Sementara itu di luar rumah orang tua Siska, Ridwan memandang tenda biru dengan tatapan sendu.“Selamat menempuh hidup baru, Siska. Semoga kamu bahagia selalu, aamiin.”Tak lama, Ridwan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang meninggalkan tempat itu. Tak dipungkiri kalau saat ini hati Ridwan terluka bagaikan tersayat sembilu. Tanpa sadar, sudut matanya mulai berembun kala harapannya untuk mendekati Siska pupus sudah. Awalnya setelah kematian Mira, dia berniat akan bersilaturahmi ke rumah orang tua Siska. Tapi, semuanya hanya sebuah rencana yang tak mungkin lagi dapat terealisasi, karena saat ini Siska sudah menjadi milik orang lain.“Mungkin benar kata Haikal. Dua kali aku gagal menjadikan Siska sebagai pasangan hidupku. Jadi mungkin memang dia bukan jodohku. Mungkin seseorang yang akan menjadi jodohku kelak, akan tiba sebentar lagi. Teman hidupku yang akan mendampingi aku hingga menua bersama. Mungkin aku harus lebih bersabar lagi,” gumam Ridwan seorang diri.Sementara itu, Haikal
Hari berganti minggu, dan tak terasa berganti bulan. Kini sudah tiga bulan Winda mendampingi Ridwan di Poli THT. Hubungan mereka pun semakin dekat. Apalagi Ridwan yang diam-diam menaruh hati pada wanita itu, kini memberikan perhatian lebih.“Sus, saya beli makan siang dua porsi. Satunya buat Suster Winda, ya. Semoga suka dengan makanannya. Saya tadi order makanan secara online, dan sekarang sedang dalam perjalanan diantar kemari,” ucap Ridwan ketika baru selesai memeriksa pasien yang terakhir, dan pasien itu telah keluar dari ruangan.“Wah, terima kasih banyak ya, Dok. Seharusnya nggak usah repot memesan makanan dua porsi.” Winda berkata sambil tersenyum canggung pada Ridwan.“Nggak apa-apa, Sus. Sangat indah kalau saling berbagi,” sahut Ridwan dengan senyumannya.‘Apalagi berbagi rasa, Sus, tentu lebih indah lagi karena kita sama-sama single statusnya,’ ucap Ridwan dalam hati.Winda yang melihat senyum Ridwan, seketika di hatinya timbul gelenyar aneh. Membuat wanita itu semakin kikuk
Winda tampak kebingungan saat ini. Dia sebenarnya memang ingin membuka hatinya untuk pria lain. Bagaimana pun dirinya memerlukan seorang pendamping hidup, yang akan menemaninya dan menjaganya. Apalagi dia memiliki seorang anak gadis yang pastinya nantinya akan mengikuti suaminya, apabila sudah menikah. Sehingga dia akan sendirian nantinya apabila tak memiliki pasangan hidup.“Win...Winda, kok malah melamun sih? Jawab dong pertanyaan saya tadi. Kapan saya bisa ke rumah kamu?” tanya Ridwan untuk ke sekian kalinya.“Eh, aduh bagaimana ya? Kok jadi bingung saya, Dok.” Winda menjawab sambil tersenyum canggung.“Nggak usah bingung. Tinggal jawab saja, iya atau nggak,” sahut Ridwan dengan senyuman.Di saat yang sama, ponsel Winda berdering. Menampilkan nama Anisa di layar. Benda pipih yang diletakkan Winda di atas meja, sempat terlihat oleh Ridwan nama Anisa yang saat ini terpampang di layar ponsel.Tak menunggu lama, Winda lantas mengangkat panggilan telepon dari anak gadisnya itu.“Halo, A
Winda yang tahu arti tatapan anaknya, lantas tersenyum.Anisa lantas membalas senyuman sang mama. Dia pun sadar kalau mamanya perlu pendamping hidup. Semenjak perceraian dengan papanya, Anisa melihat kalau sang mama lebih fokus pada pekerjaan. Terlebih lagi saat papanya masuk penjara, otomatis seluruh keperluan Anisa menjadi tanggung jawab mamanya, karena Haris-sang papa, tak menghasilkan uang sebab reputasinya sebagai seorang pengacara telah hancur.“Jadi bagaimana, Nisa?” tanya Ridwan untuk yang kedua kalinya.“Kalau saya sih terserah Mama saja, Om, yang penting Mama bahagia. Selama ini Mama sudah hidup cukup menderita, karena disakiti oleh papa. Saya harap kalau Om Ridwan memang serius, tolong buat Mama bahagia dan selalu tersenyum. Jangan buat Mama menangis ya, Om,” sahut Anisa serius.Ridwan tampak terharu mendengar penuturan Anisa. Gadis remaja yang menginginkan kebahagiaan mamanya, dinilai Ridwan sebagai anak yang salihah dan berbakti pada orang tua. Bukan karena dirinya yang a
Pesawat pribadi yang ditumpangi oleh seorang pria tampan berpostur tubuh tinggi tegap itu mendarat dengan mulus di bandara, ketika hari sudah menjelang sore. Semburat warna jingga memenuhi langit kota Jakarta.Pria itu, Pasya Prayuda, yang kini mengelola kerajaan bisnis keluarga menggantikan sang ayah yang telah pensiun. Dia mengelola bisnis keluarga dibantu oleh adiknya, Hana. Haikal Prayuda, sang ayah, mempercayakan pada anak sulungnya itu semenjak tiga tahun silam.“Pak Pasya, ada yang bisa dibantu?” ucap seorang pramugari dengan sikap yang ramah.“Nggak ada, terima kasih.” Pasya menjawab sambil tersenyum ketika dia beranjak dari kursi penumpang, lalu melangkah ke arah pintu pesawat yang sudah terbuka.Setelah menyelesaikan segala prosedur, Pasya melangkah ke arah pintu kedatangan di mana asisten pribadinya telah menunggu.“Selamat sore, Pak Pasya,” sapa Niko, sang asisten pribadi.“Sore, Nik. Apa kabar kantor? Semuanya aman terkendali kan selama saya nggak di kantor beberapa hari
Pasya menatap lekat wajah cantik Saskia. “Kamu melihat istri saya ada di sana dengan mata kepala kamu sendiri?”Saskia menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. Dia lalu memperbaiki posisi duduknya.“Saat saya datang ke apartemen Raka, memang istri Bapak nggak ada di sana. Lebih tepatnya di ruang tamu, karena saya hanya sampai di ruang tamu saja. Saya malas menggeledah apartemen Raka, karena sudah tahu pasti ada perempuan lain di sana. Saya tahu dan bisa memastikan kalau istri Bapak ada di sana, karena sebelumnya saya sudah pasang kamera CCTV. Saya sudah curiga dengan gelagat Raka yang kerap berbohong. Jadi saat dia bekerja, saya datangi unit apartemennya. Kebetulan saya memiliki kunci akses untuk bisa naik ke lantai di mana unit apartemennya berada, karena kami akan menikah. Jadi semenjak itu, saya punya bukti kalau Raka ada affair dengan Irene, istri Pak Pasya. Bukti yang saya beri pada Pak Niko, itu berasal dari kamera CCTV yang tersambung ke ponsel saya,” sahut Saskia.“Sampai
Malam kian larut. Hawa dingin semakin mendera kamar pasangan Pasya dan Irene. Namun, di kamar itu hanya ada Irene seorang. Sedangkan Pasya masih berada di ruang kerjanya. Semenjak tadi sore, Pasya memang mengacuhkan istrinya. Pasya sengaja ingin menghukum Irene dengan menyerang batinnya terlebih dulu, sebelum hantaman lebih besar dia berikan pada wanita itu. hal itu membuat Irene merasa serba salah di rumahnya sendiri.“Mas Pasya ngapain saja sih di ruang kerjanya? Sampai selarut ini masih betah di sana. Apa dia nggak rindu padaku? Tapi, memang semenjak pulang dari kantor, dia acuh tak acuh padaku. Padahal beberapa hari nggak ketemu. Atau...ada cewek lain yang menggoda dia?” gumam Irene seorang diri. Dia sepertinya belum sadar juga kalau Pasya tengah marah padanya.“Aku harus menyusul ke ruang kerjanya sekarang. Jangan-jangan di sana dia sedang menelepon seseorang, makanya betah berjam-jam di sana,” gumamnya lagi. Dia lantas melangkah keluar kamar menuju ruang kerja suaminya.Irene me
Indra datang tepat setelah Pasya selesai menelepon ayah mertuanya. Rencana Pasya, dia akan mendatangi rumah mertuanya setelah selesai berdiskusi dengan Indra. Pasya akan mengatakan pada ayah mertua perihal rencananya yang akan menceraikan Irene. Segala sesuatu yang dimulai dengan baik-baik, maka harus diakhiri dengan baik-baik pula. Dia ingin berpisah dengan Irene secara baik-baik tanpa adanya keributan, hingga bisa menjadi konsumsi publik. Begitu menurut pemikiran pria itu.“Selamat siang, Pak Pasya. Semoga kedatangan saya tepat waktu, dan tak mengganggu,” ucap Indra ketika dilihatnya Pasya mengakhiri pembicaraan di telepon, dan meletakkan ponselnya di atas meja.“Oh, sama sekali nggak mengganggu kok, Pak. Itu tadi saya baru selesai menelepon ayah mertua saya. Silakan duduk!” sahut Pasya ramah.Indra tersenyum dan mengangguk. Dia lantas duduk di kursi di depan Pasya yang dibatasi oleh sebuah meja.“Begini, Pak. Saya minta Pak Indra datang kemari agar Bapak mengurus perceraian saya,”