Pov Ridwan.Aku sedang merebahkan tubuhku yang penat setelah aku selesai membersihkan tubuh ini. Aku sengaja menonaktifkan ponselku untuk sementara waktu, karena aku benar-benar ingin istirahat. Lelah jiwa dan raga ini membuatku tertidur meski sesaat. Sebelum tidur, sengaja aku aktifkan alarm di jam weker. Agar aku tak kebablasan hingga melewatkan waktu salat magrib. Kalau ibuku tahu aku tidur di sore hari, tentu beliau akan langsung memarahi diri ini. Tak baik kalau tidur di waktu selepas asar, begitu katanya. Tapi, tubuhku sangat lelah. Hingga aku tak peduli dengan larangan itu.Aku terbangun ketika alarm di jam weker berbunyi. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku langsung mengaktifkan kembali ponselku. Tepat ketika ponsel sudah aktif kembali, benda pipih itu pun berdering. Terpampang nama Haikal di layar yang membuat keningku berkerut. Aku termenung sesaat, mencoba menerka tujuan Haikal meneleponku. Sepertinya urusan kami sudah beres dan kata sepakat sudah
Pov Haikal.Aku kasihan melihat kondisi sahabat semasa kecilku. Aku tahu Ridwan dilema saat ini. Di satu sisi dirinya masih mencintai Siska. Namun di sisi lain, dia harus bertanggung jawab pada Mira. Ya, memang yang utama Ridwan harus tanggung jawab pada Mira, karena dia sudah melakukan hubungan badan dengan adik iparnya itu. Terlepas alasannya tergoda, tetap tak dibenarkan kalau Ridwan mangkir dari tanggung jawab, iya kan.“Saranku hanya satu, Wan,” ucapku dengan tepukan tangan pada pundaknya.“Apa saran kamu?” tanya Ridwan dengan suara parau. Ah, prihatin sekali aku melihat sahabatku yang satu ini. Dia yang sebelumnya aku kenal sebagai pria yang tegar, kini tampak loyo.“Tetap bertanggung jawablah pada Mira. Apa pun yang terjadi nantinya. Lupakan Siska, meskipun hati kamu condong padanya. Mencintai tak harus memiliki, bukan? Mungkin jodoh kamu bukan Siska, meskipun kamu sangat mencintai dia. Tapi misalnya jodoh kamu itu adalah Siska, mungkin nanti ada jalannya kamu dan Siska bisa be
Pov Amanda.Aku terkekeh ketika Mas Haikal beringsut dari dadaku. Wajahnya merah padam karena tertangkap basah oleh Pasya. Sedangkan kulirik anak sulungku yang kini menatap papanya dengan tatapan lugu.“Ma, kalau Papa boleh minum ASI, aku juga mau,” celetuk Pasya, yang sontak membuatku dan Mas Haikal terkejut. Kami saling tatap satu sama lain.Akhirnya Mas Haikal memutuskan untuk menjelaskan pada anak sulung kami, yang kini sedang menatap kami berdua. Sepertinya Pasya menuntut jawaban segera.“Pasya, Sayang. Tadi itu Papa bukannya minum ASI seperti Dedek Hana. Papa kan tadi cium pipinya Dedek Hana. Jadi kelihatan sama kamu kayak sedang minum ASI, begitu.”Kedua mata Pasya mengerjap. Dia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Hana, dan mencium pipinya. Aku mengulum senyum melihat tingkah Pasya. Sepertinya dia mau mengikuti jejak papanya. Atau bisa jadi dia mau membuktikan bahwa mencium adiknya bisa terlihat seperti minum ASI. Ah, andaikan dugaanku benar, betapa cerdas anak laki-lakiku ini.
Pov Penulis.Setelah beberapa hari istirahat, Siska sudah merasa lebih baik tubuhnya. Namun, dia belum berniat untuk membuka kembali kios makanannya.“Sis, kapan mau jualan mpek-mpek lagi? Banyak yang sudah tanya itu,” ucap sang ibu.“Mungkin besok. Hari ini aku mau leyeh-leyeh dulu. Biarpun kata dokter, nggak ada luka yang berarti dan hanya memar serta lecet sedikit, tapi tubuhku lumayan sakit juga. Namanya juga jatuh dari motor. Untung nggak terlindas mobil itu, hiii.” Siska berkata sambil bergidik ngeri, kalau membayangkan hal itu terjadi pada dirinya.“Kamu sih, waktu itu disuruh urut nggak mau. Padahal kalau kamu mau diurut, sekarang sudah enakan badan kamu. Ya sudah, kalau memang mulai jualannya besok. Nanti kalau ada yang tanya, akan Ibu jawab besok mulai jualannya,” ucap sang ibu yang diangguki oleh Siska. Kemudian sang ibu pun berlalu dari hadapan Siska.Tak lama setelah sang ibu berlalu, ponsel Siska pun berdering. Menampilkan nama Amanda di layar ponselnya. Tak ingin Amanda
Siska akhirnya melangkah menuju ke meja, dan meletakkan cangkir berisi teh manis di atas meja. Di saat itulah Rayyan mendongakkan wajahnya.Rayyan terkejut ketika dia menatap wajah Siska. Dia bahkan mendekatkan wajahnya ke arah Siska untuk memastikan penglihatannya.“Siska. Betul kamu Siska Ambarwati, yang dulunya bekerja di PT. Maharaja?” sapa Rayyan dengan tatapan lekat pada wajah Siska.Siska yang memang merasa pernah mengenal Rayyan, lantas mengerutkan keningnya. Dia berusaha mengingat kembali masa-masa dia pernah bekerja, di perusahaan yang namanya disebutkan oleh pria yang sedang memandang lekat wajahnya.“Iya, aku memang pernah bekerja di PT. Maharaja. Kalau boleh tahu, kamu siapa? Maaf kalau aku nggak ingat siapa kamu,” sahut Siska dengan senyum canggung.“Aku, Rayyan Sasmita. Aku juga pernah bekerja di PT. Maharaja, sebagai staf Marketing. Kita pernah berteman dulu sebelum kamu menikah dan mengundurkan diri dari pekerjaan kamu. Sudah ingat belum?” ucap Rayyan dengan senyuman
[Sis, nanti sore ada acara nggak]Siska menatap layar ponselnya dan terkesiap ketika membaca pesan dari nomor yang tak dikenal, dan pemilik nomor itu tahu namanya.“Siapa dia ini, ya? Kok dia tahu namaku, dan tanya lagi aku ada acara atau nggak. Aku abaikan saja lah. Andai dia perlu penting, pasti telepon dan memperkenalkan dirinya.” Siska bergumam seorang diri sambil menatap layar ponselnya dengan kening yang berkerut.Tak lama, ketika Siska sedang disibukkan oleh para pembeli yang mulai mengantre di kios makanannya, ponselnya pun berdering. Siska melongok ke layar ponselnya di sela kesibukannya melayani pembeli. Dia menghela napas panjang, ketika dilihatnya nomor yang tak dikenal itu kini menghubunginya kembali melalui panggilan telepon.‘Sepertinya dia perlu penting, ya. Jadi penasaran aku, siapa sih orang ini?’ ucap Siska dalam hati.Selesai melayani para pembeli, Siska bergegas meraih benda pipih itu dan mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo,” sapa Siska.“Halo, Sis. Ini a
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah makan Minang. Tampak Siska dan Rayyan tengah menikmati hidangan makan malam sambil berbincang.“Sis, aku boleh tanya sesuatu yang agak pribadi nggak?” tanya Rayyan tiba-tiba, setelah dari tadi obrolan mereka seputar pengalaman hidup selama mereka tak berjumpa cukup lama.“Mau tanya apa, Ray? Masalah pribadi aku kayaknya nggak ada yang spesial deh.” Siska berkata sambil menyunggingkan senyum, membuat wajahnya semakin indah dipandang.“Ish, siapa bilang kamu ini nggak spesial sih? Jangan merendah begitu deh. Sejak awal kamu masuk kerja dulu, banyak yang suka curi-curi pandang ke kamu. Apalagi kamu ramah orangnya. Di antara orang-orang yang suka curi pandang ke kamu, adalah...” Rayyan sengaja menghentikan perkataannya dan menatap Siska dengan senyum penuh arti.Sikap Rayyan tentu saja membuat Siska dilanda rasa penasaran yang sangat besar.“Siapa? Mas Melvin? Itu sih aku sudah tahu karena nggak lama setelah kami berkenalan, dia langs
Siska terkesiap. Dia menatap lekat wanita itu dan mencoba mengingat di mana dan kapan dirinya bertemu dengannya. Atau mungkin dia yang lupa telah mengenal wanita itu sebelumnya.“Benar, saya memang Siska. Tapi, maaf kalau saya lupa dengan Mbak ini. Kita pernah bertemu di mana, ya?” ucap Siska dengan mata yang memicing serta kening yang berkerut cukup dalam, karena masih berusaha mencoba mengingat di mana mereka bertemu.“Saya ini Rania, kakaknya Rayyan. Saya adalah petugas fisioterapi yang menangani Reno. Apa sudah bisa mengingat tentang saya, Bu?” sahut Rania dengan senyuman.Siska terdiam sejenak. Hingga akhirnya dia pun menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Oh iya, saya baru ingat sekarang. Soalnya sudah cukup lama kita nggak ketemu ya, Bu.”“Iya, saya juga heran kenapa Reno nggak datang lagi untuk terapi? Padahal masih banyak tahapan terapi yang harus dia jalani,” sahut Rania.Kedua bola mata Siska tiba-tiba membulat ketika Rania menyinggung perihal Reno, mendiang anaknya yang