Rafael menjambak rambutnya kasar, pria itu berjalan mondar mandir di kamarnya. Sesekali memeriksa Nadine apakah sudah bangun apa belum. Sang istri sudah berganti baju. Heni sengaja tidak memberi tahu Rafael kalau Nadine pulang hanya memakai blazer tanpa dalaman.Kalau pria itu sampai tahu, Heni tidak bisa membayangkan seperti apa Rafael akan menghajar David. Mungkin menantunya itu akan membuat David babak belur bahkan sampai tidak berkutik, tak berdaya.Heni baru tahu, Rafael kalau marah sangat menyeramkan. Bumi serasa bisa dilipat oleh lelaki itu untuk kemudian dibuang ke tempat sampah. Sungguh mengerikan."Bagaimana?" Rafael menerima telepon dari Sandy. Kening Rafael berkerut mendengar laporan anak buahnya."Mungkinkah Rionald pelakunya?""Bisa jadi." Sandy mendukung dugaan Rafael."Pria itu!" Desis Rafael penuh emosi."Tapi, Bro. Kamu tidak bisa asal pukul orang itu. Kalau sampai dia tahu Nadine istrimu, habislah sandiwara dan semua permainanmu." Sandy memperingatkan dengan Rafael
Dua hari setelah kejadian buruk itu, Nadine sudah mampu mengatasi rasa terpuruknya. Dia merasa lebih tenang, dia siap andai tiba-tiba bertemu Arya. Mental Nadine memang sekuat baja. Sangat pantas bersanding dengan Rafael, pria tersebut perlu seorang yang tangguh untuk mendampinginya.Nadine berkali-kali meyakinkan Rafael, kalau dia baik-baik saja. Harusnya Rafael tidak perlu secemas itu. Sang istri bisa move on dengan cepat dari David yang nota bene pria paling Nadine cinta selama dua tahun terakhir.Istri Rafael bukan perempuan yang suka bergelung dengan masa lalu yang hanya menyisakan luka. Oleh karenanya, setelah Nadine memastikan Arya tidak menyentuhnya sama sekali, wanita itu mampu berdiri tegak. Mengangkat dagunya tinggi, untuk tidak membiarkan siapapun menindasnya. Dia akan melawan.Termasuk ketika dia secara mengejutkan di beritahu kalau Eva juga bekerja di kantor yang sama dengannya. Perempuan murahan itu nyatanya tetap bisa menyusup masuk ke kantor sebesar ini. Meski jauh da
Nadine memalingkan wajah ketika dia melihat Eva berjalan ke arahnya. Berpura sibuk menanyakan sesuatu pada Rena. Nadine tak menyangka kalau dia bakal bertemu Eva di kantin. Dia lupa agaknya, kalau kantin tempat semua staf dari semua divisi berkumpul. Tempat itu mengambil satu lantai penuh dengan daya tampung hampir lima ratus orang. Nadine lebih dulu duduk di kursi sengaja memunggungi konter kantin. Dia sedang tidak ingin melihat Eva atau selera makannya bisa hilang. Namun sialnya dari arah lain, muncul Rey yang langsung nimbrung ke meja Nadine tanpa bertanya. Kehadiran Rey jelas akan menarik perhatian Eva. Sebab mereka dari kantor yang sama dulunya.Dan benar saja, Rey sedang asyik mengobrol dengan Rena ketika Eva minta izin bergabung di meja mereka. Eva belum melihat Nadine karena posisinya membelakangi perempuan itu. Rey sesaat melirik Nadine, seolah minta kepastian. Rey belum menjawab ketika Eva langsung duduk di satu kursi kosong di depan Nadine.Saat itulah, Eva menyadari ada
Dunia Sandy runtuh seketika, melihat peti jenazah Melani mulai dimasukkan ke liang kubur. Pria itu meski hanya diam, tapi semua yang hadir mampu melihat bagaimana hancurnya seorang Sandy. Pria itu langsung meraung, sambil memeluk tubuh pucat, membiru sang adik saat tiba di rumah sakit.Bunuh diri jadi sebab Melani meregang nyawa. Banyak teman menghadiri pemakaman Melani. Kolega Sandy dan Melani lumayan banyak. Termasuk Nadine, Sita, Rafael yang datang sebagai suami Nadine. Juga Rion yang mengaku teman sekolah Sandy.Rion dan Rafael juga harus bersikap asing saat terpaksa bersua tatap, sama dengan Rafael pada Sandy. Rafael dan Rion langsung melesat ke rumah sakit begitu Sandy yang tengah rapuh mengirim pesan. Untuk pertama kalinya, Sandy menangis dalam pelukan dua sahabatnya.Sementara Rafael dan Rion hanya bisa saling pandang. Menatap jenazah Melani yang sudah tertutup kain putih. Keduanya tidak bicara apapun, terlebih melihat kondisi Sandy yang begitu rapuh.Sandy masih berada di ma
"Melani hamil tiga minggu."Ketika kalimat itu disampaikan oleh Rafael, Nadine dan Rion nyaris tersedak ludah masing-masing bersamaan. Bedanya Rion langsung mengubahnya jadi ekspresi syok luar biasa. Sementara Nadine sampai harus terbatuk hebat dengan wajah merah padam."Se-serius?" Rion bertanya tidak percaya."Roni yang memberitahu." Rafael keceplosan menyebut nama salah satu anak buahnya."Anggota polisi itu?" Rion meralat panggilan Rafael. Baru pria itu ngeh ada Nadine di sana."Melani hamil anak siapa? Anakmu?" Todong Nadine."Enak saja. Cemburu jangan dipiara. Orangnya sudah mati juga, masih dicemburuin!"Rion baru mengetahui kalau Nadine tahu soal Melani. "Kalau dia hamil, kemungkinan bunuh diri dan dibunuh itu jadi fifty-fifty. Melani bunuh diri karena stres, atau dia dibunuh oleh ayah si bayi karena tidak mau bertanggungjawab.""Masalahnya, pak Roni tadi bilang kemungkinan Melani belum tahu kalau dirinya hamil. Sebab biasanya calon ibu akan melalui tahap depresi dulu kalau ta
"Dia siapa?" Hermawan langsung menyidang putri bungsunya. Setelah Sandy disuruh pulang lebih dulu. Lelaki itu berjanji akan memberi jawaban setelah bicara dengan Sita. Ada Heni, Nadine dan Rafael yang ikut terkejut setelah tahu kalau Sandy mengajukan lamaran pada Sita. "Dia tidak sedang tidak waras karena ditinggal Melani kan?" Bisik Nadine pada sang suami. Rafael hanya mengedikkan bahu, tanda tidak tahu. Rafael dan yang lainnya belum memberitahu Sandy soal Melani yang hamil tiga minggu saat meninggal. Mengingat Sandy tampak rapuh saat ini. Namun kalau mengingat Sandy punya keinginan melamar Sita, mereka jadi ragu. Sandy bersungguh-sungguh, atau sedang mencari pelarian saja. "Dia temannya kak Nadine di kantor lama." Mendengar kesaksian Sita, Hermawan dan Heni langsung menatap ke arah Nadine. Hembusan napas terdengar dari arah wanita itu. "Dia itu playboy. Itu yang aku tahu waktu di kantor lama. Sekarang tidak tahu." Jawaban Nadine jelas meragukan keseriusan Sandy. Hermawan te
Lelaki di hadapan Nadine memindai wajah istri Rafael. Tampak berpikir, menggali ingatan soal siapa Nadine. Hingga dia mengubah ekspresi wajahnya. "Mbak Nadine ya?"Nadine tersenyum lebar. Lelaki itu mengenalinya. "Pak, ada yang ingin mencelakai Kakek," lapor Nadine ulang. Nadine percaya kalau lelaki itu akan melakukan sesuatu untuk menjaga Atma. Sebab dia orang yang selalu bersama Atma, alias Pram, asisten pribadi Atma."Yang benar saja, Mbak. Kok Mbak bisa ada di sini?" Mimik wajah Nadine berubah seketika. "Itu, saya ingin menjenguk Kakek, jadi maaf, saya menerobos masuk," akhirnya Nadine mengaku salah. Mau bagaimana lagi. Dia memang dilarang datang, tapi tetap nekat.Pram terdiam, ekspresi wajahnya tidak terbaca. Entah apa yang dipikirkan dan dirasakan pria itu. Sampai senyum Pram terlukis tipis. "Tidak apa-apa. Tapi akan lebih baik jika Mbak segera pergi, kalau tuan Rionald sampai tahu, nanti Mbak diusir lagi. Jangan cemas soal Tuan, saya akan mengurusnya."Begitu Rionald disebut,
"Benar, ini obat pelemah jantung. Akibatnya sangat fatal untuk kakek yang memang punya riwayat penyakit jantung."Ucapan Reva membuat semua orang yang ada di ruangan itu menggeram marah. Terlebih Rafael, lelaki yang beberapa saat lalu begitu bahagia memeluk sang adik, kini merasa sebaliknya. Murka, dia ingin menghancurkan siapa saja yang telah membuat kakeknya jadi begini."Tenang saja, Kak. Kakek akan bangun. Aku yakin itu. Semua tanda vital stabil. Keadaan saraf kakek boleh dibilang bagus. Meski untuk fase pasien koma, hal itu sulit dipastikan. Tapi aku yakin, Kakek akan sembuh."Reva berjalan kembali menuju brankar Atma. Ini sudah keberapa kali Reva melakukannya. Kali ini, dia menggenggam jemari tangan Atma. Tanpa kata, Reva yang peka segera menyadari kalau ujung jemari Atma bergerak pelan."Siapa yang terakhir kali bertemu Kakek?" Reva yakin orang itu meninggalkan kesan mendalam, hingga alam bawah sadar sang kakek merespon."Aku kemarin siang menemui Kakek, tapi ....""Ada satu or