Aku akhirnya membawa pulang Siska dengan memesan taksi online kembali. Sepanjang perjalanan, kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba Siska mengeluarkan suaranya, memecah keheningan di antara kami.“Oh iya, motorku ke mana, Mas?” tanya Siska dengan suara cemas. Sebelumnya Siska memang tak tahu tentang motornya. Saat aku berbincang dengan sopir taksi tadi, Siska kurang menyimak karena masih syok dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya.“Aku taruh di bengkel yang ada di dekat lokasi kecelakaan tadi, Sis. Kamu tenang saja. Biar aku yang mengurus semuanya. Kamu setelah tiba di rumah, harus istirahat. Dagang mpek-mpeknya ditunda dulu saja, ya. Pentingkan kesehatan kamu dulu,” sahutku dengan senyuman.“Tapi, apa nggak usah repot-repot, Mas. Biar nanti adikku yang mengurus semuanya setelah dia pulang kuliah nanti. Bisa aku minta bon dari bengkel itu?”Aku sontak menggeleng. Tentu saja aku menolaknya karena kalau aku serahkan bon itu, maka hilang harapanku unt
Aku terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku, Nindi dan Tedi sudah menikah. Selisih usia mereka denganku cukup jauh memang. Kakak pertamaku, Nindi, terpaut enam tahun denganku. Sedangkan Tedi, terpaut empat tahun denganku. Jadi wajar saja kalau aku tumbuh menjadi seorang gadis yang manja, karena limpahan kasih sayang dari orang tua dan kedua kakakku.Ketika Mbak Nindi menikah dengan Mas Ridwan yang seorang dokter, aku saat itu berusia tujuh belas tahun, dan sedang mekar-mekarnya sebagai seorang gadis. Aku diam-diam mengagumi ketampanan Mas Ridwan, dan berkhayal kalau suatu saat bisa mendapatkan jodoh seperti dirinya. Kalau ada yang bilang aku terobsesi dengan kakak ipar, itu tidak benar. Aku tak mungkin menginginkan suami kakak kandungku sendiri. Aku hanya berharap bertemu dan akhirnya menikah dengan orang yang seperti dirinya. Aku melihat Mas Ridwan sangat cinta dan sayang pada Mbak Nindi. Itu yang aku inginkan dari jodohku kelak.Suatu hari, aku dan keluarga
Aksi pertama yang aku lakukan adalah dengan menyebutkan diri ini sebagai calon istri Mas Ridwan. Tak salah, iya kan? Aku memang calon istri dokter spesialis THT yang sedang terbaring tak berdaya, karena musibah yang menimpanya. Kedua keluarga sudah setuju, dan aku sudah menyerahkan diriku padanya. Apa lagi coba yang kurang untuk mengukuhkan diri ini sebagai calon istrinya?Aku mengulum senyum kala kedua wanita itu terkejut, terutama si wanita yang tak hamil. Benar dugaanku, kalau ada sesuatu di antara dia dan Mas Ridwan. Aku melirik Mas Ridwan, yang berdecak pelan kala aku memperkenalkan diri ini sebagai calon istrinya. Jangan kamu anggap remeh aku ya, Mas. Aku tak mau pengorbananku sia-sia. Aku dan kamu harus menikah!“Kalau begitu, kami tunggu undangannya nanti, ya,” sahut si wanita hamil itu cepat. Wanita hamil yang bernama Amanda itu, tersenyum menatapku dan Mas Ridwan bergantian.Aku tersenyum sedangkan Mas Ridwan tampak salah tingkah. Aku perhatikan juga temannya si Amanda itu j
POV Amanda.Sore ini aku kedatangan Pasya dan kedua mertuaku. Rupanya hari ini giliran mertuaku yang menjaga cucunya setelah kemarin Pasya bersama mamaku. Kebetulan aku baru saja memerah ASI. Sehingga aku bisa mengajak Pasya dan kedua mertuaku untuk melihat anak bungsuku, karena setelah ini aku akan mengantar ASI ke ruang bayi.“Halo, Sayang. Mama sudah kangen lho sama Pasya.” Aku berkata sambil merentangkan kedua tangan.“Mama!” pekik Pasya ceria. Dia lalu menghambur ke pelukanku dan menciumi kedua pipiku bergantian. Ah, senangnya hati ini. Jagoan cilikku yang ganteng ini rupanya juga memendam kerinduan yang sama padaku. “Mama kapan pulang?”“Tunggu Pak Dokter bilang bahwa Mama sudah bisa pulang, ya. Pasya sudah kangen ya sama Mama?”“Iya.” Pasya kembali memeluk dan mencium diri ini. Ah, ingin rasanya aku minta Mas Haikal untuk mengajak Pasya menginap di sini bersamanya saat menemaniku. Tapi, suamiku itu pasti tak akan setuju. Dia beralasan bahwa rumah sakit tak bagus untuk anak keci
Pov Ridwan.Aku sedang merebahkan tubuhku yang penat setelah aku selesai membersihkan tubuh ini. Aku sengaja menonaktifkan ponselku untuk sementara waktu, karena aku benar-benar ingin istirahat. Lelah jiwa dan raga ini membuatku tertidur meski sesaat. Sebelum tidur, sengaja aku aktifkan alarm di jam weker. Agar aku tak kebablasan hingga melewatkan waktu salat magrib. Kalau ibuku tahu aku tidur di sore hari, tentu beliau akan langsung memarahi diri ini. Tak baik kalau tidur di waktu selepas asar, begitu katanya. Tapi, tubuhku sangat lelah. Hingga aku tak peduli dengan larangan itu.Aku terbangun ketika alarm di jam weker berbunyi. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku langsung mengaktifkan kembali ponselku. Tepat ketika ponsel sudah aktif kembali, benda pipih itu pun berdering. Terpampang nama Haikal di layar yang membuat keningku berkerut. Aku termenung sesaat, mencoba menerka tujuan Haikal meneleponku. Sepertinya urusan kami sudah beres dan kata sepakat sudah
Pov Haikal.Aku kasihan melihat kondisi sahabat semasa kecilku. Aku tahu Ridwan dilema saat ini. Di satu sisi dirinya masih mencintai Siska. Namun di sisi lain, dia harus bertanggung jawab pada Mira. Ya, memang yang utama Ridwan harus tanggung jawab pada Mira, karena dia sudah melakukan hubungan badan dengan adik iparnya itu. Terlepas alasannya tergoda, tetap tak dibenarkan kalau Ridwan mangkir dari tanggung jawab, iya kan.“Saranku hanya satu, Wan,” ucapku dengan tepukan tangan pada pundaknya.“Apa saran kamu?” tanya Ridwan dengan suara parau. Ah, prihatin sekali aku melihat sahabatku yang satu ini. Dia yang sebelumnya aku kenal sebagai pria yang tegar, kini tampak loyo.“Tetap bertanggung jawablah pada Mira. Apa pun yang terjadi nantinya. Lupakan Siska, meskipun hati kamu condong padanya. Mencintai tak harus memiliki, bukan? Mungkin jodoh kamu bukan Siska, meskipun kamu sangat mencintai dia. Tapi misalnya jodoh kamu itu adalah Siska, mungkin nanti ada jalannya kamu dan Siska bisa be
Pov Amanda.Aku terkekeh ketika Mas Haikal beringsut dari dadaku. Wajahnya merah padam karena tertangkap basah oleh Pasya. Sedangkan kulirik anak sulungku yang kini menatap papanya dengan tatapan lugu.“Ma, kalau Papa boleh minum ASI, aku juga mau,” celetuk Pasya, yang sontak membuatku dan Mas Haikal terkejut. Kami saling tatap satu sama lain.Akhirnya Mas Haikal memutuskan untuk menjelaskan pada anak sulung kami, yang kini sedang menatap kami berdua. Sepertinya Pasya menuntut jawaban segera.“Pasya, Sayang. Tadi itu Papa bukannya minum ASI seperti Dedek Hana. Papa kan tadi cium pipinya Dedek Hana. Jadi kelihatan sama kamu kayak sedang minum ASI, begitu.”Kedua mata Pasya mengerjap. Dia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Hana, dan mencium pipinya. Aku mengulum senyum melihat tingkah Pasya. Sepertinya dia mau mengikuti jejak papanya. Atau bisa jadi dia mau membuktikan bahwa mencium adiknya bisa terlihat seperti minum ASI. Ah, andaikan dugaanku benar, betapa cerdas anak laki-lakiku ini.
Pov Penulis.Setelah beberapa hari istirahat, Siska sudah merasa lebih baik tubuhnya. Namun, dia belum berniat untuk membuka kembali kios makanannya.“Sis, kapan mau jualan mpek-mpek lagi? Banyak yang sudah tanya itu,” ucap sang ibu.“Mungkin besok. Hari ini aku mau leyeh-leyeh dulu. Biarpun kata dokter, nggak ada luka yang berarti dan hanya memar serta lecet sedikit, tapi tubuhku lumayan sakit juga. Namanya juga jatuh dari motor. Untung nggak terlindas mobil itu, hiii.” Siska berkata sambil bergidik ngeri, kalau membayangkan hal itu terjadi pada dirinya.“Kamu sih, waktu itu disuruh urut nggak mau. Padahal kalau kamu mau diurut, sekarang sudah enakan badan kamu. Ya sudah, kalau memang mulai jualannya besok. Nanti kalau ada yang tanya, akan Ibu jawab besok mulai jualannya,” ucap sang ibu yang diangguki oleh Siska. Kemudian sang ibu pun berlalu dari hadapan Siska.Tak lama setelah sang ibu berlalu, ponsel Siska pun berdering. Menampilkan nama Amanda di layar ponselnya. Tak ingin Amanda