Ileana melajukan mobil entah kemana. Sudah setengah jam ia berada di jalan, setelah pergi meninggalkan Davie bersama wanita selingkuhannya di hotel itu. Ia tak tahu harus apa. Dikhianati itu rasanya sangat sakit. Hal inilah yang paling ditakutkan Ileana saat hendak menjalin hubungan serius. Dan sekarang hal buruk itu terjadi padanya. Pria yang ia percaya justru mengkhianatinya.Ileana terus menangis di sepanjang perjalanan. Tak tahu sekarang ini ia melintas di daerah mana. Yang jelas ia hanya ingin berkeliling, menumpahkan segala kesedihannya sendirian.Hingga fokusnya terpecah saat sorot lampu sebuah mobil dari arah berlawanan membuatnya terpaksa membanting setir ke kiri untuk menghindari kecelakaan. Mobilnya sudah berada di tepi jalan. Untunglah dirinya masih diberi keselamatan. Tidak terjadi apa-apa.Ileana mengatur napas sejenak sambil bersandar di kursi. Air mata masih tetap berlinang di pipi. Sampai akhirnya ada suara ketukan dari jendela mobilnya. Ileana menoleh dan langsung me
Saat ini, Ileana sudah hampir tiba di perumahan yang menjadi tempat tinggalnya setelah menikah. Sekitar 50 meter lagi, ia akan melewati pos keamanan yang ada di depan perumahan. Tapi Ileana mendadak menginjak rem karena ada sebuah mobil minibus hitam menyalip dan berhenti tepat di depan mobilnya. Hampir saja body mobilnya menabrak minibus tersebut.Ileana yang masih mengatur napas, justru kembali dikejutkan oleh segerombol pria yang turun dari dalam minibus itu. Mereka menghampiri mobil Ileana dan mengetuk jendela mobil itu, memaksanya untuk segera keluar. Bahkan salah satu dari mereka bersiap memecahkan jendela mobil dengan batu jika Ileana tak mau keluar.Dengan sangat terpaksa, Ileana menuruti permintaan mereka. Meskipun dirinya bisa membela diri, Ileana merasa takut kali ini. Beberapa dari mereka membawa benda tajam yang bisa saja mereka tancapkan ke tubuh Ileana jika Ileana berusaha memberontak."Masuk ke mobil kami!" perintah salah satu pria berkacamata dengan kepala plontos dan
Pagi ini, Ileana meminta izin pada Ikhwan untuk pergi menemui Braga. Ia akan berbicara empat mata dengan pria itu. Untung saja Ileana diizinkan oleh Ikhwan. Wanita itu pergi ditemani oleh dua orang suruhan Braga yang selalu berjaga di rumah panggung itu. Ileana tidak sempat bertanya siapa pemilik rumah panggung itu. Lokasinya saat ini pun sudah jauh dari tempat tinggalnya sendiri.Selama di perjalanan, Ileana terus memikirkan sesuatu. Ia lebih banyak melamun sambil menatap ke jendela mobil di sebelah kanan. Sedangkan dua orang pria yang menemaninya duduk di depan.Hingga beberapa jam kemudian, sampailah Ileana di depan sebuah gedung bertingkat, bertuliskan Braga Company. Sudah dapat dipastikan perusahaan itu milik Braga. Ileana turun ditemani dua pria yang mengantarnya ke perusahaan tersebut."Pak Braga ada di dalam, Bu. Anda diperbolehkan masuk," ucap resepsionis yang mengantarkan Ileana sampai ke depan ruangan Braga."Makasih, Mbak."Ileana masuk ke dalam sendirian. Dua pria tadi me
Ileana tiba di rumahnya setelah bertemu dengan Braga dan berkunjung ke pengadilan agama untuk menanyakan perihal perceraian. Ia menaiki taksi untuk sampai di perumahan dan mobil yang sempat ia tinggalkan di dekat perumahan sudah tidak ada.Saat masuk ke dalam, mobilnya sudah ada di garasi. Kemungkinan besar, Davie yang membawanya karena kunci mobil masih tertinggal ketika dirinya dibawa paksa oleh anggota Braga."Sayang!"Seruan Davie membuat Ileana sedikit tersentak. Pria itu langsung berlari menghampiri Ileana dan memeluknya dengan erat. Raut wajah Davie menunjukkan rasa rindu yang teramat besar pada istrinya. Bahkan kondisi Davie saat ini cukup berantakan. Rambut yang biasanya rapi, kini terlihat berantakan dan tubuhnya sedikit bau karena tidak mandi.Ileana yang melihat suaminya begitu kacau pun tampak iba. Ia melepas pelukan sang suami dan membawanya masuk ke dalam rumah."Mas, kita bicara di dalam aja ya," ajak Ileana.Davie hanya mengangguk dan mengikuti langkah sang istri tanp
Sekitar 10 menit menunggu di ruang keluarga, Ileana melihat Davie turun dari tangga dengan langkah tergesa dan menghampirinya. Davie duduk di samping kiri Ileana dan langsung menggenggam tangan sang istri. Diusapnya pelan punggung tangan itu sambil tersenyum manis pada Ileana."Bisa kita bicara sekarang?" tanya Davie.Ileana mengangguk. "Bisa, Mas.""Oke. Aku mulai dulu ya.""Iya, Mas."Davie menghirup napas sejenak, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Mencoba untuk menenangkan hati yang gundah-gulana sejak peristiwa itu. Ditatapnya lekat-lekat kedua mata sendu Ileana. Meskipun sendu, Ileana tetap terlihat tegar dalam menghadapi apapun."Sekarang, jelasin kenapa kamu bisa mabuk malam itu, Mas. Aku butuh penjelasan yang tepat dan bukti yang kuat," ujar Ileana sebelum Davie memulai ceritanya. "Yang terpenting bagiku itu bukti. Mau kamu jelasin berulang kali pun, kalau bukti nggak ada, itu percuma aja."Ileana menghela napas panjang. "Lebih baik kita berpisah daripada harus berkhianat
Sudah seminggu Davie tidak datang ke kantor, sejak kepergian Ileana dari rumah. Ia tidak tahu dimana wanita itu tinggal. Sampai detik ini, tidak ada kabar apapun. Bahkan panggilan sidang yang dikatakan Ileana juga tidak ada. Tapi Davie berharap, sidang perceraian itu tidak terjadi. Ia tidak siap berpisah dengan Ileana.Davie seakan berjalan tanpa arah saat Ileana memutuskan untuk pergi darinya. Padahal ia tidak benar-benar melakukan pengkhianatan itu. Jika dirinya tidak mencintai Ileana, mungkin pernikahan itu tidak akan terjadi. Davie juga tidak menyangka Ileana menyerah begitu saja pada pernikahan mereka."Ilea, dimana kamu? Aku kangen," gumam Davie yang selama seminggu ini terus mengurung diri di kamar. Panggilan Bi Tuti sama sekali tidak digubris olehnya.Pria berwajah tampan itu menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak dan perih. Rasa sesak dan perih itu ia rasakan kembali untuk kedua kalinya setelah kepergian Annisa dulu.Hingga suara ketukan pintu membuat Davie menatap ke a
Setelah kepergiannya dari rumah Davie, Ileana memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah yang tidak terlalu besar, jauh dari perkotaan. Bahkan Ikhwan dan Braga pun tidak mengetahui tempat tinggalnya sekarang. Ileana merasa nyaman berada di tempat itu. Bahkan ia sudah akrab dengan beberapa tetangga di sekitarnya.Saat ini, Ileana baru saja selesai menjemur pakaian di halaman depan rumah. Ia sempat bertegur-sapa dengan tetangga lain yang melintas.Ileana pun berniat kembali masuk ke dalam setelah aktivitasnya selesai. Tapi sebuah panggilan dari arah belakang menghentikan langkah kakinya. Ileana menoleh dan tersenyum melihat kehadiran teman lamanya yang bertugas di pengadilan agama."Loh, Chintya?" Ileana mengernyitkan dahi. "Kok ke sini dulu? Nanti lo telat ke kantornya."Wanita bernama Chintya itu tertawa ringan sambil menyodorkan sebuah amplop coklat. "Gue cuma mau kasih ini ke elo. Surat cerai dari pengadilan.""Oh, makasih ya. Maaf udah ngerepotin lo, Chin.""Ck! Nggak masalah. Lo itu
Sore hari, pukul 06.00 sore, Davie berkendara sendiri menuju rumah kontrakan Ileana. Ia tidak akan menyerah begitu saja demi mempertahankan mahligai rumah tangga yang baru berjalan seumur jagung. Davie tidak akan pernah rela sang istri menikah lagi dengan pria lain, meskipun surat perceraian sudah turun. Davie menganggap surat itu tidak sah karena dirinya sama sekali tidak menyetujui itu.Davie tiba di lokasi sekitar pukul 08.00 malam karena cukup jauh dari rumahnya. Ia bergegas turun dari mobil saat dirinya melihat Ileana sedang duduk santai di teras sambil menikmati secangkir teh hangat."Sayang," panggil Davie.Ileana menoleh dan hampir saja menjatuhkan cangkir teh yang dipegang olehnya. Ia bisa melihat raut wajah sendu Davie saat ini. Cangkir teh tersebut Ileana letakkan di atas meja kecil, kemudian ia berdiri, berhadapan dengan Davie."Mau apa lagi sih, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apa-apa," ucap Ileana lelah.Davie menggenggam kedua tangan wanita yang masih ia anggap sebaga