Braga terkulai lemas di atas sofa. Entah sudah berapa kali ia mondar-mandir ke kamar mandi hanya untuk membuang hajat. Wajahnya pucat karena kekurangan cairan. Ia tak sanggup lagi untuk sekadar marah pada Vania yang telah meracuni kopinya. Sedangkan Vania sendiri masih berusaha meyakinkan Braga bahwa dirinya tidak bersalah."Mas, aku nggak ngelakuin itu. Aku berani sumpah, nggak ada kasih apapun di kopi kamu," ucap Vania.Braga menaikkan tangan kanannya. Meminta Vania untuk diam karena kepalanya terasa pusing, bahkan seperti berputar-putar. Rasa melilit di perutnya masih sama seperti sebelumnya. Tak kunjung reda."Makanya Vania, lain kali tuh kerja yang bener. Jangan asal aja. Harusnya dipastikan lagi minumannya aman atau enggak. Kalau udah gini, kamu nggak mau tanggung jawab, kan?" Kali ini Ileana yang berkata. Kebetulan ia berdiri di samping kiri Braga.Vania menatap Ileana dengan tatapan tidak suka. Ingin rasanya memaki wanita itu karena ikut menuduhnya. Tapi Vania harus tetap menj
"...Aku bisa gila, Sayang."Kata-kata itu masih terngiang di telinga Ileana. Saat ini, ia masih berada di samping Davie yang sudah tertidur. Sebelumnya, Ileana memaksa Davie untuk makan dan minum yang banyak. Tubuh Davie sangat kurus dan lemah. Ileana tidak tega melihat pria itu menjadi kurus kering karenanya. Setelah selesai makan, Ileana meminta Davie untuk istirahat.Kebiasaan yang Ileana lakukan sebelum Davie tidur adalah mengelus punggung tangan pria itu. Selain itu, Ileana memberanikan diri mencium kening pria yang selalu mengisi relung hatinya hingga saat ini. Tak mudah baginya melupakan pria itu. Bagaimana pun juga, Davie masih menjadi bagian dari kisah hidupnya.Ileana kembali teringat dengan percakapannya tadi bersama Davie, sebelum Davie makan. Ileana mencoba memberi pengertian pada pria itu, meskipun dirinya masih belum bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."Mas, maafin aku ya. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu sampai separah ini. Ada alasan lain yang sulit buat aku
"Tentang surat cerai itu."Davie mengernyit heran. Ekspresi wajah Ileana sudah berubah menjadi cemas. "Kenapa?""Tapi janji jangan marah ya," ucap Ileana dengan suara gemetar.Davie menampilkan senyuman manis agar Ileana tidak merasa takut untuk berbicara. Entah apa yang akan dikatakan Ileana tentang surat itu. Yang jelas, Davie tidak bisa marah pada Ileana."Aku nggak marah kok."Ileana menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Digenggamnya kedua tangan Davie dengan erat. Ia pun berkata, "Surat cerai itu … palsu, Mas.""Palsu?""Iya, Mas." Ileana menggigit bibir bawahnya sejenak. Ia benar-benar cemas sekarang. Ekspresi Davie saat ini tak bisa Ileana tebak. "Surat itu aku buat cuma untuk kasih tunjuk ke Braga aja. Aku nggak pernah ajukan cerai ke pengadilan agama," sambungnya. "Tadinya memang ada rencana mau lakuin itu karena aku kesel sama kamu. Untungnya aku ketemu sama temen lama waktu datang ke pengadilan agama. Namanya Chintya. Dia minta aku buat pikirin semuanya sebelum
Di kamar VVIP lain, Braga tampak kesal karena harus berada sendirian di rumah sakit. Orang tuanya tidak bisa menemani. Mereka ada urusan lain di luar kota. Sedangkan Ileana pergi begitu saja. Padahal Ileana adalah calon istrinya.Braga menggerutu sendiri saat dirinya hendak mengambil air minum yang ada di atas nakas. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tidurnya.Setelah meneguk hampir setengah gelas, Braga kembali mengumpati kesialannya. Ia tak bisa berpikir waras saat ini."Sialan lo, Ilea! Bukannya jagain gue, malah keluyuran entah kemana! Sial banget gue ah!""Dia nggak keluyuran kok."Sebuah suara mengalihkan pandangan Braga ke arah pintu masuk. Braga mengernyitkan dahi. Ia tak mengenali wanita yang tiba-tiba muncul dalam ruangannya. "Siapa lo? Main masuk sembarangan aja. Nggak sopan!" celetuknya kesal.Wanita itu tersenyum. Langkahnya terlihat santai menghampiri Braga setelah menutup pintu ruangan tersebut. Dengan tangan bersedekap di dada, wanita itu berkata, "Aku Karina. Te
Menjelang malam, Braga masih saja gelisah. Matanya terpejam, namun pikirannya menerawang. Pernyataan yang dilontarkan Karina membuatnya terus berpikir mengenai kebohongan Ileana. Surat cerai dan berpura-pura akan menikah dengannya. Braga mencoba menelisik ke lubuk hati yang terdalam. Ada rasa sakit di sana. Seolah ada luka sayatan yang cukup besar.Untuk pertama kalinya, Braga merasa sakit hati karena seorang wanita. Mungkinkah ia terjebak dalam arus cinta? Braga tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Bahkan dengan Yoanna sekalipun. Tak pernah ada rasa perih saat ditinggalkan atau meninggalkan wanita yang dekat dengannya. Sangat berbeda saat mengetahui Ileana hanya berpura-pura setuju menikah dengannya.Braga membuka mata, duduk bersandar di tempat tidur rawatnya. Ia melamun sejenak, merasakan debaran di dada saat membayangkan wajah cantik Ileana. Wanita itu diam-diam sudah menanamkan benih cinta di hati Braga."Apa ini? Kenapa gue jadi lemah kayak gini? Harusnya gue marah karena dibo
Saat masuk ke dalam kamar rawat Davie, Ileana terkejut karena tidak ada suaminya di kamar itu. Ileana mencari ke kamar mandi, namun tidak juga ia temukan."Mas," panggilnya.Tak lama, pria yang dicari muncul dari balik pintu kamar tersebut. Ileana menghela napas lega dan menghampiri Davie."Kamu habis darimana, Mas? Aku khawatir tahu," pungkas Ileana.Davie tersenyum. Kedua matanya tampak sedikit berkaca-kaca. Diusapnya kepala sang istri dengan tatapan yang begitu lembut. Ileana hanya bisa mengernyit bingung, tanpa ada niatan untuk bertanya."Aku habis dari luar, Sayang.""Mas ngapain keluar? Harusnya bilang sama aku, biar ditemenin."Davie menggeleng perlahan. "Aku nggak mau ganggu kamu yang lagi selesaikan masalah sama seseorang.""Hah?" Ileana masih bingung.Davie tidak langsung menjelaskan. Ia mengajak Ileana untuk duduk. Kali ini, Ileana duduk di atas tempat tidur, sedangkan Davie masih berdiri di hadapan sang istri."Aku dengar percakapan kamu sama Braga. Tadinya aku keluar mau
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …