"Ah, maaf. Kau jadi terkejut karena ku?"Agler segera menunduk hendak mengambil beberapa barang-barang Adelia yang berserakan di dekatnya. Namun sebelum itu, Adelia dengan lebih cepat lagi bergerak lebih dulu merapikan semua barangnya sendiri dan memasukkannya dengan asal ke dalam tas kecilnya."Tidak apa-apa, Agler. Ini bukan salahmu, aku hanya kurang memegangnya dengan erat tadi." Adelia berbicara seraya mengulas senyumnya sesaat. Beruntung semua obat dan vitaminnya tak sempat dilihat dengan jelas oleh cucu Tuan Brata tersebut."Ya, tetap saja aku merasa bersalah karena sudah membuat barang-barangmu terjatuh." "Kakimu terluka?" Agler menunjuk ke salah satu kaki Adelia yang dibalut perban setelahnya."Ah, ini ... Ini bukan apa-apa, Agler. Hanya luka biasa yang tidak sengaja kubuat tadi pagi, tapi Bisma sudah mengobatinya.""Jadi kalian berdua tinggal bersama lagi?""Tidak, bukan seperti itu. Kebetulan tadi Bisma datang menjemputku lebih awal di rumah Oma." Adelia sedikit membulatkan
"Apa? Maaf, maksudku kau memintaku untuk menemanimu mencari cendera mata?" Adelia bertanya dengan raut terkejut hingga tak menyadari kehadiran Bisma yang baru saja keluar dari ruangannya."Ya, Adelia. Aku rasa kau memiliki selera yang cukup bagus.""Ah, kau sepertinya terlalu berlebihan. Aku—""Calon klien ku ini adalah seorang perempuan dari luar negeri, Adelia. Sepertinya usianya tidak jauh berbeda darimu, jadi aku tidak begitu mengetahui hal-hal yang dapat membuatnya tertarik untuk kembali lagi ke sini nanti.""Tapi ....""Ayolah, Adelia. Aku sangat membutuhkan bantuanmu. Kau bebas membeli apa pun nanti sebagai hadiah dariku, jadi kau mau 'kan?"Agler sekali lagi menekankan pertanyaannya. Ia ingin mendapatkan kepastian dengan segera, apalagi saat ini dirinya menyadari tatapan penuh tanda tanya Bisma dari kejauhan sana.Satu sudut bibir tipisnya sedikit terangkat saat kedua netranya mendapati tangan pria itu yang mengepal erat. Sebenarnya ini yang ingin dilakukannya sejak bertemu de
Bisma terdiam mengamati ekspresi wajah lawan bicaranya sesaat. Kedua manik mata cokelat terang milik Agler terlihat sempat membulat, sebelum akhirnya pria itu menoleh sejenak ke arah samping untuk memutuskan tatapannya."Kenapa diam, Tuan Agler? Apa sangat sulit sekali menjawab pertanyaan saya?" tanya CEO NinatyLux tersebut kembali dengan sorot matanya yang kian menajam penuh menyelidik."Ah, sebenarnya ... Sebenarnya saya seperti ini karena hanya tidak menyangka saja dengan pertanyaan Anda, Tuan Bisma. Saya sendiri bahkan hampir tidak mengingat bahwa ada keluarga lain selain dari kakek saya.""Maksud Anda, Anda tidak pernah berhubungan dengannya lagi?" tanya Bisma kembali untuk memperjelas."Ya, orang itu memang sudah lama bukan menjadi bagian keluarga kakek saya lagi. Saya sama sekali tidak pernah mendengar kabarnya kembali semenjak semua kekacauan yang pernah dia buat, sampai akhirnya keluarga saya bisa berhasil bangkit kembali seperti saat ini!"Agler menutup pembicaraan dengan me
Adelia menatap sekali lagi wajah tampan Bisma dan menelitinya lebih dalam. Ada rasa yang mendadak berkecamuk di dalam hatinya saat ini. Perasaan ragu dengan mudahnya memimpin, hingga membuatnya berkali-kali menghirup pasokan oksigen yang lebih guna menetapkan keyakinan."Apa yang ingin kau katakan, Sayang? Katakan saja padaku." Bisma kembali berbicara dengan satu tangannya yang bergerak mengusap lembut ujung kepala Adelia.Dengan sekali lagi menarik napasnya, Adelia kembali menghadap sepenuhnya ke arah pria yang ada di sampingnya. Sesekali hati kecilnya memanjatkan doa, agar niatnya berkata jujur detik ini tak membawa dampak buruk ke depannya nanti."Aku ... Aku sebenarnya ingin mengatakan sesuatu padamu," ucap Adelia semakin berusaha memberanikan diri."Ya? Apa, Sayang? Katakanlah dan jangan merasa takut padaku." Lagi-lagi Bisma membalasnya dengan lembut meski tadi emosinya sempat meluap karena kemacetan jalanan."Sebenarnya aku ...."Tinnn!Belum selesai Adelia berbicara tiba-tiba s
"Bibi? Oma?"Suara ketukan yang tak biasa membuat Adelia semakin ragu untuk maju. Ia mencoba memanggil Oma Nora dan pembantunya yang mungkin saja sedang berada di depan pintu kamarnya saat ini, tetapi sayang kedua telinganya sama sekali tak mendapatkan jawaban berupa suara hingga membuat dahinya semakin tertekuk ke dalam."Ah, sepertinya ini hanya perasaanku saja!"Dengan menepis rasa takutnya, akhirnya Adelia tetap melangkah maju. Ia memutuskan untuk memberanikan diri, meski diam-diam meraih sebuah tongkat penopang kamera ponsel yang sudah lama sekali tak pernah dipakainya sebagai alat untuk mempertahankan diri.Ya, bisa saja yang tengah mengetuk pintu kamarnya ini adalah seorang penyusup bukan? Meski sepertinya aneh ketika seorang penyusup mengetuk pintu terlebih dahulu, tetapi tetap saja Adelia tak bisa mengabaikan firasatnya yang cukup tak begitu baik malam ini.Brukk!"Bisma?""Hai!"Seorang pria tiba-tiba muncul dengan seutas senyum dan lambaian tangannya. Adelia sampai tak bisa
"Kau baru mengganti warna rambut?"Dahi Adelia semakin mengerenyit mendengar pertanyaan yang amat tiba-tiba tersebut. Padahal baru saja mulutnya bertanya tentang hal lain, tetapi Bisma malah mencoba mengalihkan perhatiannya.Lagi-lagi pria itu membuatnya merasa curiga! Adelia merasa ada sesuatu yang tak beres, sehingga ia semakin menatap penuh menyelidik pria di hadapannya."Kau ini sebenarnya kenapa, Bisma? Sejak kapan pula aku suka mewarnai rambut?" sahut Adelia akhirnya yang langsung membuat Bisma merutuk pertanyaannya di dalam hati."Aku ... Aku sebenarnya hanya merasa warna rambutmu lebih terlihat menarik saja dengan cahaya lampu kamarmu yang tidak begitu terang ini, Sayang. Warnanya terlihat lebih hangat dan menenangkan!""Menenangkan?""Ya, menurutku—""Cukup! Jangan semakin membicarakan hal yang konyol, Bisma. Lampu kamarmu juga seperti ini kalau lampu utamanya di matikan. Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"Sial! Bisma benar-benar semakin merutuk kebodohannya! Ia hampir
"Bagaimana?"Suara tanya dari sambungan telepon tiba-tiba terasa sangat dingin dan mencekam. Tak banyak yang diungkapkannya lagi, hanya satu kata tanya tetapi cukup membuat lawan bicaranya terdiam dengan raut wajah cemas yang ditutupi peluh keringat dingin.["Maaf, Tuan!"]"Maaf apa?! Katakan yang jelas dengan mulutmu!" Suara hentakan tiba-tiba terdengar menggema, hingga membuat beberapa orang di sekitarnya terdiam menunduk.Kepulan asap rokok terlihat membumbung tinggi di depan wajah sosok itu setelahnya. Pria bertopi hitam tersebut terlihat menyesap benda kecil yang ada di sela-sela jarinya kembali, seiring dengan rasa penasarannya yang semakin membuncah.["Maaf, Tuan. Untuk malam ini ...."]"Kenapa?! Tidak bisakah kau langsung menjelaskan semuanya dengan lengkap? Ingat, aku membayarmu untuk memberikan informasi! Bukan malah untuk membuang-buang waktuku dengan cara bermain teka-teki seperti ini!" Tangan sosok misterius yang wajahnya hanya terlihat sebagian itu semakin terkepal erat
Adelia membeku saat baru menyadari ke mana arah tatapan Bisma. Tak sadar, satu tangannya bergerak meremas ujung bajunya sendiri. Rasa gugup semakin menyelimutinya, terlebih kala pria itu kembali meraih wajahnya dan mengusap pipinya dengan gerakan perlahan."Bisma ...."Perkataan Adelia tertahan kala pria di hadapannya ini tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Adelia didudukkan di sebuah ruang kosong di samping kompor dan wastafel. Kedua netranya sedikit membulat terkejut, dengan kedua tangan yang refleks mengalungi pundak kokoh pria tersebut."Bagaimana? Apa aku boleh mencicipinya lebih dulu?" tanya Bisma dengan satu sudut bibir yang terangkat dan tatapan khas yang mampu mengikat sempurna pandangan Adelia.Tanpa menunggu jawaban dari sosok yang nampak tengah terpaku menatap wajahnya dari dekat, perlahan Bisma semakin mengikis jarak dengan salah satu tangan meraih dagu mungil Adelia.Adelia merasakan jantungnya semakin berdebar kencang tak karuan berikut napasnya yang tertahan. Terlebih setel