"Pulang ya! Kamu istirahat dulu!" "Apa Kakak tidak mau aku di sini?" Zahra sedikit kesal karena Andi terus saja menyuruhnya untuk pulang. "Ya, Aku tidak mau kamu di sini dalam keadaan lelah menungguku. Kamu pun butuh istirahat, Ra. Aku sudah baik-baik saja apalagi obat ku kini sudah datang," ucapnya lagi dengan sedikit menggoda Zahra. "Pulang lah dulu cintaku, nanti sore kamu bisa kesini lagi membawa obat herbal yang ampuh untukku lagi," godanya lagi membuat Zahra kini merona malu karena Andi terus saja menggodanya. "Ra, pulanglah dulu. Biar Ayah yang nunggu di sini. Nanti setelah kamu istirahat kamu bisa tertarik lagi ke sini sore. Kamu pasti capek kan?" timpal Santosa, ayah dari Andi itu. "Ayah kamu juga nanti ke sini nemenin ayah. Jadi sebaiknya kamu istirahat dulu ya!" "Baiklah Ayah, Zahra pulang dulu nanti sore ke sini lagi." Zahra menoleh pada Andi. "Cepatlah sembuh! Karena aku tidak suka melihat pria yang terbaring rumah di rumah sakit," ucapnya menyindir tak terius Andi.
"Ra, kamu duduk dulu. Aku bisa jelaskan." "Okey, jelaskan sekarang juga semuanya! Dan jangan sampai ada yang terlewat sedikit pun." Zahra menatap Erlangga dengan masih menahan amarahnya memberikan kesempatan untuk berlangga menjelaskan. Erlangga menarik nafas dalam-dalam. Bingung, tentu saja Erlangga sangat bingung. Erlangga takut hubungannya yang baru saja membaik dengan Zahra akan kembali renggang jika dirinya mengatakan yang sebenarnya. Namun, Erlangga juga takut jika dirinya tak jujur dan Zahra akan lebih membencinya jika mengetahui kebenarannya dari orang lain. "Sekarang, Kak!" sentak Zahra dengan mata yang sudah berembun karena tidak menyangka jika Erlangga tega melakukan hal sekeji itu. "Ra, aku ...." "Kakak yang sudah membuat perusahaan Kak Andi bangkrut dengan sengaja. Kakak juga menjadikan Pak Daus kambing hitam dari apa yang Kakak lakukan, begitu bukan?" Zahra kembali meneteskan air matanya sungguh merasa hidupnya begitu sulit karena baru saja mereka berbaikan tetapi ha
Kehidupan Zahra dengan Andi kembali seperti biasa. Zahra memutuskan untuk tidak memberitahukan kepada Andi apa yang dilakukan Erlangga padanya. Biarlah semua itu Zahra kubur dan akan menjadi rahasianya bersama Erlangga. Bukan tanpa alasan, Zahra tak ingin terjadi kesalah pahaman antara dirinya dengan Andi. "Ra, kamu itu kenapa sih? Bengooong terus. Padahal biasanya orang mau menikah itu selalu bahagia, sering ketawa, bahkan senyum-senyum sendiri," tegur sang ibu pada putrinya yang sering sekali bengong.Zahra menoleh pada Aisyah. "Ibu ini, masa Zahra ketawa sendiri, begitu?""Ya enggak gitu juga, Ra. Ya kamu kok penuh terus, ibu kan jadi bingung sebenarnya kamu itu mau atau tidak menikah dengan Andi." Aisyah membalikkan tubuh Zahra agar menghadap nya. "Ra, pernikahan itu hal yang sakral dan tidak bisa dibawa main-main. Jika kamu memang tidak bisa-" "Zahra mau menikah dengan Kak Andi kok, Bu. Ibu tidak usah khawatir Zahra baik-baik saja," ujar Zahra selalu menepis tebakan ibunya. Ai
Erlangga menatap wajah Zahra yang tengah tersenyum manis padanya. Mengusap lembut juga terus menatap foto itu dengan dalam. Foto itu di ambilnya saat Erlangga dengan sengaja meminta Zahra berpose memberikan senyuman karena Erlangga ingin memotretnya. "Satu, dua, tiga." Cekreek! "Perfect," ucap Erlangga dengan tersenyum lalu mengecup foto itu. "Kak, kenapa di kecupin terus fotonya?" "Pengennya orangnya sih, tapi kamu pasti nggak mau kan?" "Janganlah, Kak. Kita belum muhrim." Zahra mengerucutkan bibirnya. "Jangan cemberut, nanti malah beneran ku cium." Erlangga mencuil hidung Zahra. "Iiissst, Kak. Jangan lakukan itu lagi, aku gak suka." "Terus aku harus gimana, Hem? Nyium enggak boleh, nyuil enggak boleh, apa aku harus langsung menerkam mu?" "Huwaaa." Zahra berlari saat Erlangga berusaha mengejarnya dengan tertawa bersuka cita.Mereka begitu bahagia walau Erlangga seorang preman, mereka tak pernah melakukan hal-hal yang belum di perbolehkan sebelum mereka menjadi muhrim. Erlan
Andi meminta Erlangga mendampinginya hingga di depan penghulu. Zahra begitu terkejut karena ternyata Erlangga kini berada di samping Andi. Dan akan menyaksikan pernikahannya dengan Andi. 'Kak Erlangga?' gumamnya dengan mata yang berembun. 'Kenapa Kak Erlangga harus datang?' Zahra meremas dadanya dan memejamkan matanya. Zahra mengingat kembali ucapan Erlangga saat di Bandung. Di mana hari itu Erlangga mengatakan jika dirinya masih sangat mencintai Zahra. Akan tetapi, dia akan rela melihat Zahra bahagia dengan Andi. Seketika air mata Zahra menetes walau sudah berusaha untuk dibendungnya. Zahra segera memalingkan wajah agar sang ibu yang kini mengapitnya melihatnya menangis. Hati Zahra begitu sesak melihat pria yang dicintai juga mungkin mencintainya tengah duduk menunggunya datang. Mirisnya, pria yang kini duduk menunggunya itu bukan menunggu karena akan menikah dengan Zahra melainkan menjadi saksi dari pernikahan sang pujaan hati. 'Kak, kumohon pergilah!' batin Zahra terus berteria
"Menikahlah dengan Zahra, Pak Er. Anda dan Zahra saling mencintai bukan?" "Pak Andi." Erlangga menggelengkan kepalanya tak percaya. "Tidak Pak Andi. Saya ikhlas melepas Zahra. Aku yakin Pak Andi bisa membahagiakannya." Andi beranjak dan menghampiri Zahra lalu menariknya untuk duduk di samping Erlangga. "Pak penghulu, bisakah Bapak menikahkan mereka sekarang?" "Nak Andi, tolong jangan gegabah mengambil keputusan." Malik menatap Andi dengan sendu."Tidak, Ayah. Aku yakin ini yang terbaik. Aku tidak ingin menyesal menjadi orang jahat yang menjadi penghalang hubungan mereka, Ayah. Mereka saling mencintai bukan?" Malik akhirnya mengeluarkan air matanya yang sudah tidak bisa ditahan. Bagaimana pun dirinya paling merasa menyesal karena keegoisannya yang membuat Zahra dan Erlangga harus berpisah. Dan kini Andi pun harus tersakiti karena ternyata cinta Erlangga dan Zahra yang begitu kuat. "Maafkan Ayah, Nak Andi. Maafkan Ayah. Ini semua salah Ayah." Malik terisak menyadari kesalahannya di
Suasana kembali haru karena kini kedua mempelai begitu terlihat bahagia. Andi duduk di samping Erlangga seperti halnya tadi Erlangga duduk di samping Andi. Bedanya kini pengantin wanitanya begitu terlihat bahagia. Tak ada yang tahu bagaimana perasaan Anda saat ini. Akan tetapi, Andi begitu pintar menyembunyikan perasaannya. "Beda ya raut wajahnya. Kini berseri, enggak kaya tadi," ujar Andi saat Zahra duduk di samping Erlangga. "Aku bercanda, Ra, he he. Berbahagia lah, aku yang akan menjadi saksi pernikahan kalian." Santosa izin untuk tidak hadir dalam acara itu. Andi pun tidak ingin memaksa sang ayah karena tentu saja itu rasanya sakit. Melihat sang putra tak jadi menjadi sang pengantin pria. Dan mantannya itu. Ya, mantan. Zahra kini sudah menjadi mantan tunangan Andi. Andi hanya meminta pada ayahnya untuk tidak banyak berpikir tentang dirinya. Andi sudah benar-benar ikhlas dan bahkan akan merasa sangat bersalah jika dirinya menikah dengan wanita yang dicintai oleh orang lain dan m
"Er, astaghfirullah ... kenapa kamu menikah dengan tiba-tiba seperti ini?" Yudistira segera menghampiri Erlangga setelah saat memasuki gedung itu. "Kamu tidak melakukan kesalahan kan, Er?" Malik menatap Yudistira dengan masih menyisakan penyesalan. Menyesal karena pernah menolak Erlangga dan bahkan memakinya. Padahal Erlangga adalah putra dari sahabatnya yang terkenal baik hati juga dermawan seperti Yudistira. "Lik, apa yang terjadi? Mengapa anak kita menikah dadakan? Bukankah-" "Pah, Papah lagi sakit. Dudukla dulu, nanti Er jelaskan dengan detailnya. Sekarang Papa duduk dulu yang tenang untuk menyapa tamu. Tapi kalau Papa cape, mungkin sebaiknya Papah istirahat." Malik begitu tak percaya dengan Erlangga yang dulu dimakinya karena di anggapnya hanya seorang preman tak punya masa depan bisa berbicara yang baik-baik. Nyatanya, Erlangga begitu lembut dan perhatian pada papanya. Malik kembali menyadari kesalahannya yang hanya menilai orang dari penampilannya. Malik serasa di tampar b
Tujuh bulan kemudian ... "Aaaakh! Sakit, Kak!" Zahra memegang erat tangan Erlangga saat kontraksi itu menyerangnya. "Dokter, lakukan sesuatu untuk istriku! Atau aku akan menghancurkan rumah sakit ini!" geram Erlangga karena tak tega melihat melihat istrinya kesakitan. "Er, tenang. Ini memang proses persalinan. Semua wanita merasakannya," Sarah berusaha menenangkan menantunya. "Buatlah Zahra nyaman dan tetap tenang." Zahra pun mengapit wajah Erlangga. "Kak, aku tidak apa-apa. Aku bisa tahan ini." Erlangga pun berusaha untuk tenang dan melakukan apapun sesuai nasehat ibu mertuanya untuk menenangkan Zahra. "Sayang, jangan bikin mommy sakit ya. Daddy sayang kamu." Erlangga terus mengusap perut itu berusaha untuk tenang, walau Erlangga sebenarnya tak bisa karena Zahra terus meremas erat lengannya. "Ya Allah ... lancarkan persalinan istriku. Selamat kan lah anak dan istriku." Zahra semakin kesakitan. Dokter pun mengatakan jika pembukaannya sudah lengkap. Zahra sudah mulai mengejan. Er
Tiga bulan kemudian ... "Undangan pernikahan." Zahra mengambil kertas undangan yang ada di atas meja. "Elsa dan Jimmy, apaaa?" Zahra membekap mulutnya tak percaya undangan pernikahan itu dari sahabatnya dengan pria yang katanya adalah pria paling rese yang Elsa bilang. Erlangga baru keluar dari kamar mandi. "Ada apa, sayang? Kenapa kamu teriak sih?" "Kak ini undangan pernikahan namanya benar?" Erlangga mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" Zahra membuang napasnya. "Elsa bilang Kak Jimmy adalah pria paling rese yang pernah ditemuinya. Masa tiba-tiba ada undangan pernikahan?" Erlangga terdiam sejenak lalu tertawa renyah. "He he, namanya juga manusia." Zahra mengerucutkan bibirnya mendengar sahutan Erlangga. "Malah tertawa." Erlangga yang hendak menuju tempat ganti baju pun berhenti melaju. "Terus aku harus bagaimana, sayang?" "Terserah deh, aku mau telpon Elsa dulu. Memastikan undangan ini benar atau tidak." Erlangga menggaruk pipinya yang tak gatal. "Huuh, dasar wanita." ***"
"Apa-apaan, Pak Er? Saat ini kita tidak sedang kekurangan karyawan, Pak. Bagaimana mungkin saya harus menerima karyawan baru."Jimmy tidak mengerti mengapa sang bos menyuruhnya menerima karyawan baru. Padahal jelas-jelas kantornya tidak tengah kekurangan karyawan. Jimmy semakin tidak mengerti pada jalan pikiran Erlangga yang sudah terlihat begitu bucin. "Itu permintaan isteriku, Jim. Kamu atur aja pokoknya ya!" titah Erlangga dengan kembali mengirim pesan pada sang istri yang baru saja ditinggalkan olehnya beberapa menit lalu. "Pokoknya terserah kamu mau di tempat kan di mana." Jimmy mengusap leher belakangnya karena bingung. "Iya tapi dia kerja bagian apaaaa? Enggak ada lowongan, Pak Er. Masa jadi asisten pribadi saya?" Erlangga menoleh pada Nino, lalu menyipitkan matanya berpikir sejenak. "Boleh," ucap Erlangga, "mau jadi asisten pribadi kamu mau jadi istri kamu, terserah deh pokoknya. Yang penting dia bisa bekerja, oke! Saya pulang lagi karena masih masa bulan madu, he he." Jim
"Ooh, iya, Sa. Nanti aku coba bicarakan pada suamiku ya. Semoga aja ada lowongan pekerjaan buat kamu." Zahra menutup telponnya dengan perasaan iba pada sahabatnya. Erlangga baru keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk sepinggang. Zahra dengan refleks menutup matanya agar tidak melihat dada bidang yang selalu dikaguminya. Al pun melihatnya, Erlangga malah semakin mendekati Zahra dengan sengaja. "Iih, Kak. Sono, aaaakkkkhh!" Zahra mendorong tubuh Erlangga agar menjauh darinya. "Kamu kenapa sih, Ra? Sok-sokan enggak mau sama dada bidangku." Erlangga kembali mendekati Zahra dengan seringai jahil. "Jangan mesum, Kak!" Zahra mendorong lagi tubuh Erlangga namun, bukannya tubuh Erlangga yang menjauh, melainkan handuk Erlangga yang melorot akibat dorongan Zahra."Huwaaaaaa, Kak Er mesum!" Zahra menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Erlangga tertawa terbahak karena geli melihat tingkah istrinya yang polos. Erlangga pun segera menuju ruang ganti. Zahra sendiri masih menu
"Loh, kok sudah pulang?" Yudistira terkejut karena Erlangga dan Zahra kini sudah berada di teras rumahnya. "Baru juga satu Minggu, Er?" Erlangga menarik napasnya. "Tenang aja, Pah. Satu Minggu juga jadi kok itu cucu Papah," ucap Erlangga dengan tidak ada wibawanya sebagai CEO PREMAN. Zahra sendiri hanya meremas jari-jari tangannya sedikit takut jika sang papa mertua marah padanya. "Papah ... ini karena Zahra minta pulang," kata Zahra tak ingin membuat sang Papa mertua khawatir.Yudistira menoleh pada Zahra lalu menatapnya sejenak. "Apa Er tidak membahagiakanmu, Ra?" Erlangga terbelalak. "Apa maksudnya? Mana ada aku tidak membahagiakannya, Pah? Zahra minta pulang karena rindu pada orang tuanya." Zahra mengerucutkan keningnya. "Bukannya Kak Erlangga yang mengajakku pulang karena cemburu pada bule itu?" Yudistira menoleh dan menatap Erlangga dengan tatapan tak suka. "Sudah Papah duga. Kamu biang keroknya, Er." Yudistira menarik tangan Zahra ke dalam rumah. "Kalau begitu kamu ikut Pa
"Kamu? Ngapain ke sini?" sentak Jimmy saat melihat Dinda kini berada di ruangannya. "Iiih, jangan galak-galak napa? Aku ke sini kan dengan niat baik." Dinda duduk di sofa tamu ruangan Jimmy tanpa menunggu Jimmy menyuruhnya duduk. "Eh eh eh, siapa yang nyuruh kamu duduk?" Jimmy beranjak dari duduknya menghampiri Dinda yang kini sudah duduk di sofa tamunya. "Kagak ada yang nyuruh." "Nah, itu tahu. Terus kenapa kamu malah duduk?" Dinda menatap Jimmy dengan menyipitkan matanya. "Aku itu bingung harus nagnggap kamu itu baik atau tidak? Dibilang tidak baik, kamu sudah membantuku. Tapi, aku bilang baik juga bingung kamu marah-marah terus," ucapnya dengan mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya. "Ini ... aku ke sini mau mengembalikan uang yang kamu pakai untuk membiayai pengobatanku hari itu. Lunas, ya! Jangan sampai di tengah jalan kamu nagih! Aku pamit, sekali lagi terima kasih." Dinda beranjak dan pamit kembali pada Jimmy setelah menyimpan lembaran uang di meja tamu Jimmy. Jimmy pu
"Ini kita mau ke mana, Kak?" Erlangga tak menjawab pertanyaan Zahra dan terus menuntunnya karena mata Zahra diminta untuk ditutup. Walau merasa sedikit cemas, Zahra terus berusaha mengikuti tarikan tangan dari Erlangga. Hingga sampai di tempat tujuan, Erlangga mendudukkan Zahra di kursi. "Tunggu! Kok tempatnya sejuk gini sih, Kak? Kakak enggak aneh-aneh kan? Jangan bilang kalau Kakak mau menceburkan aku ke kolam?" Erlangga tak tahan untuk menahan tawanya akibat sangkaan Zahra. "Hhhmmff, kamu ini suudzon terus sih?" Erangga membuka tali penutup mata Zahra dengan perlahan. "Taraaaa." Mata Zahra mengerjakan menatap indahnya pemandangan dari atas bukit. "Wah ... Masya Allah, Kak. Ini indah banget," ucapnya begitu takjub. "Pemandangannya ya, yang indah. Bukan wajah Kakak," ralatnya lagi-lagi membuat Erlangga tertawa. "Ya ampun, istriku gemesin banget sih." Erlangga mencuil dagu Zahra. "Enggak ada bilang terimakasih, gitu?" Zahra memutar bola matanya. "Astaghfirullah, ini tuh ngasih s
"Waaah ... Kak, ini indah banget," ucap Zahra saat Erlangga memberikan satu tangkai bunga bawar. "Tentu aja wajahku memang indah," celetuk Erlangga asal. Zahra menarik senyuman dari bibirnya. "Apaan sih, Kak? Orang aku bilang bunganya juga yang indah," tepis Zahra dengan bibir mengerut. "Sejak kapan sih Kak Er itu jadi penggombal ulung?" "Jangan digituin mulutnya nanti ku cium," ujar Eerlangga mencuil bibir Zahra. "Jadi wajahku enggak indah, Ra?" Zahra mendelikkan matanya. "Ck, Kak ... wajah Kakak tentu saja indah. Tapi, ini bukan saatnya aku memuji wajah Kakak. Nanti aja puji wajah Kakak mah. Sekarang aku muji dulu ini bunga, ok." Erlangga tersenyum sedikit menyeringai. "Nanti itu saat kapan sih, Ra?" godanya, "apa ada waktu tertentu untuk memuji wajahku?" Zahra memutar bola matanya dan sedikit menghembuskan napas. "Kak, tolong ya jangan mesum terus. Aku ingin menikmati taman ini sekarang, nanti aja mau mesum-mesuman mah!" Alih-alih marah, Erlangga malah semakin tertawa mendeng
"Aw." Zahra memegang bagian kewanitaannya.Erlangga segera menghampiri Zahra yang memang sudah bangun duluan. "Kenapa, Za?" Zahra hanya menatap Erlangga, merasa malu jika mengatakan bagian kewanitaannya sakit. "Eh, enggak apa-apa, Kak." Zahra mencoba berjalan dengan sedikit tertatih. Erlangga mengerutkan keningnya, lalu langsung menggendong Zahra setelah menyadari apa yang membuat sang istri jalan tertatih. "Kenapa enggak bilang kalau masih sakit, Hem?" Zahra terkejut. "Huwaa, Kak Er, turunin!" Erlangga tak menghiraukan ocehan Zahra dan terus menggendong Zahra. "Diam, Ra. Nanti kamu jatuh.""Turunin," rengek Zahra, "aku masih bisa berjalan. "Tapi tertatih," sahut Erlangga dengan sedikit tertawa, membuat Zahra menunduk malu. "Maaf, sayang. Itu karena ulahku, kan? He he." Erlangga terus menggendong Zahra sampai tiba di kamar mandi. Erlangga menurunkan Zahra dengan begitu hati-hati. Kali ini Zahra hanya pasrah dan tidak berontak lagi. Erlangga sampai menyiapkan air hangat untuk san