Setelah kepergiannya dari rumah Davie, Ileana memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah yang tidak terlalu besar, jauh dari perkotaan. Bahkan Ikhwan dan Braga pun tidak mengetahui tempat tinggalnya sekarang. Ileana merasa nyaman berada di tempat itu. Bahkan ia sudah akrab dengan beberapa tetangga di sekitarnya.Saat ini, Ileana baru saja selesai menjemur pakaian di halaman depan rumah. Ia sempat bertegur-sapa dengan tetangga lain yang melintas.Ileana pun berniat kembali masuk ke dalam setelah aktivitasnya selesai. Tapi sebuah panggilan dari arah belakang menghentikan langkah kakinya. Ileana menoleh dan tersenyum melihat kehadiran teman lamanya yang bertugas di pengadilan agama."Loh, Chintya?" Ileana mengernyitkan dahi. "Kok ke sini dulu? Nanti lo telat ke kantornya."Wanita bernama Chintya itu tertawa ringan sambil menyodorkan sebuah amplop coklat. "Gue cuma mau kasih ini ke elo. Surat cerai dari pengadilan.""Oh, makasih ya. Maaf udah ngerepotin lo, Chin.""Ck! Nggak masalah. Lo itu
Sore hari, pukul 06.00 sore, Davie berkendara sendiri menuju rumah kontrakan Ileana. Ia tidak akan menyerah begitu saja demi mempertahankan mahligai rumah tangga yang baru berjalan seumur jagung. Davie tidak akan pernah rela sang istri menikah lagi dengan pria lain, meskipun surat perceraian sudah turun. Davie menganggap surat itu tidak sah karena dirinya sama sekali tidak menyetujui itu.Davie tiba di lokasi sekitar pukul 08.00 malam karena cukup jauh dari rumahnya. Ia bergegas turun dari mobil saat dirinya melihat Ileana sedang duduk santai di teras sambil menikmati secangkir teh hangat."Sayang," panggil Davie.Ileana menoleh dan hampir saja menjatuhkan cangkir teh yang dipegang olehnya. Ia bisa melihat raut wajah sendu Davie saat ini. Cangkir teh tersebut Ileana letakkan di atas meja kecil, kemudian ia berdiri, berhadapan dengan Davie."Mau apa lagi sih, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apa-apa," ucap Ileana lelah.Davie menggenggam kedua tangan wanita yang masih ia anggap sebaga
Davie berjalan tergesa-gesa, memasuki area perkantoran yang bukan miliknya. Raut wajahnya tampak tak bersahabat. Memaksa sang resepsionis di kantor itu untuk menunjukkan ruangan bosnya. Waktu masih menunjukkan pukul 07.15 pagi. Tapi kemungkinan besar bos pemilik perusahaan itu sudah datang.Sang resepsionis yang merasa ditekan oleh paksaan Davie pun bergegas menunjukkan ruangan bosnya. Setelah ditunjukkan, Davie masuk sambil membuka pintu ruangan itu dengan kasar. Hal itu membuat penghuni di dalam ruangan terlonjak kaget.Davie mempercepat langkah untuk menghampiri seorang pria paruh baya yang tak lain adalah Rudy, si pemilik perusahaan. Ia mencengkram kerah jas Rudy, sedangkan Rudy masih terduduk di kursi kerjanya."Kenapa Bapak tega fitnah saya, hah?!" teriak Davie di depan wajah Rudy. Jarak mereka hanya sejengkal dan Rudy bisa menatap dengan jelas kemarahan di wajah Davie. "Gara-gara kelakuan Bapak, saya digugat cerai sama istri saya! Apa salah saya sama Bapak, hah?! Selama ini, sa
"Tolong, dengar nasehat saya, Bu Ilea," pinta Rudy sekali lagi.Sejak tadi, Ileana tidak memberi respon apapun mengenai pengakuan jujur Rudy. Semua detail rencana yang Rudy susun di malam pertemuan itu juga sudah dijabarkan. Bahkan ekspresi Ileana sempat berubah saat mendengar nama si resepsionis yang ia kira baik, ternyata ikut terlibat dalam rencana itu. Sungguh, mereka pandai bersandiwara. Pikir Ileana."Semua demi kebaikan Pak Davie dan Bu Ilea."Ileana menarik napas lalu membuangnya dengan kasar. Sejujurnya ia lelah menghadapi masalah dalam hidupnya. Sejak dulu, tidak ada kebahagiaan yang Ileana rasakan. Bahkan saat menikah pun, kebahagiaan seakan enggan berdampingan dengannya. Kebahagiaan itu hanya muncul sesaat. Setelah itu menghilang diterpa badai."Sayang, tolong pertimbangin lagi keputusan kamu. Aku nggak mau kamu masuk dalam jebakan Braga. Lagian kamu masih istri aku karena aku nggak setuju sama perceraian itu. Bahkan kamu nggak ada kasih tahu jadwal sidangnya kapan. Harusn
Setelah dua jam disibukkan dengan pekerjaan dan harus memeriksa kesibukan di ruang produksi, Ileana memutuskan untuk beristirahat sejenak di ruangannya. Tirai penutup kaca pemisah ruangan itu sudah dibuka karena Braga baru saja keluar untuk melakukan rapat.Ileana memanfaatkan kesempatan itu untuk masuk kembali ke ruangan Braga. Mencari lagi surat-surat yang ia inginkan. Tapi Ileana masih belum menemukannya.Wanita itu berkacak pinggang, mengitari seisi ruangan. Berulang kali napas panjang ia lontarkan karena menahan kekesalan. Ternyata Braga lebih pandai dalam urusan simpan menyimpan dokumen penting seperti itu.Sesaat kemudian, Ileana melihat sekretaris Braga masuk ke dalam membawakan kopi. Ileana bersembunyi di bawah meja agar tidak ketahuan oleh wanita itu."Pasti Mas Braga bakalan suka kopi buatan aku. Rasanya manis, kayak muka aku."Ileana ingin tertawa mendengar kepercayaan diri wanita bernama Vania itu. Ia berusaha menahan agar persembunyiannya tidak diketahui. Vania sangat su
Braga terkulai lemas di atas sofa. Entah sudah berapa kali ia mondar-mandir ke kamar mandi hanya untuk membuang hajat. Wajahnya pucat karena kekurangan cairan. Ia tak sanggup lagi untuk sekadar marah pada Vania yang telah meracuni kopinya. Sedangkan Vania sendiri masih berusaha meyakinkan Braga bahwa dirinya tidak bersalah."Mas, aku nggak ngelakuin itu. Aku berani sumpah, nggak ada kasih apapun di kopi kamu," ucap Vania.Braga menaikkan tangan kanannya. Meminta Vania untuk diam karena kepalanya terasa pusing, bahkan seperti berputar-putar. Rasa melilit di perutnya masih sama seperti sebelumnya. Tak kunjung reda."Makanya Vania, lain kali tuh kerja yang bener. Jangan asal aja. Harusnya dipastikan lagi minumannya aman atau enggak. Kalau udah gini, kamu nggak mau tanggung jawab, kan?" Kali ini Ileana yang berkata. Kebetulan ia berdiri di samping kiri Braga.Vania menatap Ileana dengan tatapan tidak suka. Ingin rasanya memaki wanita itu karena ikut menuduhnya. Tapi Vania harus tetap menj
"...Aku bisa gila, Sayang."Kata-kata itu masih terngiang di telinga Ileana. Saat ini, ia masih berada di samping Davie yang sudah tertidur. Sebelumnya, Ileana memaksa Davie untuk makan dan minum yang banyak. Tubuh Davie sangat kurus dan lemah. Ileana tidak tega melihat pria itu menjadi kurus kering karenanya. Setelah selesai makan, Ileana meminta Davie untuk istirahat.Kebiasaan yang Ileana lakukan sebelum Davie tidur adalah mengelus punggung tangan pria itu. Selain itu, Ileana memberanikan diri mencium kening pria yang selalu mengisi relung hatinya hingga saat ini. Tak mudah baginya melupakan pria itu. Bagaimana pun juga, Davie masih menjadi bagian dari kisah hidupnya.Ileana kembali teringat dengan percakapannya tadi bersama Davie, sebelum Davie makan. Ileana mencoba memberi pengertian pada pria itu, meskipun dirinya masih belum bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."Mas, maafin aku ya. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu sampai separah ini. Ada alasan lain yang sulit buat aku
"Tentang surat cerai itu."Davie mengernyit heran. Ekspresi wajah Ileana sudah berubah menjadi cemas. "Kenapa?""Tapi janji jangan marah ya," ucap Ileana dengan suara gemetar.Davie menampilkan senyuman manis agar Ileana tidak merasa takut untuk berbicara. Entah apa yang akan dikatakan Ileana tentang surat itu. Yang jelas, Davie tidak bisa marah pada Ileana."Aku nggak marah kok."Ileana menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Digenggamnya kedua tangan Davie dengan erat. Ia pun berkata, "Surat cerai itu … palsu, Mas.""Palsu?""Iya, Mas." Ileana menggigit bibir bawahnya sejenak. Ia benar-benar cemas sekarang. Ekspresi Davie saat ini tak bisa Ileana tebak. "Surat itu aku buat cuma untuk kasih tunjuk ke Braga aja. Aku nggak pernah ajukan cerai ke pengadilan agama," sambungnya. "Tadinya memang ada rencana mau lakuin itu karena aku kesel sama kamu. Untungnya aku ketemu sama temen lama waktu datang ke pengadilan agama. Namanya Chintya. Dia minta aku buat pikirin semuanya sebelum
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan