Siska akhirnya melangkah menuju ke meja, dan meletakkan cangkir berisi teh manis di atas meja. Di saat itulah Rayyan mendongakkan wajahnya.Rayyan terkejut ketika dia menatap wajah Siska. Dia bahkan mendekatkan wajahnya ke arah Siska untuk memastikan penglihatannya.“Siska. Betul kamu Siska Ambarwati, yang dulunya bekerja di PT. Maharaja?” sapa Rayyan dengan tatapan lekat pada wajah Siska.Siska yang memang merasa pernah mengenal Rayyan, lantas mengerutkan keningnya. Dia berusaha mengingat kembali masa-masa dia pernah bekerja, di perusahaan yang namanya disebutkan oleh pria yang sedang memandang lekat wajahnya.“Iya, aku memang pernah bekerja di PT. Maharaja. Kalau boleh tahu, kamu siapa? Maaf kalau aku nggak ingat siapa kamu,” sahut Siska dengan senyum canggung.“Aku, Rayyan Sasmita. Aku juga pernah bekerja di PT. Maharaja, sebagai staf Marketing. Kita pernah berteman dulu sebelum kamu menikah dan mengundurkan diri dari pekerjaan kamu. Sudah ingat belum?” ucap Rayyan dengan senyuman
[Sis, nanti sore ada acara nggak]Siska menatap layar ponselnya dan terkesiap ketika membaca pesan dari nomor yang tak dikenal, dan pemilik nomor itu tahu namanya.“Siapa dia ini, ya? Kok dia tahu namaku, dan tanya lagi aku ada acara atau nggak. Aku abaikan saja lah. Andai dia perlu penting, pasti telepon dan memperkenalkan dirinya.” Siska bergumam seorang diri sambil menatap layar ponselnya dengan kening yang berkerut.Tak lama, ketika Siska sedang disibukkan oleh para pembeli yang mulai mengantre di kios makanannya, ponselnya pun berdering. Siska melongok ke layar ponselnya di sela kesibukannya melayani pembeli. Dia menghela napas panjang, ketika dilihatnya nomor yang tak dikenal itu kini menghubunginya kembali melalui panggilan telepon.‘Sepertinya dia perlu penting, ya. Jadi penasaran aku, siapa sih orang ini?’ ucap Siska dalam hati.Selesai melayani para pembeli, Siska bergegas meraih benda pipih itu dan mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo,” sapa Siska.“Halo, Sis. Ini a
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah makan Minang. Tampak Siska dan Rayyan tengah menikmati hidangan makan malam sambil berbincang.“Sis, aku boleh tanya sesuatu yang agak pribadi nggak?” tanya Rayyan tiba-tiba, setelah dari tadi obrolan mereka seputar pengalaman hidup selama mereka tak berjumpa cukup lama.“Mau tanya apa, Ray? Masalah pribadi aku kayaknya nggak ada yang spesial deh.” Siska berkata sambil menyunggingkan senyum, membuat wajahnya semakin indah dipandang.“Ish, siapa bilang kamu ini nggak spesial sih? Jangan merendah begitu deh. Sejak awal kamu masuk kerja dulu, banyak yang suka curi-curi pandang ke kamu. Apalagi kamu ramah orangnya. Di antara orang-orang yang suka curi pandang ke kamu, adalah...” Rayyan sengaja menghentikan perkataannya dan menatap Siska dengan senyum penuh arti.Sikap Rayyan tentu saja membuat Siska dilanda rasa penasaran yang sangat besar.“Siapa? Mas Melvin? Itu sih aku sudah tahu karena nggak lama setelah kami berkenalan, dia langs
Siska terkesiap. Dia menatap lekat wanita itu dan mencoba mengingat di mana dan kapan dirinya bertemu dengannya. Atau mungkin dia yang lupa telah mengenal wanita itu sebelumnya.“Benar, saya memang Siska. Tapi, maaf kalau saya lupa dengan Mbak ini. Kita pernah bertemu di mana, ya?” ucap Siska dengan mata yang memicing serta kening yang berkerut cukup dalam, karena masih berusaha mencoba mengingat di mana mereka bertemu.“Saya ini Rania, kakaknya Rayyan. Saya adalah petugas fisioterapi yang menangani Reno. Apa sudah bisa mengingat tentang saya, Bu?” sahut Rania dengan senyuman.Siska terdiam sejenak. Hingga akhirnya dia pun menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Oh iya, saya baru ingat sekarang. Soalnya sudah cukup lama kita nggak ketemu ya, Bu.”“Iya, saya juga heran kenapa Reno nggak datang lagi untuk terapi? Padahal masih banyak tahapan terapi yang harus dia jalani,” sahut Rania.Kedua bola mata Siska tiba-tiba membulat ketika Rania menyinggung perihal Reno, mendiang anaknya yang
Rayyan mendorong motornya yang mogok di tengah jalan. Sementara Siska, berjalan di sisinya dengan wajah yang berseri-seri. Di sepanjang jalan menuju rumah wanita itu, mereka berbincang dengan wajah semringah karena hubungan mereka sudah mendapat restu dari keluarga Rayyan.“Aku sangat bahagia dan terharu hari ini, Ray. Keluarga kamu menerimaku dengan tangan terbuka tanpa mempersoalkan statusku yang seorang janda. Jujur saja kalau semenjak menyandang status sebagai seorang janda, aku pesimis kalau akan menikah lagi dan membangun rumah tangga yang samawa. Tahu sendiri kan kalau stigma seorang janda di masyarakat, begitu negatif. Jadi aku hanya bisa pasrah dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa. Nggak sangka ternyata pertemuan kita kembali saat kamu mengantar orderan mpek-mpek, membawa kisah lain dalam hidupku,” ucap Siska dengan mata yang berkaca-kaca.“Itulah yang namanya takdir, Sis. Kita semua nggak tahu jalan hidup seseorang akan seperti apa. Aku sendiri yang selama beberapa tahun m
Di saat yang sama, Siska secara tak sengaja menatap ke arah depan. Dia terkejut ketika melihat seorang pria yang sedang turun dari mobil, dan tak lama melangkah ke arah klinik bersama.‘Mas Ridwan,’ ucap Siska dalam hati.Tak mau fokusnya terbagi karena baru saja melihat mantan cinta pertamanya, Siska kembali mengalihkan tatapannya ke salah satu contoh kartu undangan.“Kalau model kartu undangannya yang kayak gini, bagaimana?” tanya Rayyan, lantas mengarahkan contoh kartu undangan ke hadapannya.“Boleh juga yang ini. Aku setuju saja. Bagus juga ini modelnya,” sahut Siska, yang diangguki oleh Rayyan.Selanjutnya, Rayyan langsung memesan kartu undangan sesuai dengan contoh yang dia dan Siska inginkan. Setelah semua beres, dua sejoli itu lantas meninggalkan ruko tersebut.“Kita mau ke mana lagi? Mau makan dulu di kedai makanan itu?” tanya Rayyan, yang mendapat jawaban dari Siska berupa gelengan kepala.“Aku tadi sudah masak lho, Ray. Sebaiknya kamu makan di rumahku saja, ya. Sekalian kam
Sementara itu di luar rumah orang tua Siska, Ridwan memandang tenda biru dengan tatapan sendu.“Selamat menempuh hidup baru, Siska. Semoga kamu bahagia selalu, aamiin.”Tak lama, Ridwan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang meninggalkan tempat itu. Tak dipungkiri kalau saat ini hati Ridwan terluka bagaikan tersayat sembilu. Tanpa sadar, sudut matanya mulai berembun kala harapannya untuk mendekati Siska pupus sudah. Awalnya setelah kematian Mira, dia berniat akan bersilaturahmi ke rumah orang tua Siska. Tapi, semuanya hanya sebuah rencana yang tak mungkin lagi dapat terealisasi, karena saat ini Siska sudah menjadi milik orang lain.“Mungkin benar kata Haikal. Dua kali aku gagal menjadikan Siska sebagai pasangan hidupku. Jadi mungkin memang dia bukan jodohku. Mungkin seseorang yang akan menjadi jodohku kelak, akan tiba sebentar lagi. Teman hidupku yang akan mendampingi aku hingga menua bersama. Mungkin aku harus lebih bersabar lagi,” gumam Ridwan seorang diri.Sementara itu, Haikal
Hari berganti minggu, dan tak terasa berganti bulan. Kini sudah tiga bulan Winda mendampingi Ridwan di Poli THT. Hubungan mereka pun semakin dekat. Apalagi Ridwan yang diam-diam menaruh hati pada wanita itu, kini memberikan perhatian lebih.“Sus, saya beli makan siang dua porsi. Satunya buat Suster Winda, ya. Semoga suka dengan makanannya. Saya tadi order makanan secara online, dan sekarang sedang dalam perjalanan diantar kemari,” ucap Ridwan ketika baru selesai memeriksa pasien yang terakhir, dan pasien itu telah keluar dari ruangan.“Wah, terima kasih banyak ya, Dok. Seharusnya nggak usah repot memesan makanan dua porsi.” Winda berkata sambil tersenyum canggung pada Ridwan.“Nggak apa-apa, Sus. Sangat indah kalau saling berbagi,” sahut Ridwan dengan senyumannya.‘Apalagi berbagi rasa, Sus, tentu lebih indah lagi karena kita sama-sama single statusnya,’ ucap Ridwan dalam hati.Winda yang melihat senyum Ridwan, seketika di hatinya timbul gelenyar aneh. Membuat wanita itu semakin kikuk