Orang tua Siska yang tak terima anaknya dimaki, segera turun tangan.“Bu, kita bicara baik-baik di dalam. Jangan di depan rumah. Nggak enak kalau didengar oleh tetangga,” ucap ibunya Siska tampak berusaha menahan emosinya.“Biar saja dengar. Biar mereka tahu kalau Siska ini perempuan nggak tahu diri, nggak tahu diuntung. Bagus sudah kami terima di keluarga, eh malah sekarang berbohong. Lagi pula buat apa dia jualan mpek-mpek. Kayak saya nggak bisa kasih dia makan saja,” sahut Tante Retno dengan wajah tak suka pada besannya.“Bu Retno, saya sudah berusaha sabar. Kalau Ibu nggak masalah teriak-teriak di depan rumah, tapi saya sangat keberatan karena saya yang tinggal di sini. Saya yang berinteraksi dengan tetangga di sini. Jadi tolong hargai saya! Kita bicara baik-baik di dalam. Lagi pula anak saya berjualan mpek-mpek ini halal kok, dan untuk tambahan biaya terapi Reno. Alhamdulillah, dagangannya laku keras. Jadi jangan dipermasalahkan dong,” sahut ibunya Siska ketus karena mulai kesal
Di saat yang sama, ponselku berdering. Tampak nama ibu mertuaku terpampang di layar ponsel. Seketika jantungku berdegup kencang, karena ibu mertuaku tiba-tiba meneleponku. Padahal saat ini beliau sedang berlibur bersama suaminya. Aku lantas mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Bu.”“Halo, Manda. Kamu ada di mana? Retno tadi telepon Ibu, menanyakan kamu dan menantunya sekarang posisinya ada di mana? Memang ada apa sih, Manda? Kok tadi Retno menangis saat telepon Ibu.”“Reno telah meninggal, Bu.”“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Sakit apa si Reno? Kok Ibu nggak dengar kalau anaknya Melvin itu sakit.”Aku terdiam untuk sesaat. Bayangan Reno yang meronta saat di gendongan eyangnya kembali melintas di kepalaku. Hingga akhirnya bocah itu terlempar dan kepalanya membentur lantai, ketika tubuh Tante Retno membentur meja dagangan Siska. Aku seketika bergidik ngeri membayangkan itu semua.“Amanda, kamu masih di situ kan?”Suara ibu mertuaku kemudian menyadarkan aku dari lamunan seput
Aku biarkan Siska menangis. Mungkin dengan menangis akan membuatnya merasa lebih tenang hatinya. Setelah beberapa menit, Siska menghentikan tangisannya.Aku berikan dia segelas air. “Minumlah dulu, Sis.”Siska mengangguk lalu meraih gelas dari tanganku. Dia meneguk air itu hingga habis setengah.“Melvin telah menalak aku, Manda,” ucapnya lirih setelah merasa dirinya lebih tenang.Aku tersentak mendengar penuturan Siska. Aku tak menyangka kalau Melvin bisa berbuat seperti itu pada istrinya, di saat suasana sedang berduka.“Apa alasannya? Apa karena kematian Reno?” tanyaku.Siska mengangguk seraya berkata, “Dia bilang, aku yang menyebabkan kematian Reno. Andaikan aku tak memaksakan diri berjualan mpek-mpek, tentu Reno masih baik-baik saja di rumah. Melvin juga menuduhku yang sengaja dan senang dengan kematian Reno, karena anak kami seorang yang berkebutuhan khusus. Kejam sekali bukan tuduhannya, Manda? Justru aku berjualan untuk mendapat uang yang aku gunakan untuk keperluan Reno. Dia n
Aku menatap suamiku seraya berkata, “Ridwan kan duda, Mas. Kalau dipasangkan dengan janda, kayaknya cocok deh. Siska kan sekarang janda.”Mas Haikal yang sedang memangku Pasya, menoleh ke arahku. Sementara Pak Ujang yang sedang fokus menyetir mobil, tiba-tiba saja menatap kami melalui kaca spion tengah. Sepertinya kalimat yang aku ucapkan tadi mengagetkan kedua pria itu.“Terus, kamu mau jadi mak comblang, begitu?” tebak Mas Haikal yang membuatku mengangguk.“Barangkali saja mereka berjodoh. Membuat orang bahagia bisa mendapat pahala kan, Mas.” Aku berkata dengan senyuman.Mas Haikal terkekeh mendengar penuturanku. Dia mengusap lembut punggung tanganku yang ada di atas pahanya.“Apa kamu sudah punya rencana?” tanyanya yang mulai penasaran.“Sudah.”“Apa itu?”“Tentunya butuh kerja sama dari kamu, Mas. Kamu undang Ridwan main ke rumah, dan aku undang Siska ke rumah. Terus kita kenalkan mereka. Selebihnya kita serahkan pada mereka cocok atau nggak, itu terserah mereka. Kita hanya sebata
Pov SiskaAku sangat terkejut ketika ternyata tamu undangan yang kata Amanda belum hadir, adalah Mas Ridwan. Seorang pria yang pernah ada di hatiku, ketika aku masih duduk di bangku SMA.Bisa dibilang kalau Mas Ridwan adalah cinta pertamaku. Aku memang menghabiskan masa kecil hingga remaja di Surabaya, karena saat itu ayahku bekerja di sana. Barulah ketika aku kelas tiga SMA, ayah dipromosikan di kantor pusat, di Jakarta. Aku yang tanggung sekolahnya, tetap berada di Surabaya. Aku tinggal di rumah nenek.Suatu hari, nenekku jatuh sakit. Aku mengantarnya berobat ke rumah sakit, yang jaraknya memang tak jauh dari rumah. Naik becak hanya memakan waktu sepuluh menit.“Kamu nggak istirahat dulu, Sis? Kamu kan baru pulang sekolah,” ucap nenekku lirih.“Kesehatan nenek lebih penting. Jadi nggak masalah kalau aku istirahatnya tertunda. Yang penting nenek cepat berobat supaya lekas sembuh,” sahutku kala itu.Nenekku tersenyum dan memeluk tubuhku. Kami pun lantas berjalan perlahan menuju ke pan
Aku sangat grogi ketika bertemu kembali dengan mantan kekasihku. Cinta pertama sekaligus yang membuat aku patah hati. Aku tersenyum dan mengangguk padanya.“Kabarku baik, Mas. Seperti yang Mas Ridwan lihat sendiri,” sahutku tenang. Tapi, tampak tenang itu hanya di luarnya saja. Dalam hatiku terasa ketar-ketir tak karuan. Apalagi ketika dia mengangsurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Seketika tanganku terasa dingin. Biar saja kalau ditertawakan olehnya karena aku yang gugup.“Senang bisa bertemu kamu lagi, Siska,” sahutnya yang tak aku tanggapi. Buat apa menanggapi suami orang. Biarpun sekarang ini statusku adalah seorang janda, tapi aku ingin menjadi janda yang elegan, janda yang terhormat. Bukan malah menjadi perebut suami orang.Setelah basa-basi itu, Amanda lantas mengajak kami semua menuju ke ruang makan. Tampak di atas meja telah tersaji berbagai hidangan yang menggugah selera.Kami mulai menikmati hidangan makan siang sambil bercerita satu sama lain. Aku sibuk berbincang
Mas Ridwan terkekeh melihat diri ini terkejut mendengar pengakuannya. Ya, memang aku tak bisa menyembunyikan perubahan wajahku.“Kaget ya kamu, Sis?”“Sudah berapa lama menjomblo?” tanyaku mulai kepo. Biar saja aku dibilang ingin tahu urusan orang lain, karena ini penting juga agar aku bisa mengambil sikap. Karena kalau dia baru saja berpisah dengan istrinya, tak pantas juga kalau langsung mendekati wanita lain.“Sudah cukup lama, Sis. Aku sudah mencoba mencari istri baru, tapi belum ada yang sreg. Bahkan orang tuaku mencoba menjodohkan aku lagi dengan seorang gadis. Tapi, nggak cocok juga. Aku yang nggak sreg, begitu juga dengan gadis itu yang ternyata nggak mau dijodohkan dengan seorang duda. Akhirnya aku fokus saja dengan pekerjaanku. Aku pasrahkan urusan jodoh pada Yang Maha Kuasa,” sahutnya dengan mata yang lurus ke depan.Aku ingin tahu penyebab dia menjomblo. Tapi, aku takut. Selain takut, aku juga merasa gengsi. Khawatir kalau Mas Ridwan menganggap aku mengharapkan dia kembali
Aku terdiam. Bingung mau berkata apa. Setelah sekian lama berpisah dan kini bertemu lagi, tiba-tiba Mas Ridwan mengajak untuk merajut kembali benang kasih yang terputus. Aku seketika merasa seperti sebuah barang yang sudah dibuang, lalu dipungut lagi. Apa serendah itukah diri ini? Dulu saat dia dijodohkan dengan orang tuanya, tak ada penolakan. Malah memutuskan hubungan denganku hingga aku sangat patah hati. Kini setelah dia ditinggalkan oleh anak dan istrinya dan merasa kesepian, minta aku untuk mengisi ruang kosong itu. Adilkah ini untukku? Memang aku juga kehilangan suami dan anak. Tapi, aku belum memikirkan untuk mencari pendamping hidup. Aku perlu menata hatiku terlebih dahulu.“Siska,” panggil Mas Ridwan lembut, yang seketika membuyarkan lamunanku.“Eh, iya. Maaf kalau aku sempat melamun.”“Nggak apa, Sis. Kamu pasti melamunkan jawabannya, iya kan?” tebak Mas Ridwan yang memang tepat sasaran.Aku hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban pasti untuknya. Hal itu membuat Mas Ridwan