"Bagaimana?"Suara tanya dari sambungan telepon tiba-tiba terasa sangat dingin dan mencekam. Tak banyak yang diungkapkannya lagi, hanya satu kata tanya tetapi cukup membuat lawan bicaranya terdiam dengan raut wajah cemas yang ditutupi peluh keringat dingin.["Maaf, Tuan!"]"Maaf apa?! Katakan yang jelas dengan mulutmu!" Suara hentakan tiba-tiba terdengar menggema, hingga membuat beberapa orang di sekitarnya terdiam menunduk.Kepulan asap rokok terlihat membumbung tinggi di depan wajah sosok itu setelahnya. Pria bertopi hitam tersebut terlihat menyesap benda kecil yang ada di sela-sela jarinya kembali, seiring dengan rasa penasarannya yang semakin membuncah.["Maaf, Tuan. Untuk malam ini ...."]"Kenapa?! Tidak bisakah kau langsung menjelaskan semuanya dengan lengkap? Ingat, aku membayarmu untuk memberikan informasi! Bukan malah untuk membuang-buang waktuku dengan cara bermain teka-teki seperti ini!" Tangan sosok misterius yang wajahnya hanya terlihat sebagian itu semakin terkepal erat
Adelia membeku saat baru menyadari ke mana arah tatapan Bisma. Tak sadar, satu tangannya bergerak meremas ujung bajunya sendiri. Rasa gugup semakin menyelimutinya, terlebih kala pria itu kembali meraih wajahnya dan mengusap pipinya dengan gerakan perlahan."Bisma ...."Perkataan Adelia tertahan kala pria di hadapannya ini tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Adelia didudukkan di sebuah ruang kosong di samping kompor dan wastafel. Kedua netranya sedikit membulat terkejut, dengan kedua tangan yang refleks mengalungi pundak kokoh pria tersebut."Bagaimana? Apa aku boleh mencicipinya lebih dulu?" tanya Bisma dengan satu sudut bibir yang terangkat dan tatapan khas yang mampu mengikat sempurna pandangan Adelia.Tanpa menunggu jawaban dari sosok yang nampak tengah terpaku menatap wajahnya dari dekat, perlahan Bisma semakin mengikis jarak dengan salah satu tangan meraih dagu mungil Adelia.Adelia merasakan jantungnya semakin berdebar kencang tak karuan berikut napasnya yang tertahan. Terlebih setel
"Nah, akhirnya semuanya hampir beres! Beberapa bagian sudah mengerjakan tugasnya dengan baik, sehingga nanti kita hanya perlu menunggu laporan akhir dari mereka!"Bisma berbicara seraya melepas kacamatanya. Kedua netra cokelatnya menatap ke arah Adelia yang sedang duduk di depan meja kerjanya, dengan tangan yang bergerak cepat menutup semua lembaran dokumen penting di hadapannya.Saat ini Adelia dan Bisma memang sudah berada di kantor. Sekitar tiga jam mereka berdua sudah berkutat dalam setumpuk pekerjaan yang cukup menguras pikiran dan tenaga, dengan mengenyampingkan lebih dulu hubungan dekat mereka dan menomor satukan profesionalisme kerja."Mudah-mudahan saja hasilnya baik. Aku tidak sabar melihat kesuksesan proyek ini. Apalagi dengan berjalannya ini, otomatis para investor akan semakin mempercayai perusahaan kita!" sahut Adelia dengan senyum manisnya yang kian mengembang."Ya, aku juga baru mendapatkan informasi kalau beberapa posisi yang sempat kosong sudah terisi kembali. Mudah-
Adelia membulatkan matanya saat menatap sesuatu yang amat tak disangkanya. Degup jantungnya seketika terasa seperti berhenti beberapa detik sesaat. Mati-matian ia berusaha mengumpulkan semua keberaniannya untuk kembali menatap lawan bicaranya yang hanya menunjukkan ekspresi datar tanpa bisa ditebak."Apa maksudmu menunjukkan ini padaku, Agler? Bagaimana kau bisa mendapatkan rekaman ini?!" Adelia tak sengaja menghentakkan kata-kata terakhir seiring dengan rasa was-was yang semakin menyelimuti dirinya. Suasana semakin terasa mencekam untuknya, terlebih saat menyadari tatapan Agler yang amat tak biasa ke arahnya."Kebetulan aku mendapatkan rekaman video ini dari salah satu karyawanmu sendiri, Adelia. Untung saja aku yang pertama kali menemuinya, sehingga dia pasti tidak akan berani membuka mulut atau pun menyebarkan ini pada karyawan yang lain!"Tangan Adelia semakin terkepal erat saat mendengar penuturan Agler. Peluh keringat dingin semakin membasahi tubuhnya, wajahnya sedikit memerah m
"Sial!"Adelia menggeram saat kembali mengingat kata-kata ancaman Agler. Dengan merebahkan tubuhnya sesaat di atas kasur, otaknya berusaha berpikir cepat mencari alasan agar pria itu tak lagi memaksanya untuk pergi keluar nanti malam.Beruntung tadi Bisma tak mencurigai noda merah yang ada di kerah kemeja cucu satu-satunya Tuan Brata tersebut. Pertemuan kedua pria itu tadi siang memang berjalan seperti biasa saja, meski nyatanya Agler semakin berani menatapnya dan mengajaknya berinteraksi lebih di depan Bisma.Saat ini, Adelia memang baru saja pulang dari kantornya. Seperti biasa, ia diantarkan oleh Bisma ke rumah Oma Nora terlebih dahulu. Sementara Bisma, pria itu langsung kembali ke mansion mewah miliknya karena katanya ingin mengerjakan beberapa urusan di sana."Ah, seharusnya aku mengerti tentang kekhawatiran Bisma saat awal bertemu dengan Agler! Dia memang pria yang tidak bisa dianggap remeh! Semua gerak-geriknya seakan telah direncanakan dengan pikirannya yang tak bisa ditebak o
["Bisma? Kau sedang bersama Adelia bukan?"]Suara Oma Nora kembali terdengar membuat pria yang sudah siap di kursi kemudinya langsung tersadar dari lamunannya. Dengan segera Bisma berdeham demi mengatur nada bicaranya, agar semua yang tengah dipikirkannya saat ini tak terlalu mudah untuk ditebak."Hmm, kebetulan saat ini aku masih berada di perjalanan. Oma jangan khawatir lagi, karena nanti aku pasti akan menyampaikan pesan Oma tentang ponselnya yang tertinggal setelah bertemu dengannya."["Baiklah, terima kasih. Nikmati waktu makan malam mu bersamanya, Bisma. Dan jangan pulang terlalu larut malam, karena sebenarnya aku belum begitu yakin kalau kondisi Adelia sudah benar-benar membaik."] Suara wanita paruh baya tersebut terdengar sangat perhatian membuat Bisma segera mengiyakan semuanya.Selepas panggilan telepon tersebut terputus. Dengan segera Bisma menyalakan mesin kendaraan roda empatnya. Ia keluar dari area parkir dengan cepat seraya mencoba menebak posisi Adelia saat ini dengan
"Sialan! Itu tidak akan mungkin pernah terjadi!"Adelia semakin tak bisa menahan geramnya seiring dengan wajahnya yang memerah. Dengan segera ia menepis tangan Agler dari tubuhnya dan beranjak dari tempat duduk seraya balas menatap tatapan pria itu dengan tatapan matanya yang kian menyipit tajam penuh amarah."Woah! Sabar, Sayang. Bukankah aku bilang itu pilihanmu? Jadi, semuanya kembali lagi pada keputusanmu!" Agler segera bergerak menjauh dari Adelia guna menghindari tatapan curiga orang-orang yang ada di sekitarnya."Jangan pernah panggil aku dengan sebutan itu! Ucapanku masih sama, Agler. Hubungan kita tidak lebih dari sekedar rekan bisnis!" tekan Adelia tanpa takut."Seiring dengan berjalannya waktu, aku yakin ucapanmu akan berubah. Percayalah padaku, Adelia. Asalkan kau mau memberikan kesempatan padaku sama seperti Bisma!""Kau—""Ssttt! Sebenarnya untuk hal itu kau tidak bisa memilih, Adelia. Aku sangat memaksa, kalau kau tidak ingin seluruh karyawan yang ada di kantormu menget
Dengan langkah cepat Adelia mulai memasuki sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Meski tanpa mengenakan sepatu hak tinggi yang biasa membuatnya tampil lebih percaya diri, Adelia tetap mengulas senyum saat sesekali bertemu para karyawan yang sedang menyapa dirinya dengan hangat.Nama Adelia di kantor NinatyLux memang perlahan sudah mulai kembali pulih, terlebih setelah pemecatan besar-besaran yang telah dilakukan oleh kantor ini. Semua yang bermasalah, telah Bisma hempaskan. Keputusan pria itu memang sangat berani menurut Adelia, sehingga kini perusahaan milik omanya tersebut hanya tinggal berusaha bangkit lebih keras lagi dan menunggu waktu kesuksesan kembali."Citra belum juga datang?" Adelia langsung bertanya saat tak sengaja berpapasan dengan seorang karyawan yang baru saja keluar dari sebelah ruang kerja Citra."Iya, Bu Adelia. Sepertinya Ibu Citra tidak akan akan kembali lagi ke perusahaan ini karena sampai sekarang belum bisa dihubungi dan tidak ada di alamat tempat t