Hari ini hari pernikahanku dengan Firman. Pria yang selama beberapa bulan ini selalu ada saat aku terpuruk. Pria itu dengan lantangnya mengucapkan kalimat sakra di depan penghulu dan kakak laki-lakiku sebagai wali nikah.
'Sahhh...' 'Alhamdulillah' Suara riuh terdengar bergema di ruang tamu rumah mama yang kini sudah disulap sedemikian rupa sebagai tempat ijab qobulku. Hati ini rasanya bahagia bercampur sedih. "Selamat atas pernikahan kamu Dil. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Semoga kamu selalu bahagia," ujar kakak lelakiku, memelukku hangat. Dapat aku rasakan tubuhnya bergetar menahan tangis. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Tidak hanya kakak lelakiku yang mengucapkan kata-kata baik berupa doa dan harapan. Kakak iparku juga sama. Ia juga mengatakan itu dan memelukku erat. "Jaga adik perempuanku satu-satunya Fir! Mungkin kita tidak terlalu lama kenal. Tapi, melihatPergulatan panas akhirnya selesai terlewati. Firman mengecup keningku lembut. Sedang aku hanya bisa memejamkan kedua mataku. Perlakuannya begitu hangat dan lembut. "Fir, boleh aku mengatakan sesuatu," ucapku, menatap kedua bola mata Firman yang begitu meneduhkan. Firman tak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu saat ini Fir. Mungkin tanpa aku ceritakan lebih jelas, kamu pasti sudah tau, seperti apa ceritaku. Aku takut Fir, aku takut tidak bisa memberikan kamu anak. Sedang dalam sebuah pernikahan, anak adalah salah satu yang sangat diimpikan. Bukankah salah satu tujuan pernikahan untuk mendapatkan keturunan? Aku takut tidak bisa mengandung dan melahirkan anak, seperti apa yang kamu dan kedua orang tua kamu inginkan. Karena aku..." "Karena apa? Mandul?" tanya Firman, memotong ucapanku. Aku dengan cepat mengangguk. Tanpa perlu menjelaskannya lebih lanjut, rupanya Firman
Aku terkejut mendengar namaku dipanggil. Kami semua sontak saja menoleh ke arah asal suara. "Mama, Papa," gumam Firman, gegas berlari menghampiri kedua mertuaku. "Kalian sudah mau pulang?" tanya mama mertuaku, kini berjalan beriringan ke arah aku. "Ini baru mau pulang Ma. Kenapa Mama dan papa menyusul ke sini?" tanyaku, dengan cepat menyodorkan tangan bersalaman. "Tidak kenapa-napa Sayang. Mama dan papa cuma bosan di rumah. Jadi kami memutuskan ke sini. Eh, ternyata kalian sudah mau pulang," sahut mama mertuaku, tersenyum. "Bu, apa kabar? Sehat?" tanya mama mertuaku, kini berjalan menghampiri ibuku. "Alhamdulillah baik Bu. Ibu dan Bapak bagaimana? Sehat juga kan?" tanya mama, ramah sekali cara bicara mama. "Alhamdulillah, kami berdua juga sehat," jawab mama mertuaku. Kedua wanita paruh baya yang begitu berharga untukku kini saling berjabat tangan dan mencium pipi
"Yank, mana nomor rekening kamu?" tanya Firman, menepuk pelan pundakku. Aku tersadar, dengan cepat mengembalikan ponselnya. "Ini!" "Loh, apa angkanya memang segini? Apa tidak kurang?" tanya Firman, menatap layar ponselnya. "Coba kamu lihat ulang!" Firman kembali menyerahkan ponselnya kepadaku. Dengan berat hati aku mengambilnya. Aku sudah tau, kalau angka-angka itu memang kurang. Karena aku sengaja tidak mengetiknya hingga selesai. "Ini, sudah aku ketik semuanya," ujarku, menyerahkan ponselnya. Firman mengangguk, lalu sibuk dengan ponselnya. Sementara Firman sibuk, aku jadi gelisah sendiri. Jantungku berdetak kencang. "Bagaimana?" tanya Firman, meletakkan kembali ponselnya. "Bagaimana apanya?" tanyaku bingung. "Itu, apa sudah masuk uangnya?" tanya Firman, menunjuk ponselku. "Kalau laporannya sudah selesai di
"Sayang, mau jalan atau di rumah aja?" tanya Firman, mendekati aku yang saat ini sedang sibuk berkutat dengan panci dan kompor. "Kayaknya di rumah aja deh. Atau gimana kalau kita ke rumah mama? Kalau ke desa, kita cuma libur hari ini aja. Pasti akan sangat melelahkan kalau harus bolak balik," usulku. Firman tampak berpikir sejenak. "Baiklah, aku siap-siap dulu!" sahut Firman, bergegas ke kamar. "Eh, mau ke mana? Kita pergi sekarang?" tanyaku, setengah berteriak. Firman menghentikan lari kecilnya, lalu berbalik menatapku. "Lah, memangnya kita bukan pergi sekarang?" Kini Firman balik bertanya. "Aku kan lagi masak. Masa iya kita pergi sekarang? Kalau kamu siap-siap sekarang, aku gimana? Aku tanya, kamu malah balik tanya," sahutku. "Iya, iya, aku minta maaf. Kalau begitu, kamu selesaikan semuanya dulu. Setelah itu kita berangkat. Apa mau aku bantu?" tanya Firman, mendekat.
Tiga bulan sudah pernikahanku dan Firman. Rasa cinta sudah mulai hadir. Walaupun belum seratus persen. Perlakuan Firman benar-benar membuat aku perlahan melupakan masa lalu kelam dan mengobati sedikit demi sedikit rasa traumaku terhadap pernikahan. "Yank, gimana kalai kita ke rumah mama di desa? Mumpung papa memberi kita libur panjang," usul Firman. "Aku sih terserah kamu aja Mas, mau di rumah aja atau ke rumah mama tidak ada masalah. Kapan kita mau berangkat?" tanyaku. "Bagaimana kalau sekarang? mumpung masih pagi. Kita tidak usah memberitahu mama, kita buat kejutan buat mama. Mama pasti senang," sahut Firman, membuat rencana. Aku tersenyum mendengar rencananya. Bisa-bisanya ia memikirkan rencana seperti itu. Aki sendiri, bahkan tidak pernah terpikir sebelumnya. Firman memang jauh berbeda. Bukan hanya padaku saja perhatiannya. Pada mama juga. "Baiklah, aku ganti pakaian dan siap-siap dulu," ucapku, bergeg
Pov Firman Aku baru saja kembali dari pasar. Saat aku masuk ke kamar. Aku terkejut melihat seorang wanita muda di dalam kamar bersama Dila dan juga mama. Tidak sampai di sana saja rasa terkejutku. Aku kembali dibuat terkejut, saat melihat sebuah benda pipih yang berada di tangan wanita muda yang aku perkirakan adalah bidan desa. "I-itu test pack kan?" tanyaku, meletakkan barang belanjaan di atas meja. "Mas, kamu sudah pulang?" tanya Dila, menatapku sendu. Aku mengerti dan sangat paham dengan arti tatapan itu. Tatapan yang menyiratkan rasa takut dan gundah. Tak mau membuat Dila merasa semakin tak karuan, aku gegas mendekatinya. "Iya Sayang? Mas baru pulang. Kamu baik-baik saja kan?" tanyaku, mengusap lembut punggung tangannya. Dila mengangguk pelan. Ia tidak banyak bicara seperti sebelumnya. Matanya menatap nanar ke arah benda yang saat ini masih dipegang bidan desa itu. "Baga
(Pov Firman 2) "Sayang, sudah siap?" tanyaku, menunggu Dila di depan kamar. Saat ini kami sudah berada di rumah kami sendiri. Hampir satu minggu kami di desa, selama itu juga aku sedikit tersiksa dengan kemauan Dila yang mulai aneh-aneh. "Iya, sebentar lagi!" teriak Dila, dari dalam kamar. Kami sudah memutuskan untuk memeriksakan kondisi Dila ke dokter spesialis sesuai saran bidan desa waktu itu. Awalnya Dila menolak. Tapi, aku dan mama berhasil membujuknya. Semua itu kami lakukan bukan karena terlalu berharap kehamilan seperti yang bidan desa itu katakan. Kami hanya tidak tega melihat kondisi Dila yang semakin hari semakin memburuk. Ia terus-terusan muntah, mungkin saja kalau kami ke dokter kandungan semua keluhannya teratasi. Dan, kalaupun Dila benar hamil, kami bisa minta solusi untuk meringankan rasa mualnya. Dila sudah keluar dari kamar. Pakaiannya juga rapi. Seperti biasa, Dila selalu tampil cantik di mataku. "Ayo be
"Apa yang dia lakukan di klinik Yank?" Pertanyaan Firman, sukses membuat aku tersentak. Aku tau siapa yang ia maksud. Firman pasti mau membahas soal pertemuan tidak disengaja dengan mas Umar di klinik tadi. "Aku juga tidak tau Mas," jawabku, jujur. "Oh begitu. Maaf kalau aku bertanya berlebihan. Aku cuma mau tau, apa yang kalian bicarakan? Tolong jangan marah!" Aku menghela nafas berat. Aku tidak mungkin marah hanya karena pertanyaan Firman yang seperti itu. Itu hak dia, dia pantas menanyakannya. Dan lagi, aku juga sudah berjanji akan menjelaskannya saat di rumah nanti."Dia mau mengajakku rujuk, Mas," jawabku pelan, lalu mengamati ekspresinya. Awalnya aku mengira Firman akan marah mendengar ajakan mas Umar. Tapi ternyata aku salah. Ekspresinya memang terkejut. Tapi setelah itu terlihat tenang lagi. "Lalu, apa jawaban kamu? Apa kamu mau?" tanyanya, menatapku dalam. Dari tatapan matanya, aku bisa melihat