Erlangga menatap wajah Zahra yang tengah tersenyum manis padanya. Mengusap lembut juga terus menatap foto itu dengan dalam. Foto itu di ambilnya saat Erlangga dengan sengaja meminta Zahra berpose memberikan senyuman karena Erlangga ingin memotretnya. "Satu, dua, tiga." Cekreek! "Perfect," ucap Erlangga dengan tersenyum lalu mengecup foto itu. "Kak, kenapa di kecupin terus fotonya?" "Pengennya orangnya sih, tapi kamu pasti nggak mau kan?" "Janganlah, Kak. Kita belum muhrim." Zahra mengerucutkan bibirnya. "Jangan cemberut, nanti malah beneran ku cium." Erlangga mencuil hidung Zahra. "Iiissst, Kak. Jangan lakukan itu lagi, aku gak suka." "Terus aku harus gimana, Hem? Nyium enggak boleh, nyuil enggak boleh, apa aku harus langsung menerkam mu?" "Huwaaa." Zahra berlari saat Erlangga berusaha mengejarnya dengan tertawa bersuka cita.Mereka begitu bahagia walau Erlangga seorang preman, mereka tak pernah melakukan hal-hal yang belum di perbolehkan sebelum mereka menjadi muhrim. Erlan
Andi meminta Erlangga mendampinginya hingga di depan penghulu. Zahra begitu terkejut karena ternyata Erlangga kini berada di samping Andi. Dan akan menyaksikan pernikahannya dengan Andi. 'Kak Erlangga?' gumamnya dengan mata yang berembun. 'Kenapa Kak Erlangga harus datang?' Zahra meremas dadanya dan memejamkan matanya. Zahra mengingat kembali ucapan Erlangga saat di Bandung. Di mana hari itu Erlangga mengatakan jika dirinya masih sangat mencintai Zahra. Akan tetapi, dia akan rela melihat Zahra bahagia dengan Andi. Seketika air mata Zahra menetes walau sudah berusaha untuk dibendungnya. Zahra segera memalingkan wajah agar sang ibu yang kini mengapitnya melihatnya menangis. Hati Zahra begitu sesak melihat pria yang dicintai juga mungkin mencintainya tengah duduk menunggunya datang. Mirisnya, pria yang kini duduk menunggunya itu bukan menunggu karena akan menikah dengan Zahra melainkan menjadi saksi dari pernikahan sang pujaan hati. 'Kak, kumohon pergilah!' batin Zahra terus berteria
"Menikahlah dengan Zahra, Pak Er. Anda dan Zahra saling mencintai bukan?" "Pak Andi." Erlangga menggelengkan kepalanya tak percaya. "Tidak Pak Andi. Saya ikhlas melepas Zahra. Aku yakin Pak Andi bisa membahagiakannya." Andi beranjak dan menghampiri Zahra lalu menariknya untuk duduk di samping Erlangga. "Pak penghulu, bisakah Bapak menikahkan mereka sekarang?" "Nak Andi, tolong jangan gegabah mengambil keputusan." Malik menatap Andi dengan sendu."Tidak, Ayah. Aku yakin ini yang terbaik. Aku tidak ingin menyesal menjadi orang jahat yang menjadi penghalang hubungan mereka, Ayah. Mereka saling mencintai bukan?" Malik akhirnya mengeluarkan air matanya yang sudah tidak bisa ditahan. Bagaimana pun dirinya paling merasa menyesal karena keegoisannya yang membuat Zahra dan Erlangga harus berpisah. Dan kini Andi pun harus tersakiti karena ternyata cinta Erlangga dan Zahra yang begitu kuat. "Maafkan Ayah, Nak Andi. Maafkan Ayah. Ini semua salah Ayah." Malik terisak menyadari kesalahannya di
Suasana kembali haru karena kini kedua mempelai begitu terlihat bahagia. Andi duduk di samping Erlangga seperti halnya tadi Erlangga duduk di samping Andi. Bedanya kini pengantin wanitanya begitu terlihat bahagia. Tak ada yang tahu bagaimana perasaan Anda saat ini. Akan tetapi, Andi begitu pintar menyembunyikan perasaannya. "Beda ya raut wajahnya. Kini berseri, enggak kaya tadi," ujar Andi saat Zahra duduk di samping Erlangga. "Aku bercanda, Ra, he he. Berbahagia lah, aku yang akan menjadi saksi pernikahan kalian." Santosa izin untuk tidak hadir dalam acara itu. Andi pun tidak ingin memaksa sang ayah karena tentu saja itu rasanya sakit. Melihat sang putra tak jadi menjadi sang pengantin pria. Dan mantannya itu. Ya, mantan. Zahra kini sudah menjadi mantan tunangan Andi. Andi hanya meminta pada ayahnya untuk tidak banyak berpikir tentang dirinya. Andi sudah benar-benar ikhlas dan bahkan akan merasa sangat bersalah jika dirinya menikah dengan wanita yang dicintai oleh orang lain dan m
"Er, astaghfirullah ... kenapa kamu menikah dengan tiba-tiba seperti ini?" Yudistira segera menghampiri Erlangga setelah saat memasuki gedung itu. "Kamu tidak melakukan kesalahan kan, Er?" Malik menatap Yudistira dengan masih menyisakan penyesalan. Menyesal karena pernah menolak Erlangga dan bahkan memakinya. Padahal Erlangga adalah putra dari sahabatnya yang terkenal baik hati juga dermawan seperti Yudistira. "Lik, apa yang terjadi? Mengapa anak kita menikah dadakan? Bukankah-" "Pah, Papah lagi sakit. Dudukla dulu, nanti Er jelaskan dengan detailnya. Sekarang Papa duduk dulu yang tenang untuk menyapa tamu. Tapi kalau Papa cape, mungkin sebaiknya Papah istirahat." Malik begitu tak percaya dengan Erlangga yang dulu dimakinya karena di anggapnya hanya seorang preman tak punya masa depan bisa berbicara yang baik-baik. Nyatanya, Erlangga begitu lembut dan perhatian pada papanya. Malik kembali menyadari kesalahannya yang hanya menilai orang dari penampilannya. Malik serasa di tampar b
Erlangga dan Zahra pun menunaikan sholat isya di lanjutkan dengan sholat sunnah. Walau pun Erlangga bukan pria yang sholehah, tapi untuk adab ketika akan melaksanakan ibadah suami istri Erlangga pun sudah mempelajarinya dari sang guru agama yang pernah dulu didatanginya. Erlangga dan Zahra memohon ampun atas segala dosa-dosa yang telah mereka lakukan, lalu memanjatkan berbagai doa untuk kemaslahatan dalam rumah tangganya. Mereka juga berdoa agar mereka bisa menjadi suami istri yang bisa saling melengkapi satu sama lain. Terakhir, mereka pun meminta pada sang pemilik hati agar cinta mereka tetap terjaga dalam balutan cinta karena Allah. Erlangga pun menyimpan tangannya di ubun-ubun Zahra dan memberikannya doa. Sampai akhirnya mereka pun saling tatap. Erlangga mengangkat dagu Zahra. "Ingat, ya! Malam ini kamu dapat hukuman dariku," ucapnya dengan mengedipkan mata genit pada sang istri. Zahra kali ini tidak terkejut karena sudah mengerti arti ucapan dari suaminya. Zahra justru malah t
"Er, kenapa kalian ke sini?" "Ck, kenapa Papa bertanya seperti itu? Tentu saja Er sama Zahra ke sini." Erlangga mengambil tangan Yudistira. "Apa yang terjadi, Pah?"Yudistira menoleh pada Zahra yang kini duduk di samping Erlangga. "Ra, Zahra menantu papa." Zahra menoleh pada Erlangga lalu kembali menatap sang ayah mertua. "Iya, Pah. Apa yang terjadi dengan Papah? Apa yang sakit, Pah?" Yudistira memalingkan wajahnya dari anak dan menantunya sedikit kesal. "Ck, kalian ini pertanyaannya sama saja. Papa tidak apa-apa, papa hanya tengah kambuh. Sono bulan madu, bikinin papa cucu yang banyak," ujarnya membuat pipi Zahra merah. "Lik, apa kamu yang tadi ganggu mereka?" tanya Yudistira pada Malik. "Kamu ini, Lik. Bukan nya biarin aja mereka bi-" "Pah, bagaimana mungkin Er bisa tenang bikinin cucu buat papa, kalau keadaan papa seperti ini?" Erlangga mengusap lembut pipi sang papa. "Papa sembuh dulu, baru nanti Er bikinin cucu yang banyak." Pipi Zahra semakin merah. Padahal Erlangga dan Yud
Jantung Zahra kembali berdetak kencang. Apalagi Erlangga menyeringai penuh arti padanya. Jangung Zahra semakin berdebar saat Erlangga mulai mendekatkan wajahnya dan menempelkan bibirnya dengan lembut."Aku mencintaimu, Ra. Aku ingin memilikimu seutuhnya," ucap Erlangga dengan sentuhan lembut pada bibir Zahra. "Kita lanjutkan yang kemarin tertunda," ucapnya lagi tersenyum tipis.Erlangga mulai melumat kembali benda ranum itu dengan sedikit manaikkan temponya. Zahra hanya bisa pasrah dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Erlangga padanya. Erlangga juga mengerti jika Zahra baru pertama kali melakukannya sehingga tentu saja masih amatir dan belum bisa ngimbangi apa gerakan Erlangga. "Manis," ucap Erlangga dengan mata sudah mulai sayu. "Masih ori sih," ucapnya lagi dengan menggoda Zahra. Zahra menunduk malu atas pujian Erlangga. Lalu kembali dikejutkan dengan gerakan tangan Erlangga yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya satu persatu. Erlangga kembali mengecup bibir Zahra dengan sedikit