Aku menerima ponsel Siska dengan tangan bergetar. Aku tahu ada sesuatu yang tak beres di pesan itu. Dari raut wajahnya, Siska tampak sangat marah. Entah marah pada siapa? Bisa pada orang si pengirim pesan, atau bisa juga padaku.Kedua mataku membola dan mulutku pun terbuka sempurna ketika membaca pesan tersebut yang ternyata dari Ridwan. Aku menghela napas panjang dan mengembalikan ponsel pada pemiliknya.“Kenapa Mas Ridwan tahu nomor teleponku? Apa kamu yang memberitahunya?” tanya Siska dengan tatapan menyelidik. Aku tiba-tiba merasa bersalah dan menyesal telah memberikan nomor telepon Siska pada pria itu. Sungguh, aku tak mengira akan begini jadinya.Aku mengangguk seraya berkata, “Iya, Sis. Tapi, awalnya niatku baik. Aku juga nggak tahu tentang Mira. Sungguh, Sis. Aku dan Mas Haikal memang berencana menjodohkan kalian berdua, karena kalian kan sama-sama sendiri. Jadi apa salahnya kalian ini bersama membina rumah tangga yang harmonis. Aku dan Mas Haikal berpikir, kalau kita berempat
Mas Haikal akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon dari Ridwan. Suamiku rupanya mengaktifkan loud speaker di ponselnya, agar aku bisa ikut mendengarkan pembicaraan mereka.“Halo, Wan.”“Halo, Kal. Aku bisa minta tolong sama kamu?”“Apa itu?”“Tolong jadi perantara aku dong, agar bisa menghubungi Siska. Nomorku diblokir sama dia.” Terdengar suara Ridwan yang memelas di seberang sana. Membuatku merasa jijik mendengarnya. Bisa-bisanya dia masih berusaha mendekati Siska. Padahal sudah jelas di depan mata dia pasrah saja dilayani oleh si Mira. Menyebalkan sekali!“Wah, maaf kalau soal itu aku nggak bisa bantu. Amanda sudah cerita sama aku tentang adegan di ruang rawat kamu. Jadi menurutku sih, lebih baik kamu nggak usah ganggu Siska lagi. Kamu tetapkan hati untuk adik ipar kamu itu. Di masyarakat kita kan masih banyak itu yang namanya turun ranjang, atau naik ranjang. Ya, kamu lakoni saja sekarang peran kamu untuk turun ranjang. Kata istriku, adik ipar kamu cantik. Ya sudah,
Aku duduk di sebelah Siska. Sengaja aku tinggalkan sebentar para tamu yang mulai berdatangan. Acara pengajian akan dimulai lima belas menit lagi. Jadi masih bisa aku berbicara sebentar pada Siska.“Sis, aku sudah tanya Mas Haikal. Dia nggak mengundang Ridwan datang kemari kok. Tapi, Mas Haikal sebelumnya pasang status seperti ini.” Aku mengangsurkan ponsel suamiku pada Siska, agar dia bisa membaca status Mas Haikal di aplikasi pesan berwarna hijau itu.Siska membaca status yang dibuat suamiku. Dia menghela napas panjang seraya mengembalikan ponsel Mas Haikal padaku.“Ya sudah lah, Manda. Mau bagaimana lagi? Semua sudah terlanjur juga. Mas Haikal memang nggak berencana mengundang dia. Si Mas Ridwan saja yang langsung gerak cepat kemari. Aku duduk di sini saja kalau begitu ya, bersama saudara-saudara kamu. Aku malas ketemu sama dia soalnya,” ucap Siska yang langsung aku setujui.Setelah itu, aku kembali ke ruang tamu. Membaur bersama ibu-ibu pengajian, dan juga ibu mertua serta mamaku.
Aku tersentak ketika Ridwan tiba-tiba saja ada di sampingku. Dia rupanya berdiri dari posisinya duduk di atas karpet.“Ah, aku tersenyum pada sepupuku yang berjalan menuju gerbang bersama suaminya. Apa ada yang salah, Mas Ridwan?” elakku dengan menyunggingkan senyuman padanya.Aku melihat sorot tak percaya di mata Ridwan. Tiba-tiba dia berjalan keluar dengan tatapan ke arah gerbang. Memastikan kebenaran ucapanku. Aku yang melihat Siska masih berjalan ke arah sana, lantas panik. Khawatir kalau Ridwan akan nekat mengejar Siska ke sana. Tanpa pikir panjang, aku mencekal lengan Ridwan. Berusaha menahan pria itu agar tetap di dalam rumah. Setidaknya sampai Siska masuk ke dalam mobil Andi.“Lepaskan tanganku, Amanda! Kamu sengaja mencekal tanganku supaya aku nggak keluar, iya? Ternyata kamu sengaja menahan aku di sini agar Siska bisa pergi tanpa sepengetahuanku, begitu?”“Aku hanya ingin membantu temanku, Mas. Tolong pahami kalau Siska nggak mau didekati oleh kamu. Sudahlah, biarkan dia sen
Aku tersadar dan mendapati berada di dalam ruangan yang serba putih. Aku juga menghidu aroma obat-obatan. Aku mengerjapkan mata, sekedar memastikan apakah ini nyata ataukah ada di alam mimpi? Tanpa sadar tanganku bergerak ke samping. Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu yang kokoh. Aku menoleh ke arah benda itu, yang ternyata adalah lengan kekar Mas Haikal. Ternyata aku sedang tak bermimpi.Aku melihat suamiku yang tengah merebahkan kepalanya di tepi ranjang perawatan, dengan lengannya dia gunakan sebagai bantal. Suamiku tertidur rupanya.“Mas,” panggilku dengan suara pelan.Mas Haikal tak mendengarku. Dia tertidur pulas. Pasti lelah setelah menunggui aku yang tak sadarkan diri, entah sudah berapa lama. Aku lalu meraba perutku yang sudah tak membuncit lagi. Ah, anakku sudah lahir rupanya. Tapi, bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja? Atau....ah, tidak. Aku tak mau membayangkan hal yang buruk. Anakku baik-baik saja, dan sekarang ada di ruang bayi sedang mendapatkan perawatan kare
“Selamat ya, Amanda. Tadi kami sudah ke ruang rawat kamu, tapi kata suster kalau kamu dan suami sedang ke ruang bayi. Jadi kami menyusul kemari.”Seorang wanita yang sekarang ada di hadapanku dan Mas Haikal, dan bicara cukup panjang adalah Mira. Di sebelahnya, berdiri seorang wanita paruh baya yang belum pernah kujumpai sebelumnya.“Haikal, masih ingat sama Tante, kan?” ucap wanita paruh baya itu.“Iya, saya masih ingat. Tante kan dulu tetangganya ibu saya. Tante ini ibunya Ridwan, iya kan?” sahut Mas Haikal yang membuatku sedikit mengangguk, karena tebakanku ternyata benar.“Bisa kita bicara sebentar? Mungkin di ruang rawat Amanda. Biar lebih terjaga privasinya, bagaimana?” ujar ibunya Ridwan dengan senyuman dan tatapan yang terarah pada aku dan Mas Haikal.Aku dan Mas Haikal saling tatap, seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata kami. Aku akhirnya mengangguk dan tersenyum pada suamiku. Kode untuk setuju pada permintaan ibunya Ridwan. Aku penasaran dengan yang akan wanita itu uc
Aku menatap suamiku seraya berkata, “Menurut Mas Haikal sendiri, bagaimana enaknya?”Suamiku tertawa geli sambil mencolek pipiku yang kini lebih berisi, efek dari kehamilan sebelumnya.“Memangnya makanan, enak. Aku tanya kamu karena kamu yang mengalaminya, Sayang. Kalau kamu tanya aku, pasti jawabannya aku mau Ridwan dihukum karena perbuatannya itu membuat kamu kesakitan. Hana sekarang belum bisa kamu gendong karena masih berada di inkubator.”“Tapi, dia nggak sengaja lho, Mas. Beda seperti Melvin dulu yang memang ingin menghabisi kamu,” sahutku yang tiba-tiba merasa iba juga pada Ridwan, karena aku tahu pasti kalau aku terjatuh bukan Ridwan sengaja mendorongku.“Terus mau kamu bagaimana? Memaafkan dia?” tanya suamiku memastikan.Aku mengangguk lemah. “Sepertinya begitu, Mas. Nggak baik juga menanam kebencian di hati. Lebih enak hidup dalam damai. Lagi pula kita sebelumnya nggak punya masalah apa-apa kan dengan Ridwan dan keluarganya. Jangan sampai masalah ini menciptakan bibit permus
Kedua orang tua Ridwan akhirnya menganggukkan kepalanya, setuju dengan syarat yang suamiku ajukan.“Baik, kami setuju. Jadi enaknya bagaimana ini, Haikal. Kami memberi sekarang uang ini, atau menunggu total pembayarannya?” tanya ayahnya Ridwan dengan bibir yang bergetar.“Terserah Om saja, enaknya bagaimana? Mau dicicil sekarang sesuai dengan nominal itu, boleh. Mau sekalian nanti juga nggak apa-apa,” sahut Mas Haikal.“Kami perlihatkan dulu tagihan ini pada Ridwan. Ada yang perlu kami bicarakan padanya. Jujur, kami ingin membantu Ridwan, tapi kami juga sedang kesulitan keuangan saat ini. Makanya kami perlu diskusi dulu sama dia,” timpal ibunya Ridwan.Suamiku mengangguk, dan menatap kedua orang tua paruh baya itu secara bergantian.“Om dan Tante. Saya ke kantor polisi untuk mencabut gugatan itu setelah ada perjanjian tertulis di atas materai, bahwa Ridwan bersedia menanggung semua biaya rumah sakit. Sebelum itu, saya tak akan bereaksi ya, Om, Tante,” ucap suamiku.“Iya, Haikal. Om pa