Pov Amanda.Aku terkekeh ketika Mas Haikal beringsut dari dadaku. Wajahnya merah padam karena tertangkap basah oleh Pasya. Sedangkan kulirik anak sulungku yang kini menatap papanya dengan tatapan lugu.“Ma, kalau Papa boleh minum ASI, aku juga mau,” celetuk Pasya, yang sontak membuatku dan Mas Haikal terkejut. Kami saling tatap satu sama lain.Akhirnya Mas Haikal memutuskan untuk menjelaskan pada anak sulung kami, yang kini sedang menatap kami berdua. Sepertinya Pasya menuntut jawaban segera.“Pasya, Sayang. Tadi itu Papa bukannya minum ASI seperti Dedek Hana. Papa kan tadi cium pipinya Dedek Hana. Jadi kelihatan sama kamu kayak sedang minum ASI, begitu.”Kedua mata Pasya mengerjap. Dia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Hana, dan mencium pipinya. Aku mengulum senyum melihat tingkah Pasya. Sepertinya dia mau mengikuti jejak papanya. Atau bisa jadi dia mau membuktikan bahwa mencium adiknya bisa terlihat seperti minum ASI. Ah, andaikan dugaanku benar, betapa cerdas anak laki-lakiku ini.
Pov Penulis.Setelah beberapa hari istirahat, Siska sudah merasa lebih baik tubuhnya. Namun, dia belum berniat untuk membuka kembali kios makanannya.“Sis, kapan mau jualan mpek-mpek lagi? Banyak yang sudah tanya itu,” ucap sang ibu.“Mungkin besok. Hari ini aku mau leyeh-leyeh dulu. Biarpun kata dokter, nggak ada luka yang berarti dan hanya memar serta lecet sedikit, tapi tubuhku lumayan sakit juga. Namanya juga jatuh dari motor. Untung nggak terlindas mobil itu, hiii.” Siska berkata sambil bergidik ngeri, kalau membayangkan hal itu terjadi pada dirinya.“Kamu sih, waktu itu disuruh urut nggak mau. Padahal kalau kamu mau diurut, sekarang sudah enakan badan kamu. Ya sudah, kalau memang mulai jualannya besok. Nanti kalau ada yang tanya, akan Ibu jawab besok mulai jualannya,” ucap sang ibu yang diangguki oleh Siska. Kemudian sang ibu pun berlalu dari hadapan Siska.Tak lama setelah sang ibu berlalu, ponsel Siska pun berdering. Menampilkan nama Amanda di layar ponselnya. Tak ingin Amanda
Siska akhirnya melangkah menuju ke meja, dan meletakkan cangkir berisi teh manis di atas meja. Di saat itulah Rayyan mendongakkan wajahnya.Rayyan terkejut ketika dia menatap wajah Siska. Dia bahkan mendekatkan wajahnya ke arah Siska untuk memastikan penglihatannya.“Siska. Betul kamu Siska Ambarwati, yang dulunya bekerja di PT. Maharaja?” sapa Rayyan dengan tatapan lekat pada wajah Siska.Siska yang memang merasa pernah mengenal Rayyan, lantas mengerutkan keningnya. Dia berusaha mengingat kembali masa-masa dia pernah bekerja, di perusahaan yang namanya disebutkan oleh pria yang sedang memandang lekat wajahnya.“Iya, aku memang pernah bekerja di PT. Maharaja. Kalau boleh tahu, kamu siapa? Maaf kalau aku nggak ingat siapa kamu,” sahut Siska dengan senyum canggung.“Aku, Rayyan Sasmita. Aku juga pernah bekerja di PT. Maharaja, sebagai staf Marketing. Kita pernah berteman dulu sebelum kamu menikah dan mengundurkan diri dari pekerjaan kamu. Sudah ingat belum?” ucap Rayyan dengan senyuman
[Sis, nanti sore ada acara nggak]Siska menatap layar ponselnya dan terkesiap ketika membaca pesan dari nomor yang tak dikenal, dan pemilik nomor itu tahu namanya.“Siapa dia ini, ya? Kok dia tahu namaku, dan tanya lagi aku ada acara atau nggak. Aku abaikan saja lah. Andai dia perlu penting, pasti telepon dan memperkenalkan dirinya.” Siska bergumam seorang diri sambil menatap layar ponselnya dengan kening yang berkerut.Tak lama, ketika Siska sedang disibukkan oleh para pembeli yang mulai mengantre di kios makanannya, ponselnya pun berdering. Siska melongok ke layar ponselnya di sela kesibukannya melayani pembeli. Dia menghela napas panjang, ketika dilihatnya nomor yang tak dikenal itu kini menghubunginya kembali melalui panggilan telepon.‘Sepertinya dia perlu penting, ya. Jadi penasaran aku, siapa sih orang ini?’ ucap Siska dalam hati.Selesai melayani para pembeli, Siska bergegas meraih benda pipih itu dan mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo,” sapa Siska.“Halo, Sis. Ini a
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah makan Minang. Tampak Siska dan Rayyan tengah menikmati hidangan makan malam sambil berbincang.“Sis, aku boleh tanya sesuatu yang agak pribadi nggak?” tanya Rayyan tiba-tiba, setelah dari tadi obrolan mereka seputar pengalaman hidup selama mereka tak berjumpa cukup lama.“Mau tanya apa, Ray? Masalah pribadi aku kayaknya nggak ada yang spesial deh.” Siska berkata sambil menyunggingkan senyum, membuat wajahnya semakin indah dipandang.“Ish, siapa bilang kamu ini nggak spesial sih? Jangan merendah begitu deh. Sejak awal kamu masuk kerja dulu, banyak yang suka curi-curi pandang ke kamu. Apalagi kamu ramah orangnya. Di antara orang-orang yang suka curi pandang ke kamu, adalah...” Rayyan sengaja menghentikan perkataannya dan menatap Siska dengan senyum penuh arti.Sikap Rayyan tentu saja membuat Siska dilanda rasa penasaran yang sangat besar.“Siapa? Mas Melvin? Itu sih aku sudah tahu karena nggak lama setelah kami berkenalan, dia langs
Siska terkesiap. Dia menatap lekat wanita itu dan mencoba mengingat di mana dan kapan dirinya bertemu dengannya. Atau mungkin dia yang lupa telah mengenal wanita itu sebelumnya.“Benar, saya memang Siska. Tapi, maaf kalau saya lupa dengan Mbak ini. Kita pernah bertemu di mana, ya?” ucap Siska dengan mata yang memicing serta kening yang berkerut cukup dalam, karena masih berusaha mencoba mengingat di mana mereka bertemu.“Saya ini Rania, kakaknya Rayyan. Saya adalah petugas fisioterapi yang menangani Reno. Apa sudah bisa mengingat tentang saya, Bu?” sahut Rania dengan senyuman.Siska terdiam sejenak. Hingga akhirnya dia pun menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Oh iya, saya baru ingat sekarang. Soalnya sudah cukup lama kita nggak ketemu ya, Bu.”“Iya, saya juga heran kenapa Reno nggak datang lagi untuk terapi? Padahal masih banyak tahapan terapi yang harus dia jalani,” sahut Rania.Kedua bola mata Siska tiba-tiba membulat ketika Rania menyinggung perihal Reno, mendiang anaknya yang
Rayyan mendorong motornya yang mogok di tengah jalan. Sementara Siska, berjalan di sisinya dengan wajah yang berseri-seri. Di sepanjang jalan menuju rumah wanita itu, mereka berbincang dengan wajah semringah karena hubungan mereka sudah mendapat restu dari keluarga Rayyan.“Aku sangat bahagia dan terharu hari ini, Ray. Keluarga kamu menerimaku dengan tangan terbuka tanpa mempersoalkan statusku yang seorang janda. Jujur saja kalau semenjak menyandang status sebagai seorang janda, aku pesimis kalau akan menikah lagi dan membangun rumah tangga yang samawa. Tahu sendiri kan kalau stigma seorang janda di masyarakat, begitu negatif. Jadi aku hanya bisa pasrah dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa. Nggak sangka ternyata pertemuan kita kembali saat kamu mengantar orderan mpek-mpek, membawa kisah lain dalam hidupku,” ucap Siska dengan mata yang berkaca-kaca.“Itulah yang namanya takdir, Sis. Kita semua nggak tahu jalan hidup seseorang akan seperti apa. Aku sendiri yang selama beberapa tahun m
Di saat yang sama, Siska secara tak sengaja menatap ke arah depan. Dia terkejut ketika melihat seorang pria yang sedang turun dari mobil, dan tak lama melangkah ke arah klinik bersama.‘Mas Ridwan,’ ucap Siska dalam hati.Tak mau fokusnya terbagi karena baru saja melihat mantan cinta pertamanya, Siska kembali mengalihkan tatapannya ke salah satu contoh kartu undangan.“Kalau model kartu undangannya yang kayak gini, bagaimana?” tanya Rayyan, lantas mengarahkan contoh kartu undangan ke hadapannya.“Boleh juga yang ini. Aku setuju saja. Bagus juga ini modelnya,” sahut Siska, yang diangguki oleh Rayyan.Selanjutnya, Rayyan langsung memesan kartu undangan sesuai dengan contoh yang dia dan Siska inginkan. Setelah semua beres, dua sejoli itu lantas meninggalkan ruko tersebut.“Kita mau ke mana lagi? Mau makan dulu di kedai makanan itu?” tanya Rayyan, yang mendapat jawaban dari Siska berupa gelengan kepala.“Aku tadi sudah masak lho, Ray. Sebaiknya kamu makan di rumahku saja, ya. Sekalian kam
Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Tak lama, Saskia datang sambil menggendong Ayesha. Dia tampak sedang mengajak bercanda Ayesha sambil berjalan menuju sofa tempat Irene duduk.“Nah, ini ada mama, Sayang. Yesha sekarang dipangku sama mama, ya,” ucap Saskia dengan suara lembut.Ayesha yang sebelumnya tertawa, tiba-tiba merengek ketika Saskia meletakkannya di atas pangkuan Irene. Dia juga berpegangan pada blus Saskia, kode kalau dia tak ingin dilepaskan dari pelukan Saskia.“Ayesha, Sayang. Ini Mama, Nak. Mama kangen sama kamu. Semenjak kamu lahir, Mama belum peluk kamu,” ucap Irene lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca, karena sedih mendapat penolakan dari anak kandungnya sendiri.Pasya yang melihat itu pun jadi tak tega. Dia membantu membujuk Ayesha.“Yesha...ayo, mau ya dipangku sama mama. Nanti mimik susu lagi sama mama,” ucap Pasya, yang membuat Saskia serta Irene kompak menoleh padanya.‘Mas Pasya kenapa ngomongnya soal menyusu sih? Apa memang itu yang sekarang ada di kepalanya. Mentang-mentang Irene
Saskia lalu beringsut menjauhi suaminya dengan wajah tertekuk. Dia mendadak diam seribu bahasa.Pasya yang mengetahui perubahan sang istri, lantas tersenyum dan meraih tangan Saskia.“Cemburu?” tanya Pasya dengan tatapan menggoda.Hening.Saskia sepertinya malas memberi tanggapan. Dia malah sibuk merapatkan selimut di tubuh Ayesha, yang terbaring di sebelahnya duduk.“Irene sudah pulih dari koma, Kia. Dia menanyakan tentang bayinya. Tadi papanya telepon saat kita masih di bandara. Kamu sedang sibuk sendiri dengan Ayesha, makanya nggak tahu kalau aku menerima telepon dari mantan mertua,” jelas Pasya dengan nada lembut.Saskia sontak menatap sang suami. “Irene mau mengambil Ayesha ya, Mas?”Pasya mengangguk seraya berkata, “Iya, Sayang. Dia kan ibunya. Dia juga taruhan nyawa saat melahirkan Ayesha. Lagi pula aku dan Irene sudah berkomitmen untuk mengasuh anak kami, meski di tempat yang berbeda.”Saskia tampak muram. Meskipun dia hanya sebatas ibu sambung, namun dia sangat menyayangi Aye
“Pa, kok diam saja?” tanya Irene lagi dengan nada mendesak.“Eh, kamu kan masih harus banyak istirahat, Ren. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya, ya,” sahut Seto sedikit gugup. Membuat Irene curiga.“Pa, Ma, sebenarnya ini ada apa sih? Kok aku merasa kalau Mama dan Papa sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ngomong saja sih terus terang. Ada apa?” desak Irene dengan wajah memelas.Seto dan Diah saling tatap. Mereka seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata. Hingga akhirnya Diah menganggukkan kepalanya pada sang suami.“Ren, kamu kan baru saja pulih dari koma. Lebih baik nanti saja Papa beritahunya. Papa khawatir kalau nanti kamu...” Seto menghentikan kata-katanya ketika Irene menyela ucapannya.“Ini ada hubungannya dengan Ayesha dan Mas Pasya? Kalau iya, nggak apa katakan saja sekarang. Aku merasa sudah lebih baik kok sekarang, Pa,” ucap Irene yakin.“Ya sudah, kamu kasih tahu saja sekarang, Mas,” timpal Diah.Seto mengangguk. Dia lalu menatap wajah cantik Irene yang terliha
Kini kedua bola mata Irene mulai membuka secara perlahan. Tatapan wanita itu menyisir ke sekitarnya.“Selamat malam, Bu Irene,” sapa dokter dengan suara perlahan. Pria itu memperhatikan setiap respons pasiennya, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan Irene.“Ma-malam,” sahut Irene lirih dan terbata.“Ibu baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama empat bulan lamanya. Selamat datang, Bu Irene. Semoga kondisi Ibu semakin membaik,” ucap dokter dengan senyuman.“S-saya ta-tak s-sadar kan di-ri s-selama em-pat bu-lan?” sahut Irene masih dengan suara terbata-bata.“Iya dan alhamdulillah, sekarang Ibu sudah melewati masa kritis. Tapi, setelah ini tolong jangan banyak bicara dulu. Ibu istirahat dulu yang cukup supaya kesehatannya lekas pulih,” ucap dokter, yang diangguki oleh Irene.Setelah selesai memeriksa Irene, dokter lalu mengalihkan tatapan pada suster. “Sus, satu jam lagi kalau nggak ada keluhan dari pasien, silakan pasiennya dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritisnya sud
Empat bulan berlalu, kini saatnya pernikahan Pasya dan Saskia digelar. Acara akad nikah dilangsungkan di kediaman orang tua Saskia. Sedangkan resepsinya nanti akan dirayakan di salah satu hotel berbintang lima.Saskia tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih dan kain jarik coklat tua. Wajah Saskia dipoles dengan riasan yang natural, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.Sedangkan Pasya sendiri tampil gagah dengan setelan jas warna hitam dan kemeja putih, lengkap lengan peci hitamnya. Pasya juga sudah menyiapkan mahar berupa satu set perhiasan emas berhiaskan berlian. Meski ini bukan yang pertama, tapi tetap saja Pasya merasa gugup. Hal itu diketahui Haikal.Haikal berpindah duduknya di sebelah anak sulungnya. Mumpung Saskia belum tiba di ruangan itu. Begitu menurut pemikiran Haikal.“Sya, tenang saja kenapa sih. Jangan gugup begitu! Kayak yang baru pertama kali saja,” bisik Haikal.Pasya menghela napas panjang dan melirik pada papanya. “Namanya pengantin, mau pertama kali atau ke
Pasya masih berada di ruang keluarga menemani Amanda, ketika sebuah suara membuatnya tertegun dan menoleh ke arah sumber suara itu.“Assalamualaikum.”“Wa’ alaikumsalam,” sahut Amanda dan Pasya secara bersamaan.“Wah, tamu jauh ini yang datang. Sini duduk, Kia,” sapa Amanda dengan senyum mengembang di bibirnya.“Apa kabar, Tante? Ini aku bawain kado untuk Ayesha. Semoga suka.” Saskia berkata sambil meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja. Setelahnya, dia mengecup pipi Amanda karena tangan wanita paruh baya itu sedang memegang botol susu.“Yesha, ada Tante Kia datang. Dia bawa kado untuk kamu tuh,” bisik Amanda pada cucunya yang sedang asyik menyusu.Ayesha seketika menghentikan aktivitasnya menyusu, dan sontak menoleh ke arah Saskia yang kini sudah duduk di sebelah Amanda. Bayi itu seolah tahu kalau wanita yang ada di sebelah neneknya, adalah wanita yang sedang dekat dengan papanya. Setelah itu, Ayesha kembali lagi menyusu.“Kamu tadi berhenti menyusu sebentar karena mau men
Amanda yang dari tadi diam, kini merasa kesal juga dengan ucapan mantan besannya. Dia menatap Diah seraya berkata, “Bu, tolong jangan begitu. Pasya ini kan orang tuanya Ayesha. Ada mantan istri dan mantan suami. Tapi, nggak ada mantan anak dan mantan orang tua. Sekarang kondisi Irene sedang tak memungkinkan untuk mengasuh anak. Jadi sudah seharusnya Pasya mengambil alih. Apa salah seorang ayah mengasuh anaknya? Saya rasa nggak juga, Bu. Apalagi Ibu dan Bapak pernah datang ke rumah kami, untuk sekedar memberitahu kalau Irene hamil anaknya Pasya. Nah, sekarang kenapa dipersulit saat Pasya hendak mengasuh anaknya?”Hening. Tak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibir Diah maupun Seto. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar dari mulut keduanya.Akhirnya Seto mengeluarkan kata setelah sesaat terdiam.“Tapi, Pasya kan nggak setiap waktu ada di samping...siapa tadi nama cucuku?” ucap Seto dengan tatapan pada Amanda serta Pasya secara bergantian.“Ayesha,” sahut Pasya.“Iya, Ayesha. P
Pasya dan kedua orang tuanya kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuan mereka pertama kali adalah ke ruang bayi, di mana bayi Pasya berada.“Mama sudah nggak sabar mau melihat cucu Mama, Sya,” ucap Amanda dengan senyuman ketika di jarak beberapa meter dari posisi mereka saat ini, sudah terlihat ruangan bayi.“Iya, tapi Mama untuk sementara ini hanya bisa melihat Ayesha dari balik kaca saja. Bantu doanya ya, Ma, supaya bayiku bisa segera keluar dari inkubator. Jadi kita bisa menggendongnya nanti,” sahut Pasya, yang diangguki oleh Amanda.“Tentu dong, Sayang. Kamu nggak minta pun, Mama sudah pasti akan mendoakan cucu Mama,” sahut Amanda masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Tak lama, langkah mereka terhenti di depan ruang bayi. Amanda dan Haikal yang ingin melihat cucu mereka, segera menghampiri suster jaga.“Sus, kami ingin melihat cucu kami yang baru lahir kemarin, boleh kan?” ucap Amanda dengan nada suara memohon.Suster itu terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya