Suasana kembali haru karena kini kedua mempelai begitu terlihat bahagia. Andi duduk di samping Erlangga seperti halnya tadi Erlangga duduk di samping Andi. Bedanya kini pengantin wanitanya begitu terlihat bahagia. Tak ada yang tahu bagaimana perasaan Anda saat ini. Akan tetapi, Andi begitu pintar menyembunyikan perasaannya. "Beda ya raut wajahnya. Kini berseri, enggak kaya tadi," ujar Andi saat Zahra duduk di samping Erlangga. "Aku bercanda, Ra, he he. Berbahagia lah, aku yang akan menjadi saksi pernikahan kalian." Santosa izin untuk tidak hadir dalam acara itu. Andi pun tidak ingin memaksa sang ayah karena tentu saja itu rasanya sakit. Melihat sang putra tak jadi menjadi sang pengantin pria. Dan mantannya itu. Ya, mantan. Zahra kini sudah menjadi mantan tunangan Andi. Andi hanya meminta pada ayahnya untuk tidak banyak berpikir tentang dirinya. Andi sudah benar-benar ikhlas dan bahkan akan merasa sangat bersalah jika dirinya menikah dengan wanita yang dicintai oleh orang lain dan m
"Er, astaghfirullah ... kenapa kamu menikah dengan tiba-tiba seperti ini?" Yudistira segera menghampiri Erlangga setelah saat memasuki gedung itu. "Kamu tidak melakukan kesalahan kan, Er?" Malik menatap Yudistira dengan masih menyisakan penyesalan. Menyesal karena pernah menolak Erlangga dan bahkan memakinya. Padahal Erlangga adalah putra dari sahabatnya yang terkenal baik hati juga dermawan seperti Yudistira. "Lik, apa yang terjadi? Mengapa anak kita menikah dadakan? Bukankah-" "Pah, Papah lagi sakit. Dudukla dulu, nanti Er jelaskan dengan detailnya. Sekarang Papa duduk dulu yang tenang untuk menyapa tamu. Tapi kalau Papa cape, mungkin sebaiknya Papah istirahat." Malik begitu tak percaya dengan Erlangga yang dulu dimakinya karena di anggapnya hanya seorang preman tak punya masa depan bisa berbicara yang baik-baik. Nyatanya, Erlangga begitu lembut dan perhatian pada papanya. Malik kembali menyadari kesalahannya yang hanya menilai orang dari penampilannya. Malik serasa di tampar b
Erlangga dan Zahra pun menunaikan sholat isya di lanjutkan dengan sholat sunnah. Walau pun Erlangga bukan pria yang sholehah, tapi untuk adab ketika akan melaksanakan ibadah suami istri Erlangga pun sudah mempelajarinya dari sang guru agama yang pernah dulu didatanginya. Erlangga dan Zahra memohon ampun atas segala dosa-dosa yang telah mereka lakukan, lalu memanjatkan berbagai doa untuk kemaslahatan dalam rumah tangganya. Mereka juga berdoa agar mereka bisa menjadi suami istri yang bisa saling melengkapi satu sama lain. Terakhir, mereka pun meminta pada sang pemilik hati agar cinta mereka tetap terjaga dalam balutan cinta karena Allah. Erlangga pun menyimpan tangannya di ubun-ubun Zahra dan memberikannya doa. Sampai akhirnya mereka pun saling tatap. Erlangga mengangkat dagu Zahra. "Ingat, ya! Malam ini kamu dapat hukuman dariku," ucapnya dengan mengedipkan mata genit pada sang istri. Zahra kali ini tidak terkejut karena sudah mengerti arti ucapan dari suaminya. Zahra justru malah t
"Er, kenapa kalian ke sini?" "Ck, kenapa Papa bertanya seperti itu? Tentu saja Er sama Zahra ke sini." Erlangga mengambil tangan Yudistira. "Apa yang terjadi, Pah?"Yudistira menoleh pada Zahra yang kini duduk di samping Erlangga. "Ra, Zahra menantu papa." Zahra menoleh pada Erlangga lalu kembali menatap sang ayah mertua. "Iya, Pah. Apa yang terjadi dengan Papah? Apa yang sakit, Pah?" Yudistira memalingkan wajahnya dari anak dan menantunya sedikit kesal. "Ck, kalian ini pertanyaannya sama saja. Papa tidak apa-apa, papa hanya tengah kambuh. Sono bulan madu, bikinin papa cucu yang banyak," ujarnya membuat pipi Zahra merah. "Lik, apa kamu yang tadi ganggu mereka?" tanya Yudistira pada Malik. "Kamu ini, Lik. Bukan nya biarin aja mereka bi-" "Pah, bagaimana mungkin Er bisa tenang bikinin cucu buat papa, kalau keadaan papa seperti ini?" Erlangga mengusap lembut pipi sang papa. "Papa sembuh dulu, baru nanti Er bikinin cucu yang banyak." Pipi Zahra semakin merah. Padahal Erlangga dan Yud
Jantung Zahra kembali berdetak kencang. Apalagi Erlangga menyeringai penuh arti padanya. Jangung Zahra semakin berdebar saat Erlangga mulai mendekatkan wajahnya dan menempelkan bibirnya dengan lembut."Aku mencintaimu, Ra. Aku ingin memilikimu seutuhnya," ucap Erlangga dengan sentuhan lembut pada bibir Zahra. "Kita lanjutkan yang kemarin tertunda," ucapnya lagi tersenyum tipis.Erlangga mulai melumat kembali benda ranum itu dengan sedikit manaikkan temponya. Zahra hanya bisa pasrah dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Erlangga padanya. Erlangga juga mengerti jika Zahra baru pertama kali melakukannya sehingga tentu saja masih amatir dan belum bisa ngimbangi apa gerakan Erlangga. "Manis," ucap Erlangga dengan mata sudah mulai sayu. "Masih ori sih," ucapnya lagi dengan menggoda Zahra. Zahra menunduk malu atas pujian Erlangga. Lalu kembali dikejutkan dengan gerakan tangan Erlangga yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya satu persatu. Erlangga kembali mengecup bibir Zahra dengan sedikit
"Aw." Zahra memegang bagian kewanitaannya.Erlangga segera menghampiri Zahra yang memang sudah bangun duluan. "Kenapa, Za?" Zahra hanya menatap Erlangga, merasa malu jika mengatakan bagian kewanitaannya sakit. "Eh, enggak apa-apa, Kak." Zahra mencoba berjalan dengan sedikit tertatih. Erlangga mengerutkan keningnya, lalu langsung menggendong Zahra setelah menyadari apa yang membuat sang istri jalan tertatih. "Kenapa enggak bilang kalau masih sakit, Hem?" Zahra terkejut. "Huwaa, Kak Er, turunin!" Erlangga tak menghiraukan ocehan Zahra dan terus menggendong Zahra. "Diam, Ra. Nanti kamu jatuh.""Turunin," rengek Zahra, "aku masih bisa berjalan. "Tapi tertatih," sahut Erlangga dengan sedikit tertawa, membuat Zahra menunduk malu. "Maaf, sayang. Itu karena ulahku, kan? He he." Erlangga terus menggendong Zahra sampai tiba di kamar mandi. Erlangga menurunkan Zahra dengan begitu hati-hati. Kali ini Zahra hanya pasrah dan tidak berontak lagi. Erlangga sampai menyiapkan air hangat untuk san
"Waaah ... Kak, ini indah banget," ucap Zahra saat Erlangga memberikan satu tangkai bunga bawar. "Tentu aja wajahku memang indah," celetuk Erlangga asal. Zahra menarik senyuman dari bibirnya. "Apaan sih, Kak? Orang aku bilang bunganya juga yang indah," tepis Zahra dengan bibir mengerut. "Sejak kapan sih Kak Er itu jadi penggombal ulung?" "Jangan digituin mulutnya nanti ku cium," ujar Eerlangga mencuil bibir Zahra. "Jadi wajahku enggak indah, Ra?" Zahra mendelikkan matanya. "Ck, Kak ... wajah Kakak tentu saja indah. Tapi, ini bukan saatnya aku memuji wajah Kakak. Nanti aja puji wajah Kakak mah. Sekarang aku muji dulu ini bunga, ok." Erlangga tersenyum sedikit menyeringai. "Nanti itu saat kapan sih, Ra?" godanya, "apa ada waktu tertentu untuk memuji wajahku?" Zahra memutar bola matanya dan sedikit menghembuskan napas. "Kak, tolong ya jangan mesum terus. Aku ingin menikmati taman ini sekarang, nanti aja mau mesum-mesuman mah!" Alih-alih marah, Erlangga malah semakin tertawa mendeng
"Ini kita mau ke mana, Kak?" Erlangga tak menjawab pertanyaan Zahra dan terus menuntunnya karena mata Zahra diminta untuk ditutup. Walau merasa sedikit cemas, Zahra terus berusaha mengikuti tarikan tangan dari Erlangga. Hingga sampai di tempat tujuan, Erlangga mendudukkan Zahra di kursi. "Tunggu! Kok tempatnya sejuk gini sih, Kak? Kakak enggak aneh-aneh kan? Jangan bilang kalau Kakak mau menceburkan aku ke kolam?" Erlangga tak tahan untuk menahan tawanya akibat sangkaan Zahra. "Hhhmmff, kamu ini suudzon terus sih?" Erangga membuka tali penutup mata Zahra dengan perlahan. "Taraaaa." Mata Zahra mengerjakan menatap indahnya pemandangan dari atas bukit. "Wah ... Masya Allah, Kak. Ini indah banget," ucapnya begitu takjub. "Pemandangannya ya, yang indah. Bukan wajah Kakak," ralatnya lagi-lagi membuat Erlangga tertawa. "Ya ampun, istriku gemesin banget sih." Erlangga mencuil dagu Zahra. "Enggak ada bilang terimakasih, gitu?" Zahra memutar bola matanya. "Astaghfirullah, ini tuh ngasih s