Siska terkesiap. Dia menatap lekat wanita itu dan mencoba mengingat di mana dan kapan dirinya bertemu dengannya. Atau mungkin dia yang lupa telah mengenal wanita itu sebelumnya.“Benar, saya memang Siska. Tapi, maaf kalau saya lupa dengan Mbak ini. Kita pernah bertemu di mana, ya?” ucap Siska dengan mata yang memicing serta kening yang berkerut cukup dalam, karena masih berusaha mencoba mengingat di mana mereka bertemu.“Saya ini Rania, kakaknya Rayyan. Saya adalah petugas fisioterapi yang menangani Reno. Apa sudah bisa mengingat tentang saya, Bu?” sahut Rania dengan senyuman.Siska terdiam sejenak. Hingga akhirnya dia pun menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Oh iya, saya baru ingat sekarang. Soalnya sudah cukup lama kita nggak ketemu ya, Bu.”“Iya, saya juga heran kenapa Reno nggak datang lagi untuk terapi? Padahal masih banyak tahapan terapi yang harus dia jalani,” sahut Rania.Kedua bola mata Siska tiba-tiba membulat ketika Rania menyinggung perihal Reno, mendiang anaknya yang
Rayyan mendorong motornya yang mogok di tengah jalan. Sementara Siska, berjalan di sisinya dengan wajah yang berseri-seri. Di sepanjang jalan menuju rumah wanita itu, mereka berbincang dengan wajah semringah karena hubungan mereka sudah mendapat restu dari keluarga Rayyan.“Aku sangat bahagia dan terharu hari ini, Ray. Keluarga kamu menerimaku dengan tangan terbuka tanpa mempersoalkan statusku yang seorang janda. Jujur saja kalau semenjak menyandang status sebagai seorang janda, aku pesimis kalau akan menikah lagi dan membangun rumah tangga yang samawa. Tahu sendiri kan kalau stigma seorang janda di masyarakat, begitu negatif. Jadi aku hanya bisa pasrah dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa. Nggak sangka ternyata pertemuan kita kembali saat kamu mengantar orderan mpek-mpek, membawa kisah lain dalam hidupku,” ucap Siska dengan mata yang berkaca-kaca.“Itulah yang namanya takdir, Sis. Kita semua nggak tahu jalan hidup seseorang akan seperti apa. Aku sendiri yang selama beberapa tahun m
Di saat yang sama, Siska secara tak sengaja menatap ke arah depan. Dia terkejut ketika melihat seorang pria yang sedang turun dari mobil, dan tak lama melangkah ke arah klinik bersama.‘Mas Ridwan,’ ucap Siska dalam hati.Tak mau fokusnya terbagi karena baru saja melihat mantan cinta pertamanya, Siska kembali mengalihkan tatapannya ke salah satu contoh kartu undangan.“Kalau model kartu undangannya yang kayak gini, bagaimana?” tanya Rayyan, lantas mengarahkan contoh kartu undangan ke hadapannya.“Boleh juga yang ini. Aku setuju saja. Bagus juga ini modelnya,” sahut Siska, yang diangguki oleh Rayyan.Selanjutnya, Rayyan langsung memesan kartu undangan sesuai dengan contoh yang dia dan Siska inginkan. Setelah semua beres, dua sejoli itu lantas meninggalkan ruko tersebut.“Kita mau ke mana lagi? Mau makan dulu di kedai makanan itu?” tanya Rayyan, yang mendapat jawaban dari Siska berupa gelengan kepala.“Aku tadi sudah masak lho, Ray. Sebaiknya kamu makan di rumahku saja, ya. Sekalian kam
Sementara itu di luar rumah orang tua Siska, Ridwan memandang tenda biru dengan tatapan sendu.“Selamat menempuh hidup baru, Siska. Semoga kamu bahagia selalu, aamiin.”Tak lama, Ridwan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang meninggalkan tempat itu. Tak dipungkiri kalau saat ini hati Ridwan terluka bagaikan tersayat sembilu. Tanpa sadar, sudut matanya mulai berembun kala harapannya untuk mendekati Siska pupus sudah. Awalnya setelah kematian Mira, dia berniat akan bersilaturahmi ke rumah orang tua Siska. Tapi, semuanya hanya sebuah rencana yang tak mungkin lagi dapat terealisasi, karena saat ini Siska sudah menjadi milik orang lain.“Mungkin benar kata Haikal. Dua kali aku gagal menjadikan Siska sebagai pasangan hidupku. Jadi mungkin memang dia bukan jodohku. Mungkin seseorang yang akan menjadi jodohku kelak, akan tiba sebentar lagi. Teman hidupku yang akan mendampingi aku hingga menua bersama. Mungkin aku harus lebih bersabar lagi,” gumam Ridwan seorang diri.Sementara itu, Haikal
Hari berganti minggu, dan tak terasa berganti bulan. Kini sudah tiga bulan Winda mendampingi Ridwan di Poli THT. Hubungan mereka pun semakin dekat. Apalagi Ridwan yang diam-diam menaruh hati pada wanita itu, kini memberikan perhatian lebih.“Sus, saya beli makan siang dua porsi. Satunya buat Suster Winda, ya. Semoga suka dengan makanannya. Saya tadi order makanan secara online, dan sekarang sedang dalam perjalanan diantar kemari,” ucap Ridwan ketika baru selesai memeriksa pasien yang terakhir, dan pasien itu telah keluar dari ruangan.“Wah, terima kasih banyak ya, Dok. Seharusnya nggak usah repot memesan makanan dua porsi.” Winda berkata sambil tersenyum canggung pada Ridwan.“Nggak apa-apa, Sus. Sangat indah kalau saling berbagi,” sahut Ridwan dengan senyumannya.‘Apalagi berbagi rasa, Sus, tentu lebih indah lagi karena kita sama-sama single statusnya,’ ucap Ridwan dalam hati.Winda yang melihat senyum Ridwan, seketika di hatinya timbul gelenyar aneh. Membuat wanita itu semakin kikuk
Winda tampak kebingungan saat ini. Dia sebenarnya memang ingin membuka hatinya untuk pria lain. Bagaimana pun dirinya memerlukan seorang pendamping hidup, yang akan menemaninya dan menjaganya. Apalagi dia memiliki seorang anak gadis yang pastinya nantinya akan mengikuti suaminya, apabila sudah menikah. Sehingga dia akan sendirian nantinya apabila tak memiliki pasangan hidup.“Win...Winda, kok malah melamun sih? Jawab dong pertanyaan saya tadi. Kapan saya bisa ke rumah kamu?” tanya Ridwan untuk ke sekian kalinya.“Eh, aduh bagaimana ya? Kok jadi bingung saya, Dok.” Winda menjawab sambil tersenyum canggung.“Nggak usah bingung. Tinggal jawab saja, iya atau nggak,” sahut Ridwan dengan senyuman.Di saat yang sama, ponsel Winda berdering. Menampilkan nama Anisa di layar. Benda pipih yang diletakkan Winda di atas meja, sempat terlihat oleh Ridwan nama Anisa yang saat ini terpampang di layar ponsel.Tak menunggu lama, Winda lantas mengangkat panggilan telepon dari anak gadisnya itu.“Halo, A
Winda yang tahu arti tatapan anaknya, lantas tersenyum.Anisa lantas membalas senyuman sang mama. Dia pun sadar kalau mamanya perlu pendamping hidup. Semenjak perceraian dengan papanya, Anisa melihat kalau sang mama lebih fokus pada pekerjaan. Terlebih lagi saat papanya masuk penjara, otomatis seluruh keperluan Anisa menjadi tanggung jawab mamanya, karena Haris-sang papa, tak menghasilkan uang sebab reputasinya sebagai seorang pengacara telah hancur.“Jadi bagaimana, Nisa?” tanya Ridwan untuk yang kedua kalinya.“Kalau saya sih terserah Mama saja, Om, yang penting Mama bahagia. Selama ini Mama sudah hidup cukup menderita, karena disakiti oleh papa. Saya harap kalau Om Ridwan memang serius, tolong buat Mama bahagia dan selalu tersenyum. Jangan buat Mama menangis ya, Om,” sahut Anisa serius.Ridwan tampak terharu mendengar penuturan Anisa. Gadis remaja yang menginginkan kebahagiaan mamanya, dinilai Ridwan sebagai anak yang salihah dan berbakti pada orang tua. Bukan karena dirinya yang a
Pesawat pribadi yang ditumpangi oleh seorang pria tampan berpostur tubuh tinggi tegap itu mendarat dengan mulus di bandara, ketika hari sudah menjelang sore. Semburat warna jingga memenuhi langit kota Jakarta.Pria itu, Pasya Prayuda, yang kini mengelola kerajaan bisnis keluarga menggantikan sang ayah yang telah pensiun. Dia mengelola bisnis keluarga dibantu oleh adiknya, Hana. Haikal Prayuda, sang ayah, mempercayakan pada anak sulungnya itu semenjak tiga tahun silam.“Pak Pasya, ada yang bisa dibantu?” ucap seorang pramugari dengan sikap yang ramah.“Nggak ada, terima kasih.” Pasya menjawab sambil tersenyum ketika dia beranjak dari kursi penumpang, lalu melangkah ke arah pintu pesawat yang sudah terbuka.Setelah menyelesaikan segala prosedur, Pasya melangkah ke arah pintu kedatangan di mana asisten pribadinya telah menunggu.“Selamat sore, Pak Pasya,” sapa Niko, sang asisten pribadi.“Sore, Nik. Apa kabar kantor? Semuanya aman terkendali kan selama saya nggak di kantor beberapa hari
Seto yang tak ingin keadaan menjadi memanas, lantas tampil sebagai penengah.“Irene, Papa rasa yang diucapkan Pasya itu benar. Kamu sabar dulu untuk sementara waktu. Video call adalah cara yang tepat. Tapi, kamu juga harus rutin mengunjungi Ayesha, dan pelan-pelan mendekatinya. Nanti juga lama-lama dia akan luluh sama kamu,” ucap Seto lembut. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Pasya. “Kamu nggak masalah kan kalau Irene nantinya akan rutin datang kemari untuk menemui Ayesha?”“Tentu saya nggak akan keberatan. Irene adalah ibu kandungnya Ayesha, Pak. Saya nggak mungkin memisahkan Ayesha dan ibu kandungnya. Jadi silakan Irene datang kapan pun dia mau. Hanya satu pesan saya, jangan memaksakan kehendak yang bikin Ayesha nggak nyaman. Itu saja sih permintaan saya, dan saya berharap kalau Irene bisa mengerti,” sahut Pasya.Seto lalu kembali menatap anaknya seraya berkata, “Ren, itu Pasya sudah bilang kalau dia sama sekali nggak keberatan, kalau kamu rutin datang kemari. Jadi solusinya begi
Tak lama, Saskia datang sambil menggendong Ayesha. Dia tampak sedang mengajak bercanda Ayesha sambil berjalan menuju sofa tempat Irene duduk.“Nah, ini ada mama, Sayang. Yesha sekarang dipangku sama mama, ya,” ucap Saskia dengan suara lembut.Ayesha yang sebelumnya tertawa, tiba-tiba merengek ketika Saskia meletakkannya di atas pangkuan Irene. Dia juga berpegangan pada blus Saskia, kode kalau dia tak ingin dilepaskan dari pelukan Saskia.“Ayesha, Sayang. Ini Mama, Nak. Mama kangen sama kamu. Semenjak kamu lahir, Mama belum peluk kamu,” ucap Irene lirih dengan kedua bola mata yang mulai berkaca-kaca, karena sedih mendapat penolakan dari anak kandungnya sendiri.Pasya yang melihat itu pun jadi tak tega. Dia membantu membujuk Ayesha.“Yesha...ayo, mau ya dipangku sama mama. Nanti mimik susu lagi sama mama,” ucap Pasya, yang membuat Saskia serta Irene kompak menoleh padanya.‘Mas Pasya kenapa ngomongnya soal menyusu sih? Apa memang itu yang sekarang ada di kepalanya. Mentang-mentang Irene
Saskia lalu beringsut menjauhi suaminya dengan wajah tertekuk. Dia mendadak diam seribu bahasa.Pasya yang mengetahui perubahan sang istri, lantas tersenyum dan meraih tangan Saskia.“Cemburu?” tanya Pasya dengan tatapan menggoda.Hening.Saskia sepertinya malas memberi tanggapan. Dia malah sibuk merapatkan selimut di tubuh Ayesha, yang terbaring di sebelahnya duduk.“Irene sudah pulih dari koma, Kia. Dia menanyakan tentang bayinya. Tadi papanya telepon saat kita masih di bandara. Kamu sedang sibuk sendiri dengan Ayesha, makanya nggak tahu kalau aku menerima telepon dari mantan mertua,” jelas Pasya dengan nada lembut.Saskia sontak menatap sang suami. “Irene mau mengambil Ayesha ya, Mas?”Pasya mengangguk seraya berkata, “Iya, Sayang. Dia kan ibunya. Dia juga taruhan nyawa saat melahirkan Ayesha. Lagi pula aku dan Irene sudah berkomitmen untuk mengasuh anak kami, meski di tempat yang berbeda.”Saskia tampak muram. Meskipun dia hanya sebatas ibu sambung, namun dia sangat menyayangi Aye
“Pa, kok diam saja?” tanya Irene lagi dengan nada mendesak.“Eh, kamu kan masih harus banyak istirahat, Ren. Nanti dilanjut lagi ngobrolnya, ya,” sahut Seto sedikit gugup. Membuat Irene curiga.“Pa, Ma, sebenarnya ini ada apa sih? Kok aku merasa kalau Mama dan Papa sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ngomong saja sih terus terang. Ada apa?” desak Irene dengan wajah memelas.Seto dan Diah saling tatap. Mereka seolah sedang berdiskusi melalui tatapan mata. Hingga akhirnya Diah menganggukkan kepalanya pada sang suami.“Ren, kamu kan baru saja pulih dari koma. Lebih baik nanti saja Papa beritahunya. Papa khawatir kalau nanti kamu...” Seto menghentikan kata-katanya ketika Irene menyela ucapannya.“Ini ada hubungannya dengan Ayesha dan Mas Pasya? Kalau iya, nggak apa katakan saja sekarang. Aku merasa sudah lebih baik kok sekarang, Pa,” ucap Irene yakin.“Ya sudah, kamu kasih tahu saja sekarang, Mas,” timpal Diah.Seto mengangguk. Dia lalu menatap wajah cantik Irene yang terliha
Kini kedua bola mata Irene mulai membuka secara perlahan. Tatapan wanita itu menyisir ke sekitarnya.“Selamat malam, Bu Irene,” sapa dokter dengan suara perlahan. Pria itu memperhatikan setiap respons pasiennya, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan Irene.“Ma-malam,” sahut Irene lirih dan terbata.“Ibu baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama empat bulan lamanya. Selamat datang, Bu Irene. Semoga kondisi Ibu semakin membaik,” ucap dokter dengan senyuman.“S-saya ta-tak s-sadar kan di-ri s-selama em-pat bu-lan?” sahut Irene masih dengan suara terbata-bata.“Iya dan alhamdulillah, sekarang Ibu sudah melewati masa kritis. Tapi, setelah ini tolong jangan banyak bicara dulu. Ibu istirahat dulu yang cukup supaya kesehatannya lekas pulih,” ucap dokter, yang diangguki oleh Irene.Setelah selesai memeriksa Irene, dokter lalu mengalihkan tatapan pada suster. “Sus, satu jam lagi kalau nggak ada keluhan dari pasien, silakan pasiennya dipindahkan ke ruang perawatan. Masa kritisnya sud
Empat bulan berlalu, kini saatnya pernikahan Pasya dan Saskia digelar. Acara akad nikah dilangsungkan di kediaman orang tua Saskia. Sedangkan resepsinya nanti akan dirayakan di salah satu hotel berbintang lima.Saskia tampil cantik dan anggun dengan kebaya putih dan kain jarik coklat tua. Wajah Saskia dipoles dengan riasan yang natural, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.Sedangkan Pasya sendiri tampil gagah dengan setelan jas warna hitam dan kemeja putih, lengkap lengan peci hitamnya. Pasya juga sudah menyiapkan mahar berupa satu set perhiasan emas berhiaskan berlian. Meski ini bukan yang pertama, tapi tetap saja Pasya merasa gugup. Hal itu diketahui Haikal.Haikal berpindah duduknya di sebelah anak sulungnya. Mumpung Saskia belum tiba di ruangan itu. Begitu menurut pemikiran Haikal.“Sya, tenang saja kenapa sih. Jangan gugup begitu! Kayak yang baru pertama kali saja,” bisik Haikal.Pasya menghela napas panjang dan melirik pada papanya. “Namanya pengantin, mau pertama kali atau ke
Pasya masih berada di ruang keluarga menemani Amanda, ketika sebuah suara membuatnya tertegun dan menoleh ke arah sumber suara itu.“Assalamualaikum.”“Wa’ alaikumsalam,” sahut Amanda dan Pasya secara bersamaan.“Wah, tamu jauh ini yang datang. Sini duduk, Kia,” sapa Amanda dengan senyum mengembang di bibirnya.“Apa kabar, Tante? Ini aku bawain kado untuk Ayesha. Semoga suka.” Saskia berkata sambil meletakkan paper bag berukuran besar di atas meja. Setelahnya, dia mengecup pipi Amanda karena tangan wanita paruh baya itu sedang memegang botol susu.“Yesha, ada Tante Kia datang. Dia bawa kado untuk kamu tuh,” bisik Amanda pada cucunya yang sedang asyik menyusu.Ayesha seketika menghentikan aktivitasnya menyusu, dan sontak menoleh ke arah Saskia yang kini sudah duduk di sebelah Amanda. Bayi itu seolah tahu kalau wanita yang ada di sebelah neneknya, adalah wanita yang sedang dekat dengan papanya. Setelah itu, Ayesha kembali lagi menyusu.“Kamu tadi berhenti menyusu sebentar karena mau men
Amanda yang dari tadi diam, kini merasa kesal juga dengan ucapan mantan besannya. Dia menatap Diah seraya berkata, “Bu, tolong jangan begitu. Pasya ini kan orang tuanya Ayesha. Ada mantan istri dan mantan suami. Tapi, nggak ada mantan anak dan mantan orang tua. Sekarang kondisi Irene sedang tak memungkinkan untuk mengasuh anak. Jadi sudah seharusnya Pasya mengambil alih. Apa salah seorang ayah mengasuh anaknya? Saya rasa nggak juga, Bu. Apalagi Ibu dan Bapak pernah datang ke rumah kami, untuk sekedar memberitahu kalau Irene hamil anaknya Pasya. Nah, sekarang kenapa dipersulit saat Pasya hendak mengasuh anaknya?”Hening. Tak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibir Diah maupun Seto. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar dari mulut keduanya.Akhirnya Seto mengeluarkan kata setelah sesaat terdiam.“Tapi, Pasya kan nggak setiap waktu ada di samping...siapa tadi nama cucuku?” ucap Seto dengan tatapan pada Amanda serta Pasya secara bergantian.“Ayesha,” sahut Pasya.“Iya, Ayesha. P
Pasya dan kedua orang tuanya kini berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Tujuan mereka pertama kali adalah ke ruang bayi, di mana bayi Pasya berada.“Mama sudah nggak sabar mau melihat cucu Mama, Sya,” ucap Amanda dengan senyuman ketika di jarak beberapa meter dari posisi mereka saat ini, sudah terlihat ruangan bayi.“Iya, tapi Mama untuk sementara ini hanya bisa melihat Ayesha dari balik kaca saja. Bantu doanya ya, Ma, supaya bayiku bisa segera keluar dari inkubator. Jadi kita bisa menggendongnya nanti,” sahut Pasya, yang diangguki oleh Amanda.“Tentu dong, Sayang. Kamu nggak minta pun, Mama sudah pasti akan mendoakan cucu Mama,” sahut Amanda masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.Tak lama, langkah mereka terhenti di depan ruang bayi. Amanda dan Haikal yang ingin melihat cucu mereka, segera menghampiri suster jaga.“Sus, kami ingin melihat cucu kami yang baru lahir kemarin, boleh kan?” ucap Amanda dengan nada suara memohon.Suster itu terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya