Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah keberuntungan dari mana, sepulangnya aku dari kantor. Aku memutuskan pergi ke minimarket, dan di situ aku melihat seorang pria dan wanita paruh baya saling bergandengan tangan mesra.
Ya, tidak salah lagi. Itu pria yang sama, kekasih Lila--adiknya mas Umar. Melihat mereka dari kejauhan, aku menyeringai memikirkan rencana pembalasanku. "De, tunggu di sini sebentar. Mas mau angkat telpon dulu!" ujar pria itu, menjauh. Senyum kemenangan terbit di wajahku. Dengan langkah pasti aku mulai mendekati wanita paruh baya itu. "Permisi Bu," sapaku, mengulas senyum ramah. Wanita paruh baya itu menoleh ke arahku. Keningnya saling bertaut, melihat orang asing sepertiku. "Iya, ada apa ya?" tanyanya. Sebelum melancarkan aksiku, aku menengok mengamati sekitar. Dalam hati ini terus saja berdoa, semoga suami perempuan itu tidak cepat kembali. "Ada apa Mbak?" tanya wanita itu lagi, penasUntuk sepersekian detik semuanya terdiam, kini rasa syok dan terkejut sudah berlalu. Melihat putrinya ditarik paksa oleh istri sah sang kekasih. Mama mas Umar gegas merangsek maju menarik tangan Lila yang satunya. "Lepaskan! Apa maksud kamu menarik dan menjambak anak saya, hah? Dasar wanita tidak waras," maki mama mas Umar, berapi-api. Istri sah kekasih Lila tidak mempedulikan makian yang keluar dari mama mas Umar. Ia terus berjalan menjauh sampai hampir tiba di pintu pagar halaman. Lila yang ditarik paksa terus menjerit dan memaki. "Diam! Sekarang saya akan membuat kamu merasa malu karena sudah berani jadi duri di rumah tangga saya. Dasar jalang sialan!" umpat istri sah yang aku ketahui bernama Karmila. Mas Umar berlari mengejar sang adik, sedangkan Liana seperti biasa hanya menjadi penonton atas kekacauan di keluarga itu. "Lepaskan adik saya! kita bisa bicarakan baik-baik Bu!" ucap mas Umar, kini sudah merentangkan kedua tangan
Semua tugas atasan sudah aku kerjakan. Beberapa hari ini Firman jarang sekali terlihat. Entah aku yang tidak melihat keberadaannya, atau dia yang memilih menghindar jika melihatku. Awalnya aku merasa acuh dan menganggap itu tidak penting. Tapi, di sudut hatiku merasa ada yang aneh dengan menghilangnya Firman. Seperti ada sesuatu yang hilang. Mungkin hilang dalam artian teman. "Dil, sudah waktu pulang nih. Kamu mau di sini aja?" tanya Amel membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku mau di sini sendirian. Suasana kantor yang sudah sepi, membuat nyaliku menciut juga. "Eh, tunggu aku Mel! Aku beres-beres sebentar," pintaku, gegas membereskan semua meja kerjaku. Kami berdua berjalan beriringan keluar ruangan. Hari ini hari pertamaku lembur di kantor ini. Saat keluar dari kantor, langit yang tadinya masih terang, kini sudah berubah jadi gelap. Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit yang cerah. "Dil, a
"Ehem, Dil," Suara panggilan Firman membuyarkan keheningan yang tadi sempat tercipta. Aku merapatkan ponsel ke arah telinga dan menggenggamnya sedikit erat. "Ya," jawabku singkat. Hening... Suasana kembali hening seperti semula. Firman menghentikan kata-katanya. Tapi, aku juga enggan memulainya. "Maaf," ucap Firman lagi. Begitu singkat kata-kata yang keluar dari mulut kami. "Maaf? Karena apa?" tanyaku, mengernyitkan keningku. "Maaf karena aku datang ke rumah orang tua kamu tanpa memberitahu kamu dulu," ujar Firman, ada nada penyesalan yang aku dengar dari sini. Kali ini aku terdiam. Firman mengakui semuanya. Ia datang ke rumah orang tuaku tanpa pemberitahuan, setelah semuanya terjadi, baru memberitahuku. Ada sedikit rasa kesal juga, sekaligus bahagia. Bukan bahagia karena sudah dilamar. Bahagia karena Firman seorang pria gentleman. Jarang sekali aku menemui pria seperti dia, bahk
Dua hari sudah berlalu, setelah Firman mendatangi orang tuaku. Aku terus memikirkan lamaran Firman. Antara menerima atau menolaknya. Aku lebih memilih menerimanya. Aku juga berhak bahagia. Terserah orang lain mau bilang aku apa nanti. Mau mengatakan aku gatal atau apapun itu nanti, aku tidak peduli. Toh sama saja. Sendiri digosipin, menikah juga sama. Enak menikah, mana ada temannya lagi. "Kamu yakin Dil?" tanya Mama, saat aku melangsungkan panggilan telepon. "Yakin Ma, Dila sangat yakin kali ini," jawabku pasti. Beberapa detik suara mama tidak terdengar. Aku mengerti, mungkin mama masih merasa berat dengan keputusan besarku ini. "Ma," Panggilku. "Ya Dil? Ada apa? Kita bicara sampai di mana tadi Di" tanya mama, gelagapan. "Mama kenapa? Mama baik-baik aja kan?" Bukannya menjawab, aku memilih menanyakan keadaan mama. "Mama baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut saja dengan keputusan kamu. Apapun itu, Mama harap kam
Firman berdiri di depan gang tempatku tinggal. Sesuai rencana Firman malam ini, dia akan mengajakku bertemu kedua orang tuanya, sekaligus makan malam bersama. Aku sengaja meminta Firman menungguku di depan sana, karena tidak mau lagi mendengar gosip terbaru dari para ibu-ibu di sini. "Wah, mbak Dila cantik sekali. Tumben jalan kaki Mbak. Motornya mana?" Aku terkesiap. Hampir saja aku jatuh, mendengar suara salah seorang tetanggaku yang tiba-tiba terdengar. Suasana kampung yang kurang penerangan, membuat posisinya samar terlihat. "Eh, itu mbak Dila terkejut," timpal salah seorang lagi. Aku menyipitkan kedua mataku. Ya Allah, ternyata ibu-ibu biang gosip sedang berkumpul. Aku menggelengkan kepalaku pelan. Aku kira jadwal pergosipan ini hanya dilakukan siang hari. Ternyata malam hari juga. Senyum ramah terbit di wajahku. Walaupun itu sebuah keterpaksaan. "Mari Bu!" ucapku, segera berlalu. Malas sekali rasanya, jika harus
"Cih, sombong sekali! Lihat saja nanti kalau sudah sah jadi menantu. Kalian pasti menyesal karena sudah memungut janda mandul dan gatal ini!" Kata-kata ibu mas Umar benar-benar membuatku kesal sekaligus malu. Aku tidak mandul, dan akan aku buktikan nanti setelah menikah. "Kita lihat saja nanti Ma! Aku atau putra Mama yang bermasalah di sini!" ucapku, tidak ada lagi rasa hormat dan segan pada wanita paruh baya yang menghinaku di depan banyak orang. Mendengar ucapanku, mama mas Umar mendengus kesal dan pergi begitu saja diikuti anggota keluarga yang lainnya. Tatapan mama mas Umar sebelum pergi begitu mengerikan. Sedang Lila menatapku sinis, dan mas Umar hanya menunduk sendu. "Sudahlah Sayang, lebih baik kita makan saja di sini! Untuk apa meladeni janda gatal seperti dia. Buang-buang waktu saja," ejek Liana, tersenyum sinis ke arahku menarik lengan mas Umar. "Tolong jaga mulut anda Nona! Kalau mau pergi, ya pergi saja! Toh, kedatangan
Setelah perceraian aku dan Dila, hidupku dipenuhi dengan drama yang aku sendiri bingung menyebutnya apa. Ibu terus saja mendesakku untuk menikahi Liana. Alasannya sangat klise menurutku. Hanya karena Liana wanita kantoran, dan pasti menghasilkan uang setiap bulannya. Tidak seperti Dila yang hanya sibuk mengurus rumah dan menunggu uang bulanan dariku. Hari demi hari, bahkan kini sudah lewat satu bulan. Pernikahanku dan Liana tak juga berjalan mulus. Ia bahkan sering sekali menghina aku. Ia juga tak terima karena uang bulanan yang aku berikan sangat sedikit. Wanita yang sangat ibu banggakan, nyatanya membuat kehidupanku semakin sulit. Bagaimana tidak? Liana meminta jatah bulanan cukup besar, yaitu tiga juta untuk satu bulan. Sedangkan gajiku bulan ini sudah tidak sebanyak dulu lagi. Lima juta satu bulan yang aku berikan Dila dulu saja masih kurang atau bisa dibilang pas-pas an untuk membayar semua cicilanku. Liana dan Dila sangat jauh berbeda. Dila tidak pernah m
Dengan langkah pasti aku segera pergi ke rumah Dila. Rumah yang kata ibu, adalah rumah yang ia kontrak. Namun, saat aku sudah tiba di depan rumahnya. Rumah itu kelihatan sepi. Sejenak aku merasa tidak yakin, kalau saat ini Dila berada di rumah. "Eh Mas, cari siapa?" Seorang ibu berbadan tambun, bertanya saat ia melewati rumah Dila. Aku segera bertanya, mungkin saja ibu ini tau di mana Dila berada sekarang. "Maaf Bu, saya mau tanya. Ibu kenal wanita yang tinggal di rumah ini?" "Oh mbak Dila? Kenal Mas. Memangnya ada apa Mas? apa Mas ini mau nagih hutang?" tanya ibu itu, membuatku dengan cepat menggeleng. "Bukan Bu. Oh iya, sekarang Dila nya ke mana ya, Bu? Kerja atau sedang pergi ke luar?" tanyaku, tanpa mau mengatakan apa kepentinganku. "Terus mau ngapain Mas? Mbak Dila sudah pindah beberapa hari yang lalu Mas. Sepertinya pulang kampung kalau tidak salah dengar," ujar ibu itu, menatapku curig