di seberang sana. Aku jadi tak enak hati karena harus melibatkan Amanda. Aku ingin menutup rapat-rapat masa laluku dengan Mas Ridwan. Tapi dengan adanya kejadian ini, entahlah apa bisa aku tutupi semuanya. Ah, rasanya lelah juga. Masa lalu yang seharusnya berlalu, tapi kini membuntuti aku lagi.“Mas Ridwan nggak menyakiti aku kok, Manda. Sudahlah, aku baik-baik saja,” ucapku meyakinkan Amanda agar pembicaraan di telepon ini segera berakhir.“Kamu hutang penjelasan sama aku deh, Sis. Bukannya aku ingin tahu. Ta
Mas Ridwan tersenyum ke arahku dan Amanda. Dia memberi kode pada wanita di sebelahnya, agar berhenti menyuapinya.“Kok malah diam di situ sih? Ayo, masuk sini!” ucap Mas Ridwan ramah.Aku diam saja. Namun, Amanda melontarkan pertanyaan yang sama sekali tak aku duga sebelumnya.“Apa kita berdua nggak mengganggu Mas Ridwan? Kan Mas lagi disuapi sama Mbak ini,” ucap Amanda yang mengarahkan dagunya ke arah wanita yang duduk di samping ranjang perawatan.Mas Ridwan tersenyum seraya berkata, “Ayolah masuk kalian! Sekalian kenalan sama adik iparku. Dia baru datang kok. Kita bisa ngobrol bareng di sini.”Amanda mengangguk. Dia akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap. Aku pun mengekor di belakangnya.“Bagaimana kabarnya, Mas Ridwan? Sudah lebih baik sekarang?” sapa Amanda ramah.Aku hanya diam dan sibuk mengamati wanita muda nan cantik, yang duduk sambil tersenyum menatap Amanda. Ah, senyumnya manis sekali. Tadi kata Mas Ridwan, wanita ini adalah adik iparnya. Itu artinya wanita ini merupakan
Aku menerima ponsel Siska dengan tangan bergetar. Aku tahu ada sesuatu yang tak beres di pesan itu. Dari raut wajahnya, Siska tampak sangat marah. Entah marah pada siapa? Bisa pada orang si pengirim pesan, atau bisa juga padaku.Kedua mataku membola dan mulutku pun terbuka sempurna ketika membaca pesan tersebut yang ternyata dari Ridwan. Aku menghela napas panjang dan mengembalikan ponsel pada pemiliknya.“Kenapa Mas Ridwan tahu nomor teleponku? Apa kamu yang memberitahunya?” tanya Siska dengan tatapan menyelidik. Aku tiba-tiba merasa bersalah dan menyesal telah memberikan nomor telepon Siska pada pria itu. Sungguh, aku tak mengira akan begini jadinya.Aku mengangguk seraya berkata, “Iya, Sis. Tapi, awalnya niatku baik. Aku juga nggak tahu tentang Mira. Sungguh, Sis. Aku dan Mas Haikal memang berencana menjodohkan kalian berdua, karena kalian kan sama-sama sendiri. Jadi apa salahnya kalian ini bersama membina rumah tangga yang harmonis. Aku dan Mas Haikal berpikir, kalau kita berempat
Mas Haikal akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon dari Ridwan. Suamiku rupanya mengaktifkan loud speaker di ponselnya, agar aku bisa ikut mendengarkan pembicaraan mereka.“Halo, Wan.”“Halo, Kal. Aku bisa minta tolong sama kamu?”“Apa itu?”“Tolong jadi perantara aku dong, agar bisa menghubungi Siska. Nomorku diblokir sama dia.” Terdengar suara Ridwan yang memelas di seberang sana. Membuatku merasa jijik mendengarnya. Bisa-bisanya dia masih berusaha mendekati Siska. Padahal sudah jelas di depan mata dia pasrah saja dilayani oleh si Mira. Menyebalkan sekali!“Wah, maaf kalau soal itu aku nggak bisa bantu. Amanda sudah cerita sama aku tentang adegan di ruang rawat kamu. Jadi menurutku sih, lebih baik kamu nggak usah ganggu Siska lagi. Kamu tetapkan hati untuk adik ipar kamu itu. Di masyarakat kita kan masih banyak itu yang namanya turun ranjang, atau naik ranjang. Ya, kamu lakoni saja sekarang peran kamu untuk turun ranjang. Kata istriku, adik ipar kamu cantik. Ya sudah,
Aku duduk di sebelah Siska. Sengaja aku tinggalkan sebentar para tamu yang mulai berdatangan. Acara pengajian akan dimulai lima belas menit lagi. Jadi masih bisa aku berbicara sebentar pada Siska.“Sis, aku sudah tanya Mas Haikal. Dia nggak mengundang Ridwan datang kemari kok. Tapi, Mas Haikal sebelumnya pasang status seperti ini.” Aku mengangsurkan ponsel suamiku pada Siska, agar dia bisa membaca status Mas Haikal di aplikasi pesan berwarna hijau itu.Siska membaca status yang dibuat suamiku. Dia menghela napas panjang seraya mengembalikan ponsel Mas Haikal padaku.“Ya sudah lah, Manda. Mau bagaimana lagi? Semua sudah terlanjur juga. Mas Haikal memang nggak berencana mengundang dia. Si Mas Ridwan saja yang langsung gerak cepat kemari. Aku duduk di sini saja kalau begitu ya, bersama saudara-saudara kamu. Aku malas ketemu sama dia soalnya,” ucap Siska yang langsung aku setujui.Setelah itu, aku kembali ke ruang tamu. Membaur bersama ibu-ibu pengajian, dan juga ibu mertua serta mamaku.
Aku tersentak ketika Ridwan tiba-tiba saja ada di sampingku. Dia rupanya berdiri dari posisinya duduk di atas karpet.“Ah, aku tersenyum pada sepupuku yang berjalan menuju gerbang bersama suaminya. Apa ada yang salah, Mas Ridwan?” elakku dengan menyunggingkan senyuman padanya.Aku melihat sorot tak percaya di mata Ridwan. Tiba-tiba dia berjalan keluar dengan tatapan ke arah gerbang. Memastikan kebenaran ucapanku. Aku yang melihat Siska masih berjalan ke arah sana, lantas panik. Khawatir kalau Ridwan akan nekat mengejar Siska ke sana. Tanpa pikir panjang, aku mencekal lengan Ridwan. Berusaha menahan pria itu agar tetap di dalam rumah. Setidaknya sampai Siska masuk ke dalam mobil Andi.“Lepaskan tanganku, Amanda! Kamu sengaja mencekal tanganku supaya aku nggak keluar, iya? Ternyata kamu sengaja menahan aku di sini agar Siska bisa pergi tanpa sepengetahuanku, begitu?”“Aku hanya ingin membantu temanku, Mas. Tolong pahami kalau Siska nggak mau didekati oleh kamu. Sudahlah, biarkan dia sen
Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Tak lama, Saskia datang sambil menggendong Ayesha. Dia tampak sedang mengajak bercanda Ayesha sambil berjalan menuju sofa tempat Irene duduk.“Nah, ini ada mama, Sayang. Yesha sekarang dipangku sama mama, ya,” ucap Saskia dengan suara lembut.Ayesha yang sebelumnya tertawa, tiba-tiba merengek ketika Saskia meletakkannya di atas pangkuan Irene. Dia juga berpegangan pada blus Saskia, kode kalau dia tak ingin dilepaskan dari pelukan Saskia.“Ayesha, Sayang. Ini Mama, Nak. Mama kangen sama kamu. Semenjak kamu lahir, Mama belum peluk kamu,” ucap Irene lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca, karena sedih mendapat penolakan dari anak kandungnya sendiri.Pasya yang melihat itu pun jadi tak tega. Dia membantu membujuk Ayesha.“Yesha...ayo, mau ya dipangku sama mama. Nanti mimik susu lagi sama mama,” ucap Pasya, yang membuat Saskia serta Irene kompak menoleh padanya.‘Mas Pasya kenapa ngomongnya soal menyusu sih? Apa memang itu yang sekarang ada di kepalanya. Mentang-mentang Irene
Saskia lalu beringsut menjauhi suaminya dengan wajah tertekuk. Dia mendadak diam seribu bahasa.Pasya yang mengetahui perubahan sang istri, lantas tersenyum dan meraih tangan Saskia.“Cemburu?” tanya Pasya dengan tatapan menggoda.Hening.Saskia sepertinya malas memberi tanggapan. Dia malah sibuk merapatkan selimut di tubuh Ayesha, yang terbaring di sebelahnya duduk.“Irene sudah pulih dari koma, Kia. Dia menanyakan tentang bayinya. Tadi papanya telepon saat kita masih di bandara. Kamu sedang sibuk sendiri dengan Ayesha, makanya nggak tahu kalau aku menerima telepon dari mantan mertua,” jelas Pasya dengan nada lembut.Saskia sontak menatap sang suami. “Irene mau mengambil Ayesha ya, Mas?”Pasya mengangguk seraya berkata, “Iya, Sayang. Dia kan ibunya. Dia juga taruhan nyawa saat melahirkan Ayesha. Lagi pula aku dan Irene sudah berkomitmen untuk mengasuh anak kami, meski di tempat yang berbeda.”Saskia tampak muram. Meskipun dia hanya sebatas ibu sambung, namun dia sangat menyayangi Aye
“Pa, kok diam saja?” tanya Irene lagi dengan nada mendesak.“Eh, kamu kan masih harus banyak istirahat, Ren. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya, ya,” sahut Seto sedikit gugup. Membuat Irene curiga.“Pa, Ma, sebenarnya ini ada apa sih? Kok aku merasa kalau Mama dan Papa sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ngomong saja sih terus terang. Ada apa?” desak Irene dengan wajah memelas.Seto dan Diah saling tatap. Mereka seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata. Hingga akhirnya Diah menganggukkan kepalanya pada sang suami.“Ren, kamu kan baru saja pulih dari koma. Lebih baik nanti saja Papa beritahunya. Papa khawatir kalau nanti kamu...” Seto menghentikan kata-katanya ketika Irene menyela ucapannya.“Ini ada hubungannya dengan Ayesha dan Mas Pasya? Kalau iya, nggak apa katakan saja sekarang. Aku merasa sudah lebih baik kok sekarang, Pa,” ucap Irene yakin.“Ya sudah, kamu kasih tahu saja sekarang, Mas,” timpal Diah.Seto mengangguk. Dia lalu menatap wajah cantik Irene yang terliha
Kini kedua bola mata Irene mulai membuka secara perlahan. Tatapan wanita itu menyisir ke sekitarnya.“Selamat malam, Bu Irene,” sapa dokter dengan suara perlahan. Pria itu memperhatikan setiap respons pasiennya, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan Irene.“Ma-malam,” sahut Irene lirih dan terbata.“Ibu baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama empat bulan lamanya. Selamat datang, Bu Irene. Semoga kondisi Ibu semakin membaik,” ucap dokter dengan senyuman.“S-saya ta-tak s-sadar kan di-ri s-selama em-pat bu-lan?” sahut Irene masih dengan suara terbata-bata.“Iya dan alhamdulillah, sekarang Ibu sudah melewati masa kritis. Tapi, setelah ini tolong jangan banyak bicara dulu. Ibu istirahat dulu yang cukup supaya kesehatannya lekas pulih,” ucap dokter, yang diangguki oleh Irene.Setelah selesai memeriksa Irene, dokter lalu mengalihkan tatapan pada suster. “Sus, satu jam lagi kalau nggak ada keluhan dari pasien, silakan pasiennya dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritisnya sud
Empat bulan berlalu, kini saatnya pernikahan Pasya dan Saskia digelar. Acara akad nikah dilangsungkan di kediaman orang tua Saskia. Sedangkan resepsinya nanti akan dirayakan di salah satu hotel berbintang lima.Saskia tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih dan kain jarik coklat tua. Wajah Saskia dipoles dengan riasan yang natural, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.Sedangkan Pasya sendiri tampil gagah dengan setelan jas warna hitam dan kemeja putih, lengkap lengan peci hitamnya. Pasya juga sudah menyiapkan mahar berupa satu set perhiasan emas berhiaskan berlian. Meski ini bukan yang pertama, tapi tetap saja Pasya merasa gugup. Hal itu diketahui Haikal.Haikal berpindah duduknya di sebelah anak sulungnya. Mumpung Saskia belum tiba di ruangan itu. Begitu menurut pemikiran Haikal.“Sya, tenang saja kenapa sih. Jangan gugup begitu! Kayak yang baru pertama kali saja,” bisik Haikal.Pasya menghela napas panjang dan melirik pada papanya. “Namanya pengantin, mau pertama kali atau ke
Pasya masih berada di ruang keluarga menemani Amanda, ketika sebuah suara membuatnya tertegun dan menoleh ke arah sumber suara itu.“Assalamualaikum.”“Wa’ alaikumsalam,” sahut Amanda dan Pasya secara bersamaan.“Wah, tamu jauh ini yang datang. Sini duduk, Kia,” sapa Amanda dengan senyum mengembang di bibirnya.“Apa kabar, Tante? Ini aku bawain kado untuk Ayesha. Semoga suka.” Saskia berkata sambil meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja. Setelahnya, dia mengecup pipi Amanda karena tangan wanita paruh baya itu sedang memegang botol susu.“Yesha, ada Tante Kia datang. Dia bawa kado untuk kamu tuh,” bisik Amanda pada cucunya yang sedang asyik menyusu.Ayesha seketika menghentikan aktivitasnya menyusu, dan sontak menoleh ke arah Saskia yang kini sudah duduk di sebelah Amanda. Bayi itu seolah tahu kalau wanita yang ada di sebelah neneknya, adalah wanita yang sedang dekat dengan papanya. Setelah itu, Ayesha kembali lagi menyusu.“Kamu tadi berhenti menyusu sebentar karena mau men
Amanda yang dari tadi diam, kini merasa kesal juga dengan ucapan mantan besannya. Dia menatap Diah seraya berkata, “Bu, tolong jangan begitu. Pasya ini kan orang tuanya Ayesha. Ada mantan istri dan mantan suami. Tapi, nggak ada mantan anak dan mantan orang tua. Sekarang kondisi Irene sedang tak memungkinkan untuk mengasuh anak. Jadi sudah seharusnya Pasya mengambil alih. Apa salah seorang ayah mengasuh anaknya? Saya rasa nggak juga, Bu. Apalagi Ibu dan Bapak pernah datang ke rumah kami, untuk sekedar memberitahu kalau Irene hamil anaknya Pasya. Nah, sekarang kenapa dipersulit saat Pasya hendak mengasuh anaknya?”Hening. Tak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibir Diah maupun Seto. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar dari mulut keduanya.Akhirnya Seto mengeluarkan kata setelah sesaat terdiam.“Tapi, Pasya kan nggak setiap waktu ada di samping...siapa tadi nama cucuku?” ucap Seto dengan tatapan pada Amanda serta Pasya secara bergantian.“Ayesha,” sahut Pasya.“Iya, Ayesha. P
Pasya dan kedua orang tuanya kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuan mereka pertama kali adalah ke ruang bayi, di mana bayi Pasya berada.“Mama sudah nggak sabar mau melihat cucu Mama, Sya,” ucap Amanda dengan senyuman ketika di jarak beberapa meter dari posisi mereka saat ini, sudah terlihat ruangan bayi.“Iya, tapi Mama untuk sementara ini hanya bisa melihat Ayesha dari balik kaca saja. Bantu doanya ya, Ma, supaya bayiku bisa segera keluar dari inkubator. Jadi kita bisa menggendongnya nanti,” sahut Pasya, yang diangguki oleh Amanda.“Tentu dong, Sayang. Kamu nggak minta pun, Mama sudah pasti akan mendoakan cucu Mama,” sahut Amanda masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Tak lama, langkah mereka terhenti di depan ruang bayi. Amanda dan Haikal yang ingin melihat cucu mereka, segera menghampiri suster jaga.“Sus, kami ingin melihat cucu kami yang baru lahir kemarin, boleh kan?” ucap Amanda dengan nada suara memohon.Suster itu terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya