Setelah perceraian aku dan Dila, hidupku dipenuhi dengan drama yang aku sendiri bingung menyebutnya apa. Ibu terus saja mendesakku untuk menikahi Liana. Alasannya sangat klise menurutku. Hanya karena Liana wanita kantoran, dan pasti menghasilkan uang setiap bulannya. Tidak seperti Dila yang hanya sibuk mengurus rumah dan menunggu uang bulanan dariku.
Hari demi hari, bahkan kini sudah lewat satu bulan. Pernikahanku dan Liana tak juga berjalan mulus. Ia bahkan sering sekali menghina aku. Ia juga tak terima karena uang bulanan yang aku berikan sangat sedikit. Wanita yang sangat ibu banggakan, nyatanya membuat kehidupanku semakin sulit. Bagaimana tidak? Liana meminta jatah bulanan cukup besar, yaitu tiga juta untuk satu bulan. Sedangkan gajiku bulan ini sudah tidak sebanyak dulu lagi. Lima juta satu bulan yang aku berikan Dila dulu saja masih kurang atau bisa dibilang pas-pas an untuk membayar semua cicilanku. Liana dan Dila sangat jauh berbeda. Dila tidak pernah mDengan langkah pasti aku segera pergi ke rumah Dila. Rumah yang kata ibu, adalah rumah yang ia kontrak. Namun, saat aku sudah tiba di depan rumahnya. Rumah itu kelihatan sepi. Sejenak aku merasa tidak yakin, kalau saat ini Dila berada di rumah. "Eh Mas, cari siapa?" Seorang ibu berbadan tambun, bertanya saat ia melewati rumah Dila. Aku segera bertanya, mungkin saja ibu ini tau di mana Dila berada sekarang. "Maaf Bu, saya mau tanya. Ibu kenal wanita yang tinggal di rumah ini?" "Oh mbak Dila? Kenal Mas. Memangnya ada apa Mas? apa Mas ini mau nagih hutang?" tanya ibu itu, membuatku dengan cepat menggeleng. "Bukan Bu. Oh iya, sekarang Dila nya ke mana ya, Bu? Kerja atau sedang pergi ke luar?" tanyaku, tanpa mau mengatakan apa kepentinganku. "Terus mau ngapain Mas? Mbak Dila sudah pindah beberapa hari yang lalu Mas. Sepertinya pulang kampung kalau tidak salah dengar," ujar ibu itu, menatapku curig
Pov Mama Dila Saat mendengar cerita Dila--putriku, jujur saja hatiku merasa sakit. Anak yang aku lahirkan dan besarkan dengan penuh kasih sayang dan perhatian, malah mendapatkan perlakuan tidak baik dari suami dan keluarga suaminya. Hatiku bergejolak, ingin sekali rasanya aku meminta putriku dikembalikan. Tapi apa dayaku? Dila sudah jadi istri orang lain. Dila bukan tanggung jawabku sepenuhnya lagi. Ada suami yang sudah terikat tanggung jawab pada Dila. Dila menangis dalam pelukanku. Dadaku sesak. Air mataku lolos begitu saja sambil mengusap kepala putri kesayanganku. Aku bukanlah tipe orang tua yang suka mendikte anak atau memaksakan kehendak pada anak. Aku hanya bisa menasihati Dila. Berhadap putriku bisa mengambil keputusan, sesuai dengan hatinya sendiri tanpa campur tangan dariku. Perceraian akhirnya terjadi juga. Aku hanya bisa mendukung, apa yang sudah putriku putuskan. Memang tidak mudah jadi Dila. Dila selalu
Hari ini hari pernikahanku dengan Firman. Pria yang selama beberapa bulan ini selalu ada saat aku terpuruk. Pria itu dengan lantangnya mengucapkan kalimat sakra di depan penghulu dan kakak laki-lakiku sebagai wali nikah. 'Sahhh...' 'Alhamdulillah' Suara riuh terdengar bergema di ruang tamu rumah mama yang kini sudah disulap sedemikian rupa sebagai tempat ijab qobulku. Hati ini rasanya bahagia bercampur sedih. "Selamat atas pernikahan kamu Dil. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Semoga kamu selalu bahagia," ujar kakak lelakiku, memelukku hangat. Dapat aku rasakan tubuhnya bergetar menahan tangis. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Tidak hanya kakak lelakiku yang mengucapkan kata-kata baik berupa doa dan harapan. Kakak iparku juga sama. Ia juga mengatakan itu dan memelukku erat. "Jaga adik perempuanku satu-satunya Fir! Mungkin kita tidak terlalu lama kenal. Tapi, melihat
Pergulatan panas akhirnya selesai terlewati. Firman mengecup keningku lembut. Sedang aku hanya bisa memejamkan kedua mataku. Perlakuannya begitu hangat dan lembut. "Fir, boleh aku mengatakan sesuatu," ucapku, menatap kedua bola mata Firman yang begitu meneduhkan. Firman tak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu saat ini Fir. Mungkin tanpa aku ceritakan lebih jelas, kamu pasti sudah tau, seperti apa ceritaku. Aku takut Fir, aku takut tidak bisa memberikan kamu anak. Sedang dalam sebuah pernikahan, anak adalah salah satu yang sangat diimpikan. Bukankah salah satu tujuan pernikahan untuk mendapatkan keturunan? Aku takut tidak bisa mengandung dan melahirkan anak, seperti apa yang kamu dan kedua orang tua kamu inginkan. Karena aku..." "Karena apa? Mandul?" tanya Firman, memotong ucapanku. Aku dengan cepat mengangguk. Tanpa perlu menjelaskannya lebih lanjut, rupanya Firman
Aku terkejut mendengar namaku dipanggil. Kami semua sontak saja menoleh ke arah asal suara. "Mama, Papa," gumam Firman, gegas berlari menghampiri kedua mertuaku. "Kalian sudah mau pulang?" tanya mama mertuaku, kini berjalan beriringan ke arah aku. "Ini baru mau pulang Ma. Kenapa Mama dan papa menyusul ke sini?" tanyaku, dengan cepat menyodorkan tangan bersalaman. "Tidak kenapa-napa Sayang. Mama dan papa cuma bosan di rumah. Jadi kami memutuskan ke sini. Eh, ternyata kalian sudah mau pulang," sahut mama mertuaku, tersenyum. "Bu, apa kabar? Sehat?" tanya mama mertuaku, kini berjalan menghampiri ibuku. "Alhamdulillah baik Bu. Ibu dan Bapak bagaimana? Sehat juga kan?" tanya mama, ramah sekali cara bicara mama. "Alhamdulillah, kami berdua juga sehat," jawab mama mertuaku. Kedua wanita paruh baya yang begitu berharga untukku kini saling berjabat tangan dan mencium pipi
"Yank, mana nomor rekening kamu?" tanya Firman, menepuk pelan pundakku. Aku tersadar, dengan cepat mengembalikan ponselnya. "Ini!" "Loh, apa angkanya memang segini? Apa tidak kurang?" tanya Firman, menatap layar ponselnya. "Coba kamu lihat ulang!" Firman kembali menyerahkan ponselnya kepadaku. Dengan berat hati aku mengambilnya. Aku sudah tau, kalau angka-angka itu memang kurang. Karena aku sengaja tidak mengetiknya hingga selesai. "Ini, sudah aku ketik semuanya," ujarku, menyerahkan ponselnya. Firman mengangguk, lalu sibuk dengan ponselnya. Sementara Firman sibuk, aku jadi gelisah sendiri. Jantungku berdetak kencang. "Bagaimana?" tanya Firman, meletakkan kembali ponselnya. "Bagaimana apanya?" tanyaku bingung. "Itu, apa sudah masuk uangnya?" tanya Firman, menunjuk ponselku. "Kalau laporannya sudah selesai di
"Sayang, mau jalan atau di rumah aja?" tanya Firman, mendekati aku yang saat ini sedang sibuk berkutat dengan panci dan kompor. "Kayaknya di rumah aja deh. Atau gimana kalau kita ke rumah mama? Kalau ke desa, kita cuma libur hari ini aja. Pasti akan sangat melelahkan kalau harus bolak balik," usulku. Firman tampak berpikir sejenak. "Baiklah, aku siap-siap dulu!" sahut Firman, bergegas ke kamar. "Eh, mau ke mana? Kita pergi sekarang?" tanyaku, setengah berteriak. Firman menghentikan lari kecilnya, lalu berbalik menatapku. "Lah, memangnya kita bukan pergi sekarang?" Kini Firman balik bertanya. "Aku kan lagi masak. Masa iya kita pergi sekarang? Kalau kamu siap-siap sekarang, aku gimana? Aku tanya, kamu malah balik tanya," sahutku. "Iya, iya, aku minta maaf. Kalau begitu, kamu selesaikan semuanya dulu. Setelah itu kita berangkat. Apa mau aku bantu?" tanya Firman, mendekat.
Tiga bulan sudah pernikahanku dan Firman. Rasa cinta sudah mulai hadir. Walaupun belum seratus persen. Perlakuan Firman benar-benar membuat aku perlahan melupakan masa lalu kelam dan mengobati sedikit demi sedikit rasa traumaku terhadap pernikahan. "Yank, gimana kalai kita ke rumah mama di desa? Mumpung papa memberi kita libur panjang," usul Firman. "Aku sih terserah kamu aja Mas, mau di rumah aja atau ke rumah mama tidak ada masalah. Kapan kita mau berangkat?" tanyaku. "Bagaimana kalau sekarang? mumpung masih pagi. Kita tidak usah memberitahu mama, kita buat kejutan buat mama. Mama pasti senang," sahut Firman, membuat rencana. Aku tersenyum mendengar rencananya. Bisa-bisanya ia memikirkan rencana seperti itu. Aki sendiri, bahkan tidak pernah terpikir sebelumnya. Firman memang jauh berbeda. Bukan hanya padaku saja perhatiannya. Pada mama juga. "Baiklah, aku ganti pakaian dan siap-siap dulu," ucapku, bergeg
"Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem
Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada
"Puas kamu, hah? Puas sudah membuatku begini? Sekarang, dengan santainya kamu menanyakan di mana suamiku. Kamu punya otak tidak?" Aku terkejut bukan main mendengar bentakan Lila. Memangnya apa salahku? Apa hanya bertanya suaminya di mana, aku pantas mendapatkan bentakan di depan umum seperti ini? "Apa maksud kamu?" tanyaku bingung. "Sudah La, kamu kenapa sih? Jangan buat keributan, ini tempat umum!" tegur mama mas Umar, menarik lengan Lila menjauh. Bukannya menurut, Lila justru menghempaskan tangan mamanya dengan kasar. Ia kembali maju menarik lenganku kasar. "Kamu masih bisa tanya kenapa? Semua ini gara-gara kamu! Aku hamil, juga gara-gara kamu! Aku tidak punya suami, juga gara-gara kamu!" bentak Lila, wajahnya terlihat menyeramkan. "Lila, sudah!" hardik mamanya. "Kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu menyalahkan Dila? ini di tempat umum La, malu didengar dan dilihat orang-orang," Lanjut mamanya lagi, memperhatikan
Firman menggenggam tanganku di atas meja. Mantan kekasihnya langsung mendengus kesal melihat kami. Dalam hati aku tertawa puas. Rasakan itu! "Bagiku janda ataupun perawan, sama saja. Toh sama-sama jadi istri juga, mengurus keluarga. Aku tidak pernah membedakan status. Yang jelas aku mencintai istriku, begitu juga sebaliknya. Terkadang di jaman seperti ini juga lebih bagus janda. Janda lebih berpengalaman. Yang terpenting, janda lebih banyak rasa perawan, sedangkan perawan rasanya seperti janda," jelas Firman. Ada rasa dongkol sekaligus bahagia mendengarnya. Bahagia karena Firman membelaku, sedang dongkol karena Firman menyebut soal rasa. Memangnya dia pernah merasakan itu sebelumnya? "Kamu menyindirku Fir?" tanya wanita itu, seraya berdiri bertolak pinggang. Aku dan Firman langsung menoleh bertatapan. Apa maksudnya menyindir? Perasaan dari tadi Firman bicaranya hanya menyebut tentang aku. Kenapa dia malah marah? "Keterlaluan kamu Fi
Sebisa mungkin aku menahan emosi. Kata-kata wanita itu, benar-benar membuat hatiku sakit. Apa hanya karena penampilanku seperti ini? Apa semua harus dinilai dari penampilan luarnya? "Bukan, ini istriku!" jawab Firman, wajahnya langsung berubah kesal. Wanita itu tampak terkejut. Ekspresi terkejutnya sukses membuat aku mengumpat dalam hati. Seolah dia buat sengaja. "Eh, maaf Fir. Istri ya? Aku kira tadi babu kamu. Maaf ya istri Firman!" ucapnya, tersenyum sinis. Suasana hatiku kembali berubah. Ingin rasanya aku cepat pulang. Kata-kata pembantu masih mending dibandingkan dengan babu. Apa dia sengaja mengatakan itu? Mana senyumnya sinis begitu. Ini sih, sama saja dia menabuh genderang perang. "Sis, tolong jaga cara bicara kamu! Aku rasa, kata babu itu terlalu kasar. Dia ini calon ibu untuk anak-anakku," ucap Firman tegas. Wajar saja Firman marah. Suami mana yang tidak marah, kalau istrinya dihina sedemikian rupa. Walaupun tida