Aku sangat senang karena sahabatku, Haikal, bersedia berdamai denganku. Aku pikir dia akan membenciku seumur hidup, karena ulah tak sengajaku pada istrinya. Kedua orang tuaku sudah menyampaikan padaku kalau Amanda dan bayinya dalam keadaan baik-baik saja, meskipun bayi Amanda harus berada di inkubator karena lahir prematur.Aku menyanggupi syarat yang diminta Haikal agar dia mencabut tuntutannya pada diri ini. Aku tak masalah untuk membayar tagihan rumah sakit yang nominalnya sangat fantastis. Baru tiga hari Amanda dan bayinya dirawat di rumah sakit, tagihannya sudah mencapai lima ratus juta. Bagaimana sampai mereka keluar dari rumah sakit? Entah berapa totalnya? Mengingat rumah sakit tempat Amanda dan bayinya dirawat, adalah rumah sakit elite. Untuk Amanda sendiri yang menjalani operasi caesar, biasanya paling cepat lima hari baru diperbolehkan pulang oleh dokter. Sedangkan untuk bayi mereka, baru boleh keluar dari inkubator dan dibawa pulang setelah berat badannya normal. Entah kapa
Haikal telah membuatku mati kutu. Aku sangat malu saat ini. Apalagi Amanda juga memperhatikan diri ini dengan tatapan menyelidik. Aku seperti seorang terdakwa yang sedang berada di kursi pesakitan peradilan. Kulirik Mira yang masih menundukkan wajahnya.“Mir, sebaiknya kita bicarakan di rumah. Ini masalah pribadi kita, jadi jangan membahas di sini. Nggak enak dong masalah pribadi diumbar di depan orang lain,” ucapku dengan tangan yang terulur ke pundaknya. Kuusap pundak Mira hingga ke punggungnya.“Nggak apa-apa di sini saja kita bahas dan selesaikan, Mas. Soalnya kalau nggak begini, kamu tetap saja mengejar perempuan itu, iya kan?” sahut Mira tanpa mau menatapku.Deg.Aduh, si Mira ini benar-benar deh. Masak mau selesaikan masalah di depan Haikal dan Amanda sih. Biarpun aku mengenal Haikal, tetap saja malu dong. Tapi, Mira tetap pada pendiriannya sehingga mau tak mau aku menurutinya.“Ya sudah sekarang mau kamu gimana, Mir?” tanyaku lembut, berusaha membuat hatinya tenang.“Aku mau k
Aku tersentak mendengar suara Mira yang cukup lantang. Apalagi dia mulai menangis lagi sambil memukuli bahuku.“Kamu tega sekali sih, Mas. Di depanku ini kamu sanggup mengucapkan nama perempuan itu. Kamu jahat! Kalau kamu sudah memutuskan untuk menikahi aku, lupakan dia dong. Aku nggak mau ada nama perempuan lain di hati kamu. Nggak enak tahu, Mas, kalau hati kamu ini berisi dua orang perempuan. Sesak rasanya. Bayangkan saja kalau ruangan yang harusnya nyaman diisi oleh dua orang, tapi ternyata ada satu orang lagi yang ikut menempati ruangan itu. Sempit kan rasanya ruangan itu kalau diisi oleh tiga orang sekaligus. Begitu juga dengan hati kamu,” ucap Mira yang membuat aku tertegun. Ternyata dia bisa juga memberikan perumpamaan hatiku dengan suatu ruangan. Ajaib memang si Mira ini.“Mir, tenang dulu dong. Aku tadi sempat melihat Siska melintas di tempat penyeberangan itu. Dia berjalan santai di sana. Aku spontan saja menyebutkan namanya karena terkejut,” sahutku beralasan karena memang
Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala pada Mira. Aku sentuh pipinya yang mulus dan kuhapus sisa air mata yang masih ada di sana.“Kita masuk ke dalam dan ngomong sama orang tua kamu, ya,” ucapku berbisik.“Tapi, Mas nggak merasa terbebani kan menikahi aku?” sahutnya memastikan diri ini. Lucu juga kalau dia mengajukan pertanyaan seperti itu, di saat aku sudah memutuskan memilih dia. Meski sekeping hati masih tertinggal di palung hatiku.“Apa aku terlihat seperti terbebani?” ucapku balas bertanya padanya.“Sepertinya sih nggak. Cuma aku kan nggak tahu isi hatinya Mas Ridwan,” sahutnya lirih.Aku iba juga melihatnya. Memang belum ada cinta di hatiku untuk Mira pada saat ini. Namun, aku yang sudah memutuskan memilih dia, berusaha membuka hati untuknya mulai saat ini. Lagi pula, Mira sudah menyerahkan miliknya yang paling berharga padaku. Jadi sudah sewajarnya aku menerimanya, bukan. Sehingga, aku dekatkan wajahku ke wajahnya dan kucium pipinya dengan lembut. Dia tersentak dengan perla
Aku bergegas menghampiri Siska. Begitu juga dengan sopir taksi, yang mengangkat motor Siska dan membawanya ke pinggir jalan. Sementara beberapa orang yang melintas, ada yang berhenti dan melihat kejadian ini. Ada beberapa orang yang membantu, dan ada juga yang hanya menonton.“Pak, tolong dicek dulu motornya. Apakah ada kerusakan parah? Kebetulan itu ada bengkel. Kalau ada kerusakan parah, dibawa ke sana saja. Nanti saya yang urus biayanya. Teman saya ini, saya naikkan ke mobil ya, Pak. Setelahnya, antar saya ke rumah sakit terdekat.” Aku menitah pada sopir taksi itu. Pria itu menganggukkan kepalanya dan segera menuruti apa yang aku katakan tadi. Mungkin dirinya juga merasa bersalah karena motor Siska terserempet dengan mobilnya. Tapi, entahlah bagaimana kejadian yang sebenarnya karena aku tadi tak melihat, aku sedang memejamkan mata.“Pak, setang motornya bengkok. Kaca spionnya juga pecah. Terus lampu depannya juga pecah. Apa ditaruh di bengkel itu?” katanya dengan wajah gusar. “Oh i
Aku akhirnya membawa pulang Siska dengan memesan taksi online kembali. Sepanjang perjalanan, kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba Siska mengeluarkan suaranya, memecah keheningan di antara kami.“Oh iya, motorku ke mana, Mas?” tanya Siska dengan suara cemas. Sebelumnya Siska memang tak tahu tentang motornya. Saat aku berbincang dengan sopir taksi tadi, Siska kurang menyimak karena masih syok dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya.“Aku taruh di bengkel yang ada di dekat lokasi kecelakaan tadi, Sis. Kamu tenang saja. Biar aku yang mengurus semuanya. Kamu setelah tiba di rumah, harus istirahat. Dagang mpek-mpeknya ditunda dulu saja, ya. Pentingkan kesehatan kamu dulu,” sahutku dengan senyuman.“Tapi, apa nggak usah repot-repot, Mas. Biar nanti adikku yang mengurus semuanya setelah dia pulang kuliah nanti. Bisa aku minta bon dari bengkel itu?”Aku sontak menggeleng. Tentu saja aku menolaknya karena kalau aku serahkan bon itu, maka hilang harapanku unt
Aku terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku, Nindi dan Tedi sudah menikah. Selisih usia mereka denganku cukup jauh memang. Kakak pertamaku, Nindi, terpaut enam tahun denganku. Sedangkan Tedi, terpaut empat tahun denganku. Jadi wajar saja kalau aku tumbuh menjadi seorang gadis yang manja, karena limpahan kasih sayang dari orang tua dan kedua kakakku.Ketika Mbak Nindi menikah dengan Mas Ridwan yang seorang dokter, aku saat itu berusia tujuh belas tahun, dan sedang mekar-mekarnya sebagai seorang gadis. Aku diam-diam mengagumi ketampanan Mas Ridwan, dan berkhayal kalau suatu saat bisa mendapatkan jodoh seperti dirinya. Kalau ada yang bilang aku terobsesi dengan kakak ipar, itu tidak benar. Aku tak mungkin menginginkan suami kakak kandungku sendiri. Aku hanya berharap bertemu dan akhirnya menikah dengan orang yang seperti dirinya. Aku melihat Mas Ridwan sangat cinta dan sayang pada Mbak Nindi. Itu yang aku inginkan dari jodohku kelak.Suatu hari, aku dan keluarga
Aksi pertama yang aku lakukan adalah dengan menyebutkan diri ini sebagai calon istri Mas Ridwan. Tak salah, iya kan? Aku memang calon istri dokter spesialis THT yang sedang terbaring tak berdaya, karena musibah yang menimpanya. Kedua keluarga sudah setuju, dan aku sudah menyerahkan diriku padanya. Apa lagi coba yang kurang untuk mengukuhkan diri ini sebagai calon istrinya?Aku mengulum senyum kala kedua wanita itu terkejut, terutama si wanita yang tak hamil. Benar dugaanku, kalau ada sesuatu di antara dia dan Mas Ridwan. Aku melirik Mas Ridwan, yang berdecak pelan kala aku memperkenalkan diri ini sebagai calon istrinya. Jangan kamu anggap remeh aku ya, Mas. Aku tak mau pengorbananku sia-sia. Aku dan kamu harus menikah!“Kalau begitu, kami tunggu undangannya nanti, ya,” sahut si wanita hamil itu cepat. Wanita hamil yang bernama Amanda itu, tersenyum menatapku dan Mas Ridwan bergantian.Aku tersenyum sedangkan Mas Ridwan tampak salah tingkah. Aku perhatikan juga temannya si Amanda itu j