Aku menatap suamiku seraya berkata, “Menurut Mas Haikal sendiri, bagaimana enaknya?”Suamiku tertawa geli sambil mencolek pipiku yang kini lebih berisi, efek dari kehamilan sebelumnya.“Memangnya makanan, enak. Aku tanya kamu karena kamu yang mengalaminya, Sayang. Kalau kamu tanya aku, pasti jawabannya aku mau Ridwan dihukum karena perbuatannya itu membuat kamu kesakitan. Hana sekarang belum bisa kamu gendong karena masih berada di inkubator.”“Tapi, dia nggak sengaja lho, Mas. Beda seperti Melvin dulu yang memang ingin menghabisi kamu,” sahutku yang tiba-tiba merasa iba juga pada Ridwan, karena aku tahu pasti kalau aku terjatuh bukan Ridwan sengaja mendorongku.“Terus mau kamu bagaimana? Memaafkan dia?” tanya suamiku memastikan.Aku mengangguk lemah. “Sepertinya begitu, Mas. Nggak baik juga menanam kebencian di hati. Lebih enak hidup dalam damai. Lagi pula kita sebelumnya nggak punya masalah apa-apa kan dengan Ridwan dan keluarganya. Jangan sampai masalah ini menciptakan bibit permus
Kedua orang tua Ridwan akhirnya menganggukkan kepalanya, setuju dengan syarat yang suamiku ajukan.“Baik, kami setuju. Jadi enaknya bagaimana ini, Haikal. Kami memberi sekarang uang ini, atau menunggu total pembayarannya?” tanya ayahnya Ridwan dengan bibir yang bergetar.“Terserah Om saja, enaknya bagaimana? Mau dicicil sekarang sesuai dengan nominal itu, boleh. Mau sekalian nanti juga nggak apa-apa,” sahut Mas Haikal.“Kami perlihatkan dulu tagihan ini pada Ridwan. Ada yang perlu kami bicarakan padanya. Jujur, kami ingin membantu Ridwan, tapi kami juga sedang kesulitan keuangan saat ini. Makanya kami perlu diskusi dulu sama dia,” timpal ibunya Ridwan.Suamiku mengangguk, dan menatap kedua orang tua paruh baya itu secara bergantian.“Om dan Tante. Saya ke kantor polisi untuk mencabut gugatan itu setelah ada perjanjian tertulis di atas materai, bahwa Ridwan bersedia menanggung semua biaya rumah sakit. Sebelum itu, saya tak akan bereaksi ya, Om, Tante,” ucap suamiku.“Iya, Haikal. Om pa
Aku tersenyum dan mengangguk pada Mira yang berdiri sambil memilin jemarinya. Heran juga aku dibuatnya. Kenapa juga dia seperti itu? Memangnya aku seperti akan menggigitnya, sehingga dia sepertinya takut padaku.“Ayo, kita ke kamarku sekarang!” ajakku yang dia angguki. “Kamu sendirian saja kemari?”Aku melihat ke sekitar, tak ada satu orang pun yang datang bersama Mira.“Iya, Mbak. Aku memang sengaja datang kemari. Aku ijin nggak masuk ke kantor karena memang ada perlu sama Mbak Amanda,” sahutnya dengan senyuman canggung yang terbit dari bibirnya.Ternyata Mira seorang wanita karir. Oke lah kalau begitu. Setidaknya memang dia menang banyak di mata orang tua Ridwan, dibandingkan dengan Siska. Sepertinya orang tua Ridwan sudah mantap memilih Mira. Seorang wanita muda yang cantik, masih gadis, sarjana dan wanita karir pula. Tapi, semuanya itu tak cukup di mata seorang Ridwan, karena pria itu masih bersikeras mengejar sang mantan. Ridwan masih mengejar Siska yang berstatus janda, lulusan
Aku sangat senang karena sahabatku, Haikal, bersedia berdamai denganku. Aku pikir dia akan membenciku seumur hidup, karena ulah tak sengajaku pada istrinya. Kedua orang tuaku sudah menyampaikan padaku kalau Amanda dan bayinya dalam keadaan baik-baik saja, meskipun bayi Amanda harus berada di inkubator karena lahir prematur.Aku menyanggupi syarat yang diminta Haikal agar dia mencabut tuntutannya pada diri ini. Aku tak masalah untuk membayar tagihan rumah sakit yang nominalnya sangat fantastis. Baru tiga hari Amanda dan bayinya dirawat di rumah sakit, tagihannya sudah mencapai lima ratus juta. Bagaimana sampai mereka keluar dari rumah sakit? Entah berapa totalnya? Mengingat rumah sakit tempat Amanda dan bayinya dirawat, adalah rumah sakit elite. Untuk Amanda sendiri yang menjalani operasi caesar, biasanya paling cepat lima hari baru diperbolehkan pulang oleh dokter. Sedangkan untuk bayi mereka, baru boleh keluar dari inkubator dan dibawa pulang setelah berat badannya normal. Entah kapa
Haikal telah membuatku mati kutu. Aku sangat malu saat ini. Apalagi Amanda juga memperhatikan diri ini dengan tatapan menyelidik. Aku seperti seorang terdakwa yang sedang berada di kursi pesakitan peradilan. Kulirik Mira yang masih menundukkan wajahnya.“Mir, sebaiknya kita bicarakan di rumah. Ini masalah pribadi kita, jadi jangan membahas di sini. Nggak enak dong masalah pribadi diumbar di depan orang lain,” ucapku dengan tangan yang terulur ke pundaknya. Kuusap pundak Mira hingga ke punggungnya.“Nggak apa-apa di sini saja kita bahas dan selesaikan, Mas. Soalnya kalau nggak begini, kamu tetap saja mengejar perempuan itu, iya kan?” sahut Mira tanpa mau menatapku.Deg.Aduh, si Mira ini benar-benar deh. Masak mau selesaikan masalah di depan Haikal dan Amanda sih. Biarpun aku mengenal Haikal, tetap saja malu dong. Tapi, Mira tetap pada pendiriannya sehingga mau tak mau aku menurutinya.“Ya sudah sekarang mau kamu gimana, Mir?” tanyaku lembut, berusaha membuat hatinya tenang.“Aku mau k
Aku tersentak mendengar suara Mira yang cukup lantang. Apalagi dia mulai menangis lagi sambil memukuli bahuku.“Kamu tega sekali sih, Mas. Di depanku ini kamu sanggup mengucapkan nama perempuan itu. Kamu jahat! Kalau kamu sudah memutuskan untuk menikahi aku, lupakan dia dong. Aku nggak mau ada nama perempuan lain di hati kamu. Nggak enak tahu, Mas, kalau hati kamu ini berisi dua orang perempuan. Sesak rasanya. Bayangkan saja kalau ruangan yang harusnya nyaman diisi oleh dua orang, tapi ternyata ada satu orang lagi yang ikut menempati ruangan itu. Sempit kan rasanya ruangan itu kalau diisi oleh tiga orang sekaligus. Begitu juga dengan hati kamu,” ucap Mira yang membuat aku tertegun. Ternyata dia bisa juga memberikan perumpamaan hatiku dengan suatu ruangan. Ajaib memang si Mira ini.“Mir, tenang dulu dong. Aku tadi sempat melihat Siska melintas di tempat penyeberangan itu. Dia berjalan santai di sana. Aku spontan saja menyebutkan namanya karena terkejut,” sahutku beralasan karena memang
Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala pada Mira. Aku sentuh pipinya yang mulus dan kuhapus sisa air mata yang masih ada di sana.“Kita masuk ke dalam dan ngomong sama orang tua kamu, ya,” ucapku berbisik.“Tapi, Mas nggak merasa terbebani kan menikahi aku?” sahutnya memastikan diri ini. Lucu juga kalau dia mengajukan pertanyaan seperti itu, di saat aku sudah memutuskan memilih dia. Meski sekeping hati masih tertinggal di palung hatiku.“Apa aku terlihat seperti terbebani?” ucapku balas bertanya padanya.“Sepertinya sih nggak. Cuma aku kan nggak tahu isi hatinya Mas Ridwan,” sahutnya lirih.Aku iba juga melihatnya. Memang belum ada cinta di hatiku untuk Mira pada saat ini. Namun, aku yang sudah memutuskan memilih dia, berusaha membuka hati untuknya mulai saat ini. Lagi pula, Mira sudah menyerahkan miliknya yang paling berharga padaku. Jadi sudah sewajarnya aku menerimanya, bukan. Sehingga, aku dekatkan wajahku ke wajahnya dan kucium pipinya dengan lembut. Dia tersentak dengan perla
Aku bergegas menghampiri Siska. Begitu juga dengan sopir taksi, yang mengangkat motor Siska dan membawanya ke pinggir jalan. Sementara beberapa orang yang melintas, ada yang berhenti dan melihat kejadian ini. Ada beberapa orang yang membantu, dan ada juga yang hanya menonton.“Pak, tolong dicek dulu motornya. Apakah ada kerusakan parah? Kebetulan itu ada bengkel. Kalau ada kerusakan parah, dibawa ke sana saja. Nanti saya yang urus biayanya. Teman saya ini, saya naikkan ke mobil ya, Pak. Setelahnya, antar saya ke rumah sakit terdekat.” Aku menitah pada sopir taksi itu. Pria itu menganggukkan kepalanya dan segera menuruti apa yang aku katakan tadi. Mungkin dirinya juga merasa bersalah karena motor Siska terserempet dengan mobilnya. Tapi, entahlah bagaimana kejadian yang sebenarnya karena aku tadi tak melihat, aku sedang memejamkan mata.“Pak, setang motornya bengkok. Kaca spionnya juga pecah. Terus lampu depannya juga pecah. Apa ditaruh di bengkel itu?” katanya dengan wajah gusar. “Oh i
Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Tak lama, Saskia datang sambil menggendong Ayesha. Dia tampak sedang mengajak bercanda Ayesha sambil berjalan menuju sofa tempat Irene duduk.“Nah, ini ada mama, Sayang. Yesha sekarang dipangku sama mama, ya,” ucap Saskia dengan suara lembut.Ayesha yang sebelumnya tertawa, tiba-tiba merengek ketika Saskia meletakkannya di atas pangkuan Irene. Dia juga berpegangan pada blus Saskia, kode kalau dia tak ingin dilepaskan dari pelukan Saskia.“Ayesha, Sayang. Ini Mama, Nak. Mama kangen sama kamu. Semenjak kamu lahir, Mama belum peluk kamu,” ucap Irene lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca, karena sedih mendapat penolakan dari anak kandungnya sendiri.Pasya yang melihat itu pun jadi tak tega. Dia membantu membujuk Ayesha.“Yesha...ayo, mau ya dipangku sama mama. Nanti mimik susu lagi sama mama,” ucap Pasya, yang membuat Saskia serta Irene kompak menoleh padanya.‘Mas Pasya kenapa ngomongnya soal menyusu sih? Apa memang itu yang sekarang ada di kepalanya. Mentang-mentang Irene
Saskia lalu beringsut menjauhi suaminya dengan wajah tertekuk. Dia mendadak diam seribu bahasa.Pasya yang mengetahui perubahan sang istri, lantas tersenyum dan meraih tangan Saskia.“Cemburu?” tanya Pasya dengan tatapan menggoda.Hening.Saskia sepertinya malas memberi tanggapan. Dia malah sibuk merapatkan selimut di tubuh Ayesha, yang terbaring di sebelahnya duduk.“Irene sudah pulih dari koma, Kia. Dia menanyakan tentang bayinya. Tadi papanya telepon saat kita masih di bandara. Kamu sedang sibuk sendiri dengan Ayesha, makanya nggak tahu kalau aku menerima telepon dari mantan mertua,” jelas Pasya dengan nada lembut.Saskia sontak menatap sang suami. “Irene mau mengambil Ayesha ya, Mas?”Pasya mengangguk seraya berkata, “Iya, Sayang. Dia kan ibunya. Dia juga taruhan nyawa saat melahirkan Ayesha. Lagi pula aku dan Irene sudah berkomitmen untuk mengasuh anak kami, meski di tempat yang berbeda.”Saskia tampak muram. Meskipun dia hanya sebatas ibu sambung, namun dia sangat menyayangi Aye
“Pa, kok diam saja?” tanya Irene lagi dengan nada mendesak.“Eh, kamu kan masih harus banyak istirahat, Ren. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya, ya,” sahut Seto sedikit gugup. Membuat Irene curiga.“Pa, Ma, sebenarnya ini ada apa sih? Kok aku merasa kalau Mama dan Papa sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ngomong saja sih terus terang. Ada apa?” desak Irene dengan wajah memelas.Seto dan Diah saling tatap. Mereka seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata. Hingga akhirnya Diah menganggukkan kepalanya pada sang suami.“Ren, kamu kan baru saja pulih dari koma. Lebih baik nanti saja Papa beritahunya. Papa khawatir kalau nanti kamu...” Seto menghentikan kata-katanya ketika Irene menyela ucapannya.“Ini ada hubungannya dengan Ayesha dan Mas Pasya? Kalau iya, nggak apa katakan saja sekarang. Aku merasa sudah lebih baik kok sekarang, Pa,” ucap Irene yakin.“Ya sudah, kamu kasih tahu saja sekarang, Mas,” timpal Diah.Seto mengangguk. Dia lalu menatap wajah cantik Irene yang terliha
Kini kedua bola mata Irene mulai membuka secara perlahan. Tatapan wanita itu menyisir ke sekitarnya.“Selamat malam, Bu Irene,” sapa dokter dengan suara perlahan. Pria itu memperhatikan setiap respons pasiennya, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan Irene.“Ma-malam,” sahut Irene lirih dan terbata.“Ibu baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama empat bulan lamanya. Selamat datang, Bu Irene. Semoga kondisi Ibu semakin membaik,” ucap dokter dengan senyuman.“S-saya ta-tak s-sadar kan di-ri s-selama em-pat bu-lan?” sahut Irene masih dengan suara terbata-bata.“Iya dan alhamdulillah, sekarang Ibu sudah melewati masa kritis. Tapi, setelah ini tolong jangan banyak bicara dulu. Ibu istirahat dulu yang cukup supaya kesehatannya lekas pulih,” ucap dokter, yang diangguki oleh Irene.Setelah selesai memeriksa Irene, dokter lalu mengalihkan tatapan pada suster. “Sus, satu jam lagi kalau nggak ada keluhan dari pasien, silakan pasiennya dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritisnya sud
Empat bulan berlalu, kini saatnya pernikahan Pasya dan Saskia digelar. Acara akad nikah dilangsungkan di kediaman orang tua Saskia. Sedangkan resepsinya nanti akan dirayakan di salah satu hotel berbintang lima.Saskia tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih dan kain jarik coklat tua. Wajah Saskia dipoles dengan riasan yang natural, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.Sedangkan Pasya sendiri tampil gagah dengan setelan jas warna hitam dan kemeja putih, lengkap lengan peci hitamnya. Pasya juga sudah menyiapkan mahar berupa satu set perhiasan emas berhiaskan berlian. Meski ini bukan yang pertama, tapi tetap saja Pasya merasa gugup. Hal itu diketahui Haikal.Haikal berpindah duduknya di sebelah anak sulungnya. Mumpung Saskia belum tiba di ruangan itu. Begitu menurut pemikiran Haikal.“Sya, tenang saja kenapa sih. Jangan gugup begitu! Kayak yang baru pertama kali saja,” bisik Haikal.Pasya menghela napas panjang dan melirik pada papanya. “Namanya pengantin, mau pertama kali atau ke
Pasya masih berada di ruang keluarga menemani Amanda, ketika sebuah suara membuatnya tertegun dan menoleh ke arah sumber suara itu.“Assalamualaikum.”“Wa’ alaikumsalam,” sahut Amanda dan Pasya secara bersamaan.“Wah, tamu jauh ini yang datang. Sini duduk, Kia,” sapa Amanda dengan senyum mengembang di bibirnya.“Apa kabar, Tante? Ini aku bawain kado untuk Ayesha. Semoga suka.” Saskia berkata sambil meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja. Setelahnya, dia mengecup pipi Amanda karena tangan wanita paruh baya itu sedang memegang botol susu.“Yesha, ada Tante Kia datang. Dia bawa kado untuk kamu tuh,” bisik Amanda pada cucunya yang sedang asyik menyusu.Ayesha seketika menghentikan aktivitasnya menyusu, dan sontak menoleh ke arah Saskia yang kini sudah duduk di sebelah Amanda. Bayi itu seolah tahu kalau wanita yang ada di sebelah neneknya, adalah wanita yang sedang dekat dengan papanya. Setelah itu, Ayesha kembali lagi menyusu.“Kamu tadi berhenti menyusu sebentar karena mau men
Amanda yang dari tadi diam, kini merasa kesal juga dengan ucapan mantan besannya. Dia menatap Diah seraya berkata, “Bu, tolong jangan begitu. Pasya ini kan orang tuanya Ayesha. Ada mantan istri dan mantan suami. Tapi, nggak ada mantan anak dan mantan orang tua. Sekarang kondisi Irene sedang tak memungkinkan untuk mengasuh anak. Jadi sudah seharusnya Pasya mengambil alih. Apa salah seorang ayah mengasuh anaknya? Saya rasa nggak juga, Bu. Apalagi Ibu dan Bapak pernah datang ke rumah kami, untuk sekedar memberitahu kalau Irene hamil anaknya Pasya. Nah, sekarang kenapa dipersulit saat Pasya hendak mengasuh anaknya?”Hening. Tak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibir Diah maupun Seto. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar dari mulut keduanya.Akhirnya Seto mengeluarkan kata setelah sesaat terdiam.“Tapi, Pasya kan nggak setiap waktu ada di samping...siapa tadi nama cucuku?” ucap Seto dengan tatapan pada Amanda serta Pasya secara bergantian.“Ayesha,” sahut Pasya.“Iya, Ayesha. P
Pasya dan kedua orang tuanya kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuan mereka pertama kali adalah ke ruang bayi, di mana bayi Pasya berada.“Mama sudah nggak sabar mau melihat cucu Mama, Sya,” ucap Amanda dengan senyuman ketika di jarak beberapa meter dari posisi mereka saat ini, sudah terlihat ruangan bayi.“Iya, tapi Mama untuk sementara ini hanya bisa melihat Ayesha dari balik kaca saja. Bantu doanya ya, Ma, supaya bayiku bisa segera keluar dari inkubator. Jadi kita bisa menggendongnya nanti,” sahut Pasya, yang diangguki oleh Amanda.“Tentu dong, Sayang. Kamu nggak minta pun, Mama sudah pasti akan mendoakan cucu Mama,” sahut Amanda masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Tak lama, langkah mereka terhenti di depan ruang bayi. Amanda dan Haikal yang ingin melihat cucu mereka, segera menghampiri suster jaga.“Sus, kami ingin melihat cucu kami yang baru lahir kemarin, boleh kan?” ucap Amanda dengan nada suara memohon.Suster itu terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya